-->

Maret 09, 2016

Makalah: Tafsir Sosial Atas Kenyataan


BAB I
DASAR-DASAR PENGETAHUAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Kenyataan Hidup Sehari-hari

Kenyataan dalam kehidupan kita adalah sesuatu yang memang tergantung atas kesadaran kita sendiri atas hal tersebut. Kenyataan tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terus berlanjut dalam kehidupan kita. Dari hal tersebutlah kita memiliki tingkat tanggapan perasaan yang berbeda sesuai dengan apa yang kita hadapi. Pengarang buku menyebutnya dengan kesadaran atas suatu kenyataan subyektif batiniah.
Salah satu contohnya ialah bedanya perasaan yang kita alami saat melihat pemandangan yang indah dan perasaan saat kita cemas. Hal ini membuktikan bahwa kita sedang berada dalam kenyataan hidup yang memang saat itu kita alami.
Kesadaran akan kenyataan hidup ini akan terus berlaku bagi kita seiring dengan semua kegiatan kita sehari-hari. Hal itu akan terus berlangsung sampai suatu saat kita menemukan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan kita sehari-hari. Misalnya adalah sebuah kegiatan yang dimiliki montir handal yang menguasai permasalahan tentang mobil. Namun suatu saat seorang pengendara sepeda motor mengalami kerusakan tepat didepan bengkelnya, maka seketika hal itu akan lebih membawa ia pada kesadaran akan kenyataan hidup bahwa ia hanyalah memiliki keahlian dalam bidang mobil, bukan motor. Tindakan yang dapat ia lakukan ialah menolongnya sebagai seorang profesional, atau membiarkannya mencari bengkel motor karena memang ia tidak ingin membantu atau sekedar mencoba membantu atau alasan lainya.
Seperti contoh diatas, begitupun dengan kehidupan kita. Kita akan terus berjalan menjalani kenyataan hidup yang selama ini kita sadari adalah kenyataan hidup kita sampai kita menemukan suatu masalah yang memang berbeda dari kehidupan kita sehari-hari. Layaknya seorang montir tersebut, kita dapat memilih untuk mengabaikannya, atau kita hendak menelaahnya bahkan mempelajarinya guna perkembangan kehidupan kita selanjutnya.
          Dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur ruang dan waktu. Keduanya memiliki peran penting dalam pembentukan tingkat kesadaran kita atas kenyataan yang ada. Seperti halnya kita pernah mengadakan sebuah acara di suatu tempat, maka saat kita mendatangi tempat tersebut kesadaran kita akan terbangkitkan kembali. Namun ternyata peran waktu mengambil porsi yang cukup banyak dibandingkan ruang. Karena kita cenderung lebih banyak kita lewati dari pada ruang itu sendiri.

Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari
            Manusia sebagai makhluk sosial menjadikan dirinya tidak bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik secara langsung dengan cara tatap muka (bertemu) ataupun melalui sarana pembantu. Hal itu akan terus berlanjut seiring berlangsungnya kehidupan yang memang tidak bisa terlepas dari pihak lain selain diri kita.
            Namun ternyata, proses tatap muka mempunyai peran yang lebih besar dalam proses interaksi sosial. Karena dengan tatap muka kita akan mengetahui secara langsung atas apa yang pernah kita ketahui tentang apa yang kita lihat. Dalam kata lain, kita tidak hanya mendengar kabar saja, melainkan kita dapat membuktikannya dengan penglihatan kita. Lain halnya dengan interaksi yang dilakukan dengan sarana pembantu. Kemungkinan adanya rekayasa dalam proses interaksi lebih besar. Karena kita tidak akan tahu keadaan orang yang menulis kata maaf misalnya. Apakah benar-benar tulus atau bahkan dilakukan dengan lidah menjulur sebagai tanda mempermainkan. Sehingga akibatnya kesalah pahaman rentan terjadi.
            Namun bukan berarti proses ini tidak memiliki kelemahan sama sekali. Karena seseorang dapat pula berpura-pura melakukan suatu hal di hadapan kita yang sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan di belakang kita. Namun setidaknya ini merupakan proses yang paling berperan. Karena kita dapat membangun kesadaran akan kenyataan dengannya. Dimana kita bisa menyadari atau membuktikan atas informasi yang kita terima.
