-->

Maret 09, 2016

Ringkasan Buku Tafsir Sosil Atas Kenyataan



Masyarakat Sebagai Kenyataan Objektif
Pelembagaan

Organisme dan Aktivitas
Manusia menempati kedudukan yang khas dalam dunia binatang.[1] Berbeda dengan binatang menyusui yang setingkat lainnya, ia tidak mempunyai lingkungan spesifik bagi jenisnya,[2] tak punya lingkungan yang dibangun dengan kukuh oleh organisasi naluri-nalurinya sendiri. Tidak ada dunia-manusia dalam pengertian dimana kita bisa berbicara tentang suatu dunia-anjing atau dunia-kuda. Meskipun secara individual punya kemampuan untuk belajar dan mengakumulasikan hasilnya, seekor anjing atau kuda secara individual mempunyai hubungan


-67-
yang pada umumnya sudah tetap dan tak berubah dengan lingkungannya, yang juga merupakan lingkungan semua anggota lainnya dari jenisnya masing-masing. Satu implikasinya yang jelas dari keadaan ini adalah bahwa anjing dan kuda, jika dibandingkan dengan manusia, jauh lebih terbatas pada suatu distribusi geografis yang khas. Tetapi kekhasan lingkungan binatang-binatang ini tidaklah sekadar menyangkut keterbatasan geografis saja. Ia mengacu kepada sifat yang secara biologis sudah dan tak berubah dalam hubungan mereka dengan lingkungan, juga seandainya ada variasi geografis. Dalam pengertian ini, semua binatang bukan-manusia, sebagai spesies dan sebagai individu, hidup dalam dunia-dunia tertutup, yang struktur-strukturnya sudah dideterminasi lebih dulu oleh perlengkapan biologis berbagai jenis binatang itu.
Sebaliknya, hubungan manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan-dunia.[3] Tidak saja manusia telah berhasil untuk menghuni bagian terbesar dari muka bumi ini, tetapi juga hubungannya dengan lingkungan sekitar di mana-mana distrukturkan dengan cara yang sangat tidak sempurna oleh konstitusi biologisnya sendiri. Memang benar bahwa hal itu memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai jenis kegiatan. Tetapi fakta bahwa di satu tempat ia terus hidup mengembara dan di tempat lainnya ia sudah beralih ke pertanian tidak dapat dijelaskan dari segi proses-proses biologis. Sudah tentu, ini tidak berarti bahwa tidak ada pembatasan-pembatasan yang ditentukan secara biologis dalam hal hubungan manusia dengan lingkungannya; perlengkapan indrawi dan pendorongnya yang spesifik menurut jenisnya jelas membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinannya. Keistimewaan konstitusi biologis manusia lebih terletak dalam komponen nalurinya.
Organisasi naluri manusia bisa dilukiskan sebagai kurang berkembang jika dibandingkan dengan binatang menyusui setingkat lainnya. Sudah tentu manusia mempunyai dorongan-


-68-
dorongan naluri. Tetapi dorongan-dorongan itu sangat tidak terspesialisasi dan tidak terarah. Ini berarti bahwa organisme manusia dapat menggunakan perlengkapannya yang sudah ditetapkan oleh susunannya itu untuk banyak sekali macam kegiatan yang, disamping itu, terus menerus dapat berubah dan bervariasi. Kekhususan organisme manusia itu berakar dalam perkembangan ontogenetisnya.[4] Sesungguhnya, jika kita memandang persoalannya dari segi perkembangan organismis, maka dapat kita katakan bahwa periode foetal (janin) pada manusia berlangsung terus sampai dengan sekitar tahun pertama sesudah kelahiran.[5] Perkembangan-perkembangan organismis yang penting, yang pada binatang mencapai penyelesaiannya dalam rahim sang induk, pada bayi manusia berlangsung setelah ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini, bayi manusia itu tidak hanya sudah berada di dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal-balik dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.
Dengan demikian maka organisme manusia secara biologis masih terus berkembang sementara ia sudah berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain, proses menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan suatu lingkungan. Pernyataan ini semakin kurang penting artinya jika kita merenungkan bahwa lingkungan ini merupakan lingkungan alam dan manusia. Artinya, manusia yang sedang berkembang itu tidak hanya berhubungan secara timbal balik dengan suatu lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu tatanan budaya dan sosial yang spesifik, yang dihubungkan dengannya melalui perantaraan orang-orang berpengaruh (significant others) yang merawatnya.[6] Tidak saja kelangsungan hidup bayi manusia itu


-69-
tergantung kepada pengaturan-pengaturan sosial tertentu, tetapi juga arah perkembangan organismisnya ditentukan secara sosial. Dari saat kelahirannya, perkembangan organismis manusia, dan sesungguhnya sebagian besar dari keberadaan biologisnya itu sendiri, terus-menerus mengalami campurtangan yang ditentukan secara sosial.
Meskipun jelas ada batas fisiologis dalam hal kemungkinan dan keragaman cara-cara untuk menjadi manusia dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungan yang ganda ini, organisme manusia menunjukkan suatu kekenyalan yang sangat besar dalam tanggapannya kepada kekuatan-kekuatan lingkungan yang bekerja terhadapnya. Hal ini terutama jelas apabila kita mengamati kelenturan konstitusi biologis manusia sementara ia mengalami berbagai determinasi sosio-kultural. Di kalangan para ahli etnologi, sudah lazim dikatakan bahwa banyaknya cara untuk menjadi dan hidup sebagai manusia adalah sebanyak kebudayaan manusia yang ada. Keinsanian (humanness) bervariasi dari segi sosio-kultural. Dengan kata lain, tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatu substratum yang telah ditetapkan secara biologis dan yang menentukan keanekaragaman bentuan-bentukan sosio kultural. Yang ada hanyalah kondrat insani dalam arti konstanta-konstanta antropologis (umpamanya, keterbukaan-dunia dan kekenyalan struktur naluri) yang membatasi dan memungkinkan bentukan-bentukan sosio-kultural manusia. Tetapi bentuknya yang khusus dari keinsanian itu ditentukan oleh bentukan-bentukan sosio-kultural itu dan berkaitan dengan variasi-variasinya yang sangat banyak itu. Sementara mungkin saja bisa dikatakan bahwa manusia mempunyai kodrat, adalah lebih berarti untuk mengatakan bahwa manusia mengkonstruksi kodratnya sendiri; atau lebih sederhana lagi, bahwa manusia menghasilkan dirinya sendiri.[7]


-70-
Kekenyalan organisme manusia dan kepekaannya terhadap campurtangan yang ditentukan secara sosial yang paling jelas diilustrasikan oleh bukti-bukti etnologis mengenai seksualitas.[8] Sementara manusia memiliki dorongan-dorongan seksual yang dapat disamakan dengan yang terdapat pada mamalia lainnya yang setingkat, seksualitas manusia dikarakterisasikan oleh suatu tingkat kelenturan yang sangat tinggi. Ia tidak saja secara relatif tidak tergantung kepada irama waktu. Tetapi juga memiliki kelenturan baik dalam hal objek-objek yang mungkin menjadi tujuannya maupun dalam hal modalitas-modalitas ekspresinya. Bukti-bukti etnologis menunjukkan bahwa, dalam masalah seksual, manusia mampu untuk melakukan hampir segala hal. ia dapat merangsang khayalan seksualnya sampai ke puncak nafsu berahi yang menggelegak, tapi agaknya ia tidak akan dapat membayangkan suatu khayalan yang tidak sesuai dengan apa yang dalam sementara kebudayaan lainnya sudah merupakan satu norma yang sudah umum, atau setidak-tidaknya suatu hal yang dapat diterima dengan mudah. Jika istilah “normal” mengacu kepada apa yang mendasar secara antropologis atau apa yang universal dari segi kultural, maka baik istilah itu maupun antonimnya dapat diterapkan secara bermakna kepada bentuk-


-71-
bentuk seksualitas manusia yang beraneka-ragam. Dalam pada itu, tentunya, seksualitas manusia itu terarah, kadang-kadang berstruktur kaku, dalam tiap kebudayaan tertentu. Tiap kebudayaan mempunyai suatu konfigurasi seksual yang khas, dengan pola-pola perilaku seksualnya sendiri yang khusus dan asumsi-asumsi “antropologisnya” sendiri dalam bidang seksual. Relativitas empiris dari konfigurasi-konfigurasi itu, keanekaragamannya dan kemampuannya yang sangat besar untuk menemukan hal-hal yang baru, menunjukkan bahwa konfigurasi-konfigurasi itu merupakan produk bentukan-bentukan sosio-kultural manusia itu sendiri dan bukan produk suatu kodrat manusia yang sudah ditetapkan secara biologis.[9]
Periode di mana organisme manusia berkembang ke arah penyelesaiannya dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungannya juga merupakan periode di mana diri-manusia (human self) terbentuk. Maka pembentukan diri juga harus dimengerti dalam kaitan dengan perkembangan organismis yang berlangsung terus dan dengan proses sosial di mana diri itu berhubungan dengan lingkungan manusia yang alami dan yang manusiawi melalui orang-orang yang berpengaruh.[10] Praandaian-praandaian genetis bagi diri-manusia sudah tentu sudah terdapat pada saat kelahiran. Tetapi tidak demikian halnya dengan diri, yang di kemudian hari dialami sebagai suatu identitas yang bisa dikenal secara subjektif dan objektif. Proses-proses sosial yang sama yang menentukan penyelesaian pembentukan organisme menghasilkan diri dalam bentuknya yang secara budaya bersifat khusus dan relatif. Watak diri sebagai satu produk sosial tidak terbatas pada konfigurasi khusus yang oleh individu diidentifikasi sebagai dirinya sendiri (umpamanya, sebagai “seorang laki-laki”, dengan cara yang khusus di mana identitas ini didefinisikan dan dibentuk dalam kebudayaan yang bersangkutan), melainkan pada perlengkapan psikologis yang komprehensif yang


-72-
merupakan embel-embel dari konfigurasi khusus itu (umpamanya, emosi-emosi “jantan”, sikap-sikap dan malahan reaksi-reaksi somatis). Maka dengan sendirinya organisme dan, lebih-lebih lagi, diri tidak bisa dipahami dengan memadai terlepas dari konteks sosial yang khusus di mana organisme dan diri itu dibentuk.
Perkembangan bersama dari organisme manusia dan diri manusia dalam suatu lingkungan yang ditentukan secara sosial berkaitan dengan hubungan-hubungan yang khas manusiawi antara organisme dan diri. Hubungan ini merupakan hubungan eksentris.[11] Di satu pihak, manusia adalah badan, sebagaimana dapat dikatakan pula mengenai setiap organisme hewan lainnya. Di pihak lain, manusia punya badan. Artinya manusia mengalami dirinya sendiri sebagai suatu entitas yang tidak identik dengan badannya, tapi sebaliknya, yang memiliki badan itu yang dapat dipergunakannya. Dengan kata lain, pengalaman manusia mengenai dirinya sendiri selalu mengambang dalam keseimbangan antara keberadaan sebagai badan dan mempunyai badan, suatu keseimbangan yang harus diperbaiki berulang-ulang. Keeksentrisan pengalaman manusia mengenai badannya sendiri itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi analisa aktivitas manusia sebagai perilaku dalam lingkungan material, dan sebagai eksternalisasi makna-makna subjektif. Untuk dapat memahami secara memadai setiap fenomen manusiawi, kita harus mempertimbangkan kedua aspek itu, dengan alasan-alasan yang berakar dalam fakta-fakta antropologis yang mendasar.
Dari apa yang dikemukakan di atas itu kiranya sudah jelas, bahwa pernyataan manusia yang menghasilkan dirinya sendiri sama sekali tidak mengimplikasikan semacam visi Prometheus tentang individu yang menyendiri.[12] Proses manusia yang meng-


-73-
hasilkan dirinya sendiri selalu tidak boleh tidak merupakan satu kegiatan sosial. Manusia secara bersama-sama menghasilkan suatu lingkungan manusiawi, dengan totalitas bentukan-bentukan sosio-kultural dan psikologisnya. Tidak satu pun dari bentukan-bentukan ini dapat dipahami sebagai produk konstitusi biologis manusia yang, seperti telah ditunjukkan, hanya merupakan batas-batas luar bagi aktivitas produktif manusia. Seperti halnya tidak mungkin bagi manusia untuk berkembang sebagai manusia dalam keadaan terisolasi untuk menghasilkan suatu lingkungan manusiawi. Keberadaan manusia yang sendirian adalah keberadaan pada tingkat binatang (yang, sudah tentu, juga terdapat pada manusia seperti pada binatang lainnya). Begitu juga kita mengamati fenomena-fenomena yang khas manusiawi, kita memasuki bidang sosial. Kemanusiaan manusia yang spesifik dan sosialitasnya jalin-menjalin secara tak terlepaskan lagi. Homo sapiens selalu, dan sekaligus pula, adalah homo socius.[13]
Organisme manusia tidak memiliki sarana biologis yang diperlukan untuk memberikan stabilitas bagi perilaku manusiawi. Eksistensi manusia, jika ia dikembalikan pada sumber-sumber daya organismisnya sendiri, akan merupakan eksistensi dalam semacam khaos. Tetapi khaos seperti itu secara empiris tidak bisa dijumpai, walaupun secara teoritis kita dapat membayangkannya. Secara empiris, eksistensi manusia belangsung dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan kestabilan. Maka timbul pertanyaan: Darimana asalnya kestabilan tatanan manusia-


-74-
wi yang ada secara empiris itu? Jawaban bisa diberikan pada dua tingkat. Kita pertama-tama dapat menunjuk kepada fakta yang sudah jelas bahwa suatu tatanan sosial yang sudah ada mendahului setiap perkembangan organismis individu. Artinya, keterbukaan-dunia, walaupun secara intrinsik terdapat bagi susunan biologis manusia, selalu sudah ditentukan terlebih dulu oleh tatanan sosial. Kita bisa mengatakan bahwa keterbukaan-dunia eksistensi manusia yang secara biologis intrinsik itu selalu, dan memang harus, ditransformasikan oleh tatanan sosial ke dalam suatu ketertutupan-dunia yang relatif. Sementara ketertutupan kembali itu tidak pernah dapat mendekati ketertutupan eksistensi binatang, kalaupun semata-mata karena ia merupakan produk manusia sendiri dan dengan demikian sifatnya “artifisial”, namun ia mampu, pada umumnya, untuk memberikan arah dan kestabilan kepada bagian terbesar perilaku manusia. Maka pertanyaannya bisa digeser ke tingkat yang lain. Kita bisa bertanya, dengan cara yang bagaimana tatanan sosial itu sendiri timbul.
Jawaban yang paling umum atas pertanyaan ini adalah bahwa tatanan sosial merupakan suatu produk manusia, atau lebih tepat lagi, suatu produksi manusia yang berlangsung terus-menerus. Ia diproduksikan oleh manusia sepanjang eksternalisasinya yang berlangsung terus-menerus. Tatanan sosial tidak diberikan secara biologis atau berasal dari suatu data biologis dalam manifestasi-manifestasi empirisnya. Kiranya tak perlu ditambahkan lagi bahwa tatanan sosial juga tidak diberikan dalam lingkungan alam manusia, walaupun ciri-ciri yang khusus dari lingkungan itu bisa saja merupakan faktor yang menentukan ciri-ciri tertentu dari suatu tatanan sosial (umpamanya, pengaturan-pengaturan ekonomis atau teknologisnya). Tatanan sosial tidak merupakan bagian dari “kodrat alam”, dan tidak dapat dijabarkan dari “hukum-hukum alam”.[14] Tatanan sosial hanya ada sebagai produk aktivitas manusia. Tidak ada status ontologis lain yang dapat diberikan kepadanya tanpa mengaburkan sama seka-


-75-
li manifestasi-manifestasi empirisnya. Baik dalam genesisnya (tatanan sosial merupakan hasil aktivitas manusia yang sudah-sudah) maupun dalam eksistensinya dalam setiap saat (tatanan sosial hanya ada sejauh aktivitas manusia terus-menerus memproduksinya) ia merupakan suatu produk manusia.
Sementara produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia mempunyai suatu sifat yang sui generis dibandingkan dengan konteks organismis dan konteks lingkungannya, maka penting untuk ditekankan bahwa eksternalisasi itu sendiri merupakan suatu keharusan antropologis.[15] Keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas. Keharusan antropologis ini berakar dalam perlengkapan biologis manusia.[16] Ketidakstabilan yang inheren dari organisme manusia mengharuskannya untuk mengusahakan adanya suatu lingkungan yang stabil bagi perilakunya. Manusia sendiri harus menspesialisasikan dan mengarahkan dorongan-dorongannya. Fakta-fakta biologis ini merupakan praandaian-praandaian bagi produksi tatanan sosial. Dengan kata lain, meski tak satu pun dari tatanan sosial yang ada dapat diasalkan dari data biologis, keharusan bagi adanya tatanan sosial itu sendiri berasal dari perlengkapan biologis manusia.
Untuk dapat memahami penyebab-penyebab selain dari yang sudah ditetapkan oleh konstanta-konstanta biologis, bagi timbulnya, dipertahankannya dan dialihkannya suatu tatanan sosial, kita harus mengadakan suatu analisa yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu teori tentang pelembagaan.
Asal-mula Pelembagaan
Semua kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan


-76-
(habitualisasi). Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil mungkin dan yang, karena itu, dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pembiasaan selanjutnya berarti bahwa tindakan yang bersangkutan bisa dilakukan kembali di masa mendatang dengan cara yang sama dan dengan upaya yang sama ekonomisnya. Ini berlaku bagi aktivitas sosial maupun yang non-sosial. Individu yang menyendiri sekalipun, yang diumpamakan hidup di sebuah pulau yang tak berpenduduk, akan membiasakan kegiatan-kegiatannya. Apabila ia bangun pada pagi hari dan meneruskan usahanya untuk membuat sebuah perahu dari batang-batang korek api, ia mungkin akan bergumam pada dirinya sendiri, “Aku mulai lagi sekarang”, sementara ia memulai dengan langkah pertama dari suatu prosedur kerja yang terdiri dari, katakanlah, sepuluh langkah. Dengan kata lain, manusia yang menyendiri sekalipun setidak-tidaknya ditemani oleh prosedur-prosedur kerjanya.
Sudah tentu tindakan-tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan itu, tetap mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu, meskipun makna-makna yang terlibat di dalamnya sudah tertanam sebagai hal-hal yang rutin dalam persediaan pengetahuannya yang umum, yang olehnya diterima begitu saja dan yang tersedia bagi proyek-proyek ke masa depan.[17] Pembiasaan membawa keuntungan psikologis yang penting bahwa pilihan menjadi dipersempit. Sementara dalam teori mungkin ada seratus cara untuk membuat sebuah perahu dari batang-batang korek api, pembiasaan mempersempit pilihan itu menjadi satu saja. Ini membebaskan individu dari beban “semua keputusan itu”, dan memberikan suatu kelegaan psikologis yang dasarnya terdapat dalam struktur naluri manusia yang tidak terarah. Pembiasaan memberikan arah dan spesialisasi kepada kegiatan yang tidak terdapat dalam perlengkapan biologis manusia, dan dengan demikian membebaskan akumulasi ketegangan-ketegangan


-77-
yang diakibatkan oleh dorongan-dorongan yang tidak terarah.[18] Dan dengan memberikan suatu latar belakang yang stabil di mana kegiatan manusia bisa berlangsung hampir sepanjang waktu dengan keharusan mengambil keputusan yang minimal saja, ia menghemat enersi bagi keputusan-keputusan seperti itu yang mungkin diperlukan pada kesempatan-kesempatan tertentu. Dengan kata lain, latar belakang kegiatan yang sudah dibiasakan membuka suatu latar depan bagi perencanaan dan inovasi.[19]
Dari segi makna-makna yang diberikan oleh manusia kepada kegiatan-kegiatannya, pembiasaan menyebabkan tidak perlunya lagi tiap situasi didefinisikan kembali, langkah demi langkah.[20] Sejumlah besar ragam situasi dapat dimasukkan ke dalam definisi-definisi yang sudah ditetapkan lebih dulu. Kegiatan yang harus dilakukan dalam situasi-situasi itu lalu bisa diantisipasi; bahkan alternatif-alternatif perilaku bisa diberi bobot yang baku.
Proses-proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan, malahan dapat dibuat sedemikian rupa sehingga bisa berlaku bagi seorang individu hipotetis yang hidup menyendiri, terkucil dari interaksi sosial yang bagaimanapun. Fakta bahwa individu yang menyendiri seperti itu sekalipun, asalkan ia telah terbentuk sebagai diri (sebagaimana kita juga harus mengandaikan hal itu dalam kasus si pembuat perahu dengan batang korek api), akan membiasakan kegiatannya sesuai dengan pengalaman biografisnya mengenai suatu dunia lembaga-lembaga sosial yang mendahului keadaannya yang menyendiri itu, diluar perhatian kita saat ini. Secara empiris,bagian yang lebih penting dari pembiasaan kegiatan manusia adalah koekstensif (sama lingkup dan lamanya) dengan pelembagaan kegiatan itu. Pertanyaannya lalu menjadi : bagaimana timbulnya lembaga-lembaga.
Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai


-78-
tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipifikasi seperti itu merupakan satu lembaga.[21] Yang harus ditekankan adalah sifat timbal balik (resiprositas) tari tipifikasi-tipifikasi kelembagaan dan tipikalitas tidak hanya tindakan-tindakan, melainkan juga dari pelaku-pelakunya dalam lembaga-lembaga. Tipifikasi tindakan-tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan, yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik bersama. Tipifikasi-tipifikasi itu tersedia bagi semua anggota kelompok sosial tertentu yang bersangkutan, dan lembaga-lembaga itu sendiri mentipifikasi pelaku-pelaku individual maupun tindakan-tindakannya. Lembaga-lembaga itu mengandaikan bahwa tindakan-tindakan dari tipe X akan dilakukan oleh pelaku-pelaku tipe X. umpamanya, lembaga hukum mengandaikan bahwa kepala orang akan dipenggal dengan cara yang spesifik dalam keadaan-keadaan yang spesifik, dan bahaw tipe-tipe individu yang spesifik harus melakukan pemenggalan kepala itu (katakanlah, algojo, atau anggota sebuah kasta yang dianggap rendah, atau gadis-gadis di bawah umur tertentu, atau mereka yang sudah ditentukan oleh suatu orakel).
Lembaga-lembaga selanjutnya mengimplikasikan historisitas dan pengendalian. Tipifikasi-tipifikasi timbal balik dari tindakan-tindakan tumbuh dalam perjalanan sejarah yang dialami bersama. Tipe-tipe itu tidak bisa diciptakan dengan seketika. Lembaga-lembaga selalu punya sejarah yang menghasilkan mereka. Tidaklah mungkin untuk memahami suatu lembaga secara memadai, tanpa terlebih dulu memahami proses historis di mana lembaga itu ditimbulkan. Lembaga-lembaga juga, karena fakta eksistensinya sendiri, mengendalikan perilaku manusia dengan jalan membuat pola-pola perilaku yang telah didefinisikan lebih dulu, yang menyalurkan ke satu arah diantara


-79-
sekian banyak arah lain yang secara teoritis mungkin. Penting ditandaskan bahwa sifat pengontrol ini melekat pada pelembagaan itu sendiri, sebelum atau terlepas dari tiap mekanisme sanksi yang secara khusus dibentuk untuk menopang suatu lembaga. Mekanisme-mekanisme itu (yang keseluruhannya merupakan apa yang pada umumnya dinamakan sebuah sistem kendali sosial) sudah tentu terdapat dalam banyak lembaga dan dalam semua aglomerasi (kumpulan) lembaga-lembaga yang kita namakan masyarakat. Tetapi keefektifan pengendaliannya merupakan hal sekunder atau sebagai pelengkap saja. Seperti akan kita lihat nanti, pengendali sosial yang primer sudah ada dengan adanya lembaga itu sendiri. Mengatakan bahwa suatu segmen kegiatan manusia sudah dilembagakan, adalah sama artinya dengan mengakatan bahwa segmen kegiatan manusia itu sudah ditempatkan di bawah kendali sosial. Mekanisme-mekanisme pengendali tambahan hanya diperlakukan sejauh proses-proses pelembagaan tidak berhasil sepenuhnya. Demikianlah maka, sebagai contoh, undang-undang dapat menentukan bahwa setiap orang yang melanggar tabu perbuatan sumbang (incest) akan dipenggal kepalanya. Ketentuan ini mungkin perlu karena telah terjadi peristiwa-peristiwa di mana individu-individu melanggar tabu itu. Kiranya masyarakat tidak perlu terus-menerus diingatkan kembali akan sanksi itu (kecuali jika lembaga yang dibentuk berdasarkan tabu perbuatan sumbang itu sendiri sedang dalam proses disintegrasi, suatu kasus khusus yang tidak perlu dibahas lebih lanjut di sini). Karena itu tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa seksualitas manusia dikendalikan secara sosial melalui pelembagaannya dalam perjalanan sejarah yang bersangkutan. Sudah tentu kita bisa mengatakan bahwa tabu perbuatan sumbang itu sendiri hanya merupakan sisi negatif dari suatu himpunan tipe-tipe yang pertama-tama mendefinisikan perilaku seksual yang bagaimana yang tergolong perbuatan sumbang dan mana yang tidak.
Dalam pengalaman yang sesungguhnya, lembaga-lembaga pada umumnya mewujudkan diri sebagai kolektivitas-kolektivitas yang mencakup manusia dalam jumlah yang besar sekali. Namun demikian, secara teoritis penting untuk ditekankan bahwa


-80-
proses pelembagaan ditipifikasi timbal-balik akan terjadi juga apabila dua individu mulai berinteraksi untuk pertama kalinya. Pelembagaan sudah ada pada bentuk awal dalam setiap situasi sosial yang terus berlangsung dalam perjalanan waktu. Mari kita andaikan bahwa dua pribadi dari dunia sosial yang berbeda sama sekali baru mulai berinteraksi. Dengan mengatakan “pribadi”, kita mengandaikan sejak semula bahwa kedua individu itu sudah membentuk diri mereka sendiri; satu hal yang tentunya hanya bisa terjadi dalam suatu proses sosial. Dengan demikian untuk sementara waktu kita mengesampingkan kasus-kasus Adam dan Hawa, atau kasus dua anak “liar” yang bertemu dalam suatu tempat terbuka di hutan belantara. Tapi kita mengandaikan bahwa kedua individu itu tiba di tempat mereka bertemu dari dunia-dunia sosial yang secara historis timbul secara terpisah satu sama lain, dan bahwa interaksi mereka, karena itu, berlangsung dalam suatu situasi yang belum didefinisikan secara kelembagaan bagi kedua orang itu. Kita bisa saja membayangkan seorang bernama Friday bergabung dengan si pembuat perahu dari batang-batang korek api di pulau yang kosong, dan mengandaikan orang yang disebut pertama sebagai orang Irian dan yang disebut belakangan orang Amerika. Tetapi dalam hal seperti itu ada kemungkinan bahwa orang Amerika itu sudah pernah membaca—atau sekurang-kurangnya mendengar—kisah tentang Robinson Crusoe, dan hal itu akan memasukkan semacam pradefinisi mengenai situasi itu, setidak-tidaknya bagi dia. Maka dari itu, mari kita sebut saja kedua orang itu A dan B.
sementara A dan B berinteraksi, dengan cara yang bagaimanapun, mereka akan menghasilkan tipifikasi-tipifikasi dengan cukup cepat. A melihat B bekerja. Ia mengenali motif-motif tindakan B dan, setelah melihat tindakan-tindakan itu berulang, ia mentipifikasi motif-motif itu sebagai motif-motif yang berulang. Sementara B terus bekerja, A dalam waktu yang singkat sudah bisa berkata pada dirinya sendiri, “Aha, lihat, ia mulai lagi”. Pada waktu yang bersamaan A mungkin mengandaikan bahwa B sedang berbuat hal yang sama mengenai dirinya. Sejak semula, A dan B sudah mengandaikan tipifikasi timbal-balik ini. Selama berlangsungnya interaksi mereka, tipifikasi-tipifikasi itu akan


-81-
diekspresikan dalam pola-pola tingkah laku yang spesifik. Artinya, A dan B akan mulai memainkan peran yang satu terhadap yang lainnya. Ini akan terjadi, juga apabila masing-masing terus melakukan hal-hal yang berbeda satu sama lain. Kemungkinan bagi yang satu untuk mengambil peran dari yang lain akan timbul dalam kaitan dengan tindakan-tindakan yang sama yang dilakukan oleh kedua orang itu. Artinya, A dalam batinnya akan mengambil-alih peranan-peranan yang terus diulang oleh B dan menjadikannya model-model untuk memainkan peranannya sendiri. Sebagai contoh, peranan B dalam kegiatan menyiapkan makanan tidak hanya ditipifikasi sebagai apa adanya oleh A, melainkan juga akan masuk sebagai suatu unsur konstitutif dalam peranan A sendiri dalam menyiapkan makanan. Dengan demikian muncullah suatu kumpulan tindakan yang ditipifikasi secara timbal-balik, dijadikan kebiasaan oleh masing-masing dalam berbagai peranan, yang di antaranya ada yang dilakukan secara terpisah dan yang lainnya secara bersama-sama.[22] Sementara tipifikasi timbal-balik ini belum dilembagakan (karena hanya ada dua individu saja, maka tidak ada kemungkinan bagi munculnya suatu tipologi para pelaku), tetapi sudah jelas bahwa pelembagaan itu sudah terkandung di sana (in nucleo).
Pada tingkat ini, kita bolehjadi akan bertanya apa yang diperoleh kedua individu dari perkembangan ini. Yang paling penting adalah bahwa mereka masing-masing akan dapat meramalkan tindakan pihak lainnya. Bersamaan dengan itu, interaksi mereka jadi dapat diramalkan. Kalau tadinya dikatakan, “Lihat, ia mulai lagi”; maka sekarang dikatakan “Ayo, kita mulai lagi”. Ini akan membebaskan kedua individu dari banyaks ekali ketegangan. Mereka bisa menghemat waktu dan tenaga, tidak hanya dalam tugas-tugas lahir apa pun yang mungkin sedang mereka lakukan secara terpisah atau bersama-sama, tetapi juga dari segi


-82-
penghematan psikologis mereka masing-masing. Kehidupan mereka bersama sekarang didefinisikan oleh suatu lingkungan yang semakin luas dari kerutinan yang dianggap sudah sewajarnya. Banyak tindakan sekarang bisa dilakukan dengan tingkat perhatian yang rendah saja. Tiap tindakan oleh yang satu tidak lagi merupakan sumber keheranan dan bahaya yang potensial bagi yang lainnya. Sekarang sebagian besar dari apa yang terjadi, memperoleh sifat biasa-biasa saja dari apa yang bagi mereka berdua merupakan kehidupan sehari-hari. Ini berarti bahwa kedua individu sedang membangun suatu latar belakang, dalam arti seperti yang telah dibahas sebelum ini, yang akan dapat menstabilkan baik tindakan-tindakan mereka yang terpisah maupun interaksi mereka. Pembangunan latar belakang rutin ini pada gilirannya akan memungkinkan suatu pembagian kerja diantara mereka, dan dengan demikian membuka jalan bagi inovasi-inovasi yang menuntut tingkat perhatian yang lebih tinggi. Pembagian kerja dan inovasi-inovasi itu akan menghasilkan keterbiasaan-keterbiasaan baru, memperluas lagi latar belakang bersama kedua orang itu. Dengan kata lain, sebuah dunia sosial akan memasuki proses pembangunan, yang didalamnya terdapat akar-akar bagi suatu tatanan kelembagaan yang berkembang.
Pada umumnya, semua tindakan yang diulangi satu kali atau lebih cenderung menjadi terbiasa sampai tingkat tertentu, justru karena semua tindakan yang satu yang diamati oleh yang lainnya dengan sendirinya akan melibatkan suatu tipifikasi di pihaknya. Tetapi agar tipifikasi timbal-balik semacam yang baru dilukiskan itu bisa terjadi harus ada suatu situasi sosial yang berlangsung terus di mana tindakan-tindakan yang sudah terbiasa dari dua individu atau lebih jalin-menjalin. Tindakan-tindakan bagaimanakah yang akan ditipifikasi secara timbal-balik dengan cara itu?
Jawaban umum adalah : tindakan-tindakan yang relevan baik bagi A maupun B di dalam situasi mereka bersama. Bidang-bidang yang mungkin relevan itu, sudah tentu, akan berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda. Di antaranya terdapat bidang-bidang yang dihadapi A dan B berdasarkan biografi mereka sebelumnya, yang lain-lainnya mungkin merupakan akibat pem


-83-
bentukan alami yang prasosial dari situasi mereka. Dalam semua kasus itu, yang akan harus dibiasakan adalah proses komunikasi antara A dan B. kerja, seksualitas dan teritorial merupakan soal-soal lainnya yang mungkin menjadi pusat-pusat tipifikasi dan pembiasaan. Dalam berbagai macam bidang itu, situasi A dan B merupakan paradigma bagi pelembagaan yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat yang lebih besar.
Mari kita dorong paradigma kita itu satu langkah lagi ke depan dan kita bayangkan bahwa A dan B mempunyai anak. Pada titik ini situasinya berubah secara kualitatif. Kemunculan pihak ketiga mengubah sifat interaksi sosial yang sedang berlangsung antara A dan B, dan sifat itu akan berubah lebih lanjut dengan terus bertambahnya individu-individu.[23] Dunia kelembagaan, yang terdapat in statu nascendi dalam situasi yang semula antara A dan B, sekarang diteruskan kepada orang-orang lain. Dalam proses ini, pelembagaan menyempurnakan sendiri dirinya. Pembiasaan dan tipifikasi yang dilakukan dalam kehidupan bersama antra A dan B, bentukan-bentukan yang sampai titik itu masih memiliki sifat konsepsi-konsepsi ad hoc dari dua individu, sekarang menjadi lembaga-lembaga historis. Dengan adanya historisitas, bentukan-bentukan itu juga akan memperoleh sifat lain yang sangat penting atau, lebih tepat lagi, akan menyempurnakan suatu sifat yang terdapat pada tingkat awal ketika A dan B mulai dengan tipifikasi timbal-balik mengenai perilaku mereka : sifat ini adalah objektivitas. Ini berarti bahwa lembaga-lembaga yang sudah memperoleh bentuk yang jelas (umpamanya, lembaga ayah seperti yang dialami oleh anak-anak) sekarang dialami sebagai berada di atas dan di luar individu-individu yang “secara kebetulan” merupakan penjelmaan lembaga-lembaga itu pada saat ini. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu sekarang dialami sebagai mempunyai kenyataan sendiri, suatu kenyataan yang dihadapi oleh individu sebagai


