-->

Agustus 10, 2018

MAKALAH: SISTEM PERKEBUNAN DI INDONESIA MASA LALU DAN MASA DEPAN

Perkebunan sebagai suatu subsistem dalam sistem pertanian di Indonesia. Karena, kurang mendapat perhatian para ahli dan lebih memprioritaskan tanaman pangan, juga karena perkebunan sebagai suatu sistem sudah dianggap mapan.

Ciri-ciri Sistem ekonomi perkebunan
Sistem Perkebunan kebanyakan Lahir pada abad ke-19 dan perkembangannya yang pesat terjadi dipertengahan abad serta banyak ditemukan di negara-negara tropik bekas jajahan baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Sistem perkebunan erat kaitannya dengan perkembangan kolonialisme serta tanah-tanah jajahannya. Ada dua unsur pokok dari sistem perkebunan, yaitu:
a.       Tanah yang murah
b.      Tenaga kerja yang murah serta mudah diperoleh.
Di Indonesia sistem perkebunan berkembang pesat sejak tahun 1870 melalui sistem tanam paksa dan pada tahun ini diumumkannya undang-undang Agraria. Sehingga melalui sistem perkebunan swasta besar-besaran ini orang Belanda dan Eropa datang ke Indonesia, terutama Jawa. Melalui undang-undang inilah pemilik-pemilik modal Belanda dapat menyewa tanah yang luas untuk membuka perkebunan sampai 75 tahun untuk tanah-tanah pemerintah dan 5-20 tahun untuk tanah-tanah rakyat. Kebanyakan tanah-tanah perkebunan swasta ini di Jawa dibentuk persewaan tanah rakyat (terutama untuk gula) dan luar Jawa dalam bentuk tanah-tanah konsesi.
Konsep perkebunan tanah di Indonesia pada dasarnya dibagi dua, yaitu :
1.      Perkebunan besar-besaran dengan tanah-tanah konsesi terutama di Sumatera atau luar Jawa
2.      Perkebunan di Jawa dengan menggunakan tanah-tanah rakyat.
Oleh karena hal tersebut, timbullah perkebunan-perkebuan besat milik asing yang mendorong rakyat asli untuk mengusahakan tanaman yang sama di tanah mereka seperti, karet, kopi lada dan lain-lain. Sehingga perkembangan inilah menjadi perkebunan rakyat yang dibedakan dari perkebunan besar baik swasta maupun perkebunan negara.

Perkebunan sebagai ‘pabrik’ pertanian
Perkebunan sebagai pabrik pertanian hal tersebut dikarenakan proses memproduksi komoditinya menyerupai suatu pabrik dengan produksi modern dan dikelola secara ilmiah. Hal itu dikarenakan perkebunan sebelum pertambangan memang merupakan satu-satunya investasi yang amat penting dan darisanalah diusahakannya pencarian keuntungan besar-besaran dari modal yang ditanam.
Sebagai suatu pabrik pengelola selalu mencari cara meningkatkan efisiensi usaha. Upaya efisiensi usaha dilakukan dengan menekan biaya produksi karena komoditi yang diminta di pasar Eropa itu diperoduksi dipusat-pusat perkebunan dibanyak daerah jajahan dengan mutu yang tinggi dan harga yang rendah. Dengan tujuan efisiensi inilah dikembangkan berbagai macam sistem penggunaan/persewaan tanah, penetapan unit luas perkebunan yang “optimum” lamanya persewaan tanah sistem rotasi atau pergiliran tanaman. Serta tenaga kerja yang di upah semurah-murahnya
Mengenai peranan modal di Indonesia dikenal dua sistem hubungan  yang khas antara negara jajahan lokasi perkebunan dengan negara penjajahnya sebagai penyedia modal  yaitu dengan sistem yang menonjol seperti,
1.      sistem “perkebunan” negara dalam tanam pakas
pemerintah lebih banyak menggunakan otoritanya untuk membeli komoditi yang diperlukan, tidak jarang dengan cara-cara pakas.
2.      sistem perkebunan swasta “liberal”
sesudah tahun 1870 terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitas dengan pasar modalnya.
Selanjutnya, mengenai penggunaan tenaga kerja, cara paling murah bagi setiap perkebunan adalah merekrut buruh dari petani atau penduduk setempat dan bahkan lebih murah lagi apabila mereka tidak munjadi buruh tetap tetapi buruh musiman.

