-->

September 05, 2016

GERAKAN MAHASISWA INDONESIA

Patah tumbuh, hilang berganti.  Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia memperlihatkan periode pasang dan surut, sesuai dengan perkembangan ekonomi-politik yang melingkupinya. Tidak sedikit perubahan penting dalam sejarah nasional Indonesia tidak terlepas dari kepeloporan dari mahasiswa dan kaum muda. Sehingga meskipun populasi mahasiswa tidak melebihi 2% dari total populasi penduduk Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peranan cukup besar. Sebagai contoh dapat kami sebutkan disini seperti Sumpah Pemuda, Perlawanan anti-fasis, proklamasi kemerdekaan, revolusi fisik, dan perjuangan menentang imperialisme paska Indonesia merdeka. Mahasiswa telah memberikan sumbangsihnya kepada ibu pertiwi, ibu yang telah melahirkannya.


A. Kelahiran Gerakan Mahasiswa dan Perjuangan Anti Kolonial

Keberadaan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dengan kehadiran lembaga pendidikan pertama kali. Setelah berakhirnya tanam paksa, kaum liberal belanda mulai memikirkan cara untuk mempebesar keterlibatan kelompok swasta (borjuis) belanda untuk mengembangkan modalnya di Hindia-Belanda (Indonesia kala itu). Lahirlah politik etis, yang oleh penemunya Van Deventer adalah politik balas-budi, akan tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk memuluskan berkembang-biaknya kapital di bumi hindia-belanda. Inti politik etis adalah edukasi (pendidikan), migrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi (pengairan). Disini kita akan berfokus kepada edukasi sebagai jalan lahirnya kaum intelek di kalangan bumiputera. Pada tahun 1983 di bentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang “berada”, serta Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputera angka dua) untuk anak-anak rakyat kebanyakan. Selain itu berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Burgerscholen (HBS),  School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), dll.

Pendidikan telah melahirkan pengetahuan, bahasa, dan tulisan. Hal itu telah melahirkan kesadaran baru bagi bumiputera yakni “kemodernan” dan “kebebasan”. Organisasi dan pers segera berdiri dimana-mana. Terbitan-terbitan berbahasa belanda atau bumiputera mulai masuk kekantong-kantong kesadaran bumiputera. Perkembangan ini berbarengan dengan situasi penindasan kolonial yang kian menjadi kesadaran dari segenap kaum muda. Medan Priayi adalah organ pertama yang didirikan mahasiswa (1909-1912). Disamping itu, Tirto Adhisuryo mendirikan Serikat Priayi, yang bertujuan memajukan pendidikan anak-anak bumiputera dan bangsawan bumiputera lainnya.

Di belahan dunia lain, gerakan pembebasan nasional dan gerakan kaum muda bangkit. Gerakan nasionalis bergolak di Tiongkok menumbangkan dinasti Ch’ing pada oktober 1911. di Turki juga muncul gerakan nasionalis oleh kaum muda. Dan pengaruh dari revolusi Rusia 1905. Berita-berita tersebut telah memberikan pengaruh kepada kebangkitan gerakan nasionalis di dalam negeri. Muncullah Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI). Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).[1] Tidak ketinggalan, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche  Vereeniging[2]. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti  Semaun.[3]

Mahasiswa semakin bergerak maju. Mereka sudah menciptakan organisasinya, sudah menemukan kesadarannya (anti-kolonialisme) dan sudah menemukan metode-metode pergerakannya; aksi massa, pemogokan, boikot, propoganda, selebaran, rapat akbar (vergandering). Pada tahun 1914, iklim pergerakan Indonesia semakin meningkat. Beberapa pemuda dan mahasiswa menerjemahkan perjuangannya dalam bentuk politik radikal dengan membangun Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), yang merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahap ini, perjuanga-perjuangan yang terkotak-kota dalam batas lokalisme (kedaerahan), kesukuan, keagamaan telah dicairkan. Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda dari berbagai kelompok mendeklarasikan “sumpah Pemuda Indonesia”. Sumpah Pemuda dapat dikatakan sebagai kristalisasi dari sentimen nasionalisme Indonesia pertama kali yang diikrarkan oleh kaum muda.