-84-
satu fakta yang eksternal dan memaksa.[24]
Selama lembaga-lembaga yang sedang lahir itu dibangun dan dipertahankan hanya dalam interaksi antara A dan B, objektivitasnya tetap rapuh, mudah diubah, hampir-hampir dianggap lucu, walaupun sementara itu lembaga-lembaga tersebut memperoleh semacam objektivitas karena fakta pembentukannya semata-mata. Dengan kata-kata yang agak berbeda, latar belakang yang sudah dirutinkan dari kegiatan A dan B tetap terbuka dengan mudah bagi campur tangan yang disengaja dari pihak A dan B. meskipun kerutinan itu, apabila sudah diterapkan mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus, kemungkinan untuk mengubahnya atau malahan untuk menghapuskannya tetap ada dalam kesadaran. Hanya A dan B saja yang bertanggung jawab sebagai orang-orang yang telah membangun dunia itu. A dan B tetap mampu untuk mengubah atau meniadakannya. Lebih dari itu, oleh karena mereka sendiri yang telah membentuk dunia itu dalam perjalanan suatu biografi yang dialami bersama dan yang dapat mereka ingat kembali, maka dunia yang telah mereka bentuk itu tampak transparan sepenuhnya bagi mereka. Mereka memahami dunia yang telah mereka buat sendiri itu. Itu semua berubah dalam proses pengalihan kepada generasi-generasi baru. Objektivitas dunia kelembagaan itu “mengental” dan “mengeras”, tidak hanya bagi anak-anak, melainkan (melalui efek cermin) juga bagi orang-tua. Kalau tadinya orang berkata “Ayo kita mulai lagi”, sekarang ia akan berkata, “Beginilah segala sesuatunya harus dilakukan”. Dunia yang dipandang dengan cara seperti itu menjadi kukuh dalam kesadaran; ia menjadi nyata dengan cara yang lebih meyakinkan lagi dan tidak lagi bisa diubah dengan mudah. Bagi anak-anak, terutama dalam fase aawl sosialisasi mereka ke dalamnya, ia menjadi dunia satu-satunya. Bagi para orangtua, ia kehilangan sifat main-mainnya dan menjadi “sungguh-sungguh”. Bagi anak-anak, dunia yang diteruskan kepada mereka oleh orang tua tidak lagi


-85-
sepenuhnya transparan. Oleh karena mereka tidak ikut serta membentuknya, maka mereka menghadapinya sebagai satu kenyataan yang diberikan yang—seperti alam—tampak buram, setidak-tidaknya di tempat-tempat tertentu.
Baru pada titik ini kita bisa berbicara tentang sebuah dunia sosial, dalam arti sebuah kenyataan yang komprehensif dan diberikan, yang dihadapi oleh individu dengan cara yang analog dengan kenyataan dunia alamiah. Baru dengan cara ini, sebagai suatu dunia objektif, bentukan-bentukan sosial dapat diteruskan kepada generasi baru. Dalam fase-fase awal sosialisasi si anak belum mampu untuk membedakan antara objektivitas fenomen-fenomen alam dan objektivitas bentukan-bentukan sosial.[25] Sebagai contoh, pokok sosialisasi yang paling penting, yakni bahasa, bagi anak tampak sebagai sudah melekat pada kodrat benda-benda, dan ia tidak dapat menangkap arti yang diberikan atas dasar konvensi terhadap nama-nama benda itu. Sebuah benda adalah nama yang diberikan kepadanya dan tidak bisa diberi nama lain. Semua lembaga tampil dengan cara yang sama, sebagai yang sudah diberikan, tak bisa diubah lagi dan sudah jelas dengan sendirinya. Bahkan dalam contoh kita yang dari segi empiris tak mungkin terjadi, yakni tentang orang tua yang telah membanguns ebuah dunia kelembagaan paling pertama, objektivitas dunia ini akan bertambah lagi bagi mereka melalui sosialisasi anak-anak mereka, karena objektivitas yang dialami oleh anak-anak mereka akan memantul kembali kepada pengalaman mereka tentang dunia itu. Sudah tentu, dari segi empiris, dunia kelembagaan yang dialihkan oleh kebanyakan orang tua sudah memiliki sifat nyata yang historis dan objektif. Proses pengalihan hanya memperkuat kesadaran orang tua mengenai kenyataan, setidak-tidaknya karena secara kasar, apabila orang berkata, “Beginilah segala sesuatunya harus dilakukan”, dengan cukup sering maka ia sendiri pada akhirnya menjadi percaya juga.[26]


-86-
Maka, sebuah dunia kelembagaan, dialami sebagai suatu kenyataan yang objektif. Ia mempunyai sejarah yang mendahului kelahiran individu dan tidak bisa dimasuki oleh ingatan biografisnya. Dunia itu sudah ada sebelum ia lahir, dan akan tetap ada sesudah ia mati. Sejarah itu sendiri, sebagai tradisi lembaga-lembaga yang ada, mempunyai sifat objektif. Biografi individu dipahami sebagai suatu episode yang terletak dalam sejarah masyarakat objektif. Lembaga-lembaga itu, sebagai faktisitas-faktisitas historis dan objektif, dihadapi oleh individu sebagai fakta-fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Lembaga-lembaga itu sudah ada di sana, di luar diri individu, tetap bertahan dalam kenyataan mereka, tak peduli apakah ia suka atau tidak. Ia tidak bisa berharap agar lembaga-lembaga itu lenyap. Lembaga-lembaga itu bertahan terhadap upaya-upayanya untuk mengubah atau menghindari mereka. Mereka mempunyai kekuatan yang memaksa terhadapnya, baik pada dirinya sendiri, hanya dengan kekuatan faktisitas mereka semata-mata, maupun melalui mekanisme-mekanisme pengendali yang biasanya dicantelkan kepada yang paling penting di antara mereka. Kenyataan objektif lembaga-lembaga itu tidak berkurang apabila individu tidak memahami tujuan mereka atau cara kerja mereka. Ia mungkin akan merasa banyak bagian dari dunia sosial sebagai tidak bisa dipahami, barangkali dirasakannya sebagai menekan dalam kekaburannya, namun demikian tetap nyata. Oleh karena lembaga-lembaga berada sebagai kenyataan eksternal, maka individu tidak dapat memahami mereka melalui intreospeksi. Ia harus “keluar” dan harus belajar mengetahui tentang mereka, sama seperti ia harus belajar mengetahui tentang alam. Hal ini tetap berlaku meskipun dunia sosial, sebagai satu kenyataan buatan manusia, secara potensial bisa dimengerti dengan cara yang tidak mungkin terjadi dalam dunia alamiah.[27]


-87-
penting untuk diingat bahwa bagaimanapun meyakinkan tampaknya bagi individu, objektivitas dunia kelembagaan adalah objektivitas yang dibuat dan dibangun oleh manusia. Proses dengan mana produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi itu memperoleh sifat objektif adalah objektivasi.[28] Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi dan begitu pula halnya dengan setiap lembaganya. Dengan kata lain, meskipun dunia sosial dalam pengalaman manusia ditandai oleh objektivitas, ia dengan itu tidak memperoleh status ontologis terlepas dari aktivitas manusia yang menghasilkannya. Paradoks bahwa manusia mampu membuat sebuah dunia yang kemudian dia alami sebagai sesuatu yang lain dari produk manusia, akan kita bahas nanti. Untuk sementara waktu, penting untuk ditekankan bahwa hubungan antara manusia, sebagai produsen, dan dunia sosial sebagai produknya, tetap merupakan hubungan yang dialektis. Artinya, manusia (tentunya tidak dalam keadaan terisolasi, tetapi dalam kolektivitas-kolektivitasnya) dan dunia sosialnya, berinteraksi satu sama lain. Produk berbalik mempengaruhi produsennya. Eksternalisasi dan objektivasi merupakan momen-momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Momen ketiga dalam proses ini, yakni internalisasi (dengan mana dunia sosial yang sudah diobjektivasi dimasukkan kembali ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi) akan kita bahas secara terinci nanti. Namun demikian, sekalipun kita sudah bisa melihat hubungan yang mendasar antra ketiga momen dialektik ini dalam kenyataan sosial. Masing-masing dari ketiga momen itu bersesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif. Manusia merupakan produk sosial. Kiranya juga sudah jelas bahwa suatu analisa mengenai dunia sosial yang mengesampingkan salah satu dari ketiga momen itu akan menghasilkan suatu


-88-
distorsi.[29] Mungkin bisa ditambahkan bahwa hanya dengan pengalihan dunia sosial kepada generasi baru (artinya internaliasi sebagaimana yang dilaksanakan dalam sosialisasi) maka dialektika sosial yang mendasar itu tampil dalam totalitasnya. Sekali lagi, hanya dengan munculnya satu generasi baru kita benar-benar bisa berbicara tentang suatu dunia sosial.
Pada waktu yang bersamaan, dunia kelembagaan itu memerlukan legitimasi: artinya, cara-cara dengan mana ia dapat “dijelaskan” dan dibenarkan. Ini bukan karena ia tampak kurang nyata. Seperti telah kita lihat, kenyataan dunia sosial menjadi semakin meyakinkan selama proses pengalihannya kepada generasi baru. Tetapi kenyataan ini merupakan kenyataan historis yang sampai kepada generasi baru sebagai tradisi dan bukan sebagai ingatan biografis. Dalam contoh paradigmatis kita, A dan B yang mula-mula menciptakan dunia sosial, selalu dapat merekonstruksikan kondisi-kondisi di mana dunia mereka dan tiap bagian darinya dibangun. Artinya, mereka dapat menemukan kembali makna suatu lembaga dengan menggunakan daya ingat mereka. Anak-anak A dan B berada dalam situasi yang lain sama sekali. Pengetahuan mereka tentang sejarah lembaga-lembaga itu tidak dapat mereka capai melalui ingatan. Karena itu menjadi perlu untuk menafsirkan makna ini kepada mereka melalui berbagai rumusan yang memberikan legitimasi. Rumusan-rumusan itu harus konsisten dan komprehensif dari segi tatanan kelembagaan, agar dapat meyakinkan generasi baru. Boleh dikatakan kisah yang sama harus diceritakan


-89-
kepada semua anak. Dengan demikian, tatanan sosial yang terus meluas mengembangkan suatu naungan yang terdiri dari berbagai legitimasi yang sesuai, yang membentangkan di atas tatanan ini suatu lapisan pelindung berupa penafsiran kognitif dan normatif. Legitimasi-legitimasi itu dipelajari oleh generasi baru selama berlangsungnya proses yang sama yang mensosialisasikan mereka ke dalam tatanan kelembagaan. Soal ini pun akan kita bahas secara lebih terinci nanti.
Perkembangan mekanisme-mekanisme yang spesifik dalam kendali-kendali sosial juga menjadi perlu bersamaan dengan proses sejarah dan objektivasi lembaga-lembaga. Penyimpangan dari rangkaian tindakan yang sudah “diprogramkan” secara kelembagaan menjadi mungkin apabila lembaga-lembaga itu sudah menjadi kenyataan yang terputus hubungannnya dari relevansi semua dalam proses-proses sosial kongkrit, dari mana mereka itu timbul. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, orang akan lebih mudah menyimpang dari program-program yang telah ditetapkan baginya oleh orang lain daripada dari program-program yang ia sendiri telah ikut membuatnya. Generasi baru menimbulkan masalah ketaatan, dan sosialisasi mereka ke dalam tatanan kelembagaan memerlukan sanksi-sanksi. Lembaga-lembaga harus dan memang menuntut otoritas atas individu, terlepas dari makna-makna subjektif yang mungkin ia berikan kepada sesuatu situasi tertentu. Prioritas bagi definisi kelembagaan mengenai berbagai situasi harus dipertahankan secara konsisten terhadap godaan-godaan yang dialami individu untuk memberikan definisi-definisi baru. Anak-anak harus “diajar berkelakuan baik” dan sesudah itu harus “tahu disiplin”. Tentunya, begitu pula halnya dengan orang-orang dewasa. Semakin perilaku itu dilembagakan, semakin ia dapat diramalkan dan dengan demikian semakin bisa dikendalikan. jIka sosialisasi ke dalam lembaga-lembaga berlangsung dengan efektif, tindakan-tindakan pemaksaan yang langsung bisa diambil secara ekonomis dan selektif. Dalam banyak hal, perilaku itu akan berlangsung “secara spontan” melalui saluran-saluran yang sudah ditentukan secara kelembagaan. Semakin, pada tingkat makna, perilaku itu dianggap sudah sewajarnya, semakin besar kemungkin-


-90-
annya bahwa alternatif-alternatif yang mungkin ada bagi “program-program” kelembagaan akan tersingkir, dan perilaku itu semakin dapat diramalkan dan dikendalikan.
Pada prinsipnya, kelembagaan biasa berlangsung dalam tiap bidang perilaku yang secara kolektif relevan. Dalam kenyataan sesungguhnya, perangkat-perangkat proses pelembagaan berlangsung secara bersamaan. Tidak ada alasan a priori untuk mengandaikan bahwa proses-proses itu pasti akan “bergabung” secara fungsional, apalagi sebagai sebuah sistem yang secara sosiologis konsisten. Dengan kembali sekali lagi kepada contoh paradigmatis kita, dengan sedikit mengubah situasi khayalan itu, mari kita andaikan kali ini, bukan sebuah keluarga yang sedang berkembang biak, yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, melainkan satu hubungan segitiga yang menarik, antara seorang laki-laki A, seorang wanita biseksual B, dan seorang lesbian C. kita tidak perlu membicarakan panjang lebar bahwa relevansi seksual dari ketiga individu itu tidak akan bertepatan satu sama lain. Apa yang relevan antara A-B, tidak relevan bagi C. kebiasaan-kebiasaan yang timbul sebagai hasil relevansi A-B tidak perlu berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang timbul sebagai hasil relevansi B-C dan C-A. bagaimanapun tidak ada alasan mengapa dua proses pembiasaan erotis, yang satu heteroseksual dan yang lain lesbian, tidak dapat berlangsung berdambingan tanpa secara fungsional berintegrasi satu sama lain, atau dengan pembiasaan yang ketiga yang didasarkan atas suatu minat bersama, katakanlah, dalam soal menanam bunga (atau kegiatan yang bagaimana saja yang mungkin sama-sama relevan bagi seorang laki-laki heteroseksual yang aktif dan seorang lebian yang aktif). Dengan kata lain, tiga proses pembiasaan atau pelembagaan pada tingkat awal bisa berlangsung tanpa terintegrasi secara fungsional atau logis sebagai fenomen-fenomen sosial. Penalaran yang sama juga berlaku apabila A, B dan C diandaikan masing-masing sebagai kolektivitas dan bukan individu, tanpa memandang isi relevansi mereka. Begitu pula, integrasi fungsional atau logis tidak bisa diandaikana priori apabila proses-proses pembiasaan atau pelembagaan terbatas pada individu-individu atau kolektivitas yang sama, dan tidak kepada individu-individu atau


-91-
kolektivitas yang berbeda seperti yang diandaikan dalam contoh kita.
Meskipun demikian, fakta empirisnya adalah bahwa lembaga-lembagai memang cenderung untuk “bersatu”. Agar supaya menomen ini tidak diterima begitu saja, ia harus dijelaskan. Bagaimana caranya? Pertama, kita bisa mengemukakan argumen bahwa beberapa relevansi akan sama bagi semua anggota suatu kolektivitas. Di pihak lain, banyak bidang perilaku hanya akan relevan bagi tipe-tipe tertentu saja. Yang disebut belakangan itu melibatkan suatu diferensiasi pada tingkat awal, setidak-tidaknya dengan cara di mana tipe-tipe itu diberi suatu makna yang relatif stabil. Pemberian makna itu mungkin didasarkan atas perbedaan-perbedaan pra-sosial, seperti jenis kelamin; atau perbedaan-perbedaan yang timbul selama berlangsungnya interaksi sosial, seperti yang terjadi karena pembagian kerja. Sebagai contoh, hanya kaum wanita saja yang boleh berurusan dengan ilmu gaib tentang kesuburan dan hanya para pemburu saja boleh membuat lukisan-lukisan dalam gua. Atau, hanya orang lelaki yang sudah tua boleh melakukan upacara minta hujan dan hanya para pembuat senjata boleh tidur bersama dengan saudara sepupu mereka dari pihak ibu. Dari segi fungsionalitas sosial eksternal mereka, berbagai bidang prilaku itu tidak perlu diintegrasikan ke dalam satu sistem yang kohesif. Bidang-bidang perilaku itu bisa terus berlangsung secara berdampingan atas dasar penyelenggaraan yang terpisah satu sama lain. Akan tetapi, sementara penyelenggaraannya dapat terpisah satu sama lain, namun makna-maknanya cenderung ke arah sekurang-kurangnya suatu konsistensi yang minimal. Sementara individu merenungkan momen-momen yang berurutan dalam pengalaman, ia berusaha memasukkan makna-maknanya ke dalam suatu kerangka biografis yang konsisten. Kecenderungan ini bertambah kuat apabila ada kesamaan antara individu dan orang lain dalam hal makna dan pengintegrasian biografisnya. Mungkin kecenderungan untuk mengintegrasikan makna ini berdasarkan pada suatu kebutuhan psikologis, yang pada gilirannya mungkin saja mempunyai dasar fisiologis (artinya, mungkin ada suatu “kebutuhan” yang memang mendasar akan suatu kohesi


-92-
dalam konstitusi psiko-fisiologis manusia). Akan tetapi argumen kami tidak didasarkan atas asumsi-asumsi antropologis seperti itu, melainkan atas analisa proses timbal-balik yang bermakna dalam proses-proses pelembagaan.
Karena itu diperlukan sikap yang sangat hati-hati dalam membuat setiap pernyataan mengenai “logika” tentang lembaga. Logikanya tidak terletak dalam lembaga-lembaga dan fungsi-fungsi itu diperlakukan dalam renungan kita tentang hal itu. Dengan kata lain, kesadaran reflektif menambahkan kualitas logika kepada tatanan kelembagaan.[30]
Bahasa merupakan contoh di mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobjektivasi. Bangunan legitmasi disusun di atas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utamanya. “Logika” yang dengan cara itu diberikan kepada tatanan kelembagaan, merupakan bagian dari cadangan pengetahuan dalam masyarakat dan diterima sebagai sudah sewajarnya. Oleh karena individu yang sudah tersosialisasi dengan baik “tahu” bahwa dunia sosialnya merupakan satu keseluruhan yang konsisten, ia akan terpaksa menjelaskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan dalam cara bergungsinya berdasarkan “pengetahuannya” itu. Akibatnya, mudah sekali bagi pengamat suatu masyarakat untuk mengandaikan bahwa lembaga-lembaganya benar-benar berfungsi dan terintegrasi seperti yang memang “diharapkan” darinya.[31]
Maka, de facto, lembaga-lembaga itu memang terintegrasi. Tetapi integrasi mereka itu bukanlah suatu keharusan fungsional bagi proses-proses sosial yang menghasilkan mereka, melainkan dihasilkan melalui contoh-contoh. Individu melakukan tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan secara terpisah satu


-93-
sama lain di dalam konteks biografi mereka. Biografi ini merupakan suatu keseluruhan yang sudah direnungkan dimana tindakan-tindakan yang terpisah-opisah itu dipikirkan, tidak sebagai peristiwa-peristiwa yang terisolasi, melainkan sebagai bagian-bagian yang saling berkaitan di dalam suatu universum yang punya makna subjektif dan yang makna-maknanya tidak secara khas terbatas pada individu itu saja melainkan diartikulasikan dan dianut secara sosial. Hanya dengan menempuh jalan meliuk dalam universum makna-makna yang diterima secara sosial ini, kita bisa sampai kepada kebutuhan akan integrasi kelembagaan.
Ini mengandung implikasi yang berjangkauan jauh bagi setiap analisa mengenai fenomen-fenomen sosial. Jika integrasi suatu tatanan kelembagaan hanya dapat dipahami dari segi “pengetahuan” yang dimiliki oleh anggota-anggotanya mengenai tatanan itu, maka itu berarti bahwa analisa mengenai “pengetahuan” seperti itu akan mempunyai arti yang esensial bagi analisa mengenai tatanan kelembagaan yang bersangkutan. Penting untuk ditekankan, bahwa ini tidaklah semata-mata—atau malahan tidak terutama—menyangkut suatu kegiatan berpikir yang hanya dipusatkan kepada sistem-sistem teori yang kompleks dan yang merupakan legitimasi bagi tatanan kelembagaan. Sudah tentu teori-teori pun harus diperhitungkan. Tetapi pengetahuan teoritis hanya merupakan bagian yang kecil saja, dan itu pun sama sekali bukan yang paling penting, dari apa yang berlaku sebagai pengetahuan dalam masyarakat. Legitimasi yang canggih dari segi teori muncul pada saat-saat tertentu dalam sejarah kelembagaan. Pengetahuan primer mengenai tatanan kelembagaan adalah pengetahuan pada tingkat pra-teori. Ia merupakan jumlah keseluruhan dari “apa yang diketahui setiap orang” mengenai suatu dunia sosial—suatu kumpulan kaidah-kaidah, moral, kata-kata mutiara kebijaksanaan, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos, dan sebagainya—yang untuk mengintegrasikannya secara teoritis diperlukan suatu keuletan intelektual tersendiri yang sangat besar,sebagaimana telah dibuktikan oleh deretan amat panang dari para integrator yang heroik, mulai dari Homerus sampai ke pembangun-pembangun sistem sosiologi paling mutakhir. Tetapi pada tingkat pra-teori, tiap


-94-
lembaga mempunyai suatu perangkat pengetahuan resep yang diwarisinya, artinya, pengetahuan yang memberikan aturan-aturan perilaku yang sesuai menurut lembaga itu.[32]
Pengetahuan seperti itu merupakan dinamika yang menggerakkan perilaku yang sudah dilembagakan. Ia mendefinisikan bidang-bidang perilaku yang sudah dilembagakan dan menandai semua situasi yang termasuk di dalamnya. Ia mendefinisikan dan menyusun peranan-peranan yang harus dimainkan dalam konteks lembaga-lembaga yang bersangkutan. Ipso facto, ia mengendalikan dan meramalkan semua perilaku itu. Oleh karena pengetahuan ini secara sosial diobjektivasi sebagai pengetahuan, artinya, sebagai satu perangkat kebenaran-kebenaran yang berlaku umum mengenai kenyataan, maka setiap penyimpangan yang radikal dari tatanan kelembagaan tampak sebagai suatu penyimpangan dari kenyataan. Penyimpangan seperti itu bisa dianggap sebagai kebejadan moral, penyakit jiwa, atau sekadar ketidaktahuan. Sementara pembedaan-pembedaan yang halus itu akan mempunyai konsekuensi yang jelas bagi perlakuan terhadap orang yang menyimpang itu, pembedaan itu semuanya mempunyai status kognitif yang rendah dalam dunia sosial yang bersangkutan. Dengan cara ini, dunia sosial yang khusus itu lalu menjadi dunia begitu saja. Apa yang diterima begitu saja sebagai pengetahuan dalam masyarakat, menjadi sama dan serupa dengan apa yang bisa diketahui, atau setidak-tidaknya memberikan kerangka yang di dalamnya setiap hal yang belum diketahui akan diketahui di masa mendatang. Inilah pengetahuan yang diperoleh selama berlangsungnya sosialisasi dan yang menjadi perantara internalisasi ke dalam kesadaran individu atas struktur-struktur dunia sosial yang diobjektivasi. Pengetahuan dalam arti ini, merupakan inti dialektika yang mendasar dari masyarakat. Ia “mempogram” saluran-saluran di mana eksternalisasi menghasilkan suatu dunia yang objektif. Ia mengobjektifikasi dunia ini melalui bahasa dan aparat kognitif yang didasarkan atas bahasa; artinya, menatanya menjadi objek-objek


-95-
untuk dipahami sebagai kenyataan.[33] Ia diinternalisasi kembali sebagai kebenaran yang berlaku objektif selama berlangsungnya sosialisasi. Pengetahuan mengenai masyarakat, dengan demikian, merupakan suatu perwujudan nyata (realization) dalam arti ganda kata itu, yakni dalam arti memahami kenyataan sosial yang diobjektivasi, dan dalam arti terus-menerus memproduksi kenyataan.
Sebagai contoh, selama berlangsungnya pembagian kerja dikembangkanlah suatu perangkat pengetahuan yang mengacu pada kegiatan-kegiatan khusus yang terlibat di dalamnya. Pada dasar linguistiknya, pengetahuan ini sudah mutlak diperlukan bagi “pemograman” kelembagaan dari kegiatan-kegiatan ekonomi ini. Akan timbul, katakanlah, suatu kosakata yang menunjuk pada berbagai cara berburu, senjata-senjata yang digunakan, binatang-binatang yang akan dijadikan mangsa, dan sebagainya. Selanjutnya akan ada satu kumpulan resep yang harus dipelajari jika orang ingin berburu dengan cara yang tepat. Pengetahuan ini pada dirinya sendiri berfungsi sebagai kekuatan penyalur pengendali; suatu ramuan yang sangat diperlukan bagi pelembagaan bidang perilaku ini. Sementara lembaga berburu memperoleh wujudnya dan dapat bertahan dalam perjalanan waktu, maka perangkat pengetahuan yang sama berfungsi untuk memberikan deskripsi yang objektif (dan, sambil lalu, dapat diverifikasi secara empiris) bagi lembaga itu. Satu keseluruhan segmen dunia sosial diobjektifikasi oleh pengetahuan ini. Maka akan ada suatu “ilmu” berburu yang objektif, yang merupakan padanan dari kenyataan objektif ekonomi berburu. Di sini kiranya tidak perlu dijelaskan lagi bahwa “verifikasi empiris” dan “ilmu” tidak dimengerti dalam arti kaidah-kaidah ilmiah modern, melainkan dalam arti pengetahuan yang bisa dibuktikan kebenarannya dalam pengalaman dan yang dengan demikian bisa diorganisasi secara sistematis sebagai suatu perangkat pengetahuan.
Begitu pula, perangkat pengetahuan itu diteruskan kepada


-96-
generasi berikutnya. Ia dipelajari sebagai kebenaran objektif selama berlangsungnya sosialisasi dan dengan demikian diinternalisasi sebagai kenyataan subjektif. Kenyataan ini, pada gilirannya, mempunyai kekuatan untuk membentuk individu. Ia akan memproduksi suatu tipe manusia spesifik, yakni pemburu, yang identitas dan biografinya sebagai pemburu hanya mempunyai makna dalam suatu universum yang dikonstitusikan oleh perangkat pengetahuan tersebut secara keseluruhan (katakanlah, dalam sebuah masyarakat pemburu) atau untuk sebagian (katakanlah, dalam masyarakat kita sendiri, di mana para pemburu berkumpul di dalam suatu sub-universum mereka sendiri). Dengan kata lain, tidak ada satu pun bagian dari pelembagaan berburu dapat muncul tanpa pengetahuan khusus yang telah diproduksi dan diobjektivasi secara sosial, dalam kaitannya dengan kegiatan ini. Berburu dan menjadi pemburu mengimplikasikan keberadaan dalam suatu dunia sosial yang didefinisikan dan dikendalikan oleh perangkat pengetahuan ini. Mutatis mutandis, hal itu juga berlaku bagi setiap bidang perilaku yang dilembagakan.
Pengendapan dan Tradisi
Hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus dalam kesadaran. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan terus itu lalu mengendap; artinya, menggumpal dalam ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat kembali.[34] Tanpa terjadinya pengendapan itu, individu tidak dapat memahami biografinya. Pengendapan intersubjektif juga terjadi apabila beberapa individu mengalami suatu biografi bersama, di mana pengalaman-pengalamannya lalu menjadi bagian dari suatu cadangan pengetahuan bersama. pEngendapan intersubjektif itu hanya benar-benar dinamakan sosial apabila sudah diobjektivasi dalam suatu sistem tanda; artinya, apabila ada kemungkinan bagi berulangnya objektifikasi pengalaman-pengalaman bersama itu. Baru sesudah itu ada kemungkinan


-97-
bagi pengalaman-pengalaman itu untuk dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan dari satu kolektivitas ke kolektivitas yang lain. Secara teoritis, kegiatan bersama, tanpa suatu sistem tanda, dapat merupakan dasar bagi pengalihan itu. Akan tetapi secara empiris hal itu tidak mungkin terjadi. Suatu sistem tanda yang tersedia secara objektif memberikan status anonim pada tingkat permulaan kepada pengalaman-pengalaman yang sudah diendapkan dengan jalan melepaskannya dari konteks biografi individual kongkritnya yang semula, dan menjadikannya tersedia secara umum bagi semua orang yang sama-sama menganut, atau mungkin akan menganut sistem tanda yang bersangkutan. Dengan demikian maka pengalaman-pengalaman menjadi mudah dialihkan.
Pada prinsipnya, sistem tanda yang bagaimanapun sudah cukup untuk tujuan itu. Namun biasanya, dengan sendirinya, sistem tanda yang menentukan adalah yang bersifat linguistik. Bahasa mengobjektivasi pengalaman-pengalaman bersama dan menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan dengan demikian menjadi dasar dan alat bagi cadangan pengetahuan kolektif. Selanjutnya, bahasa memberikan cara-cara utuk mengobjektifikasi pengalaman-pengalaman baru, memungkinkan pemasukannya ke dalam cadangan pengetahuan yang sudah ada, dan ia menjadi alat yang paling penting untuk meneruskan endapan-endapan yang sudah diobjektivasi dan diobjektivikasi dalam tradisi kolektivitas bersangkutan.
Sebagai contoh, hanya beberapa anggota saja dari suatu masyarakat pemburu telah mengalami kehilangan senjata mereka dan terpaksa menggunakan tangan kosong. Pengalaman yang mengerikan ini, dengan segala pelajaran yang dapat diperoleh darinya dalam hal keberanian, kecerdikan dan keterampilan, mengendap dengan kukuhnya dalam kesadaran individu yang telah melalui pengalaman itu dengan selamat. Jika peristiwa itu dialami oleh beberapa individu, ia akan mengendap secara intersubjektif, malahan mungkin akan membentuk suatu ikatan batin yang sangat mendalam di antara orang-orang itu. Tetapi sementara pengalaman itu ditunjukkan dengan tanda dan dialihkan melalui bahasa, ia menjadi


-98-
tersedia dan, barangkali, sangat relevan bagi orang-orang yang tidak pernah mengalaminya. Penunjukan dengan bahasa (yang dalam suatu masyarakat pemburu, dapat kita bayangkan dilakukan dengan cara yang benar-benar sangat terinci dan cermat—umpamanya, “badak jantan, dibunuh seorang diri, dengan dua tangan”, dan sebagainya) mengabstraksikan pengalaman dari kejadian-kejadian biografisnya yang individual. Ia menjadi suatu kemungkinan objektif bagi setiap orang, atau setidak-tidaknya bagi setiap orang dari tipe tertentu (umpamanya, pemburu-pemburu yang sudah diinisiasi sepenuhnya); artinya, ia pada prinsipnya menjadi anonim, juga apabila ia masih diasosiasikan dengan prestasi individu-individu tertentu. Bahkan bagi mereka yang tidak mengantisipasi pengalaman itu dalam biografi mereka di masa mendatang (umpamanya, kaum wanita yang dilarang berburu), hal itu secara tidak langsung bisa menjadi relevan (katakanllah, dalam kaitan dengan suami yang diidam-idamkan); pokoknya ia merupakan bagian dari cadangan pengetahuan bersama. Maka, objektifikasi pengalaman dalam bahasa (artinya, transformasinya ke dalam objek pengatahuan yang tersedia secara umum), memungkinkannya untuk dimasukkan ke dalam suatu himpunan tradisi yang lebih luas melalui pelajaran moral, puisi yang menimbulkan inspirasi, kiasan-kiasan keagamaan dan sebagainya. Baik pengalaman dalam arti yang lebih sempit maupun embel-embelnya berupa pengertian-pengertian yang lebih luas, lalu bisa diajarkan kepada setiap generasi baru, atau malahan disebarkan kepada suatu kolektivitas yang berbeda sama sekali (umpamanya, sebuah masyarakat petani yang mungkin akan memberikan makna-makna yang berlainan sekali kepada seluruh persoalannya).
Bahasa lalu menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif, yang bisa diperoleh secara monotetik; artinya, sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula.[35] Oleh


-99-
karena asal mula yang sesungguhnya dari endapan-endapan itu telah menjadi tidak penting lagi, maka tradisi bisa saja menciptakan suatu asalmula yang berbeda sekali tanpa kemudian menimbulkan ancaman bagi apa yang telah diobjektivasi itu. Dengan kata lain, berbagai legitimasi bisa silih berganti, dan dari waktu ke waktu memberikan makna-makna baru kepada pengalaman-pengalaman yang sudah diendapkan dalam kolektivitas yang bersangkutan. Sejarah masyarakat itu dapat ditafsirkan kembali tanpa harus mengakibatkan kacaunya tatanan kelembagaan. Umpamanya, dalam contoh di atas, membunuh badak dengan tangan kosong itu pada akhirnya mungkin akan dilegitimasi sebagai perbuatan dewa-dewa dan setiap pengulangannya oleh manusia hanya merupakan peniruan prototip mitologisnya saja.
Proses ini menggarisbawahi semua endapan yang sudah diobjektivasi bukan hanya tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan. Ia, umpamanya, dapat mengacu kepada pengalihan tipifikasi orang-orang lain yang tidak relevan secara langsung bagi lembaga-lembaga tertentu. Umpamanya, orang-orang lain ditipifikasi sebagai “jangkung” atau “pendek”, “gemuk” atau “kurus”, “pintar” atau “bodoh”, tanpa adanya suatu implikasi kelembagaan khusus yang dilekatkan kepada tipifikasi-tipifikasi itu. Proses itu tentunya, juga berlaku bagi pengalihan makna-makna yang sudah mengendap dan memenuhi spesifikasi lembaga-lembaga yang sudah ada. Pengalihan makna suatu lembaga didasarkan atas pengakuan sosial atas lembaga itu sebagai suatu pemecahan yang “permanen” bagi suatu masalah “permanen” dari kolektivitas yang bersangkutan. Karena itu, para pelaku potensial dari tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan harus mengenal secara sistematis makna-makna itu. Ini memerlukan suatu proses “pendidikan” tertentu. Makna-makna kelembagaan itu harus ditanamkan kuat-kuat sehingga tak akan terlupakan lagi dalam kesadaran individu. Oleh karena manusia seringkali lembam dan pelupa, maka harus pula ada prosedur-prosedur dengan mana makna-makna itu dapat ditanamkan dan dihafal kembali, jika perlu dengan paksaan dan cara-cara yang umumnya tidak menyenangkan. Selain itu, karena manusia