            Dapat kita simpulkan bahwa hasil dari semua interaksi apapun sangat ditentukan oleh sikap kita menanggapi hal itu. Apakah kita menanggapinya sebagai hal yang positif atau sebaliknya sebagai hal negatif.

Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari
            Bahasa yang dimaksud disini tidaklah hanya terbatas dalam arti bahasa sebagai suara atau perkataan, melainkan bahasa sebagai cara manusia mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Seperti sebuah isyarat, tanda, atau body language sebagai cara mengekspresikannya.
            Bahasa dalam bentuk suara merupakan salah satu tanda untuk mengungkapkan rasa, namun ternyata ruang lingkupnya lebih sedikit. Seiring dengan perkembangan zaman dan peragaman bahasa, tentunya tidak semua kalangan mengerti akan satu bahasa secara keseluruhan. Terlebih untuk lintas makhluk hidup seperti manusia dengan hewan. Melihat dari kenyataan tersebut, maka bahasa secara umum dapat mempunyai fungsi yang lebih luas. Seperti misalnya isyarat dengan mengepalkan tangan atau mengacungkan jempol, tentunya hampir semua orang tahu maksud dari isyarat tersebut.
            Namun terlepas dari pembagian bahasa tersebut, bahasa pun mengambil peran yang sangat penting dalam interaksi sosial. Dimana bahasa dapat mempersatukan semua kalangan sehingga antar manusia dapat saling berkomunikasi untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
            Selain bahasa, hal lain yang mempengaruhi hubungan sosial masyarakat ialah adanya pengetahuan tentang kehidupan itu sendiri. Dengan pengetahuan yang dimiliki, manusia akan menemukan kemudahan dalam hidupnya. Namun seperti konsep pengetahuan pada umumnya, pengetahuan tentang kehidupan pun akan berjalan begitu saja sampai sauatu saat ada yang mematahkan atau mengkritik atas pengetahuan tersebut. Secara sendirinya manusia akan melakukan pncarian pengetahuan baru saat  dimana hal yang dia ketahui ternyata tidak berjalan sesuai kenyataan. Seperti halnya sesorang yang hendak menghubungi orang lain di kejauhan, sebelum adanya alat bantu maka ia akan mendatanginya walaupun jaraknya jauh. Namun apabila dia mengetahui bahwa hal itu dapat dibantu oleh sarana telekomunikasi, tentunya ia akan mendapat kemudahan.
            Apabila kita simpulkan, penulis berpendapat bahwa segala bentuk kesadaran atas kenyataan hidup manusia akan tetap berlangsung begitu saja, samapi ada suatu masalah yang terjadi yang membuatnya berpikir untuk mencari solusinya atau bahkan tidak memperdulikannya sama sekali. Termasuk dalam pengetahuan sosial tersebut. Rasa ingin tahu manusia lebih sering akan muncul saat ia dihadapkan dengan masalah. Penulis mencontohkannya dengan seseorang yang tidak relevan untuk mengetahu bagaimana cara memasak istrinya selama masakan tersebut sesuai dengan seleranya, ia tidak perlu tahu tentang konsep ketuhanan apabila ia seorang atheis, ia tidak perlu tahu tentang sepeda motor apabila ia tidak memilikinya, dan lain-lain.
BAB II
MASYARAKAT SEBAGAI KENYATAAN OBJEKTIF
PELEMBAGAAN
A.    Organisme dan Aktivitas
Secara biologis organisme manusia terus berkembang sementara ia sudah berhubungan dengan lingkungannya. proses menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan suatu lingkungan.Secara empiris, eksistensi manusia belangsung dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan kestabilan. Hal ini disebabkan, bahwa suatu tatanan sosial yang sudah ada mendahului setiap perkembangan organismis individu. tatanan sosial merupakan suatu produk manusia, atau lebih tepat lagi, suatu produksi manusia yang berlangsung terus-menerus. Ia diproduksikan oleh manusia sepanjang eksternalisasinya yang berlangsung terus-menerus.