B.  Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Peran Historis Mahasiswa

Dibawah pendidikan fasisme Jepang yang keji, gerakan mahasiswa tidak mengendorkan perjuangannya. Mereka malah menempuh jalan berbahaya dengan mengorganisasikan perjuangan bawah tanah (illegal) dan perjuangan bersenjata (Blitar, singaparna, dan lain-lain). Ketika fasisme mengalami kemunduran dan jepang sendiri menyerah kepada sekutu, beberapa kelompok pemuda bergerak cepat untuk mengorganisir proklamasi kemerdekaan. Terjadilah peristiwa “rengasdeklot”, dimana pemuda dan mahasiswa menculik Bung Karno dan Hatta untuk memaksa keduanya membacakan proklamasi kemerdekaan. Peristiwa “rengasdeklot” menjelaskan pula soal pertentangan kaum muda dan kaum tua dalam hal kemerdekaan Indonesia. Kaum Muda menuntut proklamasi dikumandangkan secepatnya dengan memanfaatkan masa kevakuman kekuasaan sedangkan kaum tua bersifat menunggu itikad baik dari pemerintah Jepang.

Paska proklamasi kemerdekaan, tugas berat bagi mahasiswa dan kaum muda menunggu. Kemerdekaan adalah harapan, impian yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, situasi pada saat itu menunjukkan kita memiliki kekurangan yang cukup besar, disisi lain ada ancaman dari masuknya kembali neokolonialisme. Mahasiswa dan pemuda bergerak cepat. Instalasi-instalasi penting, seperti jawatan kereta api, Radio, Kantor Pos, Gudang Persenjataan, dan gudang-gudang milik Jepang diambil-alih oleh pemuda dan rakyat. Kemerdekaan harus diisi dan dipertahankan dengan mobilisasi rakyat dan propoganda. Lagu “darah rakyat” menjadi symbol semangat baru dari rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Leaflet-leaflet dibagikan, mural-mural “merdeka atau mati” menjejali tembok-tembok dan dinding-dinding gedung/rumah, serta slogan-slogan yang membakar semangat. Puncak dari mobilisasi-mobilisasi rakyat mempertahankan kemerdekaan adalah rapat akbar di lapangan Ikada---dimana ratusan ribu rakyat dan pemuda menghadirinya.

Pada masa itu berdiri organisasi mahasiswa dan pemuda seperti Angkatan   Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia  (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya, karena:  Melahirkan organisasi Gabungan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), yang merupakan peleburan dari API, PRI, GERPRI, dan AMRI. Terbentuknya Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Kongres I sangat diwarnai semangat perjuangan bersenjata. Kongres II menghasilkan keputusan:  Berpegang teguh pada Undang-Undang, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pemimpin yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.

Disamping organisasi itu, berdiri pula organisasi mahasiswa yang berbasiskan keyakinan agama dan kedaerahan seperti pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik  Republik Indonesia (PMKRI).[4] Kehadiran mereka tidak lepas dari kelahiran partai-partai politik yang berideologi sejenis seperti Masyumi, Parkindo, dan Partai Katolik.