-100-
itu seringkali bodoh, maka makna-makna kelembagaan cenderung untuk disederhanakan dalam proses pengalihan, sehingga kumpulan “rumus-rumus” kelembagaan yang diberikan itu dengan mudah bisa dipelajari dan dihafakan oleh generasi-generasi berikutnya. Sifat “rumus” dari makna-makna kelembagaan itu menjamin bahwa orang dapat menghafalnya. Di sini, pada tingkat makna-makna yang sudah diendapkan itu, kita menjumpai proses-proses rutinisasi dan peremehan (trivialisasi) yang sama yang telah kita lihat dalam pembahasan tentang pelembagaan. Juga di sini, bentuk yang dikonvensionalkan, dengan mana perbuatan-perbuatan yang heroik dimasukkan dalam tradisi, merupakan satu ilustrasi yang baik.
Makna-makna yang diobjektivasi dari kegiatan kelembagaan dipahami sebagai “pengetahuan” dan dialihkan dalam statusnya seperti itu. Sebagian dari “pengetahuan” ini dianggap relevan bagi semua orang, sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja. Semua pengalihan itu memerlukan semacam aparat sosial. Artinya, beberapa tipe dinamakan pengalih, tipe-tipe lainnya penerima “pengetahuan” tradisional. Sifat spesifik dari aparat ini, tentunya, akan berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lainnya. Juga akan ada prosedur-prosedur yang ditipifikasi bagi pengalihan tradisi dari mereka yang mengetahui kepada mereka yang belum mengetahui. Umpamanya, adat dan pengetahuan tentang berburu dari segi teknik magi dan moralnya, bisa dialihkan oleh paman dari pihak ibu kepada kemenakan yang sudah mencapai usia tertentu, melalui prosedur-prosedur inisiasi yang sudah ditentukan. Tipologi orang-orang yang sudah tahu dan mereka yang belum tahu, seperti halnya dengan “pengetahuan” yang hendak dialihkan di antara mereka, didefinisikan secara sosial; baik “mengetahui” dan “belum mengetahui” mengacu kepada apa yang secara sosial didefinisikan sebagai kenyataan, dan tidak kepada kriteria ekstra-sosial tentang keabsahan kognitif. Secara kasarnya, paman-paman dari pihak ibu mengalihkan cadangan pengetahuan yang khusus ini bukan karena mereka mengetahuinya melainkan mereka mengetahui (artinya, mereka didefinisikan


-101-
sebagai orang-orang yang mengetahui) karena mereka adalah paman dari pihak ibu. Jika seseorang yang secara kelembagaan dinyatakan sebagai paman dari pihak ibu, dan karena alasan-alasan tertentu ternyata tidak mampu mengalihkan pengetahuan yang dimaksudkan, maka ia tidak lagi paman dari pihak ibu dalam arti kata yang sepenuhnya, dan malahan, pengakuan kelembagaan atas statusnya itu bisa dicabut darinya.
Tergantung kepada rentang relevansi sosial dari suatu jenis “pengetahuan” tertentu dan kompleksitas serta arti pentingnya dalam suatu kolektivitas tertentu, maka “pengetahuan” itu mungkin masih harus diperkuat lagi melalui benda-benda simbolik (seperti jimat dan tanda-tanda militer), dan/atau tindakan-tindakan simbolik (seperti ritual keagamaan atau militer). Dengan kata lain, objek-objek fisik dan tindakan-tindakan mungkin diperlukan sebagai teknik membantu ingatan (mnemotechnic). Semua pengalihan makna-makna yang dilembagakan jelas mengimplikasikan prosedur-prosedur itu dilekatkan kepada lembaga-lembaga itu sendiri dan dikelola oleh personil yang mengalihkan makna-makna itu. Kiranya perlu ditekankan kembali di sini bahwa kita tidak boleh mengandaikan adanya konsistensi, apalagi fungsionalitas, yang a priori antara berbagai lembaga dan bentuk-bentuk pengalihan pengetahuan yang berkaitan dengannya. Masalah koherensi logis, pertama-tama, timbul pada tingkat legitimasi (di mana mungkin saja ada konflik atau persaingan antara berbagai legitimasi dan personil pengelolanya), dan kedua, pada tingkat sosialisasi ( dimana mungkin ada kesulitan-kesulitan praktis dalam internalisasi makna-makna kelembagaan yang silih berganti atau saling bersaing). Kembali kepada contoh yang telah kita gunakan sebelumnya, tidak ada alasan a priori mengapa makna-makna kelembagaan yang lahir dalam suatu masyarakat pemburu tidak dapat disebarkan kepada sebuah masyarakat petani. Lebih dari itu, makna-makna itu, bagi pengamat dari luar, mungkin tampaknya memiliki “fungsi” yang meragukan dalam masyarakat yang pertama pada saat penyebarannya dan tidak memiliki “fungsi” sama sekali dalam masyarakat yang kedua. Kesulitan-kesulitasn yang mungkin


-102-
timbul di sini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan praktis para “pendidik” dalam masyarakat yang baru. Para ahli teori harus meyakinkan diri mereka sendiri bahwa seorang dewi pemburu bisa diterima sebagai penghuni pantheon masyarakat petani sedangkan para pendidik menghadapi masalah untuk menjelaskan kegiatan-kegiatan mitologisnya kepada anak-anak yang belum pernah melihat peristiwa berburu. Para ahli teori pemberi legitimasi cenderung untuk mempunyai aspirasi-aspirasi yang logis sedangkan anak-anak cenderung untuk membangkang. Tetapi ini bukan merupakan masalah logika abstrak atau fungsi teknis, melainkan masalah kelihaian di satu pihak, dan sifat mudah percaya di pihak lain—suatu proposisi yang lain sekali.
Peranan
Seperti telah kita lihat, asal mula setiap tatanan kelembagaan terletak dalam tipifikasi kegiatan-kegiatan seseorang dan orang-orang lain. Ini mengandung arti bahwa seseorang mempunyai tujuan-tujuan yang sama dengan orang-orang lain dan terlibat dalam fase-fase kegiatan yang jalin-menjalin dengan mereka, dan, selanjutnya, bahwa tidak hanya tindakan-tindakan yang spesifik yang ditipifikasi itu melainkan juga bentuk-bentuk tindakan. Artinya, yang dikenali itu bukan hanya seorang pelaku tertentu yang melakukan tindakan, tipe X, melainkan tindakan tipe X sebagai tindakan yang dapat dilakukan oleh tiap pelaku yang kepadanya struktur relevansi yang bersangkutan bisa dihubungkan dengan cara yang masuk akal. Sebagai contoh saya melihat ipar laki-laki saya sedang merangket anak saya yang kurang ajar dan memahami bahwa tindakan khusus ini hanya merupakan contoh dari satu bentuk tindakan yang patut dilakukan oleh seorang paman terhadap kemenakannya, dan sesungguhnya merupakan pola yang umum dalam masyarakat matrialkal. Hanya apabila tipifikasi itu berlaku umum maka kejadian ini akan dianggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya, dan ayah si anak secara bijaksana akan meninggalkan tempat itu agar tidak mengganggu pelaksanaan


-103-
kekuasaan seorang paman yang sah terhadap kemenakannya.
Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif, yang pada gilirannya memerlukan suatu objektifikasi linguistik. Artinya harus ada kosa kata yang mengacu kepada bentuk-bentuk tindakan itu (seperti “merangket kemenakan”, yang akan termasuk dalam penstrukturan linguistik yang jauh lebih luas mengenai kekerabatan dengan berbagai hak dan kewajibannya). Maka pada prinsipnya, suatu tindakan dan maknanya dapat dipahami terlepas dari pelaksanaannya dan dari proses-proses subjektif yang berubah-ubah yang berkaitan dengannya. Baik diri sendiri maupun orang lain dapat dipahami sebagai pelaku-pelaku tindakan objektif yang diketahui secara umum, yang dapat berulang dan diulangi oleh setiap pelaku dari tipe yang bersangkutan.
Ini mempunyai berbagai konsekuensi yang sangat penting bagi pengalaman diri. Selama berlangsungnya suatu tindakan, ada suatu identifikasi diri dengan arti objektif dari tindakan itu; tindakan yang sedang berlangsung itu menentukan, untuk saat itu, pemahaman-diri bagi si pelaku, dan itu dilakukannya dalam arti objektif yang secara sosial diberikan kepada tindakan itu. Meskipun akan terus ada suatu kesadaran yang marjinal mengenai badan dan aspek-aspek lainnya dari diri sendiri yang tidak terlibat secara langsung dalam tindakan itu, si pelaku, untuk saat itu, pada pokoknya memahami dirinya dalam identifikasi dengan tindakan yang sudah diobjektivasi secara sosial itu (“Saya sekarang sedang merangket kemenakan saya”—suatu episode yang dianggap sudah sewajarnya dalam rutin kehidupan sehari-hari). Setelah tindakan itu berlangsung ada satu konsekuensi lainnya yang penting, sementara si pelaku merenungkan tindakannya. Sekarang sebagian dari dirinya diobjektifikasi sebagai pelaku tindakan itu, sementara diri secara keseluruhan secara relatif diidentifikasi dari tindakan yang sudah dilakukan itu. Artinya, sekarang orang dapat membayangkan dirinya hanya telah terlibat secara parsial saja dalam tindakan itu (sebab, bagaimanapun, orang dalam contoh kita itu mem-


-104-
punyai aspek-aspek lain selain sebagai orang yang merangket kemenakannya). Tidaklah sulit untuk memahami bahwa sementara objektifikasi-objektifikasi itu berakumulasi (“perangket kemenakan”, “pembantu nafkah saudara perempuan”, “calon prajurit”, “penari hujan yang hebat”, dan seterusnya), satu sektor kesadaran-diri secara keseluruhan telah terbentuk melalui objektifikasi itu. Dengan kata lain, satu segmen dari diri diobjektifikasikan menurut tipifikasi yang sudah tersedia secara sosial. Segmen ini merupakan “diri sosial” (social self) yang sesungguhnya, yang dialami secara subjektif sebagai yang dapat dibedakan dari, dan malahan berhadapan dengan, diri dalam totalitasnya.[36] Fenomen yang penting ini, yang memungkinkan berlangsungnya suatu “percakapan” dalam batin antara berbagai segmen diri, akan dibahas lebih lanjut nanti apabila kita menyelidiki proses dengan mana dunia yang distrukturkan secara sosial diinternalisasi ke dalam kesadaran individu. Untuk sementara waktu, yang penting adalah hubungan fenomen itu dengan tipifikasi perilaku yang tersedia secara objektif.
Ringkasnya, pelaku mengidentifikasi dirinya dengan fipifikasi perilaku in actu yang diobjektivasi secara sosial, tetapi kemudian memulihkan jarak dengannya sementara ia merenungkan perbuatannya itu. Jarak antara pelaku dan tindakannya ini dapat dipertahankan dalam kesadaran dan diproyeksikan kepada pengulangan tindakan itu di masa depan. Dengan cara ini baik diri sendiri maupun orang-orang lain yang bertindak dipahami tidak sebagai individu yang unik, melainkan sebagai tipe-tipe. Sesuai dengan definisinya, tipe-tipe itu bisa dipertukarkan satu sama lain.
Kita sudah bisa berbicara tentang peranan, apabila tipifikasi semacam ini terjadi dalam konteks suatu cadangan pengetahuan yang sudah diobjektifikasi dapat dilihat dan yang umumnya terdapat pada suatu kolektivitas pelaku-pelaku. Peranan adalah tipe-tipe dalam konteks seperti itu.[37] Dapat dilihat dengan mu-


-105-
dah bahwa penyusunan tipologi-tipologi peranan merupakan satu korelat yang perlu dari pelembagaan perilaku. Lembaga-lembaga diwujudkan dalam pengalaman individu melalui peranan. Peranan yang diobjektifikasi melalui bahasa, merupakan ramuan yang esensial dari dunia yang tersedia secara objektif dari tiap masyarakat. Dengan memainkan peranan, individu berpartisipasi dalam suatu dunia sosial. Dengan menginternalisasi peranan itu, dunia tersebut secara objektif menjadi nyata baginya.
Dalam cadangan pengetahuan bersama terdapat berbagai standar atau norma-norma pelaksanaan peranan yang bisa dicapai oleh semua anggota suatu masyarakat, atau setidak-tidaknya oleh mereka yang merupakan pemegang potensial dari peranan yang bersangkutan. Kemungkinan untuk mencapainya itu sendiri sudah merupakan bagian dari cadangan pengetahuan yang sama: tidak hanya norma-norma peranan X diketahui secara umum, tetapi juga diketahui bahwa norma-norma itu diketahui. Karena itu, setiap orang yang dianggap sebagai pelaku peranan X dapat dianggap bertanggunjawab untuk menaati norma-normanya, yang bisa diajarkan sebagai bagian dari tradisi kelembagaan dan digunakan untuk membuktikan kompetensi semua pelaku, dan dengan demikian, berfungsi sebagai pengendali.
Asal mula peranan terletak dalam proses mendasar pembiasaan dan objektivasi yang sama dengan asal mula lembaga-lembaga. Peranan-peranan muncul begitu dimulai proses pembentukan suatu cadangan pengetahuan bersama yang mengandung berbagai tipifikasi perilaku secara timbal balik; suatu proses yang, seperti telah kita lihat, selalu terdapat dalam interaksi sosial dan mendahului pelembagaannya itu sendiri. Pertanyaan tentang peranan yang bagaimana saja yang dilembagakan adalah identik dengan pertanyaan tentang bidang-bidang perilaku yang mana yang dipengaruhi oleh pelembagaan, dan bisa dija-


-106-
wab dengan cara yang sama. Semua perilaku yang sudah dilembagakan melibatkan berbagai peranan. Dengan demikian, semua peranan mempunyai sifat mengendalikan pelembagaan. Begitu pelaku-pelaku sudah titipifikasi sebagai pelaku peranan, maka perilaku mereka karena itu bisa dipaksakan. Maka tidak lagi ada pilihan antara menaati dan tidak menaati norma-norma peranan yang sudah didefinisikan secara sosial, meskipun, tentunya, berat-ringannya sanksi bisa bervariasi dari kasus ke kasus.
Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan.[38] Representasi ini berlangsung pada dua tingkat. Pertama, pelaksanaan peranan merepresentasikan dirinya sendiri. Contohnya, menghakimi adalah representasi peranan hakim. Individu yang menghakimi tidak bertindak “atas nama dirinya sendiri” melainkan sebagai hakim. Kedua, peranan merepresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga. Peranan hakim berkaitan dengan peranan-peranan lain, yang keseluruhannya mencakup lembaga hukum. Hakim bertindak sebagai wakil lembaga ini. Hanya melalui representasi dalam pelaksanaan peran itu maka lembaga dapat memanifestasikan diri dalam pengalaman yang sebenarnya. Lembaga, dengan rangkaian tindakan-tindakannya yang sudah “diprogramkan”, adalah bagaikan libretto suatu drama yang belum ditulis. Perwujudan drama itu tergantung kepada dimainkannya secara berulang-ulang peranan-peranan yang sudah ditetapkan oleh para pelaku yang ada. Para pelaku itu mewujudkan peranan-peranan tersebut dan mengaktualisasikan drama dengan merepresentasikannya di atas panggung yang sudah ditentukan. Baik drama maupun lembaga secara empiris tidak terlepas dari pelaksanaannya yang berulang itu. Maka, mengatakan bahwa peranan merepresentasikan lembaga-lembaga sama dengan mengatakan bahwa peranan memungkinkan lembaga-lembaga untuk mengada secara terus-menerus, sebagai suatu kehadiran yang nyata dalam pengalaman individu-individu yang hidup.


-107-
Lembaga-lembaga juga direpresentasikan dengan cara-cara lain. Objektifikasi-objektifikasi linguistik di dalamnya, mulai dari pemberian tanda verbalnya yang sederhana sampai kepada pemasukannya ke dalam simbolisasi kenyataan yang sangat kompleks, juga merepresentasikan semua itu; artinya, membuatnya hadir dalam pengalaman. Dan mereka bisa direpresentasikan secara simbolis oleh objek-objek fisik, baik yang alami maupun yang artifisial. Namun semua representasi itu menjadi “mati” (artinya, kehilangan kenyataan subjektifnya) kecuali jika mereka secara terus-menerus “dihidupkan” dalam perilaku manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian maka representasi suatu lembaga dalam dan oleh peranan merupakan representasi suatu lembaga dalam dan oleh peranan merupakan representasi par excellence, yang kepadanya semua representasi lainnya tergantung. Sebagai contoh, lembaga hukum, kitab undang-undang, teori-teori hukum dari, akhirnya, oleh berbagai legitimasi yang paling mendasar dari lembaga dan norma-normanya dalam sistem pemikiran etika, agama atau mitologi. Fenomen-fenomen buatan manusia seperti itu sebagai perlengkapan yang sangat mengesankan yang sering menyertai pengelolaan hukum, dan fenomen-enomen buatan manusia seperti itu sebagai perlengkapan yang sangat mengesankan yang sering menyertai pengelolaan hukum, dan fenomen-fenomen alamiah seperti gambaran petir yang bisa dianggap sebagai vonis dewata dalam suatu pengadilan yang menjatuhkan cobaan, dan yang pada akhirnya malahan bisa menjadi simbol keadilan pada tingkat tinggi, merepresentasikan lembaga itu lebih lanjut. Akan tetapi semua representasi itu memperoleh artinya yang terus-menerus, dan malahan sifatnya yang masuk akal, dari penggunaannya dalam perilaku manusia, yang dalam hal ini, dengan sendirinya, adalah perilaku yang ditipifikasi dalam peranan-peranan hukum yang melembaga.
Apabila individu-individu mulai merenungkan soal-soal itu mereka menghadapi masalah untuk mengikat berbagai representasi itu menjadi suatu keseluruhan yang kohesif dan masuk akal.[39] Setiap pelaksanaan peranan yang kongkrit mengacu ke-


-108-
pada arti objektif dari lembaga yang bersangkutan, dan dengan demikian mengacu kepada berbagai pelaksanaan peranan lainnya yang sifatnya melengkapi, dan kepada arti lembaga secara keseluruhan. Sementara masalah integrasi berbagai representasi seperti itu dipecahkan pertama-tama pada tingkat legitimasi, ia juga diusahakan pemecahannya melalui peranan-peranan tertentu. Semua peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan dalam arti seperti yang disebutkan di muka. Akan tetapi beberapa peranan secara simbolis lebih merepresentasikan tatanan itu dalam totalitasnya dibandingkan dengan yang lain-lainnya. Peranan-peranan semacam itu mempunyai arti strategis yang sangat penting dalam suatu masyarakat, karena peranan-peranan itu merepresentasikan tidak hanya lembaga ini atau itu, melainkan mengintegrasikan semua lembaga dalam suatu dunia yang bermakna. Dengan sedirinya, karena itu, peranan-peranan itu membantu memelihara pengintegrasian seperti itu dalam kesadaran dan perilaku anggota masyarakat. Artinya, peranan-peranan itu mempunyai suatu hubungan yang istimewa terhadap aparat legitimasi dari masyarakat itu. Beberapa peranan tidak punya fungsi lain selain merepresentasikan secara simbolik tatanan kelembagaan sebagai satu totalitas yang terintegrasi, sedangkan peranan-peranan lain melakukan fungsi ini hanya sewaktu-waktu saja, disamping fungsi-fungsi yang kurang penting yang mereka lakukan secara rutin. Umpamanya, hakim, kadang-kadang dan dalam suatu perkara yang sangat penting, dapat merepresentasikan integrasi total masyarakat dengan cara itu. Raja berbuat demikian secara terus-menerus dan malahan, dalam suatu monarki konstitusional, mungkin tidak punya fungsi lain selain sebagai “simbol hidup” bagi semua pihak dalam masyarakat, sampai kepada orang biasa. Dari segi sejarah, peranan-peranan itu yang secara simbolis merepresentasikan keseluruhan tatanan kelembagaan itu paling lazim terdapat dalam lembaga-lembaga politik dan keagamaan.[40]
Yang lebih penting bagi pembahasan kita sekarang adalah


-109-
sifat peranan-peranan sebagai perantara (mediator) sektor-sektor tertentu dari cadangan pengetahuan bersama. Berdasarkan peranan yang dimainkannya, individu dimasukkan ke dalam bidang-bidang tertentu dari pengetahuan yang diobjektivasi secara sosial, tidak hanya dalam arti kognitif yang lebih sempit, melainkan juga dalam arti “pengetahuan” tentang norma-norma, nilai-nilai dan malahan emosi. Menjadi hakim jelas melibatkan suatu pengetahuan tentang hukum dan barangkali juga pengetahuan tentang lingkup yang jauh lebih luas dari urusan manusia yang relevan dilihat dari segi hukum. Ia juga melibatkan “pengetahuan” tentang nilai-nilai dan sikap-sikap yang dipandang patut bagi seorang hakim, sampai-sampai mencakup apa yang oleh umum dianggap patut bagi isteri seorang hakim. Hakim jjuga harus mempunyai “pengetahuan” yang memadai dalam bidang emosi: ia, umpamanya, harus tahu kapan ia harus menekan rasa kasihannya, yang merupakan prasyarat psikologis yang bukannya tidak penting bagi peranan ini. Dengan cara lain, setiap peranan membuka pintu masuk ke dalam suatu sektor tertentu dari keseluruhan cadangan pengetahuan dalam masyarakat. Untuk belajar memainkan suatu peran tidak cukup hanya dengan jalan menguasai tugas rutin yang diperlukan secara langsung bagi pelaksanaan “lahiriahnya”. Orang juga harus dituntun untuk menyelami berbagai lapisan kognitif dan bahkan efektif dari perangkat pengetahuan yang secara langsung dan tidak langsung sesuai bagi peranan ini.
Ini mengimplikasikan suatu distribusi pengetahuan dalam masyarakat.[41] Cadangan pengetahuan suatu masyarakat dibangun berdasarkan apa yang relevan secara umum dan apa yang hanya relevan bagi peranan-peranan tertentu. Ini berlaku dalam situasi-situasi sosial yang sangat sederhana sekalipun, seperti contoh kita terdahulu tentang suatu situasi sosial yang laihr dari interaksi yang berlangsung terus-menerus antara seorang pria, seorang wanita biseksual dan seorang lesbian. Dalam situasi ini, ada pengetahuan yang relevan bagi ketiga individu (umpamanya pengetahuan tentang prosedur-prosedur yang diperlukan untuk


-110-
memungkinkan kelompok ini bertahan terus dari segi ekonomi), sedangkan pengetahuan lainnya hanya relevan bagi dua dari ketiga individu itu (tegasnya dalam hal bujuk-rayu menurut cara lesbian atau, di pihak lain, menurut cara heteroseksual). Dengan kata lain, distribusi pengetahuan dalam masyarakat mengakibatkan suatu dikotomi menurut relevansi umum dan relevansi bagi peranan tertentu.
Berdasarkan akumulasi historis dari pengetahuand alam suatu masyarakat kita mengandaikan bahwa, sebagai akibat pembagian kerja, pengetahuan yang berkaitan dengan peranan tertentu akan bertambah dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan pengetahuan yang relevan secara umum dan bisa diperoleh secara umum. bErkembang-biaknya tugas-tugas tertentu yang ditimbulkan oleh pembagian kerja memerlukan adanya pemecahan yang dibakukan yang dapat dengan mudah dipelajari dan dialihkan. Ini, pada gilirannya, memerlukan pengetahuan khusus mengenai situasi-situasi tertentu, dan mengenai hubungan antara cara dan tujuan yang digunakan sebagai dasar pendefinisian berbagai situasi secara sosial. Dengan kata lain, akan muncul spesialis-spesialis, yang masing-masing akan harus mengetahui apa saja yang dianggap perlu bagi pelaksanaan tugasnya yang khusus.
Untuk dapat mengakumulasikan pengetahuan yang berkaitan dengan peranan tertentu, suatu masyarakat harus diorganisasi begitu rupa sehingga individu-individu tertentu dapat memusatkan perhatian kepada keahlian khusus mereka. Jika dalam suatu masyarakat pemburu dikehendaki adanya individu-individu tertentu sebagai ahli pembuat pedang, maka harus ada ketentuan untuk membebaskan mereka dari kegiatan berburu yang diwajibkan bagi semua pria dewasa lainnya. Pengetahuan khusus dari jenis yang lebih sukar untuk dipahami, seperti pengetahuan yang dimiliki para mistagog (mystagogue: pendeta yang memimpin inisiasi ke dalam rahasia-rahasia religius, seperti yang terdapat dalam masyarakat Yunani Purba) dan cendikiawan-cendikiawan lainnya, memerlukan organisasi sosial yang serupa. Dalam semua kasus itu, para spesialis menjadi pengelola sektor-sektor persediaan pengetahuan yang secara sosial


-111-
dipercayakan kepada mereka.
Dalam pada itu satu bagian yang penting dari pengetahuan yang relevan secara umum adalah tipoloti para spesialis. Sementara para spesialis itu didefinisikan sebagai individu-individu yang menguasai keahlian khusus, maka tiap orang harus tahu siapa saja para spesialis itu di saat-saat keahlian mereka itu diperlukan. Orang awam tidak diharapkan untuk mengetahui segala seluk-beluk magi untuk mendatangkan kesuburan atau untuk menyihir dengan tujuan jahat. Tetapi mereka harus tahu, ahli sihir yang mana yang harus diminta bantuannya jika memerlukan satu di antara kedua jasa itu. Dengan demikian maka suatu tipologi tentang para ahli (yang oleh para pekerja sosial sekarang dinamakan satu referral guide; suatu pedoman rujukan) merupakan bagian dari cadangan pengetahuan yang relevan dan bisa diperoleh secara umum; sedangkan pengathuan yang merupakan pengetahuan keahlian, tidak. Kesulitan-kesulitan praktis yang mungkin timbul dalam masyarakat-masyarakat tertentu (umpamanya, jika terdapat kelompok-kelompok ahli yang saling bersaing, atau apabila spesialisasi sudah menjadi begitu rumit sehingga orang awam jadi bingung) masih di luar perhatian kita saat ini.
Maka kita bisa menganalisa hubungan antara peranan-pengetahuan dari sudut pandang. Dilihat dari perspektif tatanan kelembagaan, peranan-peranan itu tampak sebagai representasi dan perantara kelembagaan dari kumpulan-kumpulan pengetahuan yang sudah diobjektivasi secara kelembagaan. Dilihat dari perspektif beberapa peranan, tiap peranan membawa serta suatu embel-embel atau tambahan pengetahuan yang didefinisikan secara sosial. Sudah tentu kedua perspektif itu menunjuk kepada fenomen global yang sama, yang merupakan dialektika esensial masyarakat. Persektif yang pertama dapat diringkaskan dalam proposisi bahwa masyarakat hanya mengada sejauh individu-individu menyadarinya, yang kedua dalam proposisi bahwa kesadaran individu ditentukan secara sosial. Dengan mempersecara sosial. Dengan mempersempit persoalannya kepada peranan-peranan, kita dapat mengatakan bahwa, di satu pihak, tatanan kelembagaan hanya nyata sejauh ia diwujudkan dalam peranan-peranan yang dilakukan dan bah-


-112-
wa, di pihak lain, peranan-peranan merepresentasikan suatu tatanan kelembagaan yang mendefinisikan sifat-sifat mereka (termasuk pengetahuan tambahan) dari mana mereka memperoleh arti yang objektif.
Analisa peranan terutama penting bagi sosiologi pengetahuan karena ia menyingkapkan perantaraan (mediasi) antara universum makna makroskopik yang diobjektivasi dalam suatu masyarakat dan cara-cara yang dengannya universum-universum itu menjadi nyata secara subjektif bagi individu-individu. Dengan demikian maka kita dapat, umpamanya, menganalisa akar-akar sosial yang makroskopik dari suatu pandangan dunia yang religius dalam kolektivitas-kolektivitas tertentu (katakanlah kelas, atau golongan etnik, atau kumpulan cendikiawan), dan juga menganalisa caranya pandangan dunia ini dimanifestasikan dalam kesadaran individu. Kedua analisa itu hanya dapat dipersatukan jika kita menyelidiki cara-cara dengan mana individu—dalam keseluruhan kegiatan sosialnya—berhubungan dengan kolektivitas yang bersangkutan. Dengan sendirinya, penyelidikan seperti itu akan merupakan analisa tentang peranan.[42]
Lingkup dan Cara-cara Pelembagaan
Hingga di sini kita telah membahas pelembagaan (institusionalisasi) dari segi ciri-ciri esensial yang bisa dianggap sebagai konstanta-konstanta sosiologis. Kiranya jelas bahwa di dalam buku ini kami tidak dapat memberikan suatu tinjauan umum tentang berbagai variasi yang tak terbilang banyaknya dalam manifestasi dan kombinasi konstanta-konstanta itu dalam sejarah—suatu tugas yang hanya bisa dilakukan dalam suatu tulisan sejarah universal dari sudut pandang teori sosiologi. Namun demikian, dari segi historis ada sejumlah variasi dalam sifat lembaga yang begitu penting bagi analisa sosiologis yang kongkrit sehingga variasi-variasi itu perlu dibahas, setidak-tidaknya secara


-113-
singkat. Fokus kita, tentunya, akan tetap ditujukan kepada hubungan antara lembaga dan pengetahuan.
Dalam menyelidiki setiap tatanan kelembagaan yang kongkrit, kita dapat mengajukan pertanyaan berikut; sampai di manakah lingkup pelembagaan dalam keseluruhan tindakan-tindakan sosial dalam suatu kolektivitas tertentu? Dengan kata lain, berapa luasnya sektor kegiatan yang dilembagakan dibandingkan dengan sektor yang tidak dilembagakan?[43] Jelas bahwa dalam soal ini terdapat keragaman historis, di mana berbagai masyarakat memberikan lingkup yang luas atau sempit kepada tindakan-tindakan yang tidak dilembagakan. Satu soal umum yang penting untuk dibahas adalah faktor-faktor apa yang menentukan lingkup yang lebih luas atau yang lebih sempit bagi pelembagaan itu.
Secara sangat formal, lingkup pelembagaan tergantung kepada sifat umum dari struktur-struktur relevansinya. Jika banyak, atau bagian terbesar, dari struktur-struktur relevansi dalam suatu masyarakat secara umum dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan luas. Jika hanya sedikit saja struktur relevansi yang dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan sempit. Dalam hal yang disebut belakangan itu ada kemungkinan lebih lanjut bahwa tatanan kelembagaannya akan sangat terpecah-pecah (terfragmentasi), di mana struktur-struktur relevansi tertentu dimiliki oleh golongan-golongan tertentu dalam masyarakat tetapi tidak oleh masyarakat itu secara keseluruhan.
Kiranya di sini secara heuristik akan berguna untuk memikirkan tipe-tipe ideal yang ekstrim. Kita dapat membayangkan suatu masyarakat di mana pelembagaannya total. Dalam masyarakat seperti itu, semua masalah merupakan masalah bersama, semua pemecahan bagi masalah-masalah itu diobjektivasi secara sosial dan semua tindakan sosial dilembagakan. Tatanan kelembagaan mencakup keseluruhan kehidupan sosial, yang mirip


-114-
dengan penyelenggaranaan secara terus-menerus dari suatu liturgi yang kompleks dan sangat konvensional. Di sana tidak ada atau hampir tidak ada distribusi pengetahuan berdasarkan peranan-peranan yang spesifik, karena semua peranan dilakukan di dalam situasi yang mempunyai relevansi yang sama bagi semua pelakunya. Model heuristik mengenai suatu masyarakat yang dilembagakan secara total ini (yang, secara sambil lalu, kiranya dapat dikemukakan sebagai satu bahan yang cocok bagi mimpi buruk) dapat diubah sedikit dengan membayangkan bahwa semua tindakan sosial dilembagakan, tetapi tidak hanya sekitar masalah-masalah bersama saja. Sementara gaya hidup yang akan didiktekan oleh masyarakat seperti itu kepada para anggotanya akan sama kakunya, namun akan ada tingkat distribusi yang lebih tinggi dari pengetahuan berdasarkan peranan-peranan tertentu. Jadi dapat diumpamakan bahwa ada sejumlah liturgi yang berlangsung pada waktu yang bersamaan. Tak perlu dikatakan, bahwa baik model pelembagaan yang total maupun modifikasinya tidak akan dijumpai dalam sejarah. Akan tetapi, masyarakat yang benar-benar ada bisa ditinjau dari segi sejauh mana masyarakat itu mendekati tipe ekstrim ini. Dengan cara itu kita bisa mengatakan bahwa masyarakat-masyarakat primitif jauh lebih mendekati tipe itu dibandingkan dengan masyarakat yang sudah berperadaban.[44] Malah bisa dikatakan bahwa dalam perkembangan peradaban-peradaban purba terdapat suatu pergeseran yang semakin menjauhi tipe ini.[45]
Ekstrim lawannya adalah masyarakat di mana hanya ada satu saja masalah bersama, dan pelembagaan hanya terjadi dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan masalah ini. Dalam


-115-
masyarakat seperti itu hampir tidak ada cadangan pengetahuan bersama. Hampir semua pengetahuan bersifat khusus berdasarkan peranan. Dari segi masyarakat makroskopis, bahkan dalam sejarah tidak ada yang dapat mendekati tipe ini. Tapi kita bisa menjumpai bentuk-bentuk masyarakat yang kecil yang sampai tingkat tertentu mendekati tipe itu—umpamanya, dalam koloni-koloni yang menganut pengaturan-pengaturan ekonomi saja, atau dalam ekspedisi-ekspedisi militer yang terdiri dari sejumlah satuan kesukuan atau etnis, sedang masalah bersamanya hanyalah untuk berperang.
Terlepas dari efeknya yang merangsang lamunan sosiologis, khayalan-khayalan heuristik seperti itu hanya ermanfaat sejauh khayalan itu dapat membantu menjelaskan kondisi-kondisi yang mendorong sesuatu masyarakat untuk mendekati keadaan seperti itu. Kondisi yang paling umum adalah tingkat pembagian kerja yang disertai diferensiasi lembaga.[46] Setiap masyarakat dengan pembagian kerja yang semakin meningkat akan bergeser menjauhi tipe ekstrim yang pertama yang dilukiskan di atas. Satu kondisi umum lainnya, yang berkaitan erat dengan kondisi yang pertama, adalah adanya suatu surplus ekonomi, yang memungkinkan individu-individu atau golongan tertentu untuk melakukan kegiatan khusus, yang tidak secara langsung berhubungan dengan usaha mencari nafkah hidup.[47] Kegiatan-kegiatan terspesialisasi ini, sebagaimana telah kita lihat, mengakibatkan adanya spesialisasi dan segmentasi dalam cadangan pengetahuan bersama. Dan yang belakangan ini memungkinkan pengetahuan untuk dilepaskan secara subjektif dari setiap relevansi sosial; artinya untuk menjadi “teori murni”.[48] Ini berarti bahwa individu-individu tertentu (untuk kembali kepada contoh yang telah


-116-
disebutkan diatas) dibebaskan dari kegiatan berburu, tidak hanya untuk membuat senjata melainkan juga untuk memproduksi mitos-mitos. Dengan demikian lahirlah “kehidupan teoritis”, dengan perangkat-perankat pengetahuan khususnya yang berkembang biak dengan subur, yang dikelola oleh spesialisasi-spesialisasi yang prestise sosialnya sebenarnya mungkin tergantung kepada ketidak mampuan mereka untuk melakukan sesuatu kecuali berteori—yang menimbulkan sejumlah masalah analitis yang akan kita bahas lebih lanjut nanti.
Namun demikian, pelembagaan bukanlah suatu proses yang tidak bisa dibalik, walaupun dalam kenyataannya lembaga-lembaga, begitu sudah terbentuk, mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus.[49] Karena berbagai sebab historis lingkup tindakan-tindakan yang sudah dilembagakan mungkin saja menciut; pembongkaran lembaga (deinstitutionalization) bisa terjadi dalam bidang-bidang tertentu kehidupan sosial.[50] Sebagai contoh, bidang prive yang muncul dalam masyarakat industri modern telah mengalami tingkat pembongkaran yang sangat tinggi dibandingkan dengan bidang umum.[51]
Satu pertanyaan lainnya, yang berkaitan dengan keanekaragaman kelembagaan dari segi historis, adalah: Bagaimana hubungan berbagai lembaga satu sama lain, pada tingkat pelaksanaan dan makna?[52] Dalam tipe ekstrim yang pertama seperti yang