Keberadaan manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas. Keharusan antropologis ini berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Ketidakstabilan yang inheren dari organisme manusia mengharuskannya untuk mengusahakan adanya suatu lingkungan yang stabil bagi perilakunya. Manusia sendiri harus menspesialisasikan dan mengarahkan dorongan-dorongannya. Fakta-fakta biologis ini merupakan praandaian-praandaian bagi produksi tatanan sosial. Dengan kata lain, meski tak satu pun dari tatanan sosial yang ada dapat diasalkan dari data biologis, keharusan bagi adanya tatanan sosial itu sendiri berasal dari perlengkapan biologis manusia.
B.     Asal-mula Pelembagaan
Semua kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan. Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil mungkin.  pembiasaan kegiatan manusia adalah koekstensif (sama lingkup dan lamanya) dengan pelembagaan kegiatan itu.Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Tipifikasi tindakan-tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan, yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik bersama.
Lembaga-lembaga selanjutnya mengimplikasikan historisitas dan pengendalian. Tipifikasi-tipifikasi timbal balik dari tindakan-tindakan tumbuh dalam perjalanan sejarah yang dialami bersama. Dalam pengalaman yang sesungguhnya, lembaga-lembaga pada umumnya mewujudkan diri sebagai kolektivitas-kolektivitas yang mencakup manusia dalam jumlah yang besar sekali. Namun demikian, secara teoritis penting untuk ditekankan bahwa proses pelembagaan ditipifikasi timbal-balik akan terjadi juga apabila dua individu mulai berinteraksi untuk pertama kalinya.
Eksternalisasi dan objektivasi merupakan momen-momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Momen ketiga dalam proses ini, yakni internalisasi (dengan mana dunia sosial yang sudah diobjektivasi dimasukkan kembali ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi).Masing-masing dari ketiga momen itu bersesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif. Manusia merupakan produk sosial.
C.    Pengendapan dan Tradisi
Hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus dalam kesadaran. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan terus itu lalu mengendap yang terkumpul sebagai ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat kembali. pEngendapan intersubjektif itu hanya benar-benar dinamakan sosial apabila sudah diobjektivasi dalam suatu sistem tanda; artinya, apabila ada kemungkinan bagi berulangnya objektifikasi pengalaman-pengalaman bersama itu. Sistem tanda yang menentukan adalah yang bersifat linguistik. Bahasa mengobjektivasi pengalaman-pengalaman bersama dan menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan dengan demikian menjadi dasar dan alat bagi cadangan pengetahuan kolektif.
Bahasa lalu menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif, yang bisa diperoleh secara monotetik; artinya, sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula.
D.    Peranan
Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif, yang pada gilirannya memerlukan suatu objektifikasi linguistik. Lembaga-lembaga diwujudkan dalam pengalaman individu melalui peranan. Peranan yang diobjektifikasi melalui bahasa, merupakan ramuan yang esensial dari dunia yang tersedia secara objektif dari tiap masyarakat. Dengan memainkan peranan, individu berpartisipasi dalam suatu dunia sosial. Dengan menginternalisasi peranan itu, dunia tersebut secara objektif menjadi nyata baginya.
Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan. Representasi ini berlangsung pada dua tingkat. Pertama, pelaksanaan peranan merepresentasikan dirinya sendiri. Kedua, peranan merepresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga. Lembaga-lembaga juga direpresentasikan dengan cara-cara lain. Objektifikasi-objektifikasi linguistik di dalamnya, mulai dari pemberian tanda verbalnya yang sederhana sampai kepada pemasukannya ke dalam simbolisasi kenyataan yang sangat kompleks, juga merepresentasikan semua itu; artinya, membuatnya hadir dalam pengalaman. Dan mereka bisa direpresentasikan secara simbolis oleh objek-objek fisik, baik yang alami maupun yang artifisial.
Analisa peranan terutama penting bagi sosiologi pengetahuan karena ia menyingkapkan perantaraan (mediasi) antara universum makna makroskopik yang diobjektivasi dalam suatu masyarakat dan cara-cara yang dengannya universum-universum itu menjadi nyata secara subjektif bagi individu-individu.
E.     Lingkup dan Cara-cara Pelembagaan
Secara sangat formal, lingkup pelembagaan tergantung kepada sifat umum dari struktur-struktur relevansinya. Jika banyak, atau bagian terbesar, dari struktur-struktur relevansi dalam suatu masyarakat secara umum dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan luas. Jika hanya sedikit saja struktur relevansi yang dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan sempit.