Ketika revolusi fisik bergolak, pemuda dan mahasiswa turut membentuk organisasi perlawanan dan laskar-laskar bersenjata seperti Tentara Pelajar dan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia)---merupakan gabungan tujuh organisasi yakni API,AMRI, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Pemuda Republik Indonesia, Angkatan Muda Pos dan Telegraf,dll. Di pihak lain, Belanda mencoba menarik sismpati Mahasiswa Indonesia. Pada Januari 1946, perguruan tinggi di masa kolonial dibangun kembali menjadi Universitas Indonesia yang fakultas-fakultasnya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Kegiatan ekstrakurukuler mahasiswa dipolakan persis seperti di Belanda. Publikasi mahasiswa dijauhkan dari berita-berita politik. Organisasi-organisasi   seperti Perhimpunan Mahasiswa   de Jakarta  (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogja, Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpuan mahasiswa Katolik Republik  Indonesia (PMKRI), Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran  Hewan (PMKH),  Perhimpunan Mahasiwa Kristen Indonesia (PMKI) dan Persatuan Pelajar Peguruan Tinggi Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan mahasiwa Indonesia dan  Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) khusus didaerah kedudukan  Belanda. Yang pada perjalanannya dianggap kolaborator dan perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda, karena mahasiswa yang tergabung dalam BKMI hanya sibuk menyelesaikan studinya.

Untuk membatasi pengaruh BKMI, mahasiswa pro-republik membentuk PPMI (perserikatan perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) di Malang pada Maret 1947. Elemen mahasiswa pro-republik berhasil melakukan infiltrasi ke dalam tubuh BKMI. Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 8-14 Juni 1950 berhasil membentuk Front Pemuda Indonesia (FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi mahasiswa universitas.  Pada massa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba memperkuat penolakan terhadap usaha kolonialisme Belanda  untuk kedua kalinya-1950 merupakan, dan secara umum belum sampai kepada  tahap  anti-imperialisme (perusahaan-perusahaan milik   Belanda    tetap bercokol.

Menjelang pemilu 1955, beberapa partai politik memanfaatkan organisasi mahasiswa sebagai alat mendapatkan dukungan dikalangan mahasiswa. Masuknya mahasiswa dalam pertarungan politik berdampak positif. Pertentangan dan polarisasi dikalangan kelompok kiri dan kanan dalam pemilu juga menyebar dikalangan organisasi kampus.

C. Perjuangan anti Imperialis
Paska pengakuan kedaulatan, beberapa unsur revolusioner dalam grup mahasiswa menyadari kelemahan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang cukup menguntungkan pihak Belanda. Kelompok mahasiswa dan gerakan buruh mengorganisir aksi-aksi menentang perjanjian KMB dan kembalinya kekuasaan kolonialisme Belanda. Mereka sibuk mengorganisir aksi-aksi massa dan pengambil-alihan terhadap perusahaan-perusahaan asing, bukan saja milik Belanda, tetapi juga milik AS dan Inggris. Gerakan ini disebut sebagai gerakan nasionalisasi, mencapai puncaknya pada tahun 1957. Gerakan mahasiswa terlibat aktif dalam mengkampanyekan “ganyang imperialis inggris- amerika”, “Inggris kita linggis, Amerika kita Setrika”. Pertentangan politik antara kekuatan anti-imperialis dengan kekuatan antek imperialis didalam negeri tidak saja terjadi dalam lapangan ekonomi, tetapi berkembang sengit menjelang pemilu 1955.

Pertentangan lama antara Front "Kiri" dan "Kanan" mendapat momentum dalam persiapan menghadapi Pemilu, dan implementasinya disektor mahasiswa adalah peperangan antara CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak dengan HMI, PMKRI dan GMS di lain pihak.  Dalam peperangan itu isu utama dari pihak kiri adalah Kapitalisme, Neo-Kolonialisme, Feodalisme dan Fasisme. Sedangkan isu dari pihak Kanan adalah Komunisme, Diktator, Satelit Komunis, Menghalalkan Segala Cara dsb. Sementara itu, PPMI makin condong ke kiri. Sejak tahun 1956 perpecahan dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih terbuka, ditambah penentangan yang dilakukan oleh beberapa partai didaerah terhadap presiden Soekarno.

Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat2 mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk  federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Mahasiswa kembali lari dari persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, seperti misalnya: Mahasiswa tidak memandang perjuangan pembebasan Irian Barat (TRIKORA) sebagai kelanjutan dari perjuangan melawan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme (bumi Irian sangat kaya dengan bahan-bahan tambang, hutan, dan mineral). Mereka tidak turut berpartisiapasi dalam Hari Solidaritas Internasional Menentang Kolonialisme pada tanggal 24 April 1957 (yang berpartisiapasi adalah PPMI, FPI dan Perserikatan Pemuda Indonesia/PORPISI, yang tujuannya memperkuat kerja sama negara Asia-Afrika menuntut klaim Irian Barat sebagai wilayah RI).

D. Dibawah Kediktatoran Orde Baru, masa Kontra-Revolusioner
Gerakan mahasiswa “66” telah mengambil peran menentukan sebagai sekutu sipil tentara dalam menjatuhkan pemerintahan progressif Soekarno. Peran ini dibalas jasa oleh orba dengan menempatkan beberapa aktifis dalam jabatan pemerintahan, DPR, pengusaha, atau sekedar diberi modal untuk jalan-jalan keluar negeri. Beberapa diantara mereka yang memiliki tujuan idealis mencoba menghindarkan diri dari tawaran kekuasaan dan mengambil jalan kritis. Hanya sedikit dari Angkatan 66 yang tidak diserap ke dalam lembaga-lembaga Orde Baru, seperti Soe Hok Gie, Ahmad Wahid, Arif Budiman, Syahrir, dll.

Pada tahun 1970-an, beberapa kebijakan Soeharto yang dianggap tidak merakyat (populis) ditentang oleh mahasiswa. Mahasiswa di kampus UI menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM 100%, termasuk mengeritik persoalan korupsi yang kian merajalela dikalangan pemerintah. Menjelang pemilu 1971, mahasiswa kembali bergerak memprotes campur tangan pemerintah dalam internal partai politik, serta menentang pengunaan kekerasan dan intimidasi di wilayah pedesaan terhadap pemilih agar berpihak pada pemerintah. Mereka menganjurkan pencoblosan diluar pemilu resmi, inilah cikal bakal gerakan Golput. Pada waktu soeharto berencana menggelontorkan duit sebesar 10,5-20 Milyar untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), mahasiswa kembali melakukan penentangan. Proyek tersebut disponsori oleh organisasi yang bernama Yayasan Harapan Kita; istri Presiden Soharto, Tien Soeharto, adalah ketua Yayasan tersebut.

Modal asing mulai membanjiri Indonesia. Persaingan antara kapital asing untuk mendapatkan lahan berkembang biak di Indonesia turut membelah kepentingan elit politik di Indonesia dimasa itu. Mahasiswa mulai resah dengan derasnya aliran modal berkontribusi pada melebarnya gap antara si kaya dan miskin. Disisi lain, beberapa politisi merasa irih dengan keunggulan modal Jepang. Kedatangan perdana Menteri Tanaka ke Jakarta tanggal 15 Januari 1974 disambut oleh gelombang demonstrasi mahasiswa. Akan tetapi, perlawanan ini dengan mudah dilindas oleh penguasa Orba. Beberapa pimpinan mahasiswa seperti Hariman Siregar ditangkap.

Orde baru semakin bergerak mempersempit ruang bagi oposisi. Setelah mengutak-atik partai politik dan membersihkan unsur-unsur kiri dan nasionalis, Orde baru selangjutnya mencoba menyederhanakan partai politik. Partai politik yang diakui hanya tiga, itupun dasar politik dan pengabdiannya harus kepada kesinambungan kekuasaan Orde baru. mahasiswa kembali bergerak. Kali ini, mereka benar-benar sudah marah dengan Soeharto sehingga isunya berporos pada penolakan kepada pencalonan Harto sebagai presiden. Di kampus Institut Tekhnologi Bandung (ITB) yang menjadi pusat perlawanan mereka diserbu tentara dengan menggunakan panser. Di Jogjakarta, mahasiswa malah dikejar-kejar hingga kedalam kampus oleh aparat militer. Beberapa tokoh pimpinan mereka ditangkap, seperti Risal Ramli.