-117-
telah kita bahas di atas, terdapat satu kesatuan antara pelaksanaan kelembagaan dan makna-makna kelembagaan dalam tiap biografi subjektif.
Keseluruhan cadangan pengetahuan masyarakat diaktualisasikan dalam tiap biografi individu. Setiap orang melakukan segala sesuatunya dan mengetahui segala sesuatunya. Masalah pengintegrasian makna-makna (artinya, hubungan-hubungan yang bermakna diantara berbagai lembaga) merupakan masalah subjektif semata-mata. Arti objektif dari tatanan kelembagaan menghadirkan dirinya sendiri kepada tiap individu sebagai hal yang sudah diberikan dan sudah disepakati secara sosial.
Dengan semakin besarnya penyimpangan dari model heuristik ini (artinya, pada semua masyarakat yang benar-benar ada, meskipun tidak pada tingkat yang sama) akan terjadi berbagai modifikasi penting dalam menerima makna-makna kelembagaan sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya. Dua diantaranya telah kami tunjukkan: suatu segmentasi dari tatanan kelembagaan, di mana hanya tipe-tipe individu tertentu saja melakukan tindakan-tindakan tertentu, dan, sebagai akibatnya, terdapat suatu distribusi pengetahuan dalam masyarakat di mana pengetahuan yang khusus berdasarkan peranan hanya tersedia bagi tipe-tipe orang tertentu saja. Tetapi dengan perkembangan-perkembangan itu muncul suatu konfigurasi baru pada tingkat


-118-
makna. Sekarang akan ada suatu masalah yang objektif mengenai pengintegrasian makna-makna secara keseluruhan dalam masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini berlainan sekali dengan masalah yang hanya bersifat subjektif yang menyangkut penyelarasan arti yang diberikan oleh seseorang kepada biografinya, dengan arti yang diberikan kepadanya oleh masyarakat. Perbedaannya sama besarnya dengan perbedaan antara membuat propaganda yang akan meyakinkan orang lain dan menulis riwayat hidup yang akan meyakinkan si penulisnya sendiri.
Dalam contoh kita mengenai hubungan segitiga antara seorang pria—seorang wanita—seorang lesbian, kami telah menunjukkan secara panjang lebah bahwa tidak bisa diasumsikan a priori bahwa proses-proses pelembagaan yang berbeda akan “tetap bersatu”. Struktur relevansi yang terdapat antara yang pria dan yang wanita (A-B) tidak harus terintegrasi dengan struktur relevansi yang terdapat antara si wanita dan si lesbian (B-B), atau dengan yang terdapat antara yang lesbian dan yang pria (C-A). proses-proses kelembagaan yang berbeda satu sama lain dapat terus berdampingan tanpa adanya integrasi yang menyeluruh. Kami kemudian mengemukakan pendapat bahwa fakta empiris yang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga memang bersatu, walaupun kita tidak bisa mengasumsikan hal itu a priori, bisa dijelaskan hanya dengan mengacu kepada kesadaran reflektif individu-individu yang menerapkan suatu logika tertentu terhadap pengalaman mereka mengenai berbagai lembaga itu. Sekarang kami dapat maju selangkah lagi dengan argumen ini dengan mengasumsikan bahwa satu di antara ketiga orang dalam contoh kami itu (katakanlah yang pria, A) menjadi tidak puas karena ketiadaan simetri dalam situasi mereka. Ini tidak berarti bahwa hubungan yang berlaku baginya (A-B dan C-A) telah berubah. Yang terjadi adalah bahwa yang sekarang mengganggu pikirannya adalah hubungan di mana ia tidak ikut serta (B-C). bolehjadi hal ini sekarang dirasakan sebagai mengganggu kepentingannya sendiri (C menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bermesraan dengan B dan mengabaikan kegiatan merangkai bunga yang biasa dilakukannya bersama


-119-
dengan A), atau bolehjadi pula ia mempunyai ambisi-ambisi teoritis. Bagaimanapun, ia ingin menyatukan ketiga hubungan yang berlainan itu, serta proses-proses pembiasaan yang menyertainya, ke dalam suatu keseluruhan yang kohesif dan bermakna: A-B-C. bagaimana ia dapat melakukannya?
Mari kita bayangkan ia sebagai seorang jenius dalam soal keagamaan. Satu hari ia memperkenalkan kedua orang lainnya dengan sebuah mitologi baru. Dunia ini diciptakan dalam dua tahap; daratan yang kering diciptakan oleh dewa pencipta dengan jalan bersenggama dengan saudara permpuannya, sedangkan laut diciptakan dalam satu perbuatan masturbasi timbal-balik antara yang disebut belakangan ini dengan seorang dewi lain yang merupakan saudara kembarnya. Dan setelah dunia tercipta, dewa itu bergabung dengan dewi yang saudara kembar itu dalam tarian bunga yang agung dan dengan cara ini terciptalah tumbuh-tumbuhan dan hewan di permukaan daratan yang kering itu. Dengan demikian maka hubungan segitiga yang berlaku antara heteroseksualitas, lesbianisme dan merawat bunga adalah tidak lain daripada perbuatan manusia yang meniru perbuatan-perbuatan para dewa sebagai pola dasarnya. Boleh juga, bukan? Pembaca yang mempunyai pengetahuan sekedarnya tentang mitologi komparatif tidak akan merasa sulit untuk menemukan dalam sejarah berbagai keserupaan dengan sketsa kosmogonis tadi. Mungkin saja pria kita itu akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk meyakinkan kedua orang lainnya mengenai teorinya itu. Ia akan menghadapi masalah propaganda. Tetapi apabila kita mengandaikan bahwa B dan C juga mempunyai kesulitan-kesulitan praktis dalam meneruskan berbagai proyek mereka, atau (yang lebih kecil kemungkinan) bahwa mereka akan terkesan oleh visi A mengenai kosmos, maka ada peluang baik bahwa ia akan berhasil dengan rencananya itu. Begitu ia berhasil dan ketiga orang sekarang “tahu” bahwa tindakan-tindakan mereka yang berbeda-beda itu merupakan usaha bersama untuk menciptakan masyarakat yang diidam-idamkan (dalam hal ini A-B-C), maka “pengetahuan” ini akan mempengaruhi apa yang terjadi di sana. Umpamanya saja, C mungkin akan lebih bersedia membagi-bagi waktunya dengan cara yang


-120-
adil di antara kedua bidang kegiatan yang utama.
Jika perluasan contoh kita ini kelihatannya terlalu dibuat-buat, kita dapat membuatnya lebih masuk akal dengan membayangkan adanya suatu proses sekularisasi dalam kesadaran si jenius keagamaan kita. Mitologi tampaknya sekarang tidak lagi masuk akal. Situasinya harus dijelaskan dengan ilmu sosial. Ini tentunya, sangat mudah. Sudah jelas kiranya (artinya, bagi si jenius keagamaan kita yang sekarang menjadi ilmuwan sosial itu) bahwa kedua macam kegiatan yang berlangsung dalam situasi itu mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan prikologis yang mendalam dari para partisipannya. Ia “tahu” bahwa menolak kebutuhan-kebutuhan itu akan menimbulkan berbagai ketegangan yang “disfungsional”. Di pihak lain, kenyataannya adalah bahwa ketiga orang itu menukarkan bunga mereka dengan kelapa di ujung lain pulau mereka. Itulah yang menentukan. Pola-pola perilaku A-B dan B-C adalah fungsional dari segi “sistem kepribadian” (personality system), sementara C-A adalah fungsional dari segi sektor ekonomi dari “sistem sosial”. A-B-C adalah tidak lain dari hasil rasional dari integrasi fungsional pada tingkat antarsistem. Lagi pula, jika A berhasil dalam mempropagandakan teori ini kepada kedua wanita itu, “pengetahuan” mereka mengenai keharusan-keharusan fungsional yang berlaku dalam situasi mereka akan mempunyai berbagai konsekuensi yang sifatnya mengendalikan perilaku mereka.
Mutatis mutandis, argumen itu juga berlaku jika kita memindahkannya dari situasi tatap muka yang indah dalam contoh kita itu ke tingkat makrososial. Segmentasi tatanan kelembagaan dan distribusi pengetahuan yang menyertainya akan menimbulkan masalah pemberian makna-makna integratif yang mencakup seluruh masyarakat, dan memberikan suatu konteks arti objektif yang menyeluruh bagi pengalaman dan pengetahuan sosial individu yang terkeping-keping itu. Selain itu, tidak hanya akan timbul masalah integrasi bermakna yang menyeluruh, tetapi juga masalah legitimasi kegiatan kelembagaan dari satu tipe pelaku terhadap tipe-tipe lainnya. Kita dapat mengandaikan bahwa ada suatu universum makna yang memberikan


-121-
arti objektif kepada kegiatan para prajurit, petani, pedagang dan dukun. Ini tidak berarti bahwa tidak ada konflik kepentingan di antara tipe-tipe pelaku ini. Bahkan di dalam universum makna bersama sekalipun, para dukun mungkin saja mempunyai masalah untuk “menjelaskan” beberapa di antara kegiatan mereka kepada para prajurit, dan seterusnya. Dalam hal ini pun cara-cara legitimasinya sangat bervariasi sepanjang sejarah.[53]
Satu konsekuensi lainnya dari segmentasi kelembagaan itu adalah kemungkinan bagi adanya berbagai subuniversum makna yang secara sosial terpisah satu sama lain. Ini merupakan hasil dari pemberian tekanan kepada spesialisasi peranan sampai ke satu tingkat di mana pengetahuan khusus berdasarkan peranan menjadi sama sekali esoteris dibandingkan dengan cadangan pengetahuan yang umum. Subuniversum makna seperti itu mungkin, atau mungkin juga tidak, tersembunyi dari pandangan umum. Dalam kasus-kasus tertentu, tidak hanya isi kognitif dari subuniversum itu sendiri serta kolektivitas yang mendukungnya mungkin merupakan rahasia. Subuniversum makna mungkin dibangun secara sosial oleh berbagai kriteria—jenis kelamin, usia, pekerjaan, kecenderungan religius, estetis, dan sebagainya. Dengan sendirinya, peluang bagi munculnya subuniversum bertambah besar secara mantap dengan semakin berkembangnya pembagian kerja dan surplus ekonomi. Dalam suatu masyarakat dengan perekonomian subsisten, bisa terdapat pemisahan kognitif antara pria dan wanita, atau antara prajurit tua dan prajurit muda, seperti yang terdapat dalam “perkumpulan rahasia” yang lazim di Afrika dan di kalangan orang Indian Amerika,. Masyarakat seperti itu agaknya memungkinkan sejumlah pendeta dan tukang sihir untuk hidup secara esoteris. Subuniversum makna yang sudah berkembang sepenuhnya, seperti yang menjadi ciri dari, umpamanya, kasta-kasta Hindu, kaum mandarin di Cina atau kelompok-kelompok pendeta di Mesir Purba, menun-


-122-
tut adanya pemecahan masalah ekonomi dengan cara-cara yang lebih maju.
Seperti semua bangunan makna sosial, subuniversum itu harus “diemban” oleh suatu kolektivitas khusus,[54] artinya, oleh kelompok yang secara terus menerus memproduksi makna-makna yang bersangkutan dan yang di dalamnya makna-makna itu mempunyai kenyataan objektif. Konflik atau persaingan bisa terjadi di antara kelompok-kelompok itu. Pada tingkat yang paling sederhana, mungkin ada konflik mengenai pengalokasian sumber-sumber daya surplus kepada para spesialis tersebut. Umpamanya saja, mengenai pembebasan mereka dari kerja produksi. Siapa yang akan dibebaskan secara resmi, semua dukun, atau hanya mereka yang memberikan jasanya kepada rumah tangga kepala suku? Atau, siapa yang akan menerima tunjangan tetap dari pihak berwajib; mereka yang menyembuhkan orang sakit dengan jamu-jamuan atau mereka yang melakukannya dengan jalan kesurupan? Konflik-konflik sosial seperti itu dengan mudah diterjemahkan ke dalam konflik antara aliran-aliran pemikiran yang bersaingan, yang masing-masing berusaha memapankan diri dan mendiskreditkan, jika tidak menyingkirkan, keseluruhan perangkat pengetahuan yang menjadi saingannya. Dalam masyarakat dewasa ini, kita masih terus menjumpai konflik-konflik semacam itu (baik yang bersifat sosio-ekonomis maupun yang kognitif) antara ilmu kedokteran yang ortodoks dan saingan-saingannya seperti chiropractice (cara pengobatan dengan memanipulasi sendi-sendi tulang, terutama tulang punggung), homeopathy (cara pengobatan dengan memberikan obat dalam dosis kecil yang dalam keadaan sehat akan menimbulkan gejala yang serupa dengan gejala penyakit yang sedang diobati) atau Christian science (agama dan sistem pengobatan yang didirikan oleh Mary Baker Eddy dalam 1866). Dalam masarakat-masyarakat negara industri yang sudah maju,


-123-
dengan surplus ekonomi yang sangat besar, yang memungkinkan individu dalams jumlah-jumlah besar mengabdikan seluruh waktu mereka kepada kegiatan-kegiatan yang paling kabur sekalipun persaingan majemuk di antara berbagai subuniversum makna dari segala macam yang bisa dibayangkan menjadi suatu keadaan yang normal.[55]
Dengan sudah adanya berbagai subuniversum makna, muncullah beraneka ragam perspektif mengenai masyarakat secara keseluruhan, yang masing-masing memandang masyarakat keseluruhan dari satu sudut pandang subuniversum saja. Orang yang melakukan chiropractice mempunyai sudut pandang atas masyarakat yang berbeda dengan sudut pandang gurubesar sekolah kedokteran; sudut pandang penyair berbeda dengan sudut pandang pengusaha, sudut pandang orang Yahudi berbeda dengan sudut pandang bukan-Yahudi, dan begitu seterusnya. Dengan sendirinya keanekaragaman perspektif itu sangat mempersulit masalah pembentukan suatu naungan simbolik yang mantap bagi seluruh masyarakat. Tiap perspektif, apa pun teori-teori atau malahan Weltanschauung yang terpaut dengannya, akan berkaitan dengan berbagai kepentingans osial yang kongkrit dari golongan yang menganutnya. Namun ini tidak berarti bahwa aneka ragam perspektif itu, apalagi teori-teori atau weltanschauung-nya, hanya sekedar merupakan pantulan mekanis dari kepentingan sosial. Terutama pada tingkat teoritis, mungkin sekali bagi pengetahuan untuk mencapai tingkat keterlepasan yang besar sekali dari kepentingan biografis dan sosial orang yang mengetahuinya. Dengan demikian, mungkin saja ada alasan-alasan sosial yang nyata, mengapa orang-orang Yahudi menyibukkan diri dengan kegiatan ilmiah tertentu, tapi tidaklah mungkin untuk meramalkan sikap keilmuan seseorang berdasarkan kenyataan bahwa ia orang Yahudi atau bukan-Yahudi. Dengan ka-


-124-
ta lain, universum makna keilmuan mampu mencapai tingkat otonomi yang besar terhadap landasan sosialnya sendiri. Secara teoritis, walaupun dalam prakteknya akan terdapat banyak variasi, hal ini berlaku bagi tiap perangkat pengetahuan bahkan yang mempunyai perspektif kognitif tentang masyarakat.
Lebih dari itu, suatu perangkat pengetahuan apabila sudah dinaikkan ke tingkat subuniversum makna yang relatif otonom, mempunyai kemampuan untuk berbalik mempengaruhi kolektivitas yang telah menghasilkannya. Sebagai contoh, orang Yahudi mungkin menjadi ilmuwan-ilmuwan sosial, karena mereka mempunyai masalah-masalah khusus dalam masyarakat sebagai orang Yahudi. Tetapi setelah mereka mengenal universum wacana ilmu ilmiah-sosial, mereka mungkin tidak hanya akan memandang masyarakat dari suatu sudut yang tidak lagi khas Yahudi, akan tetapi bahkan kegiatan-kegiatan sosial mereka sebagai orang Yahudi mungkin akan berubah sebagai akibat diperolehnya perspektif sosial-ilmiah yang baru mereka peroleh itu. Sampai sejauh mana pengetahuan bisa terlepas dari asal-usul eksistensialnya seperti itu, tergantung kepada sejumlah besar variabel historis (seperti urgensi kepentingan sosial di dalamnya, tingkat kehalusan teoritis dari pengetahuan yang bersangkutan, ada atau tidak adanya relevansi sosial pengetahuan itu dan lain-lainnya). Prinsip yang penting bagi pertimbangan umum kita adalah bahwa hubungan antara pengatahuan dan landasan sosialnya merupakan suatu hubungan yang dialektis; artinya, pengetahuan merupakan produk sosial dan pengetahuan merupakan faktor sosial dalam perubahan sosial.[56] Prinsip dialektis ini antara


-125-
produksi sosial dan produknya berupa dunia yang diobjetivasi sudah kami jelaskan; ini sangat penting untuk diingat dalam setiap analisa mengenai subuniversum makna yang kongkrit.
Semakin banyaknya dan semakin kompleksnya subuniversum itu menyebabkan mereka semakin sulit dimasuki oleh orang luar. Mereka menjadi wilayah kantong (enclave) esoteris, “tertutup secara hermetis” (dalam arti yang secra klasik diasosiasikan dengan corpus pengetahuan rahasia dewa Hermes) bagi setiap orang kecuali mereka yang telah diinisiasi sebagaimana mestinya ke dalam rahasia-rahasianya. Semakin besar otonomi subuniversum itu menimbulkan masalah-masalah khusus mengenai legitimasinya terhadap orang luar maupun orang dalam. Orang luar harus dilarang masuk, bahkan kadang-kadang dibiarkan tidak tahu tentang eksistensi-eksistensi subuniversum itu. Tetapi jika mereka tidak begitu bodoh, dan jika subuniversum membutuhkan pelbagai privilesi dan pengakuan khusus dari masyarakat luas, akan timbul masalah untuk menutup diri terhadap orang luar dan sementara itu mengusahakan agar mereka mengakui legitimasi prosedur ini. Hal itu dilakukan melalui pelbagai teknik intimidasi, propaganda yang rasional dan yang tidak rasional (yang ditujukan kepada kepentingan-kepentingan dan emosi mereka), mistifikasi dan, pada umumnya, manupulasi simbol-simbol prestise. Sebaliknya, orang dalam harus diusahakan agar tetap berada di dalam ini memerlukan dikembangkannya prosedur-prosedur praktis maupun teoritis untuk melawan berbagai godaan untuk keluar dari subuniversum. Nanti kita akan membahas beberapa rincian dari masalah ganda mengenai legiti-


-126-
masi itu. Untuk sementara waktu, kiranya cukup dikemukakan satu ilustrasi saja. Tidaklah cukup untuk hanya membangun sebuah subuniversum kedokteran yang esoteris. Khalayak awam perlu diyakinkan bahwa tindakan itu benar dan bermanfaat, dan bahwa anggota-anggota dunia kedokteran harus dipertahankan sesuai dengan norma-norma subuniversum itu. Dengan demikian, penduduk awam diintimidasi dengan gambaran-gambaran tentang malapetaka fisik yang akan terjadi jika “nasihat dokter tidak dihiraukan”; khalayak dibujuk untuk tidak berbuat demikian dengan jalan memberitahu mereka akan manfaat-manfaat pragmatis yang akan mereka peroleh jika menurut, dan oleh karena mereka sendiri merasa takut terhadap penyakit dan kematian. Untuk menggarisbawahi otoritasnya, profesi kedokteran menyelimuti diri dengan simbol-simbol kekuasaan dan misteri yang turun-menurun, mulai dari pakaian yang asing sampai pada bahasa yang tak bisa dimengerti, yang kesemuanya, tentunya, dilegitimasikan terhadap khalayak dan diri sendiri dengan cara-cara pragmatis. Sementara itu, warga dunia medis yang sudah memperoleh pengakuan penuh dijauhkan dari “perdukunan” (artinya, jangan sampai keluar dari batas-batas subuniversum medis baik dalam pikiran maupun dalam tindakan), tidak hanya melalui kendali-kendali lahiriah yang ampuh yang tersedia bagi profesi itu, akan tetapi juga melalui suatu perangkat pengetahuan profesional yang memberikan kepada mereka “bukti-bukti keilmuan” bahwa penyimpangan seperti itu tidak hanya merupakan perbuatan bodoh melainkan juga dosa. Dengan kata lain, terdapat suath peralatan legitimasi yang lengkap yang bekerja begitu rupa sehingga orang awam akan tetap awam, dan dokter tetap dokter, dan (jika mungkin) kedua pihak akan merasa puas dengan keadaan itu.
Masalah-masalah khusus timbul sebagai akibat adanya perbedaan dalam laju perubahan di antara lembaga-lembaga dan subuniversum.[57] Ini mempersulit legitimasi tatanan kelembagaan se-


-127-
cara keseluruhan maupun legitimasi lembaga-lembaga atau subuniversum tertentu. Suatu masyarakat yang masih feodal dengan tentara yang sudah modern, suatu aristokrasi tuan tanah yang harus hidup di bawah kondisi kapitalisme industri, sebuah agama tradisional yang harus menghadapi masalah popularisasi suatu pandangan dunia yang ilmiah, koeksistensi antara teori relativitas dan astrologi dalam suatu masyarakat—pengalaman zaman kita sekarang ini begitu penuh dengan contoh-contoh semacam ini sehingga tidak perlu lagi soal ini dibahas lebih mendalam. Cukup kiranya jika dikatakan bahwa dalam kondisi-kondisi seperti itu, pekerjaan berbagai pembuat legitimasi menjadi sangat sulit.
Suatu pertanyaan terakhir yang mempunyai arti teoritis penting, yang timbul dari keanekaragaman pelembagaan sepanjang sejarah, berkaitan dengan caranya tatanan kelembagaan diobjektifikasi: sampai sejauh mana suatu tatanan kelembagaan, atau suatu bagian darinya, dipahami sebagai suatu faktisitas bukan manusiawi (non-human)? Ini merupakan soal reifikasi kenyataan sosial.[58]


-128-
Reifikasi adalah pemahaman atas fenomen-fenomen manusiawi seolah-olah semua itu benda (things), dalam arti bukan—manusiawi atau mungkin adi-manusiawi (suprahuman). Dengan kata lain, reifikasi adalah pemahaman produk-produk kegiatan manusia dengan cara seolah-olah hal-hal itu bukan produk manusia—seperti fakta-fakta alam, akibat-akibat kosmis, atau manifestasi kehendak ilahi. Reifikasi mengimplikasikan bahwa manusia mampu melupakan kenyataan bahwa ia sendirilah yang telah menghasilkan dunia manusiawi dan, selanjutnya, bahwa dialektika antara manusia, yang memproduksi, dan produknya sudah hilang dalam kesadaran. Sebagai definisi, dunia yang direifikasi adalah dunia yang tidak manusiawi lagi. Ia dialami oleh manusia sebagai suatu faktisitas yang asing, suatu opus elienum (karya asing) yang berada di luar kendalinya dan bukan sebagai opus proprium (karya sendiri) dari kegiatan produksinya sendiri.
Sudah jelas kiranya dari pembahasan kita yang terdahulu mengenai objektivasi, bahwa begitu sebuah dunia sosial yang objektif sudah tercipta, maka kemungkinan reifikasi tidak akan pernah jauh darinya.[59] Objektivitas dunia sosial berarti bahwa ia dihadapi oleh manusia sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. pErtanyaan yang menentukan adalah: apakah ia masih tetap sadar bahwa, bagaimanapun diobjektivasi, dunia sosial adalah buatan manusia—dan, oleh karena itu, bisa diberi bentuk baru olehnya. Dengan kata lain, reifikasi bisa dilukiskan sebagai suatu langkah ekstrim dalam proses objektivasi, di mana


-129-
dunia yang diobjektivasi kehilangan sifatnya untuk bisa dipahami sebagai suatu kegiatan manusia dan dipahami sebagai suatu faktisitas yang beku, bukan manusiawi dan tidak dapat dimanusiawikan.[60] Yang khas adalah bahwa hubungan yang sesungguhnya antara manusia dan dunianya menjadi terbalik dalam kesadarannya. Manusia, produsen suatu dunia, dipahami sebagai suatu epifenomen dari proses-proses yang bukan manusiawi. Makna-makna manusiawi tidak lagi dimengerti sebagai yang menghasilkan dunia melainkans ebagai produk “alam benda-benda”. Perlu ditandaskan bahwa reifikasi merupakan suatu modalitas dari kesadaran; lebih tepat lagi, suatu modalitas dari objektifikasi dunia manusiawi oleh manusia. Bahkan sambil memahami dunia secara reifikasi, manusia terus memproduksinya. Artinya, manusia secara paradoksal mampu memproduksi suatu kenyataan yang mengingkari manusia itu sendiri.[61]
Reifikasi mungkin terjadi pada tingkat kesadaran pra-teoritis maupun teoritis. Sistem-sistem teoritis yang kompleks dapat dilukiskan sebagai reifikasi, meskipun sistem-sistem itu agaknya berakar dalam reifikasi para-teoritis yang terbentuk dalam situasi sosial yang begini atau begitu. Maka oleh sebab itu kelirulah untuk membatasi konsep reifikasi hanya kepada konstruksi-konstruksi mental kaum intelektual. Reifikasi juga terdapat dalam kesadaran orang awam, dan bahkan mempunyai arti yang lebih praktis. Juga keliru untuk menganggap reifikasi sebagai suatu pemutarbalikan pemahaman terhadap dunia sosial yang semua tidak direifikasi; semacam kejatuhan manusia dalam dosa kognitif.
Bukti-bukti etnologis dan psikologis yang tersedia tampaknya menunjukkan keadaan yang sebaliknya, yakni bahwa pemahaman terhadap dunia sosial yang semula sangat direifikasikan, baik dari segi filogenetis maupun dari segi ontogenetis.[62] Ini


-130-
mengandung arti bahwa suatu pemahaman mengenai reifikasi sebagai suatu modalitas kesadaran tergantung kepada suatu de-reifikasi yang setidak-tidaknya relatif dalam kesadaran, yang secara komparatif merupakan suatu perkembangan yang baru dalam sejarah dan dalam setiap biografi individu.
Baik tatanan kelembagaan secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya bisa dipahami secara reifikasi. Umpamanya, tatanan masyarakat secara keseluruhan bisa dibayangkan sebagai suatu mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos dari seluruh universum, sebagaimana yang telah diciptakan oleh para dewa. Apa pun yang terjadi “di bawah sini” hanyalah merupakan pantulan yang samar-samar saja dari apa yang terjadi “di atas sana”.[63] Lembaga-lembaga tertentu bisa dipahami dengan cara yang serupa. “Resep” dasar bai reifikasi lembaga-lembaga adalah untuk memberikan kepadanya suatu status ontologis yang terlepas dari kegiatan dan pemberian arti oleh manusia. Reifikasi-reifikasi tertentu merupakan variasi-variasi dari tema umum ini. Perkawinan, umpamanya, bisa direifikasikan sebagai suatu mandat universal dari hukum-hukum alam, sebagai konsekuensi yang memang sudah seharusnya dari kekuatan-kekuatan biologis atau psikologis atau, katakanlah, sebagai suatu keharusan fungsional dari sistem sosial. Persamaan di antara semua reifikasi adalah bahwa mereka mengaburkan perkawinan sebagai suatu produksi manusia yang berlangsung terus-menerus. Seperti dengan mudah bisa dilihat dalam contoh ini, reifikasi itu bisa terjadi baik secara teoritis maupun pra-teoritis. Dengan demikian maka seorang mystagogue dapat menyusun sebuah teori yang sangat canggih mulai dari peristiwa manusiawi yang kongkrit sampai kepada penjuru-penjuru yang paling jauh dari kosmos dewata, tetapi se-


-131-
pasang suami-istri butahuruf yang sedang dinikahkan mungkin akan memahami peristiwa itu secara reifikasi yang serupa yang membuatnya merinding dicekam ketakutan metafisis. Melalui reifikasi, dunia lembaga-lembaga tampak melebur dengan dunia alam. Ia menjadi keharusan dan takdir, dan dihayati seperti itu, dengan rasa gembira atau sedih, tergantung keadaannya.
Peranan-peranan bisa direifikasi dengan cara yang sama seperti lembaga-lembaga. Sektor kesadaran-diri yang telah diobjektifikasi dalam peranan lalu juga dipahami sebagai takdir yang tak terelakkan lagi, dan individu bisa mengatakan tidak bertanggung jawab atasnya. Rumus paradigmatis untuk reifikasi macam ini adalah pernyataan: “Saya tak punya pilihan dalam hal ini, saya terpaksa berbuat begini karena posisi saya”—sebagai suami, ayah, jendral, uskup agung, ketua dewan, penjahat, atau algojo, tergantung pada keadaan. Ini berarti bahwa reifikasi peranan mempersempit jarak subjektif yang mungkin ditentukan oleh individu antara dirinya sendiri dan peranan yang dimainkannya. Sudah tentu, jarak yang tersirat dalam semua objektifikasi menciut sampai hampir hilang sama sekali. Akhirnya, identitas itu sendiri (katakanlah, diri secara keseluruhan) bisa direifikasi baik identitas diri sendiri maupun identitas orang lain. Maka akan ada identifikasi total individu dengan berbagai tipifikasi yang ditujukan pada dirinya oleh masyarakat. Ia dipahami sebagai tidak lain daripada tipe itu. Pemahaman ini bisa diberi tekanan secara positif atau negatif berdasarkan nilai-nilai atau emosi. Identifikasi “Yahudi” bisa sama-sama merupakan reifikasi bagi orang anti-semit dan orang Yahudi, kecuali bahwa yang belakangan itu akan memberikan tekanan positif kepada identifikasi itu, sedangkan yang pertama akan memberikan tekanan negatif kepadanya. Kedua reifikasi itu memberikan suatu status ontologis dan total kepada suatu tipifikasi yang dibuat oleh manusia dan yang, walaupun ia diinternalisasi, hanya mengobjektifikasi satu segmen saja dari diri.[64] Kembali, reifikasi se-


-132-
macam itu dapat berkisar mulai dari tingkat pra-teoritis dari “apa yang diketahui oleh setiap orang mengenai orang Yahudi” sampai kepada teori-teori yang paling kompleks mengenai keyahudian sebagai suatu manifestasi biologis (“darah Yahudi”), psikologis (“jiwa Yahudi”) atau metafisis (“misteri Israel”).
Analisa reifikasi ini penting karena ia merupakan koreksi yang tetap terhadap banyak kecenderungan pemikiran teoritis pada umumnya dan sosiologi pengetahuan pada khususnya untuk melakukan reifikasi. Ia khususnya penting bagi sosiologi pengetahuan, karena ia mencegahnya agar tidak terjerumus ke dalam suatu konsepsi yang tidak dialektis mengenai hubungan antara apa yang dilakukan oleh manusia dan apa yang mereka pikirkan. Penerapan sosiologi pengetahuan secara historis dan empiris harus memberikan perhatian yang istimewa kepada kondisi sosial yang mendorong de-reifikasi—seperti ambruknya tatanan kelembagaan secara keseluruhan, kontak antara masyarakat-masyarakat yang tadinya terpisah satu sama lain, dan fenomena penting dari marjinalitas sosial.[65] Tetapi masalah-masalah itu melampaui kerangka pembahasan kita sekarang.