Sistem Perkebunan, Dualisme Ekonomi dan Involusi Pertanian

Teori dualisme ekonomi Boeke dan teori involusi prtanian Geertz menggambarkan keadaan pertanian Iindonesia dan perilakunya dan mencoba menerangkan mengapa kesejahteraan mereka mengalami kemunduran sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Melihat fenomena kemiskinan ini khususnya di Jawa, Boeke memberikan suatu kesimpulan yang menjadi amat terkenal yaitu bahwa “petani Indonesia menjadi miskin karena sifat-sifatnya yang statis”.sifat statis tersebut terjadi akibat tekanan dari penjajah ratusan tahun yang telah memiskinkan mereka.
Teori dualisme ekonomi maupun involusi pertanian keduanya menyangkut masalah kaitan antara pertanian bahkan makanan tradisional. Dengan sistem atau sub sektor perkebunan yang diperkenalkan oleh Belanda. Di mata Geertz dan Boeke dunia yang pertama (pertanian rakyat) adalah simbol keterbelakangan dan kemandekan, sedangkan dunia yang kedua, perkebunan adalah simbol kemajuan dan dinamisme. Selanjutnya Gertz juga meramalkan prospek yang tidak secerah dari perkebunan besar yang terancam akan ketinggalan dari perkebunan-perkebunan di Malaysia, karena sangat kurangnya tenaga manajemen perkebunan yang berpengalaman.
Apabila kita kembali pada masalah yang kita hadapi yaitu hari depan sistem perkebunan kita , kiranya jelas bahwa pemerintah melalui kebijaksanaan Perkebunan Inti Rakyat telah berusaha menghilangkan jurang yang ada antara perkebunan besar dengan perkebunan rakyat dan antara perkebunan dengan pertanian rakyat.
Demikianlah involusi atau statisme petani yang dapat menjurus ke apatisme masih saja kita temukan dalam banyak kebijaksanaan. Apabila kecenderungan-kecenderungan demikian  hendak kita hilangkan, tentunya prtani harus semakin dibiarkan bertindak lebih bebas untuk membuat putusan-putusan sendiri yang dianggapnya paling baik dan paling menguntungkan.

Perkebunan, Efisiensi dan Kemerataan
Perkebunan dikenal sebagai sektor yang modern dan dinamis dan Hindia Belanda karena perkebunanya dilukiskan sebagai daerah jajajhan, yang sangat maju. Inilah gambaran perkembangan sistem perkebunan yang juga terdapat di banyak negara jajahan yang kini setelah negara-negara ini merdeka, menimbulkan masalah-masalah manajemen yang kompleks, khususnya dalam hubungan antara subsektor perkebunan dan pertanian rakyat.
Adapun tujuan melakukan pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial tidak memungkinkan perkebunan-perkebunan kita sekarang meningkatkan efisiensi “sampai tingkat sebelum perang “. Hal itu tidak mungkin atau bahkan barangkali lebih baik tidak kita inginkan, karena kita tahu pelaksanaannya akan tidak sejalan dengan tujuan-tujuan politik sosial dan moral bangsa Indonesia yang merdeka.