Depolitisasi dan Deorganisasi
Gerakan ditahun 1978 merupakan akhir dari apa yang disebut “keistimewaan” terhadap mobilisasi mahasiswa. Soeharto benar-benar tidak bisa mentolerir lagi gerakan-gerakan yang dibuat mahasiswa, termasuk yang berbau “moral force”. Dewan Mahasiswa (DEMA) dibubarkan, semua kegiatan kemahasiswa yang berbau politik dilarang. Kebijakan ini diatur dalam Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang diserap dari konsep Ali Moertopo tentang “massa mengambang”. Perguruan tinggi dirombak menjadi sebuah institusi yang hanya menempa mahasiswa menjadi Tenaga kerja murah dan pengabdi rejim Orde baru. pola-pola indoktrinasi diperkenalkan, seperti penataran P4, mata-kuliah, dan lain-lain. Untuk waktu yang cukup lama, kehidupan kampus dikontrol oleh KOPKAMTIB.

Organisasi mahasiswa yang diakui hanya organisasi mahasiswa yang patuh kepada rejim. Organisasi yang tetap diperbolehkan berdiri antara lain; HMI, PMII, IMM, GMKI, PMKRI, dan GMNI (tetap di-ijinkan hidup namun sudah dihilangkan nasionalisme progressifnya). Organisasi-organisasi inipun diharuskan menerapkan azas tunggal dalam organisasinya. Hal itu memicu keretakan ditubuh HMI. HMI terbelah menjadi dua, yakni HMI yang tetap mempertahankan azas islam, disebut HMI Majelis Penyelamat Organisi(MPO) dan HMI yang merubah azas menjadi pancasila, disebut HMI Dipo. Didalam kehidupan kampus, DEMA yang sudah dibubarkan digantikan dengan sistem Senat Mahasiswa (SMPT), dan secara hierarki berada dibawah Rektor. Pada dasarnya aktivitas berpolitik dilarang, akan tetapi pimpinan-pimpinan dari organisasi mahasiswa memiliki afiliasi dengan organisasi pemerintah. Setelah mereka menyelesaikan study, mereka akan direkrut masuk dalam pemerintahan. bagi mereka yang tidak berminat dengan politik, diberikan kesempatan untuk menyalurkan hobbynya lewat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Hal –hal diatas menyebabkan kehidupan politik dikampus menjadi kering dan aktifis mahasiswa mengalami demoralisasi. Sebagaian diantara mereka beralih studi keluar negeri, sedangkan yang bertahan akhirnya mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Lahirnya Gerakan Mahasiswa Kerakyatan


Seperti sebuah hukum perlawanan menjelaskan, “dimana ada rejim otoriter yang meninas, maka disitu akan lahir perlawanan”. Politik “massa mengambang” yang dijalankan oleh orde baru praktis membuat kehidupan politik dikampus membeku dalam waktu yang lama. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian muncul kecenderungan di gerakan mahasiswa, memungkinkan ini sebagai respon atas situasi yang ada; pertama kemunculan kelompok-kelompok study. Mereka mahasiswa-mahasiswa yang mencoba membuka literature-literatur lama (buku-buku pramoedya, dll), dan membedahnya dengan tekun. Aktifitas ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, serta dalam lingkaran-lingkaran kecil yang tertutup. Hal tersebut dilakukan guna menghindari intelijen orde baru mengetahui dan membubarkannya. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho[5] dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, mereka yang baru saja belajar diluar negeri kembali dengan membawa teori-teori kiri-baru (new-left). Kendati teori ini berbau marxisme tetapi merupakan antitesa terhadap marxisme itu sendiri. Inti gagasannya adalah pemberdayaan rakyat. Beberapa waktu kemudian, LSM-LSM menjamur ibarat “jamur di musim hujan”.