Legitimasi
Asal-mula Universum-universum Simbolis
Legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai suatu objektivasi makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif.[66] Sementara kami mendefinisikan legitimasi dari segi fungsi ini, tanpa memandang motif-motif khusus yang mengilhami tiap proses legitimasi tertentu, perlu ditambahkan bahwa “integrasi”


-133-
dalam salah satu bentuknya juga merupakan tujuan khas yang memotivasi orang yang melakukan legitimasi itu.
Integrasi dan, bersamaan dengan itu masalah yang secara subjektif masuk akal itu mengacu kepada dua tingkat. Pertama, keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti, secara bersamaan, oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. di sini soal kemasuk-akalan (plausibility) mengacu kepada pengakuan subjektif akan adanya suatu arti yang menyeluruh “di balik” motif-motif individu dan sesamanya, yakni motif-motif yang menonjol dalam situasi yang bersangkutan tetapi yang hanya melembaga secara sebagian-sebagian saja—seperti dalam hubungan antara kepala suku dan pendeta, atau antara ayah dan komandan militer, atau bahkan, dalam kasus individu yang sama, antara ayah, yang juga komandan militer anaknya, dan dia sendiri. Inilah yang merupakan tingkat “horisontal” dari integrasi dan kemasukakalan, yang menghubungkan tatanan kelembagaan secara keseluruhan dengan sejumlah individu yang berpartisipasi di dalamnya dalam sejumlah peranan, atau dengan sejumlah proses kelembagaan yang parsial di mana seseorang mungkin berpartisipasi dalam suatu waktu tertentu.
Kedua, keseluruhan kehidupan individu, yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan, harus diberi makna subjektif. Dengan kata lain, biografi individu, dalam berbagai tahapnya yang berurutan, dan sudah ditentukan secara kelembagaan, harus diberi makna yang membuat keseluruhannya masuk akal secara subjektif. Karena itu, suatu tingkat “vertikal” di dalam rentang kehidupan individu masing-masing, harus ditambahkan kepada tingkat “horisontal” dari integrasi dan kemasuk-akalan subjektif tatanan kelembagaan.
Seperti telah kami kemukakan sebelumnya, legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, di mana lembaga itu sekadar merupakan satu fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut, baik secara intersubjektif maupun secara biografis; ia sudah jelas dengan sendirinya bagi orang yang bersangkutan. Masalah legitimasi tak terelakkan lagi akan muncul


-134-
apabila berbagai objektivasi tatanan kelembagaan (yang sekarang sudah historis) akan dialihkan kepada generasi baru. Pada titik ini, seperti telah kita lihat, lembaga-lembaga yang sudah jelas dengan sendirinya itu tidak lagi dapat dipertahankan lewat ingatan dan pembiasaan individu itu sendiri. kEsatuan antara sejarah dan pembiasaan individu itu sendiri. Kesatuan antara sejarah dan biografi sudah terputus. Untuk dapat memulihkannya, dan dengan demikian membuat kedua aspeknya itu bisa dimengerti, harus ada “penjelasan-penjelasan” dan pembenaran mengenai unsur-unsur terpenting dari tradisi kelembagaan. Legitimasi adalah proses “menjelaskan” dan membenarkan ini.[67]
Legitimasi “menjelaskan” tatanan kelembagaan dengan memberikan kesahihan kognitif kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi. Legitimasi membenarkan tatanan kelembagaan dengan memberikan martabat normatif kepada perintah-perintah praktisnya. Penting untuk dipahami bahwa legitimasi mempunyai unsur kognitif maupun normatif. Dengan kata lain, legitimasi tidak sekadar soal “nilai-nilai”. Ia selalu mengmplikasikan “pengetahuan: juga. Umpamanya, satu struktur kekerabatan tidak hanya dilegitimasi oleh etika tentang tabu-tabu bagi perbuatan sumbang. Terlebih dulu harus ada “pengetahuan” tentang berbagai peranan yang mendefinisikan baik tindakan yang “benar” maupun tindakan yang “salah” di dalam struktur itu. Umpamanya, individu tidak boleh kawin di dalam marganya. Tetapi ia terlebih dulu harus “mengetahui” dirinya sebagai anggota marga itu. “Pengetahuan” ini ia peroleh melalui suatu tradisi yang “menjelaskan” apa itu marga pada umumnya dan, khususnya, marganya sendiri. “Penjelasan-penjelasan” seperti itu (yang secara khas merupakan “sejarah” dan “sosiologi” dari kolektivitas yang bersangkutan, dan yang dalam kasus tabu yang menyangkut perbuatan sumbang juga mengandung suatu “antropologi”) sama-sama merupakan alat legitimasi disamping unsur-unsur etika dari tradisi. Legitimasi tidak hanya memberitahukan kepada individu mengapa ia harus melakukan satu tindakan tertentu dan bukan tindakan lainnya; ia juga memberita-


-135-
hukan kepadanya mengapa segala sesuatu berlangsung seperti apa adanya. Dengan kata lain, “pengetahuan” mendahului “nilai” dalam legitimasi lembaga-lembaga.
Adalah mungkin untuk membedakan secara analitis antara berbagai tingkat legitimasi (dari segi empiris, tingkat-tingkat itu, dengan sendirinya, bertumpang tindih). Legitimasi dalam bentuk awal muncul begitu terjadi pengalihan suatu sistem objektifikasi linguistik mengenai pengalaman manusia. Sebagai contoh, pengalihan perbendaharaan kata suatu kekerabatan dengan demikian melegitimasi struktur kekerabatan itu. “Penjelasan-penjelasan” yang merupakan legitimasi dasar itu boleh dikatakan sudah melekat sebagai bagian dari perbendaharaan kata itu. Demikianlah, maka seorang anak kecil belajar mengetahui bahwa seorang anak kecil lainnya adalah “sepupu”, sepotong informasi yang segera dan secara inheren melegitimasi perilaku terhadap “sepupu” itu yang dipelajari pada waktu yang sama dengan penamaan itu. Termasuk dalam tingkat pertama legitimasi awal ini adalah semua afirmasi tradisional yang sederhana sehingga dapat dikatakan “Beginilah segala sesuatunya dilakukan”—yang merupakan jawaban yang paling dulu dan yang pada umumnya efektif atas pertanyaan seorang anak kecil: “Apa sebabnya?” tingkat ini, tentu saja, masih prateoritis. Tetapi ia merupakan landasan bagi “pengetahuan” yang jelas-dengan-sendirinya yang harus jadi tumpuan bagi semua teori selanjutnya—dan yang, sebaliknya, harus dicapai oleh teori-teori itu agar dimasukkan ke dalam tradisi.
Tingkat legitimasi yang kedua mengandung proposisi-proposisi teoritis dalam suatu bentuk yang masih belum sempurna. Di sini bisa ditemukan berbagai skema penjelasan yang menyangkut perangkat-perangkat makna objektif. Skema-skema itu sangat pragmatis, dan langsung menyangkut tindakan-tindakan kongkrit. Peribahasa, kaidah-kaidah moral dan kata-kata mutiara merupakan hal yang lazim pada tingkat ini. Ke dalamnya juga termasuk legenda-legenda dan cerita-cerita rakyat, yang seringkali disampaikan dalam bentuk puisi. Demikianlah, maka anak kecil berkenalan dengan peribahasa-peribahasa seperti “Barangsiapa mencuri dari saudara sepupu akan kutilan di ta-


-136-
ngannya”, atau “Datangilah istrimu jika ia menangis tapi larilah menemui saudara sepupumu jika ia (saudara sepupumu) memanggilmu”. Atau ia mungkin akan mendapat semangat dari “Nyanyian Sepupu Setia yang Pergi Berburu Bersama” dan akan ketakutan setengah mati mendengar “Nyanyian Penguburan Dua Sepupu yang Berbuat Sumbang.”
Tingkat legitimasi ketiga mengandung teori-teori yang eksplisit, yang dengannya suatu sektor kelembagaan dilegitimasi berdasarkan suatu perangkat pengetahuan yang berbeda-beda. Legitimasi semacam itu memberikan kerangka referensi yang cukup komprehensif bagi masing-masing sektor perilaku yang sudah melembaga. Karena kompleks dan beraneka, maka legitimasi itu sering dipercayakan kepada personil khusus yang sudah melembaga. Karena kompleks dan beraneka, maka legitimasi itu sering dipercayakan kepada personil khusus yang mengalihkannya melalui prosedur-prosedur inisiasi yang sudah diformalkan. Dengan demikian, mungkin akan terdapat suatu teori ekonomi yang sangat terperinci tentang “kesepupuan”, hak-haknya, kewajiban-kewajibannya dan prosedur-prosedur operasinya yang baku. Adat kebiasaan ini dikelola oleh orang-orang tua dalam marga, dan barangkali dipercayakan kepada mereka setelah kegunaan ekonomis mereka sendiri sudah berakhir. Orang-orang tua itu menginisiasi para remaja ke dalam ilmu ekonomi tingkat tinggi ini selama berlangsungnya ritus-ritus pubertas dan mereka tampil sebagai pakar jika timbul masalah dalam penerapannya. Jika kita mengandaikan bahwa orang-orang tua tidak diberi tugas-tugas lain, maka agaknya mereka akan terus mempertahankan teori-teori itu di kalangan mereka sendiri, juga apabila tidak ada masalah-masalah dalam penerapannya; atau lebih tepat lagi, mereka akan menciptakan sendiri masalah-masalah seperti itu dalam kegiatan berteori mereka. Dengan kata lain, dengan berkembangnya teori-teori legitimasi yang terspesialisasi serta pengelolaannya oleh para pembuat legitimasi, maka legitimasi mulai melampaui batas-batas penerapan pragmatisnya dan menjadi “teori murni”. Dengan langkah ini, bidang legitimasi mulai memperoleh suatu otonomi terhadap lembaga-lembaga yang dilegitimasi dan pada akhirnya mungkin akan melahirkan proses-proses kelembagaan-


-137-
nya sendiri.[68] Dalam contoh kita, “ilmu tentang kesepupuan” mungkin akan mulai berdiri sendiri terlepas dari kegiatan sepupu “awam” semata, dan kelompok “ilmuwan-ilmuwan” itu mungkin akan menyusun proses-proses kelembagaannya sendiri yang bertentangan dengan lembaga-lembaga yang tadinya hendak dilegitimasi oleh “ilmu” itu. Kita bisa membayangkan suatu kulminasi yang ironis dari perkembangan ini apabila perkataan “sepupu” tidak lagi mengacu kepada suatu peranan kekerabatan, melainkan kepada orang yang bergelar dalam hirarki para spesialis tentang “kesepupuan”.
Universum-universum simbolis merupakan tingkat legitimasi yang keempat. Ini adalah perangkat-perangkat tradisi teoritis yang mengintegrasikan berbagai bidang makna dan mencakup tatanan kelembagaan dalam suatu totalitas simbolis,[69] yakni “simbolis” dalam arti yang telah kami definisikan sebelumnya. Kami ulangi proses-proses simbolis adalah proses-proses pelembagaan (signifikasi) yang mengacu kepada berbagai kenyataan yang lain dari kenyataan pengalaman sehari-hari. Kiranya dapat dilihat dengan mudah bagaimana bidang simbolis berkaitan dengan tingkat legitimasi yang paling komprehensif. Bidang penerapan pragmatis di atasi sekali dan untuk selamanya. Legitimasi sekarang berlangsung melalui totalitas-totalitas simbolis yang sama sekali tidak dapat dialami dalam kehidupan sehari-hari—kecuali, tentunya, sejauh kita dapat berbicara tentang “pengalaman teoritis” (yang sebenarnya merupakan penamaan yang salah, yang paling banter hanya bisa digunakan secara heuristik). Tingkat legitimasi ini selanjutnya dibedakan dari yang disebutkan terdahulu oleh lingkup integrasinya yang bermakna. Sudah pada tingkat yang sebelum itu kita bisa menjumpai suatu ting-


-138-
kat integrasi yang tinggi dari bidang-bidang makna khusus serta proses-proses yang berbeda dari perilaku yang sudah dilembagakan. Tetapi sekarang, semua sektor tatanan kelembagaan diintegrasikan ke dalam suatu kerangka acuan yang mencakup keseluruhannya, dan yang sekarang merupakan suatu universum dalam arti kata yang sesungguhnya, karena semua pengalaman manusiawi sekarang dapat dipahami sebagai berlangsung di dalamnya.
Universum simbolis dipahami sebagai matrik dari semua makna yang diobjektivasi secara sosial dan yang nyata secara subjektif; keseluruhan masyarakat historis dan keseluruhan biografi individu dilihat sebagai peristiwa-peristiwa yang berlangsung di dalam universum ini. Yang terutama penting adalah bahwa situasi-situasi marjinal dalam kehidupan individu (marjinal dalam arti tidak termasuk dalam kenyataan eksistensi sehari-hari dalam masyarakat) juga tercakup oleh universum simbolis itu.[70] Situasi-situasi seperti itu dialami dalam mimpi dan lamunan sebagai bidang-bidang makna yang terlepas dari kehidupan sehari-hari, dan yang memiliki kenyataan khasnya sendiri. Di dalam universum simbolis, dunia wilayah kenyataan yang terlepas itu diintegrasikan ke dalam suatu totalitas yang bermakna yang “menjelaskan”, dan barangkali juga membenarkannya (umpamanya, mimpi dapat “dijelaskan” dengan suatu teori psikologis (perpindahan jiwa); dan tiap teori itu akan berakar dalam suatu universum yang lebih “ilmiah” dibandingkan dengan yang “metafisis”. Universum simbolis itu sudah barang tentu dibangun melalui berbagai objektivasi sosial. Namun demikian, kemampuannya untuk memberi makna jauh melampaui wilayah kehidupan sosial, sehingga individu dapat “menempatkan” dirinya di dalamnya, bahkan dalam pengalaman-pengalamannya yang paling menyendiri sekalipun.
Pada tingkat legitimasi ini, pengintegrasian reflektif dari


-139-
proses-proses kelembagaan yang terpisah satu sama lain mencapai perwujudannya yang paling tinggi. Suatu dunia secara keseluruhan telah tercipta. Semua teori legitimasi yang rendahan dipandang sebagai perspektif-perspektif khusus bagi fenomen-fenomen yang hanya merupakan aspek-aspek dunia ini. Peranan-peranan kelembagaan menjadi cara-cara berpartisipasi dalam suatu universum yang mengatasi dan mencakup tatanan kelembagaan. Dalam contoh kita yang terdahulu, “ilmu kesepupuan” hanya merupakan sebagian dari satu perangkat teori yang lebih luas yang, hampir pasti, akan mengandung satu teori umum tentang kosmos dan sebuah teori umum tentang manusia. Lalu yang merupakan legitimasi tertinggi dari tindakan-tindakan yang “benar” dalam struktur kekerabatan adalah “lokasi” seseorang di dalam suatu kerangka acuan kosmologis dan antropologis. Perbuatan sumbang, umpamanya, akan memperoleh sanksi negatifnya yang paling tinggi sebagai suatu pelanggaran terhadap tatanan kosmos dan kodrat manusia yang sudah ditetapkan oleh para dewa. Begitu pula yang bisa terjadi dengan pelanggaran di bidang ekonomi, atau setiap penyimpangan dari norma-norma kelembagaan. Pada prinsipnya, batas-batas legitimasi paling akhir seperti itu bertepatan sepenuhnya dengan batas-batas ambisi teoritis dan kecerdikan di pihak para pembuat legitimasi, orang-orang yang dengan resmi ditunjuk untuk mendefinisikan kenyataan. Dalam prakteknya, sudah barang tentu, akan ada variasi-variasi dalam tingkat keseksamaan dengan mana segmen-segmen khusus tatanan kelembagaan ditempatkan dalam suatu konteks kosmis. Selanjutnya, variasi-variasi itu mungkin disebabkan oleh masalah-masalah pragmatis tertentu yang diajukan kepada para pembuat legitimasi untuk diminta pendapatnya, atau mungkin pula disebabkan oleh perkembangan-perkembangan yang otonom dalam pemikiran teoritis para pakar kosmologi itu.
Pembentukan universum-universum simbolis menempuh proses-proses yang telah dibahas sebelum ini, yakni proses objektivasi, pengendapan dan akumulasi pengetahuan.a rtinya, universum-universum simbolis merupakan produk-produk sosial yang mempunyai sejarah. Jika kita ingin memahami maknanya,


-140-
kita harus memahami sejarah produksinya. Ini terutama penting, karena produk-produk kesadaran manusia itu, karena sifatnya itu sendiri, menampilkan diri sebagai totalitas yang sudah berkembang sepenuhnya dan tak terelakkan.
Sekarang kita dapat menyelidiki lebih lanjut cara beroperasi universum-universum simbolis untuk melegitimasi biografi individu dan tatanan kelembagaan. Operasi itu pada pokoknya sama dalam kedua kasus. Sifatnya nomis, atau bertata-susunan.[71]
Universum simbolis memungkinkan penataan pemahaman subjektif dari pengalaman biografis. Pengalaman-pengalaman yang termasuk dalam bidang-bidang kenyataan yang berbeda, diintegrasikan dengan jalan memasukkannya ke dalam universum makna yang sama yang menaungi keseluruhannya. Umpamanya, universum simbolis menentukan arti mimpi dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan dalam tiap kasus menegakkan kembali status tertinggi dari kenyataan itu dan memperlunak kejutan yang menyertai proses peralihan dari satu kenyataan ke kenyataan lain.[72] Wilayah-wilayah makna, akan tetap merupakan daerah-daerah kantong yang tak dapat dipahami di dalam kenyataan sehari-hari, kecuali kemudian ditata berdasarkan suatu hirarki sejumlah kenyataan, dan ipso facto menjadi bisa dipahami dan tidak begitu menakutkan lagi. Pengintegrasian kenyataan situasi marjinal ini ke dalam kenyataan tertinggi dari kehidupan sehari-hari sangat penting artinya, karena situasi-situasi itu merupakan ancaman yang paling gawat terhadap eksistensi dalam masyarakat yang sudah menjadi rutin dan dianggap sebagai sudah sewajarnya. Jika kita membayangkan yang disebut belakangan itu sebagai “sisi siang hari” dari kehidupan manusia, maka situasi-situasi marjinal merupakan “sisi malam hari”-nya yang terus mengintai secara menakutkan dari periferi


-141-
kesadaran sehari-hari. Justru karena “sisi malam hari” itu mempunyai kenyataan sendiri, dan seringkali dari jenis yang menakutkan, maka ia merupakan ancaman yang terus menerus bagi kenyataan kehidupan dalam masyarakat yang ”sehat”, yang sudah diterima begitu saja sebagai hal yang sewajarnya. Pikiran manusia terus-menerus mengisyaratkan pada dirinya sendiri (terutama sekali pikiran yang “tidak sehat”) bahwa, bolehjadi, kenyataan yang terang benderang dari kehidupan sehari-hari ini hanya merupakan suatu ilusi, yang setiap saat bisa ditelan oleh mimpi buruk yang menakutkan dari kenyataan yang lainnya, yakni kenyataan “sisi malam hari”. Pikiran-pikiran yang gila dan menakutkan seperti itu dikekang melalui penataan semua pernyataan yang bisa dibayangkan di dalam universum simbolis yang sama yang mencakup kenyataan hidup sehari-hari—yakni, menatanya begitu rupa sehingga kenyataan kehidupan sehari-hari itu bisa mempertahankan kualitasnya yang definitif dan paling tinggi (katakanlah, kualitasnya yang “paling nyata”).
Fungsi nomis dari universum simbolis bagi pengalaman individu bisa dilukiskan dengan sederhana sekali dengan mengatakan bahwa ia “menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya yang benar.” Lebih dari itu, apabila orang menyimpang dari kesadaran tentang tatanan ini (artinya, jika orang menemukan dirinya dalam situasi-situasi pengalaman yang marjinal), universum simbolis memungkinkannya untuk “kembali ke kenyataan”—yakni, kenyataan hidup sehari-hari. Oleh karena ia dengan sendirinya merupakan bidang yang ke dalamnya termasuk semua bentuk prilaku dan peranan kelembagaan, maka universum simbolis memberikan legitimasi tertinggi kepada tatanan kelembagaan dengan memberikan kepadanya tempat yang utama dalam hirarki pengalaman manusia.
Terlepas dari pengintegrasian yang sangat penting dari kenyataan marjinal itu, universum simbolis memungkinkan tingkat integrasi yang tertinggi bagi makna-makna yang tidak cocok yang telah diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Kita telah melihat bagaimana integrasi yang bermakna dari sektor-sektor yang berlainan dari perilaku yang su-


-142-
dah dilembagakan berlangsung melalui refleksi, baik pada tingkat prateoritis maupun pada tingkat teoritis. Pengintegrasian bermakna seperti itu tidak mengandaikan terlebih dulu adanya suatu universum simbolis ab initio (sejak awal). Ia bisa berlangsung tanpa melalui proses-proses simbolis; artinya tanpa mengatasi kenyataan pengalaman sehari-hari. Tetapi jika sudah diandaikan adanya universum simbolis itu, maka sektor-sektor yang saling bertentangan dalam kehidupan sehari-hari akan dapat diintegrasikan dengan mengacu secara langsung kepada universum simbolis itu. Sebagai contoh, pertentangan makna antara memainkan peranan sepupu dan memainkan peranan pemilik tanah bisa diintegrasikan tanpa mengacu kepada suatu mitologi umum. Tetapi apabila ada suatu Weltanschauung mitologis umum yang berfungsi, ia dapat diterapkan secara langsung kepada hal-hal yang saling bertentangan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu tindakan mengusir saudara sepupu dari sebidang tanah mungkin tidak hanya buruk dari segi ekonomi atau moral (sanksi-sanksi negatif yang tidak perlu diperluas sampai mencapai dimensi-dimensi kosmis); tindakan itu juga dipahami sebagai suatu pelanggaran terhadap tatanan universum yang sudah dibentuk oleh para dewa. Dengan cara ini, universum simbolis menata dan dengan demikian melegitimasi berbagai peranan, prioritas dan prosedur operasi dalam kehidupan sehari-hari, dengan jalan menempatkan hal-hal itu sub specie universi; artinya, dalam konteks kerangka acuan yang paling umum yang bisa dipahami. Di dalam konteks yang sama, transaksi-transaksi yang paling remeh sekalipun dalam kehidupan sehari-hari pada akhirnya bisa diresapi oleh arti yang mendalam. Kita dengan mudah bisa melihat bagaimana prosedur ini memberikan legitimasi yang ampuh kepada tatanan kelembagaan secara keseluruhan maupun kepada sektor-sektornya yang khusus.
Universum simbolis juga memungkinkan penataan tahap-tahap yang berlainan dalam biografi. Dalam masyarakat-masyarakat primitif, ritus-ritus transisi (rite de passage) merepresentasikan fungsi ekonomis ini dalam bentuknya yang murni. Periodisasi biografi dilambangkan pada tiap tahap dengan mengacu kepada totalitas makna-makna manusiawi. Sebagai


-143-
anak kecil, remaja, orang dewasa, dan seterusnya—masing-masing tahap biografis ini dilegitimasi sebagai satu modus keberadaan dalam universum simbolis (yang paling sering, sebagai cara berhubungan yang khusus dengan dunia para dewa). Kita tidak perlu membahas lebih lanjut apa yang sudah jelas, yakni bahwa simbolisasi seperti itu membawa perasaan aman dan kebersamaan. Akan tetapi akan keliru kiranya apabila dalam hal ini kita hanya berpikir tentang masyarakat-masyarakat primitif saja. Sebuah teori psikologi modern tentang perkembangan kepribadian dapat melakukan fungsi yang sama. Dalam kedua kasus, individu yangberalih dari satu tahap biografis ke tahap yang lainnya dapat memandang dirinya sebagai mengulangi suatu urutan yang sudah terdapat di dalam “kodrat benda-benda’ atau dalam “kodratnya” sendiri. Artinya, ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hidup “dengan cara yang benar”. “Benarnya” program kehidupannya itu dengan demikian dilegitimasi pada tingkat keumuman yang paling tinggi. Jika individu menoleh kembali kepada kehidupannya di masa lampau, biografinya dapat ia pahami dari segi ini. Jika ia memproyeksikan dirinya ke masa depan, ia akan bisa membayangkan biografinya sebagai berkembang di dalam suatu universum di mana kordinat-kordinatnya yang paling sadar sudah diketahuinya.
Fungsi legitimasi yang sama juga berlaku terhadap “kenaran: identitas subjektif individu. Karena sifat sosialisasi itu sendiri, identitas subjektif merupakan suatu entitas yang rapuh.[73] Ia tergantung kepada hubungan-hubungan individu dengan orang-orang yang berpengaruh (significant others), yang bisa saja berubah atau menghilang. Kerapuhannya itu bertambah oleh pengalaman-pengalaman pribadi dalam situasi-situasi marjinal seperti yang telah dikemukakan di atas. Pemahaman yang “sehat” mengenai diri sendiri sebagai pemilik suatu identi-


-144-
tas yang jelas, mapan dan diakui secara sosial terancam terus-menerus oleh metamorfose mimpi-mimpi dan khayalan-khayalan yang “surealistis”, bahkan jika ia tetap relatif konsisten dalam interaksi sosial sehari-hari. Identitas pada tingkat terakhir dilegimasi dengan menempatkannya dalam konteks suatu universum simbolis. Dari segi mitologis, nama individu “yang nyata” adalah yang diberikan kepadanya oleh para dewa. Dengan demikian, individu bisa “mengetahui siapa dia” dengan menjangkarkan identitasnya dalam suatu kenyataan kosmis yang dilindungi, baik terhadap segala kemungkinan dalam sosialisasi maupun terhadap transformasi-diri yang buruk dari pengalaman marjinal. Bahkan andaikata tetangga-tetangganya tidak tahu siapa dia, dan bahkan andaikata tetangga-tetangganya tidak tahu siapa dia, dan bahkan andaikata ia sendiri bisa melupakan akan hal itu dalam gejolak mimpi buruk, ia dapat meyakinkan kembali diri sendiri bahwa “dirinya yang sejati” merupakan suatu entitas yang paling nyata di dalam suatu universum yang paling nyata. Para dewa—atau ilmu psikiatri—atau partai, tahu hal itu. Dengan kata lain, sungguh-sungguh nyata dari identitas tidak perlu dilegitimasi dengan jalan terus-menerus dikenal oleh individu; untuk tujuan legitimasi, sudah cukup bahwa hal itu bisa dikenal. Oleh karena identitas yang diketahui atau bisa diketahui oleh para dewa, psikiatri, atau partai itu adalah juga identitas yang diberi status kenyataan utama, legitimasi lagi, mengintegrasikan semua transformasi identitas yang mungkin dengan identitas yang keberadaannya berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sekali lagi, universum simbolis membangun tingkat-pangkat atau hirarki mulai dari identitas “yang paling nyata” sampai kepada pemahaman-diri yang paling kabur. Ini berarti bahwa individu bisa hidup dalam masyarakat dengan keyakinan bahwa dirinya benar-benar seperti yang diyakininya sementara ia memainkan peranan-peranan sosial rutin, secara terang-terangan dan dengan disaksikan oleh orang-orang yang berpengaruh.
Satu fungsi legitimasi yang strategis dari universum simbolis bagi biografi individu adalah “tempat” kematian. Pengalaman tentang kematian orang lain dan, kemudian, antisipasi tentang kematian dirinya sendiri merupakan situasi marjinal par excel-


-145-
lence bagi individu.[74] Kiranya tak perlu ditulis lagi bahwa kematian juga merupakan ancaman yang paling menakutkan bagi kenyataan yang sudah diterima begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, integrasi kematian ke dalam kenyataan utama dari eksistensi sosial sangat penting artinya bagi setiap tatanan kelembagaan. Ini berarti, legimasi kematian merupakan satu di antara buah terpenting dari universum simbolis. Apakah hal itu dilakukan dengan atau tanpa bantuan penafsiran terhadap kenyataan secara mitologis, religius atau metafisis, bukan merupakan soal yang pokok disini. Kaum ateis modern, umpamanya, yang memberikan makna kepada kematian dari suatu Weltanschauung evolusi progresif atau sejarah revolusioner, juga melakukan hal itu dengan jalan mengintegrasikan kematian dengan suatu universum simbolis yang mencakup kenyataan. Semua legitimasi tentang kematian harus melakukan tugas pokok yang sama—mereka harus memungkinkan individu untuk terus hidup dalam masyarakat setelah kematiannya sendiri dengan cara, paling tidak, rasa takut yang diperingan sedemikain rupa sehingga tidak akan melumpuhkan tugasnya untuk terus melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. Kiranya dengan mudah bisa dipahami bahwa legitimasi seperti itu sulit dicapai kecuali dengan jalan mengintegrasikan fenomen kematian ke dalam suatu universum simbolis. Maka legitimasi seperti itu memberikan kepada individu suatu resep untuk “mati dengan cara yang benar”. Resep ini secara optimal, akan tetap mempertahankan sifatnya yang masuk akal, apabila kematian seseorang sudah mendekat dan, sesungguhnyalah, akan memungkinkannya untuk “mati dengan cara yang benar”.
Dalam legitimasi kematianlah potensi transendensi dari universum simbolis memanifestasikan dirinya dengan cara yang paling jelas, dan terungkaplah sifat meredakan ketakutan yang


-146-
mendasar dari legitimasi tertinggi bagi kenyataan utama kehidupan sehari-hari. Keunggulan objektivasi sosial kehidupan sehari-hari hanya akan dapat mempertahankan kemasuk-akalan subjektifnya jika ia terus-menerus dilindungi dari kengerian yang hebat (teror). Pada tingkat makna, tatanan kelembagaan merupakan suatu tameng bagi kengerian itu. Karena itu suatu keadaan yang anomis berarti kehilangan tameng ini dan individu berada dalam keadaan terbuka, sendirian, menghadapi gempuran mimpi buruk. Sementara kengerian yang timbul dari kesendirian mungkin sudah terkandung dalam sosialitas konstitusional manusia, ia memanifestasikan diri pada tingkat makna dalam ketidakmampuan manusia untuk mempertahankan suatu eksistensi bermakna dalam keadaan terisolasi dari berbagai konstruksi nomis dalam masyarakat. Universum simbolis melindungi individu dari teror terdahsyat itu dengan jalan memberikan legitimasi yang paling mendasar kepada struktur-struktur tatanan kelembagaan yang memberikan perlindungan.[75]
Hal yang sama bisa dikatakan tentang arti sosial (dibandingkan dengan arti individual yang baru saja kita bahas) universum simbolis. Mereka merupakan semacam langit-langit yang menaungi tatanan kelembagaan maupun biografi individu. Mereka juga menentukan batas-batas kenyataan sosial : Artinya, mereka menentukan batas-batas dari apa yang relevan dari segi interaksi sosial. Salah satu kemungkinan yang ekstrim dalam hal ini, yang kadang-kadang hampir terwujud dalam masyarakat primitif, adalah pendefinisian apa saja sebagai kenyataan sosial: bahkan zat anorganik sekalipun diperlakukan dari segi sosial. Suatu pembatasan yang lebih sempit, dan lebih lazim, banya mencakup dunia organik atau dunia hewani saja. Universum simbolis memberikan urutan tingkat atas berbagai fenomen dalam suatu hierarki keberadaan, dan mendefinisikan fenomen-fenomen sosial di dalam kerangka hirarki ini.[76] Dengan sendirinya tingkat-


-147-
tingkat itu juga dikenakan kepada berbagai tipe manusia, dan sering terjadi bahwa kategori-kategori yang luas dari tipe-tipe itu (yang kadang-kadang mencakup siapa saja di luar kolektivitas yang berangkutan) didefinisikan sebagai bukan manusia atau lebih rendah daripada manusia. Hal ini pada umumnya diungkapkan melaluibahasa (dalam kasus ekstrim, nama kolektivitas itu sendiri merupakan padanan dari kata “manusia”). Ini bukan hal yang sangat jarang, bahkan dalam masyarakat-masyarakat yang sudah berperadaban sekalipun. Ebagai contoh, universum simbolis di India yang tradisional memberikan suatu status kepada golongan paria yang lebih mendekati status hewan daripada status manusia dari kasta-kasta yang lebih atas (suatu hal yang akhirnya dilegitimasikan dalam teori tentang karma-samsara, yang mencakup semua makhluk, manusia atau bukan), dan di zaman penaklukan-penaklukan Amerika oleh bangsa Spanyol, adalah mungkin bagi orang-orang Spanyol menganggap orang-orang Indian sebagai makhluk yang tergologn dalam species yang lain (dan anggapan ini dilegitimasikan dengan cara yang tidak begitu komprehensif oleh sebuah teori yang “membuktikan” bahwa orang-orang Indian tak mungkin berasal dari Adam dan Hawa).
Universum simbolis juga menata sejarah. Ia menempatkan semua peristiwa kolektif dalam suatu kesatuan kohesif yang mencakup masa lampau, sekarang dan masa depan. Mengenai masa lampau ia membentuk satu “ingatan” yang merupakan milik bersama semua individu yang disosialisasikan di dalam kolektivitas yang bersangkutan.[77] Mengenai masa depan, ia membentuk suatu kerangka acuan bersama bagi proyeksi tindakan-tindakan individu. Dengan demikian maka universum simbolis menghubungkan manusia dengan orang-orang yang hidup sebelum dan sesudah dia dalam suatu totalitas bermak-


-148-
na,[78] dan dengan cara itu mengatasi keberhinggaan eksistensi individu dan memberikan makna kepada kematian individu. Semua anggota suatu masyarakat sekarang dapat memahami diri mereka sebagai termasuk dalam suatu universum bermakna, yang sudah ada sebelum mereka lahir dan akan tetap ada setelah mereka mati. Komunitas empiris dipindahkan ke tahap kosmis yang dengan penuh keagungan tidak tergantung kepada eksistensi individu yang berubah-ubah.[79]
Seperti telah kami kemukakan, universum simbolis memungkinkan suatu integrasi yang komprehensif dari semua proses kelembagaan yang terlepas satu sama lain. Masyarakat secara keseluruhan sekarang punya arti. Lembaga-lembaga dan peranan khusus dilegitimasikan dengan jalan menempatkannya dalam suatu dunia yang bermakna secara komprehensif. Sebagai contoh, tatanan politik dilegimasikan dengan mengacu pada suatu tatanan kosmis dari kekuasaan dan keadilan, dan peranan poltik dilegitimasikans ebagai representasi prinsip-prinsip kosmis itu. Lembaga raja-dewa dalam peradaban-peradaban purba merupakan satu ilustrasi yang baik sekali dari cara beroperasinya legitimasi tertinggi semacam itu. Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa tatatan kelembagaan, seperti tatanan biografi individu, terus menerus terancam oleh kehadiran berbagai kenyataan yang tidak bermakna dilihat dari seginya sendiri. Legitimasi tatanan kelembagaan juga dihadapkan kepada keharusan untuk terus-menerus melawan khaos. Semua kenyataan sosial berada dalam bahaya. Semua masyarakat merupakan bangunan-bangunan untuk menghadapi khaos. Kemungkinan yang terus-menerus akan terjadinya teror anomis akan terwujud apabila legitimasi yang mengaburkan keadaan yang rapuh itu terancam atau ambruk. Rasa takut yang mengiringi kematian seorang raja, terutama jika hal itu terjadi dengan kekerasan yang mendadak, mengekspresikan teror ini. Di atas dan diluar perasaan simpati atau kepentingan politik yang pragmatis, ke-


-149-
matian seorang raja dalam kondisi-kondisi seperti itu mendekatkan teror khaos kepada kesadaran. Reaksi rakyat atas terbunuhnya presiden Kenedy merupakan suatu ilustrasi yang sangat mengesankan. Mudah dimengerti mengapa peristiwa-peristiwa seperti itu harus dengan segera diikuti oleh penegasan kembali dengan cara yang paling khidmat tentang kenyataan tetap adanya simbol-simbol yang memberikan perlindungan.
Asal-usul universum simbolis berakar dalam konstitusi manusia. Apabila manusia dalam masyarakat merupakan pembangun dunia, maka hal itu dimungkinkan oleh keterbukaan-dunianya yang sudah diberikan oleh konstitusinya, yang sudah mengandung arti adanya konflik antara ketetiban dan khaos. Eksistensi manusia itu merupakan satu eksternalisasi, ab initio, yang berlangsung terus-menerus. Sementara manusia mengeksternalisasikan dirinya ia membangun dunia ke dalam mana ia mengeksternalisasi diri. Dalam proses eksternalisasi itu, ia memproyeksikan makna-maknanya sendiri ke dalam kenyataan. Universum-universum simbolis, yang mempermaklumkan bahwa semua kenyataan secara insaniah bermakna dari segi manusia dan yang berseru kepada seluruh kosmos untuk menunjukkan validitas eksistensi manusia, mengkonstitusikan batas-batas terjauh dari proyeksi ini.[80]
Peralatan Konseptual untuk Memelihara Universum
Dipandang sebagai suatu konstruksi kognitif, universum simbolis itu sifatnya teoritis. Ia berasal dari proses-proses refleksi subjektif yang setelah melalui objektivasi sosial melahirkan ikatan-ikatan yang eksplisit antara tema-tema penting (significant themes) yang berakar dalam berbagai lembaga. Dalam pengertian ini, sifat teoritis dari universum simbolis itu tak dapat disangsikan lagi, tak peduli bagaimana tidak sistematisnya atau tidak logisnya universum seperti itu tampaknya bagi orang luar yang “tidak bersimpati”. Namun demikian, manusia bisa, dan