Pelembagaan bukanlah suatu proses yang tidak bisa dibalik, walaupun dalam kenyataannya lembaga-lembaga, begitu sudah terbentuk, mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus. Satu konsekuensi lainnya dari segmentasi kelembagaan itu adalah kemungkinan bagi adanya berbagai subuniversum makna yang secara sosial terpisah satu sama lain.
Baik tatanan kelembagaan secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya bisa dipahami secara reifikasi. Umpamanya, tatanan masyarakat secara keseluruhan bisa dibayangkan sebagai suatu mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos dari seluruh universum, sebagaimana yang telah diciptakan oleh para dewa. Apa pun yang terjadi “di bawah sini” hanyalah merupakan pantulan yang samar-samar saja dari apa yang terjadi “di atas sana”. Lembaga-lembaga tertentu bisa dipahami dengan cara yang serupa. “Resep” dasar bagi reifikasi lembaga-lembaga adalah untuk memberikan kepadanya suatu status ontologis yang terlepas dari kegiatan dan pemberian arti oleh manusia.
Melalui reifikasi, dunia lembaga-lembaga tampak melebur dengan dunia alam. Ia menjadi keharusan dan takdir, dan dihayati seperti itu, dengan rasa gembira atau sedih, tergantung keadaannya.
Analisa reifikasi ini penting karena ia merupakan koreksi yang tetap terhadap banyak kecenderungan pemikiran teoritis pada umumnya dan sosiologi pengetahuan pada khususnya untuk melakukan reifikasi. Ia khususnya penting bagi sosiologi pengetahuan, karena ia mencegahnya agar tidak terjerumus ke dalam suatu konsepsi yang tidak dialektis mengenai hubungan antara apa yang dilakukan oleh manusia dan apa yang mereka pikirkan. Penerapan sosiologi pengetahuan secara historis dan empiris harus memberikan perhatian yang istimewa kepada kondisi sosial yang mendorong de-reifikasi—seperti ambruknya tatanan kelembagaan secara keseluruhan, kontak antara masyarakat-masyarakat yang tadinya terpisah satu sama lain, dan fenomena penting dari marjinalitas sosial. Tetapi masalah-masalah itu melampaui kerangka pembahasan kita sekarang.
LEGITIMASI
A.    Asal-mula Universum-universum Simbolis
Legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai suatu objektivasi makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif. perlu ditambahkan bahwa “integrasi”  dalam salah satu bentuknya juga merupakan tujuan khas yang memotivasi orang yang melakukan legitimasi itu.
Integrasi dan, bersamaan dengan itu masalah yang secara subjektif masuk akal itu mengacu kepada dua tingkat. Pertama, keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti, secara bersamaan, oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda.Kedua, keseluruhan kehidupan individu, yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan, harus diberi makna subjektif.
Legitimasi “menjelaskan” tatanan kelembagaan dengan memberikan kesahihan kognitif kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi. Legitimasi membenarkan tatanan kelembagaan dengan memberikan martabat normatif kepada perintah-perintah praktisnya. Penting untuk dipahami bahwa legitimasi mempunyai unsur kognitif maupun normatif.
Perlu sebuah universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum-universum simbolis merupakan perangkat-perangkat tradisi teoritis yang mengintegrasikan berbagai bidang makna dan mencakup tatanan kelembagaan dalam suatu totalitas simbolis. Universum simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna bagi individu dan individu harus melakukan sesuai makna itu.
B.     Peralatan Konseptual untuk Memelihara Universum
Dipandang sebagai suatu konstruksi kognitif, universum simbolis itu sifatnya teoritis. Ia berasal dari proses-proses refleksi subjektif yang setelah melalui objektivasi sosial melahirkan ikatan-ikatan yang eksplisit antara tema-tema penting (significant themes) yang berakar dalam berbagai lembaga.
Prosedur-prosedur spesifik pemeliharaan universum menjadi perlu apabila universum simbolis bersangkutan telah menjadi satu masalah. Selama keadaannya belum sampai demikian, universum simbolis bisa memelihara diri sendiri; artinya melegitimasikan diri hanya melalui faktisitas eksistensi objektifnya dalam masyarakat bersangkutan.