Aktivitas LSM umumnya ditekuni oleh mantan-mantan aktivis mahasiswa yang sudah menyelesaikan study. Terkadang mereka melibatkan junior-junior mereka dalah aktiftas2 diakar rumput. Disisi lain, rejim orde baru mulai kehilangan kemampuan “memagari” kelompok-kelompok mahasiswa yang ada, akhirnya kelompok studi mulai bertransformasi menjadi aktifitas pengorganisiran. Mahasiswa mulai terlibat melakukan advokasi-advokasi terhadap persoalan yang dialami oleh rakyat, seperti penggusuran, pembasmian tukang becak, perampasan tanah, kasus “PHK”, dan kasus-kasus lainnya. Pada saat bersamaan, komite-komite kampus mulai terbangun dengan melepaskan diri dengan organisasi-organisasi mahasiswa yang status quo. Tahun 1992, mahasiswa turun kejalan memprotes UU Lalu-lintas yang baru. setahun berikutnya, gerakan mahasiswa kembali memprotes pemberlakuan SDSB.

Aksi-aksi mahasiswa diberitakan panjang lebar oleh Koran dan media massa, seperti Tempo, Detik, dan Editor. Koran-koran tersebut dibredel oleh Orde baru, dan mahasiswa diberbagai daerah melakukan protes. Tahun 1996, di Makassar, mahasiswa melakukan protes atas kenaikan tariff angkutan umum. Aksi protes ini direspon dengan keji oleh aparat dengan mendatangkan tank-tank kedalam kampus. Sebanyak 7 orang mahasiswa dinyatakan tewas, dan beberapa lainnya tidak jelas, tragedy ini kemudian disebut “tragedy amarah”. Kejadian itu mendapat solidaritas dari mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Lampung, dan Solo.

Gerakan mahasiswa semakin memperlihatkan kemajuan. Komite-komite aksi yang terbangun akhirnya berhasil dikonsolidasikan dan melahirkan organisasi mahasiswa berskala nasional yakni Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dideklarasikan Agustus 1994. SMID merupakan organisasi mahasiswa berkarakter progressif-kerakyatan. Mereka aktif mengorganisir klas buruh, petani dan miskin kota, serta memberikan pendidikan politik kepada mereka. Program perjuangannya cukup maju, yakni; pencabutan dwi-fungsi ABRI, pencabutan 5 UU paket politik, dan gulingkan rejim Soeharto. 

E. Gerakan Mahasiswa 1998

Sentiment anti kediktatoran Orde Baru terus berkembang. Kendati diusahakan untuk dihentikan orba dengan menjalankan represi dan propokasi berbau SARA, akan tetapi militansi dan radikalisme rakyat sudah tak tertahankan. Beberapa organisasi rakyat, seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat(JAKER), Serikat Rakyat Indonesia(SRI), SMID dan beberapa aktifis lainnya membentuk Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1994. Namun, dua tahun kemudian PRD berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik lewat deklarasinya di kantor YLBHI, Juli 1996. akan tetapi, dua hari setelah dideklarasikan PRD dan para kadernya dikejar-kejar karena dituduh terlibat dalam peristiwa “kudatuli” (27 Juli 1996).

Tahun 1996-1997, krisis moneter mulai membayang-bayangi Asia Tenggara. Bermula di Thailand, Akhirnya juga menyerbu Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia. struktur ekonomi Orde Baru yang sangat rapuh ditambah KKN (kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) kian merajalela dalam birokrasi, menyebabkan krisis Indonesia jauh lebih parah ketimbang negara lain. Krisis moneter menyebabkan nilai rupiah jatuh, disertai dengan naiknya harga sembako, PHK massal, dan lain-lain. Mahasiswa cukup merasakan imbas dari krisis, berupa lonjakan harga buku, kontrakan, dan kebutuhan-kebutuhan ekonomis lainnya.