-150-
memang khas, hidup secara naif dalam suatu universum simbolis. Sementara pembentukan suatu universum simbolis mengandaikan adanya refleksi teoritis di pihak seseorang (yang baginya dunia atau, lebih tegas lagi, tatanan kelembagaan, tampak problematis), tiap orang bisa “menghuni” universum itu dengan sikap yang menganggapnya sebagai sudah sewajarnya. Agar supaya tatanan kelembagaan dianggap sebagai sudah sewajarnya dalam totalitasnya sebagai satu keseluruhan yang maknawi, maka ia harus dilegitimasi dengan jalan “menempatkannya” di dalam suatu universum simbolis. Tetapi dengan mengandaikan hal-hal lainnya sama, maka universum itu sendiri tidak memerlukan legitimasi lebih lanjut. Pertama-tama, yang tampaknya problematis itu adalah tatanan kelembagaan dan bukan universum simbolis, dan karena itu kegiatan berteori harus ditujukan kepada tatanan kelembagaan itu. Sebagai contoh, dengan kembali kepada ilustrasi terdahulu tentang legitimasi kekerabatan, begitu lembaga kesepupuan “ditempatkan” dalam sebuah kosmos sepupu-sepupu mitologis, ia tidak lagi merupakan suatu fakta sosial yang sederhana tanpa arti “tambahan”. Tetapi mitologi itu sendiri bisa saja dianut secara naif tanpa refleksi teoritis tentangnya.
Hanya sesudah suatu universum simbolis diobjektivasi sebagai satu produk “pertama” dari pemikiran teoritis akan timbul kemungkinan bagi refleksi (renungan) yang sistematis mengenai kodrat universum itu. Sementara universum simbolis melegitimasi tatanan kelembagaan pada tingkat keumuman yang paling tinggi, berteori tentang unversum simbolis bisa dilukiskan sebagai semacam legitimasi tingkat kedua. Semua legitimasi, mulai dari legitimasi pra-teoritis yang paling sederhana mengenai makna-makna yang sudah dilembagakan dan terpisah satu sama lain sampai kepada pembenaran universum simbolis secara kosmis, pada gilirannya bisa dilukiskan sebagai peralatan untuk memelihara universum. Sebagaimana dapat dilihat dengan mudah, hal itu sejak semula memerlukan kecanggihan konsep yang tidak sedirik.
Sudah jelas terdapat berbagai kesulitan untuk menarik garis-garis yang tegas antara “naif” dan “canggih” dalam kasus-


-151-
kasus yang kongkrit. Tetapi pembedaan analitisnya berguna dalam kasus-kasus seperti itu sekalipun, karena ia menarik perhatian terhadap masalah sejauh mana suatu unviersum simbolis dianggap sudah sewajarnya. Sudah tentu, dalam hal ini, masalah analitisnya serupa dengan yang telah kita jumpai dalam pembahasan kita mengenai legitimasi. Ada berbagai tingkat legitimasi universum simbolis, seperti juga ada berbagai tingkat legitimasi lembaga-lembaga, dengan catatan bahwa yang disebut duluan tidak bisa dikatakan turun ke tingkat prateoritis, dengan alasan yang sudah jelas bahwa universum simbolis itu sendiri merupakan satu fenomen teoritis dan tetap demikian apabila dianut secara naif sekalipun.
Seperti dalam kasus lembaga, timbul pertanyaan tentang keadaan di mana terdapat keperluan untuk melegitimasi universum-universum simbolis dengan menggunakan peralatan konsep yang spesifik untuk memelihara universum. Dan di sini pun jawabannya serupa dengan yang diberikan dalam kasus lembaga-lembaga. Prosedur-prosedur spesifik pemeliharaan universum menjadi perlu apabila universum simbolis bersangkutan telah menjadi satu masalah. Selama keadaannya belum sampai demikian, universum simbolis bisa memelihara diri sendiri; artinya melegitimasikan diri hanya melalui faktisitas eksistensi objektifnya dalam masyarakat bersangkutan. Kita dapat membayangkan suatu masyarakat di mana hal ini mungkin terjadi. Masyarakat seperti itu tentunya merupakan sebuah “sistem” yang harmonis, mandiri, dan berfungsi dengan sempurna. Dalam kenyataannya tidak ada masyarakat yang demikian. Oleh karena ada ketegangan-ketegangan yang tak terelakkan dalam proses-proses pemelbagaan dan semata-mata karena kenyataan bahwa semua fenomen sosial merupakan bangunan-bangunan yang dihasilkan secara historis melalui kegiatan manusia, maka tak ada satu pun masyarakat yang sepenuhnya dianggap sebagai sudah sewajarnya, dan demikian pula halnya, a fortiori, dengan universum simbolis. Tiap universum, sejak awal sudah mengandung benih-benih masalah. Maka pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana ia sudah menjadi masalah.
Satu masalah intrinsik, yang serupa dengan masalah yang


-152-
telah kita bahas dalam hubungannya dengan tradisi pada umumnya, muncul dalam proses pengalihan universum simbolis dari satu generasi ke generasi lainnya. Sosialisasi tidak pernah berhasil sepenuhnya. Ada individu-individu yang “menghuni” universum yang dialihkan itu dengan cara yang lebih pasti dibandingkan dengan individu lain. Di kalangan “penduduk” yang sedikit-banyak sudah maju sekalipun, akan selalu ada variasi-variasi idiosinkratis dalam cara mereka memahami universum itu. Justru karena universum simbolis tidak bisa dialami sebagai universum simbolis dalam kehidupan sehari-hari, melainkan karena sifatnya mengatasi kehidupan sehari-hari itu, maka tidaklah mungkin untuk “mengajarkan” maknanya dengan cara yang langsung sebagaimana yang dapat digunakan untuk mengajarkan makna-makna kehidupan sehari-hari. Pertanyaan anak-anak mengenai universum simbolis harus dijawab dengan cara yang lebih kompleks dibandingkan dengan pertanyaan mereka tentang berbagai kenyataan kelembagaan dari kehidupan sehari-hari. Pertanyaan orang dewasa yang mempunyai pandangan yang aneh-aneh memerlukan pengulasan konsep lebih jauh. Dalam contoh yang telah dikemukakan di atas, makna kesepupuan secara terus-menerus direpresentasikan oleh sepupu-sepupu yang sebenarnya yang memainkan peranan sepupu dalam kegiatan rutin yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Sepupu-sepupu dunia insani terdapat secara empiris. Sayangnya, tidak begitu halnya dengan sepupu dunia dewa-dewa. Ini merupakan satu masalah yang intrinsik bagi para ahli pendidikan mengenai kesepupuan dewata. Sejalan dengan itu, hal yang sama berlaku bagi pengalihan universum-universum simbolis lainnya.
Masalah instrinsik ini menjadi lebih menonjol lagi jika versi-versi yang menyimpang dari universum simbolis dianut bersama-sama oleh berbagai golongan “penduduk”. Dalam keadaan seperti itu, karena hal-hal yang sudah jelas dalam sifat objektivasi, versi yang menyimpang itu menggumpal menjadi suatu kenyataan tersendiri yang, dengan eksistensinya di dalam masyarakat, mengancam status kenyataan universum simbolis dalam versinya yang asli. Golongan yang telah diobjektivasi kenyataan yang menyimpang ini menjadi pengemban suatu definisi alterna


-153-
tif tentang kenyataan.[81] Kiranya tak perlu kita bahas lebih lanjut persoalan bahwa golongan-golongan bid’ah itu tidak hanya merupakan ancaman teoritis bagi universum simbolis tersebut, tetapi juga ancaman praktis bagi tatanan kelembagaan yang telah dilegitimasi oleh universum simbolis itu. Prosedur penindasan yang biasanya digunakan terhadap golongan-golongan seperti itu oleh para penjaga definisi kenyataan yang “resmi”, tidak perlu kita bahas dalam konteks ini. Yang penting bagi pembahasan kita sekarang adalah perlunya penindasan-penindasan itu dilegitimasi, yang dengan sendirinya mengimplikasikan digerakkannya berbagai peralatan konseptual yang bertujuan untuk mempertahankan universum yang “resmi” terhadap tantangan golongan bid’ah itu.
Dari segi sejarah, masalah bid’ah itu seringkali merupakan dorongan pertama bagi konseptualisasi teoriti yang sistematis dari universum simbolis. Perkembangan pemikiran teologi Kristen sebagai akibat adanya serangkaian tantangan bid’ah terhadap tradisi “resmi” merupakan ilustrasi historis yang baik sekali mengenai proses ini. Sebagaimana halnya dalams emua kegiatan berteori, implikasi-implikasi teoritis baru di dalam tradisi itu sendiri muncul selama berlangsungnya proses ini, dan tradisi itu sendiri muncul selama berlangsungnya proses ini, dan tradisi itu sendiri didorong sampai melampaui bentuk asalnya ke dalam berbagai konseptualisasi baru. Sebagai contoh, lahirnya rumusan-rumusan Kristologi yang sangat teliti dari zaman dewan-dewan gereja yang pertama telah dipaksakan bukan oleh tradisi itu sendiri melainkan oleh berbagai tantangan bid’ah terhadapnya. Sementara rumusan-rumusan itu dimekarkan, tradisi itu dalam waktu yang bersamaan dipertahankan dan diperluas. dEngan demikian maka timbul, di antara banyak inovasi lainnya, sebuah konsepsi teoritis mengenai Trinitas yang tidak saja tidak perlu, tetapi yang sesungguhnya tidak terdapat dalam komunitas Kristen awal. Dengan kata lain, universum simbolis tidak hanya dilegitimasi, tetapi juga dimodifikasi oleh peralatan


-154-
konseptual yang telah dibangun untuk menghalau tantangan berbagai golongan bid’ah dalam suatu masyarakat.
Satu kesempatan yang baik sekali bagi pengembangan konseptualisasi untuk mempertahankan universum, muncul apabila suatu masyarakat berhadapan dengan sebuah masyarakat lain yang mempunyai sejarah yang sangat berbeda.[82] Masalah yang ditimbulkan oleh konfrontasi seperti itu secara khas lebih tajam daripada yang ditimbulkan oleh golongan-golongan bid’ah di dalam masyarakat yang bersangkutan, karena dalam hal itu yang dihadapi adalah suatu universum simbolis alternatif dengan suatu tradisi “resmi”, yang objektivitasnya, yang juga dianggap sudah sewajarnya, sepadan dengan yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Adalah jauh kurang mengejutkan bagi status kenyataan universum kita sendiri, apabila kita hanya berhadapan dengan golongan-golongan penyimpang yang merupakan minoritas, dan yang pembangkangannya sudah didefinisikan sebagai kebodohan atau kejahatan, dibandingkan dengan apabila kita harus berhadapan dengan suatu masyarakat lain yang memandang definisi kita sendiri mengenai kenyataan sebagai definisi orang yang tidak tahu, gila atau memang jahat.[83] Kita mungkin saja hidup bersama dengan sejumlah individu, bahkan juga seandainya mereka bersatu sebagai golongan minoritas yang tidak dapat atau tidak mau menaati ketentuan-ketentuan kelembagaan mengenai kesepupuan. Tetapi soalnya menjadi lain apabila, kita harus berhadapan dengan suatu masyarakat secara keseluruhan yang belum pernah mendengar tentang ketentuan-ketentuan itu, dan barangkali malahan tidak mempunyai kata untuk “sepupu”, dan walaupun begitu kehidupan sehari-harinya tampak lancar. Universum alternatif yang diperkenalkan oleh masyarakat lain itu harus dihadapi dengan dalih-dalih yang sekuat mungkin mengenai keunggulan universum kita sendiri. Keharusan ini memerlukan suatu peralatan konseptual yang canggih.


-155-
Munculnya sebuah universum simbolis alternatif merupakan satu ancaman oleh karena eksistensinya itu sendiri sudah membuktikan secara empiris bahwa universum kita sendiri bukannya tak terelakkan. Sebagaimana setiap orang dapat melihat sekarang, ternyata mungkin juga untuk hidup dalam dunia ini tanpa adanya lembaga kesepupuan. Dan orang bisa mengingkari atau malahan memperolok-olok para dewa kesepupuan tanpa pada saat itu juga mengakibatkan runtuhnya langit. Fakta yang menejutkan ini paling tidak harus dijelaskans ecara teoritis. Sudah tentu bisa juga terjadi bahwa universum alternatif itu mempunyai daya tarik misioner. Individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat kita sendiri mungkin saja tergoda untuk “beremigrasi” dari universum tradisional atau, yang merupakan bahaya lebih gawat lagi, untuk mengubah tatanan lama dengan meniru tatanan yang baru itu. Umpamanya, mudah untuk membayangkan bagaimana munculnya orang-orang Yunani yang partriarkal telah mengacaukan universum masyarakat matriarkal yang ketika itu terdapat di sepanjang pesisir Laut Tengah bagian timur. Universum orang Yunani pasti mempunyai daya tarik yang sangat besar bagi kaum pria dalam masyarakat-masyarakat itu yang hidup di bawah kekuasaan kaum wanita, dan kita tahu bahwa Ibunda Agung (the Great Mother) telah menimbulkan kesan yang sangat mendalam di kalangan orang Yunani sendiri. Mitologi Yunani penuh dengan pemekaran-pemekaran konsep yang ternyata diperlukan untuk dapat menanggulangi masalah ini.
Penting untuk ditekankan bahwa peralatan-peralatan konseptual-konseptual untuk memelihara universum itu adalah juga produk kegiatan-kegiatan sosial, seperti halnya semua bentuk legitimasi, dan jaranglah dapat dimengerti lepas dari banyak kegiatan lainnya dari kolektivitas bersangkutan. Khususnya, keberhasilan peralatan konseptual tertentu berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang menggunakannya.[84] Konfrontasi dengan berbagai universum simbolis alterna-


-156-
tif mengimplikasikan suatu masalah kekuasaan—masalah tentang yang mana dari definisi-definisi tentang kenyataan yang saling bertentangan itu akan “dipertahankan” dalam masyarakat. Dua masyarakat yang saling berhadapan dengan universum-universum yang bertentangan akan sama-sama mengembangkan peralatan-peralatan konseptual yang dimaksudkan untuk mempertahankan universum mereka masing-masing. Dari sudut pandang kemungkinan intrinsik kedua bentuk konseptualisasi itu bagi pengamat dari luar tampaknya barangkali tidak menawarkan banyak pilihan. Tetapi soal yang mana dari kedua universum itu yang akan menang, akanlebih tergantung kepada kekuasaan daripada kepada kelihaian teoritis para legitimator masing-masing. Kita bisa membayangkan bahwa para mystagotue Olimpian dan Chthonik yang sama-sama canggih akan bertemu dalam permusyawaratan ekumenis untuk membahas baik-buruknya universum-universum mereka masing-masing sine ira et studio (tenang tanpa prasangka) tetapi agaknya kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa persoalan itu akan diselesaikan pada tingkat militer dengan cara yang tidak begitu halus. Kesudahan tiap bentrokan antardewa dalam sejarah telah ditentukan oleh orang-orang yang menggunakan senjata-senjata yang lebih ampuh daripada oleh mereka yang dapat mengemukakan argumen yang lebih baik. Sudah tentu, hal yang sama bisa dikatakan tentang konflik-konflik semacam ini yang berlangsung di dalam suatu masyarakat. Yang mempunyai pentungan yang lebih besarlah berpeluang lebih besar untuk memaksakan definisi-definisinya mengenai kenyataan. Kiranya tidak akan meleset untuk menggunakan asumsi ini terhadap tiap kolektivitas yang lebih besar, walaupun ada saja kemungkinannya bahwa ahli-ahli teori yang tak mempunyai kepentingan politik akan saling meyakinkan tanpa menggunakan cara-cara bujukan yang lebih kasar.
Peralatan-peralatan konseptual yang memelihara universum


-156-
simbolis selalu memerlukan sistematisasi legitimasi kognitif dan normatif, yang sudah terdapat dalam masyarakat pada tingkat yang lebih naif, dan yang diwujudkan dalam universum simbolis yang bersangkutan. Dengan kata lain, bahan yang diperlukan untuk membangun legitimasi pemeliharaan universum, dalam banyak hal merupakan pemekaran yang lebih lanjut, pada tingkat integrasi teoritis yang lebih tinggi, dari berbagai legitimasi berbagai lembaga. Maka biasanya terdapt suatu kesinambungan antaraskema-skema penjelasan dan seruan, yang berfungsi sebaai legitimasi pada tingkat teoritis yang paling rendah, dan berbagai konstruksi intelektual yang megah yang menjelaskan kosmos. Hubungan antara konseptualisasi kognitif dan konseptualisasi normatif, di sini dan di tempat-tempat lainnya, secara empiris sangat kabur; konseptualisasi normatif selalu mengimplikasikan praandaian kognitif tertentu. Namun demikian, pembedaan analitis itu berguna terutama karena ia menarik perhatian kepada tingkat-tingkat diferensiasi yang berbeda-beda antara kedua bidang konseptual itu.
Kiranya sudah jelas bahwa adalah absurd untuk mencoba membahas secara terinci di sini berbagai peralatan konsep untuk memelihara universum yang secara historis tersedia bagi kita.[85] Namun demikian kiranya pada tempatnya untuk memberikan beberapa catatan mengenai sejumlah tipe peralatan konsep secara beruntun—mitologi, teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Tanpa mengusulkan suatu skema evolusioner bagi tipe-tipe seperti itu, kiranya tidak akan meleset untuk mengatakan bahwa mitologi merupakan bentuk peralatan paling kuno untuk memelihara universum, dan sesungguhnya ia merupakan bentuk paling kuno dari legitimasi pada umumnya.[86] Besar kemungkin-


-158-
an bahwa mitologi merupakan fase yang perlu dalam perkembangan pemikiran manusia sebagai pemikiran.[87] Bagaimana pun, konseptualisasi pemeliharaan universum paling tua yang kita kenal berbentuk mitologis. Untuk tujuan kita sekarang kiranya cukup jika kita mendefinisikan mitologi sebagai suatu konsepsi tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari ini terus-menerus diresapi oleh kekuatan-kekuata yang keramat.[88] Konsepsi seperti itu dengan sendirinya mengandaikan suatu tingkat kesinambungan yang tinggi antara tatanan sosial dan tatanan kosmis, dan antara semua legitimasi mereka masing-masing;[89] segenap kenyataan tampak seperti terbuat dari bahan yang sama.
Mitologi sebagai suatu peralatan konseptual letaknya paling dekat dengan taraf naif dari universum simbolis—tingkat di mana terdapat kebutuhan yang paling kecil untuk pemeliharaan universum secara teoritis dengan melampaui pengandaian bahwa universum yang bersangkutan benar-benar merupakan kenyataan yang objektif. Itulah sebabnya, mengapa dalam sejarah berulang-ulang muncul fenomen berbagai tradisi mitologis yang tidak konsisten tetapi bisa terus berdampingan satu sama lain tanpa adanya integrasi teoritis. Secara tipikal, ketidak-konsistenan itu hanya terasa setelah tradisi-tradisi itu menjadi problematis dan sementara itu sudah berlangsung semacam integrasi. “Pe-


-159-
nemuan” ketidakkonsistenan seperti itu (atau, katakanlah, asumsi expost facto-nya) biasanya dilakukan oleh para spesialis dalam tradisi itu, yang adalah juga para pengintegrasi yang paling lazim dari tema-tema tradisional yang lepas satu sama lain. Begitu kebutuhan akan integrasi sudah dirasakan, rekonstruksi mitologis yang dihasilkan sebagai konsekuensinya bisa mempunyai tingkat kecanggihan teoritis yang tinggi. Contoh dari Memeros kiranya cukup untuk membuktikan hal itu.
Mitologi juga dekat dengan tahap naif dalam arti bahwa, meskipun terdapat para spesialis dalam tradisi mitologis, pengetahuan mereka tidak beranjak jauh dari apa yang diketahui oleh umum. Dengan cara-cara ekstrinsik, inisiasi ke dalam tradisi yang dikelola oleh para spesialis ini bisa saja sukar. Ia mungkin terbatas pada calon-calon terpilih saja, pada kesempatan atau waktu-waktu tertentu, dan ia mungkin melibatkan persiapan ritual yang berat. Namun ia tidak selalu sukar dari segi kualitas intrinsik perangkat pengetahuan itu sendiri, yang tidak sulit untuk memperolehnya. Untuk menjaga kedudukan monopolistis para spesialis itu, ketertutupan adat kebiasaan mereka bagi orang luar harus dikukuhkan secara kelembagaan. Artinya, diandaikan adanya suatu “rahasia”, dan suatu perangkat pengetahuan yang secara intrinsik bersifat eksoteris (terbuka bagi umum) didefinisikan secara kelembagaan dengan kerangka esoteris. Satu pandangan sekilas mengenai “kegiatan hubungan masyarakat” yang dilakukan oleh berbagai kelompok ahli teori masa kini akan mengungkapkan bahwa permainan sulap dari zaman dulu itu sama sekali belum berakhir. Demikian pula, ada berbagai perbedaan sosiologis yang penting antara masyarakat-masyarakat di mana semua konseptualisasi untuk mempertahankan universum berbentuk mitologi, dan masyarakat yang tidak demikian.
Sistem-sistem mitologi yang lebih dikembangkan berusaha untuk meniadakan hal-hal yang tidak konsisten dan mempertahankan universum mitologis yang terintegrasi secara teoritis. Mitologi yang boleh dikatakan sudah merupakan “ajaran keagamaan” kemudian beralih menjadi konseptualisasi teologis yang sebenarnya. Untuk tujuan kita sekarang, pemikiran teologis dapat dibedakan dari pemikiran mitologis yang sebelumnya


-160-
hanya dari segi tingkat sistematisasi teoritisnya yang lebih tinggi. Konsep-konsep teologis lebih jauh lagi beranjak dari taraf naif. Kosmos mungkin masih dipahami dari segi kekuatan-kekuatan atau makhluk-makhluk keramat dari mitologi lama, tetapi entitas-etitas keramat ini telah digeser ke jarak yang lebih jauh. Pemikiran mitologis beroperasi di dalam kontinuitas antara dunia manusia dan dunia para dewa. Pemikiran teologis berfungsi untuk memperantarai kedua dunia itu, justru karena kontinuitas mereka yang semula ada sekarang kelihatan terputus. Dengan berlangsungnya peralihan dari mitologi ke teologi, kehidupan sehari-hari tampaknya tidak begitu terus-menerus dirembesi oleh kekuatan-kekuatan keramat. Karena itu, perangkat pengetahuan teologis bergeser lebih jauh dari cadangan pengetahuan umum yang dmiliki masyarakat dan dengan demikian secara intrinsik lebih sulit untuk memperolehnya. Bahkan di mana ia tidak dengan sengaja dilembagakan sebagai esoteris, ia tetap “rahasia” karena tidak bisa dimengerti oleh penduduk pada umumnya. Konsekuensinya yang lebih jauh adalah bahwa penduduk mungkin secara relatif tetap tak terpengaruh oleh teori-teori canggih yang dimaksudkan untuk memelihara universum yang dibuat oleh para spesialis teologi. Koeksistensi antara mitologi naif yang terdapat di kalangan massa rakyat dan teologi yang canggih di kalangan elit yang terdiri dari para ahli teori, di mana kedua-duanya berfungsi untuk mempertahankan universum simbolis yang sama, merupakan fenomen yang sering dijumpai dalam sejarah. Hanya denganmengingat fenomen ini, umpamanya, kita bisa menamakan masyarakat-masyarakat tradisional di Timur Jauh sebagai”Buddhis” atau,malahan, menamakan masyarakat abad pertengahan sebagai masyarakat “Kristen”.
Teologi berfungsi sebagai paradigma bagi konseptualisasi filosofis dan ilmiah yang lebih kemudian mengenai kosmos. Sementara teologi mungkin lebih dekat dengan mitologi dalam hal isi religius definisi-definisinya tentang kenyataan, ia lebih dekat dengan konseptualisasi yang lebih kemudian, yang mudah disekularisasikan, dalam lokasi sosialnya. Berbeda dengan mitologi, ketiga bentuk peralatan konsep lainnya yang dominan dalam


-161-
sejarah mejadi milik para elit spesialis, yang perangkat-perangkat pengetahuannya menjadi semakin jauh terpisah dari pengetahuan umum masyarakat luas. Ilmu pengetahuan modern merupakan satu langkah yang ekstrim dalam perkembangan ini, dan dalam sekularisasi dan kecanggihan upaya untuk mempertahankan universum. Ilmu pengetahuan tidak hanya menuntaskan penggeseran hal-hal yang keramat dari dunia kehidupan sehari-hari, tetapi ia bahkan menggeser pengetahuan untuk mempertahankan universum itu sendiri dari dunia. Kehidupan sehari-hari tidak lagi memiliki legitimasi keramat dan jenis kejelasan teoritis yang dapat mengaitkannya kepada universum simbolis dalam totalitasnya yang dikehendaki. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, anggota masyarakat yang “awam” tidak tahu lagi bagaimana universum harus dipelihara secara konseptual, meskipun dengan sendirinya, ia masih tahu siapa-siapa yang dianggap sebagai spesialis dalam memelihara universum itu. Masalah menarik yang ditimbulkan oleh situasi itu termasuk dalam sosiologi pengetahuan empiris tentang masyarakat masa kini dan tidak dapat dibahas lebih lanjut dalam konteks buku ini.
Kiranya sudah jelas bahwa tipe-tipe peralatan konseptual itu telah muncul dalam sejarah dalam berbagai modifikasi dan kombinasi yang tak terbilang banyaknya, dan bahwa tipe-tipe yang telah kita bahas tidak harus mencakup semuanya itu. Tetapi masih ada dua penerapan dari peralatan konseptual untuk mempertahankan universum yang perlu dibahas dalam konteks teori umum: terapi dan penihilan (nihilation).
Terapi menyangkut penerapan peralatan konseptual untuk menjamin bahwa para penyimpang yang aktual atau potensial tetap berada dalam definisi-definisi tentang kenyataan yang sudah dilembagakan, atau, dengan kata lain, untuk mencegah “penghuni-penghuni suatu universum “beremigrasi”. Hal itu dilakukan dengan jalan menerapkan aparat legitimasi kepada “kasus-kasus” perorangan. Oleh karena, seperti telah kita lihat, tiap masyarakat menghadapi bahaya penyimpangan oleh individu-individu, maka kita bisa mengandaikan bahwa terapi itu dalam salah satu bentuknya merupakan satu fenomen sosial yang global. Pengaturan-pengaturan kelembagaannya yang ter-


-162-
tentu, mulai dari cara-cara untuk mengusir roh jahat sampai kepada psikoanalisa, mulai dari bimbingan yang diberikan oleh pendeta sampai kepada program-program penyuluhan personil, sudah tentu, termasuk dalam kategori kendali sosial. Tetapi yang menarik bagi kita di sini adalah aspek-aspek konseptual dari terapi itu. Oleh karena terapi harus memusatkan perhatiannya kepada berbagai penyimpangan dari definisi “resmi” tentang kenyataan, maka ia harus mengembangkan suatu peralatan konseptual untuk menjelaskan penyimpangan itu dan untuk mempertahankan kenyataan yang terancam olehnya. Ini memerlukan satu kumpulan pengetahuan yang mencakup suatu teori tentang penyimpangan, suatu aparat untuk melakukan diagnosa, dan sebuah sistem konseptual untuk “menyembuhkan jiwa”.
Sebagai contoh, dalam suatu kolektivitas di mana terdapat homoseksualitas yang sudah melembaga di kalangan militer, maka individu yang tetap membangkang untuk mempertahankan heteroseksualitasnya sudah pasti merupakan calon untuk menjalani terapi, tidak saja karena minat-minat seksualnya jelas-jelas merupakan ancaman bagi efisiensi tempur kesatuannya yang terdiri dari prajurit-prajurit yang saling mencintai, tetapi juga karena penyimpangannya dari segi psikologis merongrong kejantanan spontan orang-orang lainnya. Bagaimanapun juga, beberapa diantara mereka, mungkin saja secara “bawah sadar”, akan tergoda untuk mengikuti jejaknya. Pada tingkat yang lebih mendasar, kelakuan orang yang menyimpang itu merupakan pembangkangan terhadap kenyataan sosial sebagai apa adanya, dengan mempertanyakan prosedur-prosedur operasi yang sudah diterima sebagai sewajarnya di bidang kognitif (“pria-pria jantan menurut kodratnya saling mencintai”) dan di bidang normatif (pria-pria jantan seharusnya saling mencintai”). Sesungguhnya orang yang menyimpang itu mungkin akan dipandang sebagai orang yang secara terang-terangan menghina para dewa yang di alam kayangan sana saling mencintai seperti halnya para penyembah mereka di dunia. Penyimpangan yang radikal seperti itu memerlukan cara-cara terapi yang mempunyai landasan yang kuat dalam teori tentang terapi. Juga harus ada suatu teori ten-


-163-
tang penyimpangan (artinya, suatu “patologi”) yang memberikan penjelasan tentang kondisi yang mengejutkan itu (katakanlah, dengan mengandaikan bahwa orang yang bersangkutan kemasukan roh jahat). Juga harus ada satu perangkat konsep diagnosa (katakanlah, suatu symptomatology, dengan berbagai ketrampilan yang sesuai untuk diterapkan dalam pengadilan melalui cobaab), yang secara optimal tidak saja dapat melakukan spesifikasi yang tepat mengenai kondisi-kondisi yang akut, akan tetapi juga deteksi “heteroseksual yang laten” dan mengambil tindakan pencegahan dengan segera. Akhirnya, harus ada konseptualisasi tentang proses penyembuhan itu sendiri (katakanlah, suatu katalog tentang teknik mengusir roh jahat, masing-masing dengan landasan teoritisnya yang memadai).
Peralatan konseptual seperti itu memungkinkan penerapan terapinya oleh para spesialis dengan semestinya, dan dapat diinternalisasi oleh para individu yang menderita karena adanya penyimpangan itu. Internalisasi itu sendiri harus mempunyai keefektifan terapuetis. Dalam contoh kita, peralatan konsepnya bisa dirancang begitu rupa sehingga dapat menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu (katakanlah suatu “kecemasan heteroseksual”), satu hal yang tidak terlalu sulit apabila sosialisasi primernyasetidak-tidaknya secara minimal berhasil. Di bawah tekanan rasa bersalahnya, individu itu pada akhirnya akan mau menerima secara subjektif konseptualisasi kondisinya yang oleh para ahli terapi dihadapkan kepadanya: ia secara berangsur-angsur memperoleh suatu “pengertian yang mendalam”, dan diagnosa itu menjadi subjektif nyata baginya. Peralatan konseptual itu bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memungkinkan pengonsepsian (dan dengan demikian penghapusan secara konseptual) tiap kesangsian mengenai terapi di pihak ahli terapi atau “pasien”. Umpamanya saja, mungkin akan ada sebuah teori mengenai “perlawanan” (resistance) untuk menjelaskan kesangsian-kesangsian yang terdapat pada pasien, dan sebuah teori mengenai “kontra-transferensi” (counter-transference) untuk menjelaskan berbagai kesangsian yang mungkin menghinggapi ahli terapi. Terapi yang berhasil adalah yang menciptakan suatu simetri antara peralatan konseptual dan penghayatannya yang


-164-
subjektif dalam kesadaran individu: ia melakukan sosialisasi kembali orang yang menyimpang itu ke dalam kenyataan objektif dari universum simbolis masyarakat. Sudah tentu akan terdapat rasa puas yang besar dalam diri orang yang dengan demikian kembali ke “keadaan normal” itu. Orang itu sekarang bisa kembali ke pelukan berahi komandan peletonnya dengan perasaan bahagia, karena ia tahu bahwa ia telah “menemukan dirinya” dan kembali di jalan yang benar dalam pandangan para dewa.
Terapi menggunakan suatu peralatan konsep untuk mempersatukan semua orang di dalam universum yang bersangkutan. Penihilan atau peniadaan, pada gilirannya, menggunakan peralatan yang serupa untuk meniadakan secara konseptual segala sesuatu yang berada di luar universum itu. Prosedur ini juga bisa dilukiskan sebagai semacam legitimasi negatif. Legitimasi mempertahankan kenyataan universum yang telah dibangun secara sosial: peniadaan menyangkal kenyataan dari fenomen atau interpretasi fenomen yang bagaimanapun, yang tidak cocok dengan universum tersebut. Ini bisa dilakukan dengan dua jalan. Pertama, fenomen-fenomen yang menyimpang bisa diberi status ontologis yang negatif, dengan atau tanpa maksud terapeutis. Penggunaan peralatan konseptual untuk tujuan penihilan paling sering diterapkan kepada individu-individu atau golongan-golongan yang asing bagi masyarakat yang bersangkutan dan karenanya tidak bisa diberi terapi. Dalam hal ini operasi konseptualnya sederhana saja. Ancaman terhadap definisi sosial tentang kenyataan dinetralkan dengan jalan memberi status ontologis yang lebih rendah—dan dengan demikian suatu status kognitif yang tidak perlu ditanggapi dengan sungguh-sungguh dibandingkan dengan semua definisi yang berada di luar universum simbolis itu. Dengan demikian, ancaman dari golongan antihomoseksual di sekitar masyarakat homoseksual itu bisa ditiadakan secara konseptual bagi yang disebut belakangan itu dengan jalan memandang tetangga-tetangga mereka itu sebagai makhluk yang lebih rendah dari manusia dan yang dilahirkan dengan alam pikiran yang kacau tentang segala macam perkara, penghuni alam kegelapan kognitif yang tak bisa di-


-165-
tolong lagi. Silogisme dasarnya adalah sebagai berikut: tetangga-tetangga kita itu adalah suku barbar. Tetangga-tetangga kita itu adalah antihomoseks. Karena itu, antihomoseksualitas mereka merupakan omong kosong orang-orang yang tak beradab, yang tidak perlu ditanggapi sungguh-sungguh oleh orang yang berpikiran sehat. Prosedur konseptual yang sama, dengan sendirinya, juga bisa dikenakan kepada orang-orang yang menyimpang di dalam masyarakat itu sendiri. Apakah orang sesudah itu akan beralih dari penihilan kepada terapi, atau malahan akan meniadakan secara fisik apa yang telah ditiadakan secara konseptual itu, merupakan persoalan kebijaksanaan yang praktis. Dalam kebanyakan kasus, kekuasaan material dari golongan yang telah ditiadakan secara konseptual itu akan merupakan faktor yang bukan tidak penting. Dan, apa boleh buat, kadang-kadang keadaan yang dapat memaksa orang untuk tetap bersahabat dengan orang-orang barbar.
Kedua, penihilan melibatkan upaya yang lebih ambisius untuk menjelaskan semua definisi yang menyimpang tentang kenyataan berdasarkan konsep-konsep yang termasuk dalam universum kita sendiri. Dalam suatu kerangka acuan teologis hal ini menyangkut peralihan dari heresiologi ke apologetika (apologetics; suatu peralihan dari pembid’ahan ke pembelaan). Konsepsi-konsepsi yang menyimpang itu tidak sekadar diberi status negatif, mengingat konsep-konsep itu digarap secara terinci dari segi teori. Tujuan akhir prosedur ini adalah untuk memasukkan konsepsi itu ke dalam universum kita sendiri, dan dengan demikian meniadakannya sama sekali. Karena itu konsepsi yang menyimpang itu harus diterjemahkan ke dalam konsep-konsep yang diambil dari universum kita sendiri. Dengan cara ini, pengingkaran terhadap suatu universum dengan cara yang halus diubah menjadi pengakuan terhadapnya. Dalam hal ini selalu diandaikan sebelumnya bahwa orang yang ingkar itu memang tidak tahu apa yang ia katakan. Pernyataan-pernyataannya hanya menjadi bermakna sesudah diterjemahkan ke dalam istilah-istilah yang lebih “tepat”, yakni istilah yang diambil dari universum yang ia ingkari. Sebagai contoh, para ahli teori kita yang homoseksual dalam contoh di atas mungkin akan