Peralatan-peralatan konseptual-konseptual untuk memelihara universum itu adalah juga produk kegiatan-kegiatan sosial. Peralatan tersebut meliputi d pertama Mitologi sebagai suatu peralatan konseptual letaknya paling dekat dengan taraf naif dari universum simbolis tingkat di mana terdapat kebutuhan yang paling kecil untuk pemeliharaan universum secara teoritis dengan melampaui pengandaian bahwa universum yang bersangkutan benar-benar merupakan kenyataan yang objektif. Teologi berfungsi sebagai paradigma bagi konseptualisasi filosofis dan ilmiah yang lebih kemudian mengenai kosmos.
C.    Organisasi Sosial untuk Memelihara Universum
Karena merupakan produk historis dari kegiatan manusia, maka semua universum yang dibangun secara sosial itu berubah, dan perubahan itu ditimbulkan oleh tindakan-tindakan kongkrit manusia. Jika kita tenggelam dalam segala seluk beluk mengenai peralatan konseptual yang digunakan untuk memelihara tiap universum tertentu, kita bisa lupa akan fakta sosiologis yang mendasar ini: Kenyataan ditentukan atau didefinisikan secara sosial. Akan tetapi definisi-definisi itu selamanya diwujudkan, artinya, individu-individu dan kelompok individu yang kongkrit bertindak sebagai pembuat definisi tentang kenyataan. Untuk dapat memahami keadaan universum yang dibangun secara sosial itu pada setiap saat tertentu, atau perubahannya dalam perjalanan waktu, kita harus memahami organisasi sosial yang telah memungkinkan para pembuat definisi melakukan tugas itu.
Lembaga-lembaga dan universum simbolis dilegitimasi oleh individu-individu yang hidup, dengan lokasi-lokasi dan kepentingan sosial yang kongkrit. Sejarah teori-teori legitimasi selalu merupakan bagian dari sejarah masyarakat secara keseluruhan. Tiada “sejarah gagasan” yang berlangsung terpisah dari darah dan keringat sejarah umum. Namun perlu ditekan bahwa ini tidak berarti bahwa teori-teori itu hanya sekedar pantulan “gagasan-gagasan” dan proses-proses sosial yang mendukungnya selalu merupakan hubungan dialektis. Kiranya tepat untuk mengatakan bahwa teori dibuat untuk melegitimasi lembaga sosial yang sudah ada. Akan tetapi bisa juga terjadi bahwa lembaga sosial diubah agar sesuai dengan teori yang sudah ada; artinya membuatnya lebih “absah”. Para pakar dalam hal legitimasi bisa beroperasi sebagai orang-orang yang memberikan pembenaran teoritis kepada status quo; mereka juga bisa tampil sebagai ideolog-ideolog revolusioner. Definisi tentang kenyataan mempunyai potensi membenarkan diri. Teori dapat direalisasi dalam sejarah, bahkan teori-teori yang sangat muskil sekalipun ketika untuk pertama kali disusun oleh para penemunya. Karena itu perubahan sosial harus selalu dipahami dalam hubungan dialektis dengan “sejarah gagasan”. Baik pemahaman yang “idealistis” maupun pemahaman yang “materialistis” mengenai hubungan ini melupakan dialektika itu, dan dengan demikian mengubah jalan sejarah. Dialektika yang sama berlaku bagi transformasi universum simbolis secara keseluruhan yang telah kita bahas. Yang masih tetap sangat penting dari segi sosiologi adalah pengakuan bahwa semua universum simbolis dan semua legitimasi merupakan buatan manusia; eksistensi mereka mempunyai landasan dalam kehidupan individu-individu kongkrit, dan tidak punya status empiris yang terlepas dari kehidupan mereka.
Bab III
TAFSIR SOSIAL ATAS KENYATAAN
Masyarakat Sebagai Kenyataan Subjektif
Memahami dinamika masyarakat yang heterogen, harus dipadu dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus-menerus. Ada tiga hal penting yang berperan didalamnya: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Masyarakat dan tiap bagian darinya secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga setiap analisa yang hanya dari satu atau dua segi dari ketiga momen itu, tidak memadai.