Dalam waktu dua bulan, antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, Edwad Aspinal dalam tulisannya, The Indonesia Student Uprising of 1998 mencatat terjadi 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok. Bentrokan ini menunjukkan sikap tegas mereka terhadap militer. Itulah mereka, GM '98 yang sangat antimiliterisme dan kediktatoran. Eskalasi perlawanan mahasiswa meningkat menjelang mei, dan puncaknya menjelang peringatan kebangkitan nasional. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Soeharto, sang diktator akhirnya lengser. Kepemimpinan politik diserahkan kepada Habibie, salah satu orang kepercayaan Orde Baru. perjuangan mahasiswa menentang Orde Baru terus berlangjut. Mahasiswa menganggap pemerintahan Habibie masih kelanjutan rejim Orde baru, beberapa kekuatan politik pendukung Orba (militer dan Orba) masih aman bertengger dalam kekuasaan. Mahasiswa kemudian melanjutkan perlawanan dengan menekankan kepada pembersihan terhadap sisa-sisa orde baru. akan tetapi, cakupan mahasiswa yang menyadari ini masihlah kecil sedangkan mayoritas lainnya menganggap bahwa setelah soeharto jatuh artinya mereka sudah menang. Habibie mencoba meneruskan kesinambungan politik Orba dengan menyelenggarakan SI MPR tahun 1999. Hanya kelompok radikal seperti KOMRAD, KBUI,FAMRED, FORKOT, dll yang merespon SI MPR yang berujung pada “tragedy semanggi I”.

Kelemahan gerakan Mahasiswa 1998

Kita patut memberikan acungan jempol kepada GM 98. militansi dan keberanian mereka telah berhasil menyinkirkan Soeharto dari kekuasaan. Akan tetapi, kejatuhan soeharto hanyalah salah satu bagian dari proses perjuangan strategis menuju Indonesia baru; Indonesia demokratis yang sejahtera seadil-adilnya. Kenyataan bahwa soeharto jatuh akan tetapi mesin politiknya masih tetap terjaga. Sehingga ditengah jalan, kekuatan sisa orde baru kembali mengkonsolidasikan diri dan berhasil terus mendominasi pemerintahan paska reformasi. Berikut beberapa analisa terhadap GM 1998;
Pertama, kelemahan dalam lapangan konsep strategis (ideology), lemah dalam persoalan teoritik. Kelemahan ini menyebabkan GM tidak dapat menangkap dan menyimpulkan situasi objektif yang berkembang, serta mendialektikannya guna menghasilkan perubahan. Seolah ada dikotomi antara pemahaman teoritik dan praktek lapangan. Sehingga pada saat krisis revolusioner berlansung, mahasiswa tumpah ruah kejalanan dengan menonjolkan keberanian dan militansi bertempur, tetapi meninggalkan persoalan konsepsi dan teoritik.

Kedua, Kuatnya sektarianisme dikalangan gerakan mahasiswa. Sektarianisme selain dilahirkan oleh metode pendidikan kapitalisme yang atomistik, juga dibesar-besarkan oleh karena ketidak-adaan konsepsi ideologis yang kuat. Ketidak-adaan konsepsi politik perjuangan menyebabkan gerakan mahasiswa dengan mudah dipolarisasi berdasarkan kepentingan elit tertentu.

Ketiga, Kelemahan dalam hal Konsepsi (ideology) dan teoritik berujung pada kesalahan analisa, cara pandang, dan kesimpulan. GM tidak dapat merumuskan taktik-taktik baru dalam menghadapi perubahan (dinamika) politik yang terjadi. Momentum pemilu 1999, yang merupakan titik balik kembalinya kekuatan Orde baru, tidak dimanfaatkan oleh GM guna menjadi lapangan pertempuran menghadapi sisa-sisa kekuatan orde baru.