-166-
mengemukakan argumen bahwa semua orang secara kodrati adalah homoseks. Mereka yang menyangkal ini, karena kemasukan roh jahat atau hanya karena mereka orang barbar, berani menyangkal kodrat mereka sendiri. Dalam lubuk hati mereka sendiri mereka sebetulnya tahu ini. Karena itu yang perlu hanyalah untuk meneliti pernyataan-pernyataan mereka dengan seksama guna mengungkapkan sikap mereka yang sebenarnya yang beritikad buruk dan hanya ingin membela diri saja. Dengan demikian, apa pun yang mereka katakan dalam soal ini akan dapat diterjemahkan menjadi pengakuan terhadap universum homoseks, yang pura-pura mereka ingkari. Dalam suatu kerangka acuan teologis, prosedur yang sama membuktikan bahwa iblis tanpa menyadarinya sendiri sebetulnya mengagungkan Tuhan, bahwa segala ketidak-percayaan sebenarnya tidak lain dari ketidakjujurannya yang tak disadari, malahan seorang ateis sesungguhnya adalah orang yang beriman.
Penggunaan peralatan konseptual untuk tujuan terapi dan peniadaan terdapat secara inheren dalam universum simbolis itu sendiri. Jika universum simbolis ingin mencakup seluruh kenyataan, maka apa pun tak boleh dibiarkan berada diluar lingkup konsepnya. Setidak-tidaknya dalam prinsipnya, definisi-definisinya tentang kenyataan harus mencakup totalitas keberadaan. Peralatan konseptual yang dipakai dalam upaya totalisasi itu, dari segi sejarah, berbeda-beda tingkat kecanggihannya. Akan tetapi, in nuce, peralatan konseptual itu akan muncul begitu suatu universum simbolis sudah terwujud.
Organisasi Sosial untuk Memelihara Universum
Karena merupakan produk historis dari kegiatan manusia, maka semua universum yang dibangun secara sosial itu berubah, dan perubahan itu ditimbulkan oleh tindakan-tindakan kongkrit manusia. Jika kita tenggelam dalam segala seluk beluk mengenai peralatan konseptual yang digunakan untuk memelihara tiap universum tertentu, kita bisa lupa akan fakta sosiologis yang mendasar ini: Kenyataan ditentukan atau didefinisikan secara sosial. Akan tetapi definisi-definisi itu selamanya diwujudkan, artinya, individu-individu dan kelompok individu


-167-
yang kongkrit bertindak sebagai pembuat definisi tentang kenyataan. Untuk dapat memahami keadaan universum yang dibangun secara sosial itu pada setiap saat tertentu, atau perubahannya dalam perjalanan waktu, kita harus memahami organisasi sosial yang telah memungkinkan para pembuat definisi melakukan tugas itu. Dengan kata-kata yang agak kasar, adalah penting sekali untuk melangkah terus dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai konseptual kenyataan yang terdapat dalam sejarah, dengan bertolak dari “Apa?” yang abstrak ke “Kata siapa?” yang sosiologis-kongkrit.[90]
Seperti telah kita lihat, spesialisasi pengetahuan dan organisasi personil yang menyertainya untuk tujuan pengelolaan perangkat-perangkat pengetahuan yang terspesialisasi berkembang sebagai akibat pembagian kerja. Kita bisa membayangkan suatu tahap awal dari perkembangan ini di mana belum ada persaingan di antara berbagai pakar. Tiap bidang keahlian didefinisikan oleh fakta-fakta pragmatis dari pembagian kerja. Ahli berburu tidak akan mengaku memiliki keahlian menangkap ikan dan dengan demikian tidak akan punya alasan untuk bersaing dengan orang yang mempunyai keahlian itu.
Sementara timbul bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih kompleks dan terbentuk surplus ekonomi, para ahli mengabdikan diri mereka sepenuhnya kepada bidang keahlian mereka, yang, dengan berkembangnya peralatan-peralatan konseptual, bisa menjadi semakin jauh dari kebutuhan-kebutuhan pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli dalam perangkat-perangkat pengetahuan yang sudah diperhalus itu lalu menuntut suatu


-168-
status baru. Mereka tidak hanya ahli dalam sektor ini atau itu dari cadangan pengetahuan dalam masyarakat, mereka juga menuntut yuridiksi paling tinggi atas cadangan pengetahuan itu dalam totalitasnya. Mereka merupakan ahli-ahli universum dalam arti kata yang sesungguhnya. Namun ini tidak berarti bahwa mereka mengaku mengetahui segala-galanya, mereka hanya mengaku mengetahui arti yang paling mendasar dari apa yang diketahui dan diperbuat oleh setiap orang. Orang-orang lain boleh saja terus mematoki sektor-sektor tertentu dari kenyataan sosial, tetapi para ahli itu mengaku memiliki keahlian dalam hal definisi yang paling mendasar mengenai kenyataan itu sendiri.
Tahap ini dalam perkembangan pengetahuan mengandung sejumlah konsekuensi. Yang pertama, yang telah kita bahas, adalah munculnya teori murni. Oleh karena para ahli universum beroperasi pada satu tingkat abstraksi yang tinggi dari peristiwa sehari-hari, maka orang lain dan mereka sendiri mungkinberkesimpulan bahwa teori0teori mereka tidak punya kaitan apa pun dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, melainkan berada dalam semacam alam Platonik yang dihuni oleh ide-ide yang asosial dan ahistoris. Sudah tentu, ini hanya suatu ilusi, namun ia bisa mempunyai potensi sosio-historis yang besar, karena adanya hubungan antara proses mendefinisikan kenyataan dan proses memproduksi kenyataan.
Konsekuensi kedua adalah menjadi semakin kuatnya tradisionalisme dalam tindakan-tindakan yang sudah melembaga dan dilegitimasikan; artinya, semakin kuatnya kecenderungan pelembagaan yang inheren ke arah kelembaman (inertia).[91] Pembinaan dan pelembagaan pada dirinya membatasi kelenturan tindakan-tindakan manusia. Lembaga-lembaga cenderung untuk bertahan terus kecuali jika sudah berubah menjadi “masalah”. Legitimasi yang paling mendasar tak dapat tidak akan memperkuat kecenderungan ini. Semakin abstrak legitimasi itu, semakin


-169-
kecil kemungkinannya untuk bisa diubah sesuai dengan berubahnya keadaan-keadaan yang pragmatis. Jika ada kecenderungan untuk, dengan cara apapun, bertahan terus seperti yang sudah-sudah, maka kecenderungan ini jelas diperkuat oleh adanya alasan-alasan yang baik kecuali untuk berbuat demikian. Ini berarti bahwa lembaga-lembaga bisa bertahan terus, bahkan apabila, dalam pandangan orag luar, lembaga-lembaga itu sudah kehilangan fungsionalitas atau kepraktisannya yang semula. Orang melakukan hal-hal tertentu bukan karena hal-hal itu bisa dilakukan, melainkan karena hal-hal itu benar—artinya, benar dari segi definisi-definisi yang paling mendasar tentang kenyataan yang telah diumumkan dengan resmi oleh para ahli universum itu.[92]
Munculnya personil yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada legitimasi yang mempertahankan universum juga menimbulkan peluang-peluang bagi konflik sosial. Beberapa diantara konflik-konflik itu adalah antara para pakar dan para praktisinya. Yang belakangan itu, karena alasan-alasan yang tidak perlu dibahas lebih lanjut di sini, mungkin saja merasa jengkel dengan pretensi yang muluk-muluk dari para pakar dan berbagai privilesi sosial yang kongkrit yang mereka nikmati berdasarkan pretensi-pretensi itu. Yang agaknya paling menyakitkan hati mereka adalah pengakuan para pakar itu bahwa mereka lebih mengetahui arti yang paling mendasar dari kegiatan para praktisi daripada para praktisi itu sendiri. Pemberontakan seperti itu di pihak “orang-orang awam” bisa mengakibatkan munculnya definisi-definisi saingan mengenai kenyataan dan, akhirnya, bisa muncul pakar-pakar baru yang bertugas mengamankan definisi-definisi baru itu. India Kuno memberikan kepada kita beberapa di antara ilustrasi-ilustrasi historis yang paling baik tentang ini. Orang-orang Brahman, qua pakar dalam masalah kenytaan yang paling mendasar, secara mencengangkan telah berhasil untuk menanamkan de-


-170-
finisi-definisi mereka tentang kenyataan dalam masyarakat luas. Apa pun asal-usulnya, sistem kasta sebagai buatan kaum Brahman telah berhasil meluaskan diri selama berabad-abad sampai meliputi bagian terbesar anak-benua India. Malahan, para pangeran yang memerintah selalu meminta orang-orang Brahman untuk bertindak sebagai “perekayasa sosial” guna menegakkan sistem itu di wilayah-wilayah baru (untuk sebagian karena sistem itu dipandang sebagai identik dengan peradaban yang lebih tinggi, dan untuk sebagian juga, tak disangsikan lagi, karena para pangeran memahami kegunaannya yang sangat besar sebagai kendali sosial). Hukum Manu (Code of Manu) memberikan kepada kita satu gambaran yang baik sekali tentang rancangan kaum Brahman mengenai masyarakat dan keuntungan-keuntungan yang sangat duniawi yang mereka peroleh sebagai akibat diterimanya mereka sebagai perancang yang sudah ditakdirkan secara kosmis. Tetapi tak terelakkan lagi nantinya akan muncul konflik antara para ahli teori itu dan para pelaksana kekuasaan dalam situasi seperti itu. Yang belakangan itu diwakili oleh kaum Kshatria, yakni kasta militer dan bangsawan. Kepustakaan epos India Kuno, yakni Mahabharata dan Ramayana, memberikan kesaksian yang jelas sekali tentang konflik ini. Bukanlah suatu kebetulan, bahwa pemberontakan teoritis terhadap universum Brahman, yakni Jainisme dan Buddhisme, dari segi sosial muncul dari kalangan kaum Kshatriya. Tak perlu dijelaskan lagi kiranya bahwa pendefinisian ulang tentang kenyataan sosial yang dilakukan oleh Jainisme dan buddhisme telah melahirkan pakar-pakar mereka sendiri, seperti agaknya begitu pula halnya dengan para penyair epos yang menyangkal universum Brahman dengan cara yang tidak begitu komprehensif dan tidak begitu canggih.[93]
Dengan ini kita sampai kepada satu kemungkinan konflik lain yang tak kurang pentingnya—konflik antara kelompok-kelompok pakar yang saling bersaing. Selama teori mempunyai kegunaan pragmatis yang bisa diterapkan secara langsung, per-


-171-
saingan apa pun yang mungkin ada masih cukup mudah diselesaikan melalui pengujian secara pragmatis. Mungkin saja ada teori-teori yang saling bersaing tentang berburu babi hutan di mana berbagai kelompok pakar pemburuan yang saling bersaing mengembangkan kepentingan yang mapan. Persoalan itu bisa diselesaikan dengan cara yang relatif mudah, yakni dengan melihat sendiri teori yang mana yang paling memungkinkan orang membunuh babi hutan paling banyak. Kemungkinan seperti itu tak ada dalam hal memecahkan persaingan antara, katakanlah, sebuah teori yang politeistis dan sebuah teori yang henoteistis tentang alam semesta. Para ahli teori yang bersangkutan harus mengganti cara pengujian yang pragmatis dengan argumentasi yang abstrak. Karena sifatnya, argumentasi seperti itu secara inheren tidak mampu membuktikan kebenarannya dengan suatu keberhasilan yang pragmatis. Apa yang meyakinkan bagi seseorang mungkin tidak meyakinkan bagi orang lain. Bagaimanapun kita tidak bisa menyalahkan para ahli teori seperti itu jika mereka lalu mencari berbagai penopang yang lebih kukuh bagi argumen yang rapuh—seperti, umpamanya berupaya agar pihak berwajib menggunakan kekuatan senjata untuk memaksakan argumen seseorang kepada saingan-saingannya. Dengan kata lain, definisi-definisi mengenai kenyataan bisa dipaksakan oleh polisi. Secara sambil lalu, hal itu tidak berarti bahwa definisi-definisi seperti itu akan tetap kurang meyakinkan dibandingkan dengan definisi yang diterima baik secara “sukarela”—kekuasaan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan yang membuat kenyataan. Bagaimana pun juga, simbolisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Bagaimanapun juga, simbolisasi yang sangat abstrak (artina, teori-teori yang pada umumnya jauh dari pengalaman kongkrit kehidupan sehari-hari) sementara disahkan oleh dukungan sosial dan bukan dukungan empiris.[94] Kita bisa saja mengatakan bahwa ini berarti kembali kepada suatu pragmatisme yang semu. Teori-teori itu


-172-
lalu bisa dikatakans ebagai meyakinkan karena ternyata berlaku,—artinya, berlaku dalam arti menjadi pengetahuan yang baku dan diterima sebagai sudah sewajarnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pertimbangan-pertimbangan itu mengandung arti bahwa selalu akan ada suatu landasan sosial-struktural bagi persaingan antara definisi-definisi yang saling bersaing tentang kenyataan dan bahwa kesudahan persaingan itu akan dipengaruhi, jika tidak selalu ditentukan secara langsung, oleh perkembangan landasan itu. Rumusan-rumusan teoritis yang muskil bisa saja dihasilkan dalam keadaan hampir terisolasi dari perkembangan-perkembangan besar dalam struktur sosial, dan dalam kasus-kasus seperti itu persaingan di antara pakar-pakarnya bisa berlangsung di dalam semacam ketiadaan masyarakat. Umpamanya, dua kelompok pertapa darwis bisa saja berdebat terus tentang sifat yang paling hakiki dari alam semesta di tengah-tengah gurun pasir, tanpa menarik perhatian sedikit pun orang-orang di luar kalangan mereka. Akan tetapi, begitu salah satu di antara pandangan-pandangan dalam perdebatan itu mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, maka pada umumnya kepentingan ekstra-teoritislah yang akan menentukan kesudahan persaingan itu. Golongan-golongan sosial yang berbeda akan mempunyai afinitas yang berbeda dengan teori-teori yang bersaing itu dan untuk selanjutnya akan menjadi “pengemban-pengembannya”.[95] Demikianlah maka teori Darwis A mungkin menarik bagi lapisan atas dan teori Darwis B akan mempunyai daya tarik bagi lapisan mengenah dalam masyarakat yang bersangkutan, untuk alasan-alasan yang jauh dari gejolak perasaan yang telah menggerakkan para penemu teori-teori itu sendiri. Lalu kelompok-kelompok pakar yang saling bersaing akan bergabung dengan golongan-golongan “pengemban”, dan nasib mereka selanjutnya akan tergantung kepada kesudahan konflik yang sebenarnya yang telah menyebabkan golongan-golongan itu menganut teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian


-173-
maka persaingan antara definisi-definisi tentang kenyataan diselesaikan dalam bidang persaingan kepentingan sosial yang pada gilirannya, “diterjemahkan” ke dalam bidang teori. Apakah pakar-pakar yang bersaing itu dan para pendukung mereka masing-masing “jujur” dalam hubungan subjektif mereka dengan teori-teori yang bersangkutan, merupakan soal yang tidak begitu penting bagi pemahaman sosiologis tentang proses-proses itu.
Apabila bukan hanya persaingan teoritis melainkan juga persaingan praktis yang timbul di antara kelompok-kelompok pakar yang menganut berbagai definisi yang berbeda tentang hakikat kenyataan, maka de-pragmatisasi teori menjadi potensi yang eksentrik; artinya, sebuah teori “dibuktikan” sebagai lebih unggul dari segi pragmatis bukan berdasarkan kualitas intrinsiknya, melainkan atas dasar sejauh mana teori itu bisa diterapkan bagi kepentingan-kepentingan sosial golongan yang menjadi “pengembannya”. Sebagai akibatnya maka dalam sejarah terdapat banyak sekali ragam organisasi sosial dari para pakar teori. Meskipun jelas tak mungkin untuk memberikan suatu tipologi yang lengkat disini, kiranya akan bermanfaat untuk membahas beberapa di antara tipe-tipe yang paling umum.
Pertama sekali, barangkali secara paradigmatis, ada kemungkinan bagi para pakar universum untuk memegang suatu monopoli yang efektif atas semua definisi hakiki mengenai kenyataan dalam suatu masyarakat. Situasi seperti itu bisa dianggap paradigmatis oleh karena ada alasan yang kuat untuk menganggapnya sebagai khas bagi fase-fase awal dalam suatu sejarah manusia. Monopoli seperti itu berarti bahwa ada satu tradisi simbolis tunggal, yang mempertahankan universum bersangkutan. Maka hidup dalam masyarakat itu berarti menerima baik tradisi tersebut. Para pakar dalam tradisi ini diakui sedemikian rupa oleh semua anggota masyarakat dan mereka tidak menghadapi saingan yang efektif. Semua masyarakat primitif yang secara empiris terbuka bagi penyelidikan kita tampaknya termasuk dalam tipe ini, dan, dengan beberapa modifikasi, hal yang sama berlaku


-174-
pada bagian terbesar peradaban kuno.[96] Ini tidak berarti bahwa masyarakat-masyarakat itu tidak mempunyai orang-orang yang skeptis, bahwa setiap orang tanpa kecuali telah menginternalisasikan tradisi itu sepenuhnya, melainkan bahwa orang-orang yang skeptis di sana tidak terorganisasi secara sosial untuk dapat membantah para penegak tradisi “resmi”.[97]
Dalam situasi seperti itu, tradisi monopolistik dan para ahli yang mengelolanya didukung oleh suatu struktur kekuasaan yang merupakan satu kesatuan. Mereka yang menduduki posisi kekuatasaan yang sifatnya menentukan, siap sedia untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan definisi tradisional tentang kenyataan kepada penduduk yang berada di bawah otoritas mereka. Konsep-konsep saingan yang potensial mengenai universum dimusnahkan begitu mereka muncul—mereka dihancurkan secara fisik (“barangsiapa tidak menyembah dewa-dewa harus mati"” atau diintegrasikan ke dalam tradisi itu sendiri (para pakar universum dalam hal ini mengemukakan argumen bahwa pantheon yang merupakan saingan itu sesungguhnya hanya aspek atau nama lain dari pantheon X yang tradisional). Dalam kasus yang disebut belakangan ini, apabila para pakar berhasil dengan argumen mereka dan persaingan dapat diselesaikan melalui semacam "“eleburan"” maka tradisi itu menjadi lebih kaya dan lebih beraneka ragam. Persaingan itu juga bisa dilokalisasi dalam masyarakat dan dengan demikian dibuat tidak membahayakan lagi sejauh menyangkut monopoli tradisional—umpamanya, para anggota golongan penakluk atau penguasa tidak diperbolehkan menyembah dewa dari tipe Y, tetapi lapisan penduduk yang telah ditundukkan atau yang lebih rendah boleh melakukannya. Lokalisasi yang serupa dengan maksud perlindungan bisa dikenakan terhadap orang-orang asing atau “kaum tamu”.[98]


-175-
masyarakat Kristen Abad Pertengahan (yang pasti tidak bisa disebut primitif atau kuno, namun demikian sebuah masyarakat dengan monopoli simbolis yang efektif) memberikan ilustrasi yang baik sekali bagi ketiga prosedur penyelesaian itu. Bid’ah yang terang-terangan harus dihancurkan secara fisik, tidak peduli apakah bid’ah itu menjelma dalam seorang individu (katakanlah seorang tukang sihir) atau sebuah kolektivitas; katakanlah Komunitas Albigenses. (Albigenses, sebuah sekte keagamaan di Prancis sekitar 1020-1250, yang ditindas karena bid’ah—penerjemah). Dalam pada itu, Gereja, sebagai penjaga monopolistis dari tradisi Kristiani, sangat lentur dalam sikapnya untuk memasukkan ke dalam tradisi itu berbagai ragam kepercayaan dan kebiasaan rakyat selama hal-hal itu tidak sampai menggumpal menjadi pembangkangan bid’ah yang tegas terhadap universum Kristiani itu sendiri. Tidak menjadi soal bahwa para petani memilih salah satu di antara dewa-dewa mereka, “membaptisnya” sebagai orang suci Kristen, dan masih terus memelihara dongeng-dongeng lama serta merayakan hari-hari besar lama yang ada hubungan dengannya. Dan definisi-definisi saingan tertentu tentang kenyataan setidak-tidaknya bisa dilokalisasi dalam masyarakat Kristen tanpa dipandang sebagai ancaman baginya. Kasus yang paling penting dalam hal ini, tentunya, adalah kasus orang-orang Yahudi,walaupun situasi serupa juga timbul di mana orang-orang Kristen dan orang Islam terpaksa hidup berdekatan satu sama lain dalam masa damai. Secara sambil lalu boleh dikemukakan bahwa pemencilan seperti ini juga telah melindungi universum Yahudi dan Islam terhadap “pencemaran” Kristen. Selama definisi-definisi saingan tentang kenyataan dapat secara konseptual dan sosial dilokalisasi sebagai hal-hal yang hanya cocok bagi orang-orang asing, dan atas dasar itu sebagai tidak relevan bagi kita sendiri, maka kita bisa mengadakan hubungan bersahabat dengan orang-orang asing itu. Kesulitan timbul apabila “keasingannya” sudah dapat ditembus dan universum yang menyimpang itu menampakkan diri sebagai habitat yang mungkin bagi orang-orang kita sendiri. Pada titik itu, para pakar tradisional agaknya akan menyerukan penggunaan bedil dan pedang—atau, sebagai alternatifnya, terutama


-176-
jika bedil dan pedang ternyata tidak tersedia, untuk memulai perundingan-perundingan ekumenis dengan saingan-saingan mereka itu.
Situasi monopolistis seperti ini terlebih dahulu mengandaikan adanya suatu tingkat kestabilan sosio-struktural yang tinggi, dan situasi-situasi itu sendiris ecara struktural mempunyai efek menstabilkan. Definisi-definisi tradisional tentang kenyataan merintangi perubahan sosial. Sebaliknya, terputusnya keadaan di mana monopoli diterima sebagai sudah sewajarnya mempercepat perubahan sosial. Karena itu kita tidak perlu heran bahwa terdapat suatu afinitas yang mendalam antara mereka yang berkepentingan untuk mempertahankan posisi kekuasaan yang sudah mapan dan orang-orang yang mengelola tradisi pemeliharaan universum yang monopolistis. Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan politik yang konservatif cenderung untuk mendukung tuntutan monopolistisnya, pada gilirannya, dari segi politik cenderung konservatif. sUdah tentu, secara historis, kebanyakan monopoli itu adalah di bidang keagamaan. Demikianlah kita bisa mengatakan bahwa gereja-gereja, yang dipahami sebagai kombinasi monopolistis dari para pakar yang bekerja penuh di bidang definisi keagamaan tentang kenyataan, secara inheren menjadi konservatif begitu mereka berhasil menegakkan monopoli mereka dalam masyarakat tertentu. Sebaliknya, golongan-golongan berkuasa yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo politik secara inheren mendukung gereja dalam orientasi keagamaan mereka dan, karena itu pula, mencurigai setiap inovasi dalam tradisi keagamaan.[99]
Karena berbagai sebab historis yang sifatnya “internasional” maupun “domestik”, situasi monopolistis mungkin saja tidak dapat ditegakkan atau dipertahankan. Ada kemungkinan pertarungan berlangsung sampai lama antara tradisi-tradisi yang bersaing dan antara para pengelolanya. Apabila suatu definisi ter-


-177-
tentu tentang kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang kongkrit, ia bisa dinamakan suatu ideologi.[100] Perlu ditekankan bahwa istilah ini tidak banyak gunanya jika ia diterapkan pada jenis situasi monopolistis seperti yang telah dibahas di atas. Tidak ada artinya, umpamanya, untuk berbicara tentang Kekristenan sebagai suatu ideologi dalam Abad Pertengahan—walaupun ia mempunyai kegunaan politis yang jelas bagi golongan-golongan yang berkuasa—semata-mata karena universum Kristiani “dihuni” oleh semua orang dalam masyarakat Abad Pertengahan, baik oleh kaum hamba maupun oleh tuan-tuan mereka. Tetapi dalam periode sesudah Revolusi Industri, ada alasan yang kuat untuk menamakan agama Kristen suatu ideologi borjuis, karena kaum borjuasi menggunakan tradisi Kristen dan personilnya dalam perjuangan mereka melawan kelas buruh industri yang baru muncul dan yang dalam banyak negara Eropa tidak lagi bisa dipandang sebagai “menghuni” universum Kristen.[101] Juga tidak banyak artinya untuk menggunakan istilah itu, jika dua definisi yang berbeda tentang kenyataan saling berhadapan dalam kontak antarmasyarakat—umpamanya, jika orang berbicara tentang “ideologi Kristen” dari para pejuang Perang Salib dan tentang “ideologi Islam” dari para pejuang Islam. Sifat khas yang membedakan ideologi adalah bahwa universum yang sama secara keseluruhan ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda, tergantung kepada kepentingan-kepentingan pamrih yang kongkrit yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Seringkali suatu ideologi dianut oleh suatu golongan karena


-178-
adanya unsur-unsur teoritis tertentu yang menguntungkan kepentingan mereka. Umpamanya, apabila suatu golongan petani yang jatuh miskin berjuang melawan golongan saudagar kota yang telah memperbudak mereka dari segi keuangan, mereka mungkin saja akan bersatu di bawah suatu doktrin keagamaan yang menjunjung tinggi kebajikan kehidupan petani, mengutuk perekonomian uang dan sistem kreditnya sebagai tidak bermoral, dan secara umum mengecam kemewahan kehidupan di kota. “Keuntungan” ideologis dari doktrin seperti itu bagi kaum tani sudah jelas. Ilustrasi-ilustrasi yang baik tentang ini bisa ditemukan dalam sejarah Israel Kuno. Namun demikian, kelirulah untuk membayangkan bahwa hubungan antara satu golongan kepentingan dan ideologinya selalu dalam logika demikian. Tiap golongan yang terlibat dalam konflik sosial memerlukan solidaritas. Ideologi menimbulkan solidaritas. Pilihan atas suatu ideologi tertentu tidak selalu harus didasarkan atas unsur-unsur teoritis yang intrinsik, melainkan dapat merupakan hasil suatu perjumpaan secara kebetulan. Sama sekali belum jelas, umpamanya, bahwa unsur-unsur intrinsiknyalah yang telah membuat agama Kristen “menarik” dari segi politik bagi golongan-golongan tertentu pada zaman Konstantin. Agaknya yang terjadi adalah bahwa agama Kristen (yang pada mulanya, paling banter, merupakan suatu ideologi kelas mengenah tingkat bawah) telah dimanfaatkan oleh kepentingan yang berpengaruh untuk tujuan politik yang boleh dikatakan tak ada hubungannya dengan ajaran agamanya. Untuk tujuan itu mereka sebenarnya dapat saja menggunakan sarana lain dengan sama baiknya—hanya saja agama Kristen secara kebetulan sekali tersedia bagi mereka pada saat harus mengambil keputusan. Dengan sendirinya, begitu ideologi itu sudah dianut oleh golongan yang bersangkutan (lebih tepat lagi, begitu doktrin itu menjadi ideologi golongan yang bersangkutan) ia lalu dimodifikasi sesuai dengan kepentingan yang harus dilegitimasi. Ini melibatkan suatu proses penyaringan dan penambahan bagi kumpulan proposisi teoritisnya semula. Tetapi tidak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa modifikasi itu hanya mempengaruhi keseluruhan doktrin yang sudah diterima baik itu. Mungkin


-179-
saja unsur-unsur yang besar dalam suatu ideologi yang tak punya kaitan khusus dengan kepentingan yang dilegitimasi, namun dengan tegas dikuatkan oleh golongan “pengemban” semata-mata karena mereka telah mengikat diri kepada ideologi itu. Dalam prakteknya hal itu dapat menyebabkan para pemegang kekuasaan untuk mendukung pakar-pakar ideologi mereka dalam perselisihan teoritis yang sangat tidak relevan bagi kepentingan mereka. Keterlibatan Konstantin dalam sengketa-sengketa Kristologis di zaman itu merupakan contoh yang jelas tentang hal itu.
Penting untuk diingat bahwa kebanyakan masyarakat moderen merupakan masyarakat majemuk. Ini berarti bahwa mereka memiliki satu universum-inti bersama khusus yang berbeda-beda dan hidup berdampingan sambil menyesuaikan diri satu sama lain. Yang disebut belakangan itu mungkin saja mempunyai fungsi-fungsi ideologis tertentu, tetapi konflik terang-terangan di antara ideologi-ideologi itu telah digantikan, dalam berbagai tingkatan, oleh sikap toleran atau malahan kerja sama. Situasi seperti itu, yang ditimbulkan oleh suatu konstelasi faktor-faktor non-teoritis, menghadapkan para pakar tradisional kepada masalah-masalah teoritis yang berat. Sebagai pengelola sebuah tradisi dengan pretensi-pretensi monopolistis yang sudah ada sejak dahulu kala, mereka harus mencari jalan untuk melegitimasi secara teoritis proses demonopolisasi yang sudah berlangsung. Kadang-kadang mereka memilih untuk terus menyuarakan tuntutan totaliter yang lama seolah-olah telah tidak terjadi sesuatu, tetapi sedikit sekali orang yang agaknya akan menanggapi pernyataan itu dengan sungguh-sungguh. Apa pun yang diperbuat oleh para pakar itu, situasi majemuk itu tidak hanya mengubah posisi sosial berbagai definisi tradisional tentang kenyataan, tetapi juga mengubah cara definisi itu dipahami dalam kesadaran individu.[102]
Situasi majemuk itu mengandaikan adanya suatu masyarakat perkotaan dengan pembagian kerja yang sudah sangat ber-


-180-
kembang, disertai oleh tingkat diferensiasi yang tinggi dalam struktur sosial dan suatu surplus ekonomi yang besar. Kondisi-kondisi itu, yang sudah jelas berlaku umum dalam masyarakat industri modern, juga terdapat, setidak-tidaknya dalam sektor-sektor tertentu, dalam masyarakat-masyarakat dahulu. Kota-kota besar di zaman Yunani-Romawi bisa dikemukakan sebagai contoh di sini. Situasi majemuk itu sesuai dengan kondisi perubahan sosial yang pesat, dan sesungguhnya kemajemukan itu sendiri merupakan satu faktor yang mempercepat perubahan justru karena ia membantu merongrong keefektifan definisi-definisi tradisional tentang kenyataan yang menentang perubahan. Kemajemukan mendorong skeptisisme dan inovasi dan dengan demikian secara inheren merongrong kenyataan yang dianggap sudah sewajarnya dari status quo tradisional. Kita dengan mudah dapat bersimpati dengan para pakar definisi tradisional tentang kenyataan itu apabila mereka merindukan zaman lampau ketika definisi itu masih memegang monopoli.
Satu tipe pakar yang penting dari segi sejarah, yang dalam prinsipnya bisa muncul dalam setiap situasi yang baru saja kita bahas, adalah kaum intelektual (cendikiawan) yang dapat kita definisikan sebagai pakar yang keahliannya tidak diinginkan oleh masyarakat luas.[103] Hal ini menyangkut suatu pendefinisian kembali pengetahuan vis a vis adat-kebiasaan yang “resmi”; artinya, ia menyangkut lebih dari sekadar penafsiran yang agak menyimpang dari yang disebut belakangan itu. Dengan demikian maka cendikiawan itu, menurut definisinya, merupakan suatu tipe marjinal. Apakah ia lebih dulu marjinal kemudian menjadi cendikiawan (seperti, umpamanya, dalam kasus banyak cendikiawan Yahudi di dunia Barat modern), ataukah kemarjinalannya itu merupakan akibat langsung dari penyimpangan-penyimpangan intelektualnya (kasus orang bid’ah yang dikucil-


-181-
kan) tak perlu kita bahas di sini.[104] Bagaimana pun, kemarjinalan sosialnya menunjukkan bahwa dari segi teoritis ia tidak terintegrasi ke dalam universum masyarakatnya. Ia tampil sebagai pakar-lawan dalam kegiatan mendefinisikan kenyataan. Seperti halnya dengan pakar “resmi”, ia mempunyai suatu rancangan mengenai masyarakat luas. Tetapi, sementara rancangan dari pakar “resmi” selaras dengan program-program kelembagaan dan berfungsi sebagai legitimasi teoritis mereka, maka rancangan cendikiawan itu berada di dalam suatu vakum kelembagaan, dan paling banter diobjektivasi secara sosial dalam suatu sub-masyarakat sesama cendikiawan. Sampai sejauh mana submasyarakat seperti itu mampu bertahan, sudah jelas tergantung kepada konfigurasi struktural dalam masyarakat luas. Tak akan meleset kiranya jika dikatakan bahwa kemajemukan, sampai tingkat tertentu, merupakan satu kondisi yang perlu.
Seorang cendikiawan di dalam situasinya mempunyai sejumlah pilihan yang menarik dari segi sejarah. Ia dapat menarik diri ke dalam suatu submasyarakat cendikiawan yang lalu bisa berfungsi sebagai tempat pelarian emosi dan (lebih penting lagi) sebagai landasan sosial bagi objektivasi definisi-definisinya yang menyimpang tentang kenyataan. Dengan kata lain, seorang cendikiawan mungkin akan “merasa betah” dalam submasyarakat sebagaimana ia tidak merasa betah dalam masyarakat luas dan bersamaan dengan itu konsepsi-konsepsinya yang menyimpang, yang dihapuskan oleh masyarakat luas, karena di dalam submasyarakat itu terdapat orang-orang lain yang menganggap konsepsi-konsepsi menyimpang itu sebagai kenyataan. Ia lalu akan mengembangkan berbagai prosedur untuk melindungi kenyataan yang rapuh dari submasyarakat itu terhadap ancaman-ancaman tindakan penihilan atau penghapusan dari luar. Pada tingkat teoritis, prosedur-prosedur itu akan mencakup pertahanan terapeutis yang telah kita bahas sebelum ini. Dalam prakteknya, prosedur yang paling penting adalah membatasi semua hubungan ber-


-182-
makna hanya dengan sesama anggota submasyarakat itu saja. Orang luar dihindari karena ia senantiasa merupakan penjelmaan dari ancaman penihilan. Sekte keagamaan dapat disebutkan sebagai prototipe submasyarakat jenis ini.[105] Di dalam komunitas sekte yang memberikan naungan, konsepsi-konsepsi yang paling menyimpang sekalipun memperoleh sifat kenyataan objektif. Sebaliknya, penarikan diri seperti yang dilakukan oleh sekte adalah khas bagi situasi di mana definisi-definisi tentang kenyataan yang sebelumnya telah diobjektivasi mengalami disintegrasi; artinya, mengalami deobjektivasi dalam masyarakat luas. Rincian-rincian proses ini termasuk dalam sosiologi sejarah agama, meskipun perlu ditambahkan bahwa berbagai bentuk sektarianisme yang ssudah disekularisasi merupakan satu sifat penting dari kaum cendikiawan dalam masyarakat majemuk modern.
Satu pilihan yang penting dari segi sejarah, tentunya adalah revolusi. Dalam hal ini seorang cendikiawan berupaya untuk merealisasikan rancangannya mengenai masyarakat di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Kiranya tidak mungkin di sini untuk membahas berbagai bentuk pilihan itu yang dapat kita jumpai dalam sejarah,[106] tetapi satu soal teoritis yang penting perlu dikemukakan di sini. Seperti halnya seorang cendikiawan yang menarik diri memerlukan orang lain untuk mengakui konsepsi-konsepsinya yang menyimpang. Kebutuhan ini jauh lebih mendasar dari fakta yang sudah jelas bahwa tak ada persekutuan yang dapat berhasil tanpa organisasi. Cendikiawan revolusioner harus mempunyai orang-orang lain yang membantunya mempertahankan kenyataan (artinya, kemasuk-akalan subjektif dalam kesadarannya) dari ideologi revolusioner. Semua definisi tentang kenyataan yang bermakna secara sosial harus diobjek-


-183-
tivasi melalui proses-proses sosial. Karena itu, subuniversum memerlukan submasyarakat sebagai landasan objektivasinya, dan definisi-definisi tandingan tentang kenyataan memerlukan masyarakat tandingan. Tak perlu dijelaskan lagi kiranya bahwa setiap keberhasilan praktis dari ideologi revolusioner akan memperkuat kenyataan yang dimilikinya di dalam submasyarakat dan di dalam kesadaran para anggota masyarakat itu. Kenyataannya memperoleh proporsi yang sangat massif apabila lapisan-lapisan sosial secara keseluruhan menjadi “pengemban-pengembannya”. Sejarah berbagai gerakan revolusioner modern memberikan banyak ilustrasi mengenai transformasi orang-orang cendikia revolusioner yang menjadi pemberi legitimasi “resmi” setelah gerakan seperti itu mencapai kemenangan.[107] Ini memberikan petunjuk tidak hanya bahwa dari segi sejarah terdapat keanekaragaman yang besar dalam karir sosial para cendikiawan revolusioner, tetapi juga bahwa pilihan-pilihan dan kombinasi yang berbeda bisa terjadi dalam biografi individu.
Dalam pembahasan-pembahasan di atas kami telah menekankan aspek-aspek struktural dalam eksistensi sosial dari orang-orang yang memelihara universum. Hal ini tak bisa dielakkan dalam setiap pembahasan sosiologis yang sesungguhnya. Lembaga-lembaga dan universum simbolis dilegitimasi oleh individu-individu yang hidup, dengan lokasi-lokasi dan kepentingan sosial yang kongkrit. Sejarah teori-teori legitimasi selalu merupakan bagian dari sejarah masyarakat secara keseluruhan. Tiada “sejarah gagasan” yang berlangsung terpisah dari darah dan keringat sejarah umum. Namun kita perlu menekankan sekali lagi bahwa ini tidak berarti bahwa teori-teori itu hanya sekedar pantulan “gagasan-gagasan” dan proses-proses sosial yang mendukungnya selalu merupakan hubungan dialektis. Kiranya tepat untuk mengatakan bahwa teori dibuat untuk melegitimasi lembaga sosial yang sudah ada. Akan tetapi bisa juga terjadi bahwa lembaga so-


-184-
sial diubah agar sesuai dengan teori yang sudah ada; artinya membuatnya lebih “absah”. Para pakar dalam hal legitimasi bisa beroperasi sebagai orang-orang yang memberikan pembenaran teoritis kepada status quo; mereka juga bisa tampil sebagai ideolog-ideolog revolusioner. Definisi tentang kenyataan mempunyai potensi membenarkan diri. Teori dapat direalisasi dalam sejarah, bahkan teori-teori yang sangat muskil sekalipun ketika untuk pertama kali disusun oleh para penemunya. Karl Marx yang merenung di Ruang Baca Museum Inggris merupakan contoh yang sudah terkenal dari kemungkinan historis ini. Karena itu perubahan sosial harus selalu dipahami dalam hubungan dialektis dengan “sejarah gagasan”. Baik pemahaman yang “idealistis” maupun pemahaman yang “materialistis” mengenai hubungan ini melupakan dialektika itu, dan dengan demikian mengubah jalan sejarah. Dialektika yang sama berlaku bagi transformasi universum simbolis secara keseluruhan yang telah kita bahas. Yang masih tetap sangat penting dari segi sosiologi adalah pengakuan bahwa semua universum simbolis dan semua legitimasi merupakan buatan manusia; eksistensi mereka mempunyai landasan dalam kehidupan individu-individu kongkrit, dan tidak punya status empiris yang terlepas dari kehidupan mereka.