MASA DEPAN PERKEBUNAN DI INDONESIA DITINJAU DARI TATA GUNA TANAH, LANDREFORM DAN SUMBANGANNYA KEPADA PEMBANGUNAN NEGARA.
Pertanyaan klasik yang dapat di ajukan yang menyangkut peranan perkebunan dalam pembangunan di tanah air kita Indonesia merupakan apakah sektor perkebunan harus berperan memberikan sumbangan dalam pembangunan Indonesia terumata dari segi pemasukan devisa luar negeri? Sejarah perkembangan perkebunan di tanah air kita memiliki kesan yang maha buruk dalam perekonomian bangsa Indonesia. Perkebunan selalu diindentikkan dengan perbudakan, terkenal lagi diterapkannya Poenale Sanctie dalam management perkebunan-perkebunan dizaman Hindia Belanda. Di zaman Liberalisme yang demikian kuat di dunia Barat, maka di Indonesia saat itu berlaku suatu hubungan perburuhan kolonial, dimana terhadap rakyat yang tidak bersedia bekerja dapat dipidana penjara sebab dinilai enggan atau disersi untuk bekerja.
Seperti diketahui thema dari seminar nasional ini ialah :
a. Meningkatkan devisa dalam rangka eksport non minyak,
b. Tercukupinya kebutuhan dalam negeri sehingga menghemat devisa,
c. Terserapnya tenaga kerja.
Tema dari seminar ini sinkron dengan GBHN/1983 kita, malahan akan memberikan suatu tekanan khusus kepada peranan dari perkebunan dalam ekspor non minyak. Tentu seminar ini merupakan refleksi dari resesi dunia serta mundurnya peranan minyak sebagai penghasil devisa negara, setelah kita dimabukkan dengan petro dolar. Kita tidak bisa lengah lagi oleh karena suatu masa minyak bumi akan terkuras habis dan kita tetap memerlukan devisa yang semakin besar guna membiayai pembangunan di tanah air kita.
Jika ditinjau kembali GBHN/1983, maka nyatalah bahwa perkebunan itu dalam pengembangannya satu nafas dengan lain-lain aspek yaitu : Kehutanan, Perikanan dan Peternakan sungguhjpun kita dapat mengerti luasnya cakupan pernyataan dari GBHN/1983, Ekonomi, Pertanian No. 1c tersebut.
Di Indonesia sebagai akibat Perang Dunia ke-2, maka perkebunan telah mengalami suatu tekanan atas arealnnya yang masih terjadi sampai dengan saat ini. Minsalnya di Sumatera utara, timbul masalah lain, yaitu oleh Gubernur KDH Sumatera Utara di ambil kebijakan untuk membagi-bagi tanah kepada rakyat yang terkenal dengan proyek SIM (Surat Izin Menggarap), yaitu memberikan areal perkebunan untuk rakyat yang mendudukinya dengan tujuan politis menghadapi Pemili 1982 yang lalu. Proyek ini telah menimbulkan kesulitan dan manipulasi akibat tidak matangnya persoalan seperti SIM yang double, ada SIM yang tanpa tanah dan ada tanah tetapi tidak punya SIM. Sangat disayangkan bahwa dalam suatu dunia yang sudah menguasai managemen yang maju, masih bisa kebobolan karena memang tujuan politis sehingga lupa kepada pengaturan yang baik dan tertib, sampai sekarangpun perkebunan tetap saja di rong-rong oleh penyerobotan-penyerobotan areal yang tidak dikerjakan atau sedang dirotasikan.

III. Dimensi External dari Perkebunan
            Salah satu hal yang membedakan sistem pertanian perkebunan dan sistem pertanian lainnya adalah bahwa sistem pertanian adalah bahwa sistem pertanian perkebunan, keseluruhan hasil produksinya diekspor ke luar negara. Prinsip “production for export” ini menyebabkan adanya integrasi ekonomi setempat dengan pasaran internasional. Hal ini juga berarti bahwa pengamilan keputusan bergeser pula dari tingkat daerah/nasional ke tingkat internasional dimana para produsen ataupun pemerintah tidak lagi mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama yang menyangkut harga dari perkebunan di pasaran internasional. Ketergantungan produk perkebunan pada pasaran internasional menyebabkan perkembangan perekonomian di wilayah tersebut tidak stabil, sehingga hal ini lebih menambah kemungkinan timbulnya kerawanan politik di wilayah perkebunan tersebut.

IV. Perkebunan dan Kemiskinan
            Secara teoritis, keberhasilan suatu perkebunan tergantung dari dua hal :
1.      Tersedianya tanah yang cukup luas dan murah.
2.      Tersedianya tenaga buruh yang murah.
Dalam semangat Etis Politik, pemerintah colonial Belanda berusaha mengurangi kemiskinan di jawa dengan mendorong investasi modal dibidang industry dan mendorong program koloialisasi di Sumatera. Melihat usaha-usaha tersebut para pemilik modal perkebunan, melalui organisasi mereka menentang usaha-usaha itu. Akibat dari hal-hal tersebut perkembangan ekonomi di Jawa masih dapat kita rasakan sampai saat ini. Jawa menjadi pulau “pengekspor buruh murah”. Hal ini bukan karena petani Jawa ingin bekerja diperkebunan, tetapi karena mereka tidak mempunyai alternative lain disebabkan pemerintah belanda tidak mau merugikan kepentingan ekonomi pemilik modal perkebunan.