Keempat, kesadaran umum mahasiswa adalah kesadaran ekonomisme dan bersifat spontan, sedangkan dalam lapangan praktek sangat “heroistis”. Banyak mahasiswa yang termobilisasi karena faktor-faktor “ikut-ikutan” atau “trend”, bukan karena kesadaran politik yang benar-benar muncul.
Kelima, tidak ada penyatuan dalam skala luas (nasional) dan permanent terhadap komite-komite aksi ataupun organisasi-organisasi tingkatan lokal. Ada usaha dalam bentuk Rembug Mahasiswa Nasional Indonesi (RMNI) I dan II, akan tetapi ajang itu justru menjadi perdebatan pada hal-hal yang sifatnya teknis, bukan hal yang ideologis, menyebabkan upaya penyatuan sulit menyatukan spectrum gerakan mahasiswa.

F. Tantangangan Gerakan Mahasiswa Saat Ini

Sudah 10 tahun reformasi berjalan. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengertian pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat, belum juga menampakkan hasil. Sistem ekonomi-politik paska reformasi bukannya membaik, malahan semakin membuka diri terhadap kepentingan opensif modal asing. Jika di masa Orde baru, eksploitasi berlansung dengan sistem politik otoriter yang dilakukan oleh rejim orde baru beserta kroni dengan bergandengan dengan modal asing. Maka dimasa sekarang, eksploitasi dilakukan sepenuhnya dilakukan oleh kapital internasional dengan memanfaatkan beberapa elit politik didalam negeri. Inilah yang kami sebutkan sebagai imperialisme, sebagai problem pokok perjuangan rakyat Indonesia.

Sistem politik seolah-olah terbuka, tapi pada dasarnya hanya membolehkan pemain-pemain yang memiliki modal dan kekuasaan, sedangkan partisipasi politik lansung tetap dipagari. Sistem demokrasi dipolakan persis dengan demokrasi liberal di barat, dimana hanya sekedar menjadi instrument stabilisasi bagi kepentingan pemilik modal. Kita menyadari, terjadi keterbukaan politik paska reformasi terutama dalam aspek kebebasan berserikat, mendirikan partai politik, menyampaikan pendapat, melakukan protes dan sebagainya. Akan tetapi, proses-proses keterbukaan politik itu kadang-kadang masih berbeda dilapangan. Masih sering terjadi pengekangan, diskriminasi, kekerasan, dan berbagai bentuk pembatasan-pembatasan lainnya.

Inilah lapangan perjuangan baru bagi gerakan mahasiswa. Terlepas dari begitu banyak persoalan yang muncul setiap hari, tetapi karakter pokok dari perjuangan mahasiswa haruslah anti-imperialisme. Ada kemajuan-kemajuan kecil dari segi gerakan, seperti tumbuh dan berkembangnya Aksi Massa dan metode-metode perlawanan rakyat, dalam hal program dan tuntuan sudah semakin maju meski belum utuh yakni anti-neoliberalisme. Kemajuan-kemajuan ini merupakan dasar-dasar yang bersifat maju, yang dapat diakumulasikan, guna memberikan arah perjuangan yang lebih maju dimasa depan. Berhadapan dengan situasi baru, gerakan mahasiswa tidak boleh kaku dalam menerapkan taktik-taktik dan metode perjuangan. Peluang-peluang dari perjuangan parlementer harus dimanfaatkan (bahkan bisa menjadi wajib) dalam situasi tertentu guna mengakumulasi sentimen anti-imperialis dan anti-neoliberal, serta memunculkan kekuatan politik alternatif. Dunia terus berubah, situasi terus bergerak, serta kita dituntut menyesuaikan hal itu dengan penemuan taktik-taktik dan metode-metode baru.


[1] Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
[2] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.
[4] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
[5] Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno

Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>

Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/> <![endif]-->

Tags :

bonarsitumorang