Namun demikian, individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Misalnya, dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan kemudian bercengkrama menjadi anggota masyarakat. Karena itu, dalam kehidupan setiap individu, ada suatu urutan waktu dan selama itu ia diimbas ke dalam partisipasi dalam dialektika masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang dengan demikian bermakna secara subjektif.
Internalisasi subyektif disini adalah pemahaman Peter L Beger dalam menelaah suatu masyarakat yang berdialektika dengan kenyataan sosial, dimana pemahaman Beger hanya berasumsi terhadap pradigma berfikir yang muncul dari dia pribadi (subyektif) . Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu an-sich. Beger memahami suatu dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia Beger sendiri. Sejatinya ia menilai dari perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif.
Internalisasi dan Struktur Sosial
Dalam kenyataan objektif masyarakat, meskipun kenyataan itu secara subjektif menampilkan diri kepadanya dengan cara yang asing dan terpotong, individu akan menghadapi kegagalan realitas. Akan menyeruak sebuah tingkat asimetri yang tinggi antara realitas yang didefinisikan secara sosial di mana ia secara de facto terperangkap, seperti dalam suatu dunia yang asing, dan kenyataan subjektifnya sendiri, yang hanya dapat mencerminkan dunia itu dengan cara yang sangat tidak sempurna. Tetapi asimetri itu tidak akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi struktural yang akumulatif karena ia tidak mempunyai landasan sosial yang dapat diwujudkan menjadi suatu dunia-tandingan (counter-world) dengan perangkat identitas-identitas tandingannya sendiri yang sudah dilembagakan. Individu yang sosialisasinya tidak berhasil itu sendiri sudah didefinisikan sebelumnya secara sosial sebagai satu tipe yang sudah digariskan dengan jelas (si pincang, si anak haram, si dungu, dan sebagainya). Karena itu, apa pun identitas-diri yang berlawanan, yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam kesadarannya sendiri, tidak akan memiliki struktur masuk-akal yang dapat mentransformasikannya menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar khayalan-khayalan yang berlalu begitu saja.
Teori-teori Identitas
Konsep identitas adalah konsep yang bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim suatu identitas tertentu bagi diri mereka dan didefinisikan oleh yang lain dengan pelbagai asumsi. Etnisitas bermakna identifikasi dengan suatu kelompok etnik karena afiliasi.
Subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat tidak pasti. Karenanya, identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat mengada di luar representasi kultural dan sosial. Ia adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat dan penggunaannya. Begitulah memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya, memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah dan didalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus; tetapi, sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu. Berger menyebut hal ini dengan sub specie aeternitatis.
Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya, tipe-tipe identitas merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsur-unsur yang relatif stabil dari kenyataan sosial objektif. Teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam penafsiran yang lebih umum tentang kenyataan. Teori-teori itu dipasang dalam universum simbolik dan legitimasi-legitimasi teoritisnya, serta bervariasi dengan sifat yang disebut belakangan. Identitas akan-tetap tak bisa dipahami kecuali jika ia berlokasi dalam suatu dunia. Karena itu, setiap kegiatan berteori tentang identitas-dan tentang tipe-tipe identitas tertentu.
Konsepsi masyarakat secara subjektif yang dibangun oleh Beger berasal dari Weber dan Schutz. Sedang konsepsi sosialisasi bertumpu pada teori Mead. Kemudian konsepsi tentang sifat diri yang direfleksikan Beger berasal dari Cooley dan Mead. Akar-akarnya bisa ditemukan dalam analisa tentang diri sosial (social self) oleh William James dalam buku Principles of Psychology yang dengan lantang mendedah persoalan psikologisme Freud atau psikologisme behavioristik.
Sementara konsep jarak peran atau teknik sorot balik Beger tentang masyarakat subjektif sejatinya mengembangkan teori Erving Goffman terutama dalam Asylums (Garden City, N.Y.: Doubleday-Anchor, 1961). Analisa Beger menyarankan bahwa jarak seperti itu hanya mungkin dalam kenyataan-kenyataan yang telah diinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder.
Peter L. Berger merupakan sosiolog yang berusaha menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, antara voluntarisme dan determinisme. ia dengan gigih berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur.


Tags :

bonarsitumorang