1. Mengenai kedudukan manusia secara biologis yang khas dalam dunia hewan, cf. Jacob von Uexküll, Bedeutungslehre (Hamburg: Rowohlt, 1938); F.J.J. Buytendijk, Mensch und Tier (Hamburg: Rowohlt, 1958); Adolf Portmann, Zoologie und das neue Bild vom Menschen (Hamburg: Rowohlt, 1956). Evaluasi terpenting mengenai perspektif biologis ini dari segi antropologi filosofis adalah yang dilakukan oleh Helmuth Plessner (Die Stufen des Organischen und der Mensch, 1928 dan 1965) serta Arnold Gehlen (Der Mensch, seine Natur und seine Stellung in der Welt, 1940 dan 1950). Gehlen-lah yang mengembangkan lebih lanjut perspektif itu dari segi teori sosiologi tentang lembaga-lembaga (khususnya dalam bukunya, Urmensch und Spätkultur, 1956). Sebagai pengantar bagi yang disebut belakangan itu, cf. Peter L. Berger dan Mansfried Kellner, "Arnold Gehlen and the Theory of Institutions", Social Research 32: I, hal. 110 ff. (1965).
2. Istilah "species-specific environment" diambil dari von Uexküll.
3. Implikasi-implikasi antropologis dari istilah “world-openness” (dunia yang terbuka) dikembangkan oleh Plessner dan Gehlen secara terpisah.
4. Kekhasan organisme manusia sebagai makhluk yang memiliki dasar ontogenetik ditunjukkan terutama dalam berbagai penyelidikan Portmann.
5. Pendapat bahwa periode janin bagi manusia berlangsung terus sampai dengan tahun pertama kelahiran, dikemukakan oleh Portmann, yang menamakan tahun itu sebagai “extrautierine Fruhjahr
6. Istilah “significant others” (di sini diterjemahkan: orang-orang berpengaruh) diambil dari Mead. Tentang teori ontogenesik diri dari Mead, cf. bukunya, Mind, Self and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934). Sebuah ikhtisar yang baik mengenai tulisan-tulisan Mead lihat Anselm Strauss (ed.), George Herbert Mead on Social Psychology (Chicago: University of Chicago Press, 1964). Pembahasan sekundernya yang sugestif, cf. Maurice Natanson, The Social Dynamics of George H. Mead (Washington: Public Affairs Press, 1956).
7. Ada dikotomi yang mendasar antara konsepsi manusia sebagai makhluk yang berkembang biak sendiri (self-producing being) dan konsepsi tentang “kodrat manusia” (human nature). Hal ini merupakan perbedaan antropologis yang sangat penting antara Marx dan setiap perspektif sosiologis yang sesungguhnya, di satu pihak (terutama perspektif yang berakar dalam psikologi sosial Mead), dan Freud serta bagian terbesar perspektif psikologis non-Freudian di pihak lain. Penjernihan terhadap perbedaan ini sangat penting agar terjadi pertukaran pikiran yang bermakna antara bidang-bidang sosiologi dan psikologi masa kini. Di dalam teori sosiologi sendiri, bisa dibedakan antara posisi-posisi dari segi kedekatannya dengan kutub-kutub “sosiologis” dan “psikologis”. Vilfredo Pareto boleh jadi mengungkapkan cara pendekatan yang paling terinci terhadap kutub “psikologis” di dalam sosiologi. Secara selintas dapat dikemukakan bahwa sikap menerima atau menolak dugaan “kodrat manusia” juga mempunyai implikasi yang menarik dari segi ideologi politik, tetapi soal itu tidak dikembangkan di sini.
8. Karya-karya Bronislaw Malinowski, Ruth Benedict, Margaret Mead, Clyde Kluckhohn serta George Murdock bisa disebutkan dalam hubungan ini.
9. Pandangan yang dikemukakan di sini mengenai kelenturan seksual manusia mempunyai afinitas dengan konsepsi Freud tentang sifat libido yang pada mulanya belum terbentuk.
10. Soal ini dijelaskan dalam teori Mead tentang perkembangan sosial dari diri.
11. Istilah “eksentris” diambil dari Plessner. Perspektif serupa bisa ditemukan dalam karya Scheler yang lebih baru tentang antropologi filosofis. Cf. Max Scheler, Die Stellung des Menschen im Kosmos (Munich: Nymphenburger Verlagshandlung, 1947).
12. Sifat sosial dari perkembangbiakan manusia telah dirumuskan dengan cara yang paling tajam oleh Marx di dalam kritiknya terhadap Stirner, dalam The German Ideology. Perkembangan Jean-Paul Sartre dari eksistensialisme yang dianutnya lebih dulu ke modifikasi Marxisnya yang lebih kemudian, artinya, dari L’Etre et le neant ke Critique de la raison dialectique, merupakan contoh yang paling mengesankan dalam antropologi filosofis masa kini mengenai pencapaian pemahaman yang sangat penting ini dari segi sosiologis. Dalam hal ini pun, minat Sartre terhadap “pengantaran-pengantaran” antara proses-proses sosio-historis yang makroskopik dan biografi individu akan sangat dipermudah seandainya ia juga memperhatikan psikologi sosial Mead.
13. Hubungan yang tak terpisahkan lagi antara keinsanan manusia dan kesosialannya dirumuskan dengan cara yang sangat tajam oleh Durkheim, terutama dalam bagian akhir bukunya, Formes elementaires de la vie religieuse.
14. Dengan menandaskan bahwa tatanans osial tidak didasarkan atas sesuatu “hukum alam” kami tidak secara ipso facto mengemukakan suatu pendirian mengenai konsepsi metafisis tentang “hukum kodrat”. Pernyataan kami terbatas pada fakta-fakta alam yang tersedia secara empiris.
15. Durkheim-lah yang menandaskan dengan sangat tegas mengenai sifat sui generis tatanan sosial, terutama dalam karyanya Regles de la méthode sociologique. Eksternalisasi sebagai suatu keharusan antropologis dikembangkan baik oleh Hegel maupun Marx.
16. Landasan biologis eksternalisasi dan hubungannya dengankemunculan kelembagaan dikembangkan oleh Gehlen.
17. Istilah cadangan pengetahuan (stock of knowledge) diambil Schutz.
18.Gehlen mengacu pada soal ini ketika membahas konsep Triebüberschuss dan Entlastung.
19. Gehlen mengacu pada soal ini ketika membahas konsep Hintergrundserfüllung.
20. Konsep mengenai batasan situasi dibuat oleh W.I. Thomas dan dikembangkan dalam seluruh karya sosiologisnya.
21. Kami menyadari fakta bahwa konsep kelembagaan ini lebih luas daripada yang berlaku dalam sosiologi masa kini. Menurut hemat kami, konsep yang lebih luas seperti itu berguna untuk menganalisa proses-proses sosial yang pokok secara komprehensif. Mengenai kontrol sosial, cf. Friedrich Tenbruck, “Soziale Kontrolle,” Staatslexikon der Goerres-Gesselschaft (1962), dan Heinrich Popitz, “Sociale Normen”, European Journal of Sociology.
22. Istilah taking the role of the other (memainkan peran orang lain) diambil dari Mead. Di sini kami mengambil paradigma Mead tentang sosialisasi dan menerapkannya pada masalah pelembagaan yang lebih luas. Argumennya menggabungkan ciri-ciri terpenting dari cara-cara pendekatan Mead dan Gehlen.
23. Analisa Simmel mengenai perluasan dari dyad ke triad dalam hubungan ini penting. Argumen berikutnya menggabungkan konsepsi Simmel dan Durkheim mengenai objektivitas kenyataan sosial.
24. Menurut Durkheim, hal ini berarti bahwa—dengan meluaskan dyad menjadi triad dan melampaui batas itu—tatanan awal menjadi “fakta-fakta sosial” yang sesungguhnya, yakni, memperoleh choséité.
25. Konsep Jean Piaget mengenai “realisme” yang kekanak-kanakan dapat dibandingkan di sini.
26. Analisa mengenai proses ini dalam keluarga masa kin, cf. Peter L. Berger dan Hansfried Kellner, “Marriage and the Construction of Reality” Diogenes 46 (1964), hal. 1 ff.
27. Deskripsi yang terdahulu dengan patuh mengikuti analisa Durkheim tentang kenyataan sosial. Ini tidak bertentangan dengan konsepsi Weber tentang sifat masyarakat yang bermakna. Karena kenyataan sosial selalu lahir dari tindakan-tindakan manusia yang berarti, maka ia akan terus mengandung makna bahkan seandainya hal itu tampak kabut bagi seseorang pada saat tertentu. Yang aslinya bisa dikonstruksikan kembali, justru melalui apa yang oleh Weber dinamakan Verstehen.
28. Istilah objectivation (objektivasi), berasal dari istilah Versachlichung menurut ajaran Hegel/Marx.
29. Sosiologi Amerika masa kini cenderung mengesampingkan saat yang pertama. Dengan demikian, perspektifnya mengenai masyarakat cenderung merupakan apa yang oleh Marx dinamakan suatu reifikasi (Verdinglichung, pembendaan); artinya, suatu distorsi yang tidak dialektik dari kenyataan sosial yang mengaburkan sifat kenyataan itu sebagai suatu produk manusia yang berlangsung terus-menerus, dengan memandangnya dari segi kategori-kategori semacam benda yang hanya cocok bagi dunia alam. Bahwasanya dehumanisasi yang terkandung secara implisit di dalamnya diperlunak oleh nilai-nilai yang berasal dari tradisi yang lebih luas dalam masyarakat, baik dari segi moral tapi tidak relevan secara teoritis.
30. Di sini analisa Pareto tentang “logika” kelembagaan relevan. Pandangan yang serupa dengan pandangan kami dikemukakan oleh Friedrich Tenbruck, op.cit. ia pun menandaskan bahwa “tekanan ke arah konsistensi” berakar dalam sifat tindakan manusia yang bermakna.
31. Ini, tentunya, merupakan kelemahan mendasar setiap sosiologi yang berorientasi fungsionalistik. Kritik yang baik sekali mengenai masalah ini, cf. bahasan tentang masyarakat Bororo dalam Claude Lévi-Strauss, Tristes Tropiques (New York: Atheneum, 1964), hal. 183 ff.
32. Istilah ‘recipe knowledge’ (“pengetahuan resep”) diambil dari Schutz.
33. Istilah “objectification” (objektifikasi), berasal dari istilah Vergegenständlichung menurut ajaran Hegel.
34. Istilah sedimentation (“endapan”) berasal dari Edmund Husserl. Istilah ini pertama kali dipakai oleh Schulz dalam suatu konteks sosiologis.
35. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah monothetic acquisition oleh Husserl. Istilah ini juga digunakan secara luas oleh Schutz.
36. Tentang social self yang dibandingkan dengan diri secara total, cf. konsep Mead tentang me dan konsep Durkheim tentang homo duplex.
37. Meskipun argumen kami menggunakan istilah yang asing bagi Mead, konsep kami tentang peran sangat dekat dengan konsepsinya dan dimaksudkan sebagai suatu perluasan dari teori tentang peran menurut ajaran Mead dalam suatu kerangka acuan yang lebih luas, yakni mencakup pula teori mengenai kelembagaan.
38. Istilah representation (perwakilan) di sini sangat erat hubungannya dengan istilah usage menurut Durkheim, tetapi dengan lingkup yang lebih luas.
39. Proses binding together (“mengikat menjadi satu”) ini merupakan salah satu masalah yang menjadi pokok perhatian dalam sosiologi Durkheim—pengintegrasian masyarakat melalui pembinaan solidaritas.
40. Contoh simbolik tentang integrasi adalah apa yang sidebut “agama” oleh Durkheim.
41. Konsep tentang distribusi sosial pengetahuan berasal dari Schutz.
42. Istilah meditation (perantaraan) digunakan oleh Sartre tetapi tanpa makna kongkret apakah di dalamnya termasuk teori tentang peran. Istilah itu dengan jelas menunjukkan hubungan yang umum antara teori tentang peran dan sosiologi pengetahuan.
43. Pertanyaan ini dapat dikatakan berhubungan dengan “kepadatan” (density) tatanan kelembagaan. Tetapi kami berusaha tidak menggunakan istilah-istilah baru dan memutuskan tidak menggunakan istilah ini, meskipun istilah ini sugestif.
44. Nilai yang diacu oleh Durkheim sebagai “solidaritas organik”. Lucian Lévy-Bruhl memasukkan isi psikologis lebih lanjut pada konsep Durkheim ini ketika ia berbicara tentang “partisipasi mistik” dalam masyarakat-masyarakat primitif.
45. Di sini konsep Eric Voegelin tentang compactness(kepadatan) dan differentiation bisa dibandingkan. Lihat bukunya, Order and History, vol. I (Baton Rouge, La : Lousiana State University Press, 1956). Talcott Parsons berbicara tentang differensiasi kelembagaan dalam berbagai karyanya.
46. Hubungan antara pembagian kerja dan diferensiasi kelembagaan telah dianalisa oleh Marx, Durkheim, Weber, Ferdinand Tönnies dan Talcott Parsons.
47. Mengenai hal ini bisa dikatakan bahwa—meskipun secara rinci terdapat penafsiran yang berbeda—ada suatu konsensus yang tinggi sepanjang sejarah teori sosiologi.
48. Hubungan antara “teori murni” dan surplus ekonomi pertama kali dikemukakan oleh Marx.
49. Kecenderungan lembaga-lembaga untuk bertahan terus telah dianalisa oleh Georg Simmel berdasarkan konsepnya tentang “kesetiaan” (faithfulness) Cf. karyanya, Soziologie(Berlin: Duncker und Humblot, 1958), hal. 438 ff.
50. Konsep de-institutionalization ini berasal dari Gehlen.
51. Analisa tentang deinstitusionalisasi dalam kehidupan pribadi menurut Gehlen merupakan masalah sentral dalam psikologi sosial masyarakat, Cf. bukunya Die Seele im technischen Zeitalter (Hamburg: Rowohlt, 1957).
52. Apabila kita masih belum merasa jenuh dengan neologisme-neologisme, kita dapat menamakannya pertanyaan tentang tingkat penggabungan (fusion) atau segmentasi tatanan kelembagaan. Secara sepintas lalu, persoalan ini tampaknya identik dengan masalah struktural-fungsional tentang “integrasi fungsional” masyarakat. Tetapi istilah yang disebut belakangan itu mengandaikan bahwa “pengintegrasian” suatu masyarakat bisa ditentukan oleh seorang pengamat dari luar yang menyelidiki fungsi eksternal lembaga-lembaga masyarakat itu. Kami sebaliknya berpendapat bahwa baik “fungsi” maupun “disfungsi” hanya bisa dianalisa berdasarkan tingkat makna. Karena itu, “integrasi fungsional”, jika kita bisa menggunakan istilah ini, berarti pengintegrasian tatanan kelembagaan melalui berbagai proses legitimasi. Dengan kata lain pengintegrasiannya tidak terletak dalam kelembagaan melainkan dalam pelegitimasiannya. Berbeda dengan yang dikatakan oleh kaum struktural-fungsionalis, hal itu berarti bahwa suatu tatanan kelembagaan tidak dapat secara memadai dipahami sebagai suatu “sistem”.
53. Masalah ini berkaitan dengan masalah “ideologi”, yang akan dibahas nanti dalam suatu konteks yang dibatasi secara lebih sempit.
54. Weber berulangkali mengacu berbagai kolektivitas sebagai “pengemban” (Trager, “carrier”) dari apa yang di sini kami namakan subuniversum makna, khususnya di dalam sosiologi perbandingan agama. Analisa tentang fenomen ini, sudah tentu, berhubungan erat dengan skema Unterbau/Ueberbau menurut Marx.
55. Persaingan majemuk antara subuniversum-subuniversum makna merupakan salah satu masalah terpenting bagi sosiologi pengetahuan empiris tentang masyarakat masa kini. Kami telah membahas masalah itu di dalam buku kami tentang sosiologi agama, tetapi kami tidak melihat alasan untuk mengembangkan suatu analisa tentang masalah itu di dalam buku ini.
56. Proposisi ini bisa dikemukakan menurut peristilahan Marx, bahwa ada suatu hubungan dialektik antara substruktur (Unterbau) dan superstruktur (Ueberbau)—suatu pemahaman menurut ajaran Marx yang telah dilupakan dalam kalangan luas aliran utama Marxisme sampai baru-baru ini. Masalah kemungkinan adanya pengetahuan yang terlepas dari segi sosial, dengan sendirinya, merupakan masalah sentral bagi sosiologi pengetahuan sebagaimana didefinisikan oleh Scheler dan Mannheim. Kami tidak menempatkannya sesentral itu berdasarkan pertimbangan yang inheren dalam cara pendekatan teoritis umum kami. Yang penting bagi sosiologi pengetahuan teoritis adalah dialektika antara pengetahuan dan landasan sosialnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang dikemukakan oleh Mannheim mengenai “intelegensia yang tak terikat” merupakan penerapan sosiologi pengetahuan terhadap fenomena-fenomena historis dan empiris yang kongkrit. Proposisi-proposisi tentang hal itu harus dinyatakan para tingkat generalitas teoritis yang jauh lebih rendah daripada apa yang merupakan pokok perhatian kami di sini. Sebaliknya, pertanyaan-pertanyaan tentang otonomi pengetahuan sosial-ilmiah harus ditangani dalam konteks metodologi ilmu-ilmu sosial. Bidang ini tidak dimasukkan ke dalam definisi kami tentang lingkup sosiologi pengetahuan, karena pertimbangan teoritis seperti yang telah dikemukakan dalam pendahuluan.
57. Inilah fenomena yang lazim disebut “kesenjangan budaya” (cultural lag) dalam sosiologi Amerika semenjak Ogburn. Kami menghindari istilah ini karena mengandung konotasi evolusionistis dan secara implisit mengandung penilaian.
58. Reifikasi (Verdinglichung, pembendaan) merupakan sebuah konsep Marx yang penting, khususnya mengenai pembahasan antropologisnya dalam Frühschriften, yang kemudian dikembangkan dari segi “pemujaan komoditi” (fetishism of commodities) dalam Das Capital. Perkembangan konsep ini dalam teori Marxis yang lebih baru dilihat dalam György Lukács, Histoire et conscience de classe, hal. 109 ff.; Lucien Goldmann, Recherches dialectiques (Paris: Gallimard, 1959), hal. 64 ff.; Joseph Gabel, La fausse conscience (Paris: Editions de Minuit, 1962), dan Former der Entfremdung (Frankfurt: Fischer, 1964). Pembahasan yang ekstensif mengenai dapat tidaknya konsep itu digunakan di dalam suatu sosiologi pengetahuan yang non-doktriner, cf. Peter L. Berger dan Stanley Pullberg, “Reification and the Sociological Critique of Consciousness”, History and Theory IV; 2, hal. 198 ff. (1965). Di dalam kerangka acuan Marx, konsep reifikasi itu erat kaitannya dengan konsep alienasi (Entfremdung). Konsep yang disebut belakangan telah dikacaukan dalam tulisan-tulisan sosiologis akhir-akhir ini dengan adanya fenomena-fenomena anomie sampai pada neurosis, sehingga hampir-hampir tak dapat dikembalikan lagi pada terminologi aslinya. Namun, di sini bukan tempatnya untuk mencoba mengembalikan istilah itu pada artinya semula, dan karena itu kami menghindari penggunaan konsep itu.
59. Para ilmuwan Prancis mengkritik sosiologi Durkheim belakangan ini, seperti Jules Monnerot (Les faits sociaux ne sont pas des choses, 1946), telah menuduhnya mempunyai pandangan yang terreifikasi tentang kenyataan sosial. Dengan kata lain, mereka mengemukakan argumen bahwa choséité-nya Durkheim secara ipso facto merupakan reifikasi. Apa pun yang dapat dikatakan tentang hal ini dari segi penafsiran Durkheim, pada prinsipnya bisa dikatakan bahwa “fakta-fakta sosial adalah benda-benda” (social facts are things), dan dengan itu dimaksudkan tidak lain daripada objektivitas fakta-fakta sosial sebagai “produk manusia”. Kunci teoritis bagi persoalan ini adalah pembedaan antara objektivasi dan reifikasi.
60. Dalam hal ini bandingkan dengan konsep Sarre tentang practico-inert, dalam Critique de la raison dialectique.
61. Karena itu Marx menamakan kesadaran yang mereifikasikan sebagai suatu “kesadaran palsu”. Konsep ini bisa dihubungkan dengan konsep Sartre “itikad buruk” (mauvaise foi).
62. Karya Lucien Lévy-Bruhl dan Jean Piaget bisa dianggap sebagai dasar bagi suatu pemahaman tentang protoreifikasi, baik yang filogenetik maupun yang ontogenetik. Juga, cf. Claude Lévi-Strauss, La Penseé sauvage (Paris: Plon, 1962).
63. Mengenai paralelisme antara here below dan up above, cf. Mircea Eliade, Cosmos and History (New York: Harper, 1959). Hal yang serupa dikemukakan oleh Voegelin, op.cit., ketika membahas “peradaban-peradaban kosmologis.”
64. Tentang reifikasi identitas, bandingkan dengan analisa Sartre tentang anti-Semitisme.
65. Tentang persyaratan de-reifikasi, cf. Berger dan Pullberg, loc. cit.
66. Istilah “legitimasi” berasal dari Weber, yang telah mengembangkannya terutama dalam konteks sosiologi politiknya. Disini kami menggunakannya dalam lingkup yang lebih luas.
67. Tentang legitimasi sebagai “penjelasan”, bandingkan dengan analisa Pareto tentang “derivasi”.
68. Baik Marx maupun Pareto menyadari kemungkinan otonomi dari apa yang kami namakan legitimasi (“ideologi” pada Marx, “derivasi” pada Pareto).
69. Konsep kami tentang “universum simbolik” sangat dekat dengan konsep Durkheim tentang “agama”. Analisa Schutz tentang finite provinces of meaning (wilayah-wilayah makna yang terbatas) dan hubungannya satu sama lain,serta konsep Sartre tentang “totalisasi” dalam hal ini sangat relevan bagi argumen kami.
70. Istilah “situasi marjinal” (Grenzsituation) diciptakan oleh Karl Jaspers. Kami menggunakan istilah itu dengan cara yang berbeda.
71. Argumen kami di sini dipengaruhi oleh analisa Durkheim tentang anomie. Meskipun demikian, perhatian kami lebih tertuju pada proses-proses nomic dibandingkan proses-proses anomic dalam masyarakat.
72. Status tertinggi kenyataan kehidupan sehari-hari telah dianalisa oleh Schutz. Cf. terutama artikel “On Multiple Realities”, Collected Papers, vol. I, hal. 207 ff.
73. Rapuhnya identitas subjektif sudah diimplikasikan dalam analisa Mead tentang perkembangan diri. Mengenai perkembangan analisa ini, cf. Anselm Strauss, Mirrors and Masks (New York: Free Press of Glencoe: London: Collier-Macmillan); Erving Goffman, The Presentation of Self in Every Life (Garden City, N.Y.: Doubleday Anchor, 1959).
74. Heidegger telah memberikan analisa yang paling terinci dalam filsafat akhir-akhir ini tentang kematian sebagai situasi marjinal par excellence. Konsep Schutz tentang “kecemasan yang mendasar” mengacu pada fenomena yang sama. Analisa Malinowski mengenai fungsi sosial upacara pemakaman juga relevan dalam hal ini.
75. Penggunaan perspektif tertentu mengenai “kecemasan” (Angst, anxiety) yang telah dikembangkan oleh filsafat eksistensialisme telah memungkinkan untuk menempatkan analisa Durkheim tentang anomie dalam suatu kerangka acuan antropologis yang lebih luas.
76. Cf. Lévi-Strauss, op.cit.
77. Tentang ingatan kolektif, cf. Maurice Halbwachs, Les cadres sociaux de la memoire (Paris : Presses Universitaires de France, 1952). Halbwachs juga mengembangkan teori sosiologisnya tentang ingatan dalam La mémoire collective (1950) dan dalam La topographie legéndaire dex Evangiles en Terre Sainte (1941).
78. Konsep “predecessors” (generasi pendahulu) dan successors(generasi pewaris) berasal dari Schutz.
79. Konsepsi tentang sifat masyarakat untuk mentransendensikan terutama dikembangkan oleh Durkheim.
80. Konsepsi tentang proyeksi (projection) yang pertama kali dikembangkan oleh Feuerbach, kemudian—meski dengan arah-arah yang sangat berbeda—oleh Marx, Nietzsche dan Freud.
81. Bandingkan lagi gendan konsep Weber tentang “pengemban” (Trager).
82. Analisa-analisa tentang “kontak budaya” dalam antropologi budaya Amerika masa kini relevan di sini.
83. Bandingkan dengan konsep kejutan budaya dalam antropologi budaya Amerika masa kini.
84. Marx secara teinci sekali mengembangkan hubungan antara kekuatan material dan “keberhasilan konsep”. Cf. rumusan yang sangat terkenal tentang hal ini dalam The German Ideology: “Die Gedankern der herrschenden Klasse sind in jeder Epoche die herrschenden Gedanken” (Pemikiran Kelas yang berkuasa dalam tiap zaman merupakan pemikiran yang berkuasa) (Frühschriften, Kröner Edition, hal. 373).
85. Pareto adalah orang yang paling dekat dengan penulisan suatu sejarah pemikiran dari segi sosiologis, yang karenanya Pareto penting artinya bagi sosiologi pengetahuan, terlepas apakah orang keberatan dengan kerangka acuan eoritisnya. Cf. Brigette Berger, Vilfredo Pareto and the Sociology of Knowledge (disertasi doktoral yang tidak diterbitkan, New School for Social Research, 1964).
86. Ini mungkin mengingatkan kita pada “hukum tiga tahap” dari Auguste Comte. Kami tentu tidak dapat menerima “hukum” ini namun mungkin masih berguna untuk mengisyaratkan bahwa kesadaran berkembang dalam tahap-tahap yang bisa dikenali dalam sejarah, walaupun tidak dapat dibayangkan dengan cara COmte. Pemahaman kami tentang hal ini lebih dekat dengan pendekatan Hegel/Marx terhadap historisitas pemikiran manusia.
87. Baik Lévy-Bruhl maupun Piaget menyarankan bahwa mitologi merupakan satu tahap yang perlu dalam perkembangan pemikiran. Pembahasan yang menggugah mengenai akar-akar biologis dari pemikiran mitologis/magis, cf. Arnold Gehlen, Studien zur Anthropologie und Soziologie (Neuwied/Rhein: Luchterhand, 1963), hal. 79 ff.
88. Konsepsi kami tentang mitologi di sini dipengaruhi oleh karya Gerardus van der Leeuw, Mircea Eliade dan Rudolf Bultmann.
89. Tentang kontinuitas antara tatanan sosial dan tatanan kosmis dalam kesadaran mitologis, bandingkan lagi dengan karya Eliade dan Voegelin.
90. Kiranya sudah jelas dari perkiraan teoritis kami bahwa di sini kami tidak dapat membahas secara terinci persoalan “sosiologi kaum intelektual”. Di samping karya Mannheim yang penting dalam bidang ini (terutama yang terdapat dalam Ideology and Utopia dan Essays on the Sociology of Culture),cf. Florian Znaniecki, The Social Role of the Man of Knowledge (New York: Columbia University Press, 1940); Theodor Geiger, Aufgaben und Stellung der Intelligenz in der Gesellschaft (Stuttgart, 1949); Raymond Aron, L’Opium des Intellectuels (Paris, 1955); George B. de Huszar (ed.), The Intellectuals (New York: Free Press of Glencoe, 1960).
91. Mengenai legitimasi terpenting yang memperkuat “inertia” kelembagaan (“kesetiaan” menurut istilah Simmel), bandingkan dengan Durkheim dan Pareto.
92. Justru pada titik inilah setiap interpretasi kaum fungsionalis mengenai kelembagaan paling lemah, karena cenderung mencari kepraktisan yang dalam kenyataannya tidak ada.
93. Mengenai konflik antara Brahmana/Kshatriya, bandingkan dengan karya Weber mengenai sosiologi agama di India.
94. mengenai kesahihan sosial dari proposisi-proposisi yang sulit untuk disahihkan secara empiris, cf. Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Evaston, Ill.: Row, Peterson and Co., 1957; London: Tavistock).
95. Istilah afinitas (Wahlverwandschaft) berasal dari Scheler dan Weber.
96. Mengenai definisi-definisi monopolistik tentang kenyataan dalam masyarakat primitif dan kuno, bandingkan dengan Durkheim dan Voegelin.
97. Karya Paul Radin menunjukkan bahwa skeptisisme adalah mungkin dalam situasi-situasi monopolistik seperti itu sekalipun.
98. Istilah “kaum tamu” (Gastvolker) berasal dari Weber.
99. Mengenai afinitas antara kekuatan-kekuatan politik yang konservatif dan monopoli-monopoli keagamaan (“gereja-gereja”), bandingkan dengan analisa Weber tentang hierokrasi.
100. Istilah “ideologi” telah dipakai dalam arti yang begitu beragam, sehingga kita bisa putus asa untuk dapat memakainya secara tepat. Kami memutuskan untuk tetap menggunakannya, dalam arti yang didefinisikan secara sempit, karena bermanfaat, dan lebih baik daripada neologisme. Di sini tidak pada tempatnya untuk membahas transformasi istilah itu dalam sejarah Marxisme ataupun sejarah sosiologi pengetahuan. Untuk suatu tinjauan umum yang baik, cf. Kurt Lenk (ed.), Ideologie.
101. Mengenai hubungan antara agama Kristen dan ideologi borjuis, lihat Marx dan Veblen. Suatu tinjauan umum yang baik mengenai pembahasan Marx tentang agama bisa diperoleh dari antologi Marx and Engels on Religion (Moskow: Foreign Languages Publishing House, 1957).
102. Cf. Thomas Luckmann, Das Problem der Religion in der modern Gesellschaft(Freiburg: Rombach, 1963).
103. Konsepsi kami tentang manusia intelektual sebagai “pakar yang tidak diinginkan” tidak begitu berbeda dengan pandangan Mannheim yang menandaskan kemarjinalan manusia intelektual. Dalam mendefinisikan manusia intelektual yang berguna dari segi sosiologi, penting—menurut hemat kami—untuk membedakan secara tegas tipe manusia ini dari “manusia berpengatuhan” (man of knowledge) pada umumnya.
104. Mengenai kemarjinalan kaum intelektual, bandingkan dengan analisa Simmel mengenai “objektivitas” orang asing dan analisa Veblen mengenai peran intelektual di kalangan orang-orang Yahudi.
105. Cf. Peter L. Berger, “The Sociological Study of Sectarianism”, Social Research, Winter 1954, hal. 467 ff.
106. Bandingkan dengan analisa Mannheim tentang orang-orang intelektual revolusioner. Untuk prototipe Rusianya, cf. E. Lampert, Studies in Rebellion(New York: Frederick A. Praeger, 1957).
107. Transformasi kaum intelektual revolusioner menjadi pelegitimasian status quo bisa diteliti dalam bentuk yang praktis “murni” dalam perkembangan komunisme Rusia. Kritik yang tajam mengenai proses ini dari sudut pandang Marxis, cf. Leszek Kolakowski, Der Mensch ohne Alternative(Munich, 1960).

Tags :

bonarsitumorang