-->

Maret 29, 2017

Bahaya Golobalisasi

Pertanyaannya, mengapa globalisasi dapat mendatangkan bencana? Sedikitnya dan dirangkum dalam tulisan ini, ada tiga alasan utama mengapa globalisasi dapat membawa malapetaka bagi ideologi dunia?

Pertama, globalisasi didasari fre market fundamentalism yang patuh pada mitos ”the invesible hand” dan antipati terhadap peran negara ( Stiglitz, 20030. Diyakini bahwa kalau pemerintah mengeliminasi intervensi ekonominya (subsidi, proteksi, kepemilikan), maka pasar privat dapat menjalankan perannya lebih efisien yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme “efek rembesan ke bawah “ (trickle down effectt). Kenyataanya, “tangan tak kelihatan” tidak dapat mengatur pasar secara sempurna, utamanya di negara-negara berkembang, karena ketidaksempurnaan informasi dan ketidaklengkapan pasar. Sesungguhnya, dalam kondisi seperti ini, intervensi negara diperlukan untuk merespon ketidaksempurnaan dan bahkan kegagalan pasar (market failure).

     

Kedua, globalisasi memperoleh hegemoni perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional (MNCs/TNCs). Di balik kedok globalisasi, bersembunyi wajah neobelarisme, dan di belakang neobelarisme berjajar MNC yang memiliki kepentingan menguasai ekonomi. Toni Clark (2001), dalam bukunya The Case Againts The Global Economy, menunjukkan bahwa dari 100 pemegang kekayaan dunia, 52-nya adalah MNC; sebanyak 70 perdagangan dikontrol oleh 500 MNC, dan 443 dari 500 perusahaan berasal atau berlokasi di AS  (185), Eropa (158) dan Jepang (100) (lihat Khudori, 2003).

Kelimpahan kekayaan MNC membuat mereka memilii posisi tawar (bargaining position) yang kuat. Mereka dapat memaksa negara bertekuk lutut. MNC bisa menawarkan investasi, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi bagi negara sejauh memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan (pajak rendah, upah buru minimum, serikat buruh yang lunak). Melemahnya sistem walfare state di Eropa Barat, misalnya, dapat disebut sebagai “tunduknya” kepala negara kepada MNC. Seperti dicatat Wibowo (2002), sampai tahun 1980-an tidak ada satu negara pun yang berani mengubah kebijakan sosial (kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua) yang sangat sensitif. Dipelopori panji ekonomi “Thatcherisme”, satu demi satu negara yang terkenal dengan keroyalan pembangunan kesejahteraan sosial itu “merekstrukturasiwelfare state (lihat Suharto, 2004). Negara lemah versus negara sejahtera. Alasannya, welfare state dianggap “boros” dan menakutkan para MNC memasukkan modalnya ke negara mereka.

Ketiga, bahaya globalisasi tidak hanya disebabkan oleh saratnya muatan ideoogi neobelarisme dan kepentingan kapitalis dunia. Lebih jauh, ia disokong oleh tiga lembaga internasional penting: Bank Dunia, Internatinatioaly Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) yang sanggup mencengkram dunia. Melalui strategi eksprot-oriented production dan pendekatan structural adjusment policy (SAP), Bank Dunia dan IMF bertindak laksana agen kolonialisme bar yang mengeruk kekayaan negaranegara berkembang. Ketika sebuah negara sudah tergantung secara ekonomi karena terjebak dengan pinjaman yang berkedok bantuan, maka WTO dapat dengan meleluasa meliberalisasi ekonomi negara tersebut.



Jelaslah, secara internasional memburuknya permasalahan sosial globalisasi bermuara pada globalisasi. Melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antara negara maju dan berkembang, meningkatnya ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, serta menguatnya dominasi negara kapitalis atas faktor-faktor produksi negara berkembang telah melahirkan dan bahkan memperparah tragedi kemanusiaan. Selain itu,melemahnya peran negara dalam pembangunan ekonomi pada gilirannya akan disusul dengan melemahnya pembangunan negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sabagaimana terjadi dibanyak negara berkembang, melemahnya peran negara ini seringkali memicu disintegrasi sosial dan munculnya permasalahan sosial “lokal”.





Tags :

bonarsitumorang