Kesimpulan

Ketergantungan perekonomian wilayah perkebunan kepada perekonomian internasional menyebabkan wilayah tersebut ecara ekonomis tidak dapat mandiri. Berkembang atau matinya kehidupan wilayah tersebut akan sangat bergantung pada situasi harga produk perkebunan tersebut di pasaran internasional. Karena hal tersebut maka tindakan pemerintah untuk tidak mengijinkan pihak swasta mendirikan perkebunan besar, melaikan menggalakkan pola perkebunan inti rakyat merupakan suatu tindakan yang terpuji. Karena pada hakikatnya perkebunan inti rakyat merupakan indakan agrarian reform.

PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN DALAM KEBIJAKSANAAN OPERASIONAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
1.      Kebijaksanaan Umum
Usaha perkebunan di Indonesia mempunyai potensi yang besar di dalam memberikan kesempatan kerja, sebagai sumber pedapatan devisa yang utama, serta memenuhi kebutuhan konsumsi didalam negeri. Berdasarkan potensi tersebut pengembangan perkebunan di Indonesia didasarkan atas kebijakan sebagai berikut :
a.       Pembangunan Perkebunan Rakyat menjadi dasar usaha perkebunan dan penerapan usaha pemerataan dari segala aspek.
b.      Pembangunan Perkebunan Besar Negara menjadi pendukung usaha dalam bidang teknologi budidaya dan pengelolaan serta pemasaran dan hasil.
c.       Pembangunan Perkebunan Besar Swasta menjadi pelengkap yang mampu mewadahi perkembangan kewiraswastaan petani pengebun kearah usaha yang lebih rasional.
2.      Kebijakan Teknis
a.       Pengadaan tenaga kerja yang terampil
b.      Memperbanyak kebun induk
c.       Menyediakan sarana dan prasarana
Perkebunan Rakyat
- Penyediaan dana pembangunan
                        - Melengkapi sarana kerja pada UPP
                        - Meningkatkan kualitas personil UPP
                        - Memanfaatkan kontraktor dan distributor sarana produksi
Perkebunan Besar Negara
                        - Penyediaan dana kredit perbankan
                        - Membakukan biaya pengadaan tenaga ahli dan tenaga terampil
                        - Penambahan penyertaan modal pemerintah
Perkebunan Besar Swasta
Penyediaan dana perbankan yang memadai dengan kemungkinan penyertaan saham perbankan disertai dengan bantuan manajemen
            3. Kebijaksanaan Budidaya
            3.1. Dasar kebijaksanaan Budidaya
            Mengingat bahwa sebagian terbesar budidaya perkebunan adalah berupa tanaman tahunan, maka tingkat keberhasilan pembangunan subsector perkebunan sangan bergantung pada keberhasilan pembangunan tanaman tahunan tersebut. investasi dalam bentuk peremajaan atau perluasan tanaman, hasilnya baru akan nyata setelah 10 tahun atau lebih.
            Pada dasarnya proiritas pengembangan ini disusun atas berbagai faktor, antara lain :
a.       Tersedianya sumber daya alam
b.      Peranan dan prospek budidaya dalam menyediakan dan meratakan kesempatan kerja
c.       Sebagai kebutuhan bahan pokok rakyat dan industry dalam negri
d.      Penyebaran wilayah dan lokasi yang lebih seimbang utuk pemerataan pembangunan
           
                                                       
1.3 Organisasi UPP
Luas areal proyek yang diselenggarakan dengan sistem UPP ini menurut budidaya dan keadaan lapangan. Variasi I luas daerah pembinaan optimum bagi satu unit UPP meliputi sekitar 2.000-3.000 Ha. Susunan personalianya (baku) sebagai berikut :
-           Kepala UPP (Manager) 1 orang dengan kwalifikasinya yaitu sarjana pertanian atau yang sederajat.
-           Pembantu Kepala UPP (Asisten Manager) 4 orang dengan kwalifikasinya yaitu Sarjana muda atau yang sederajat (tiga orang bidang pertanian, satu orang bidang sosial).
-           Petugas lapangan proyek terpadu 14 orang dengan kwalifikasi SPMA atau yang sederajat.
-           Pemegang Uang Muka Cabang (PUMC) 1 orang dengan kwalifikasinya SMA atau  yang sederajat ditambah kursus bendaharawan.
1.4 Areal Pembinaan
            Areal perkebunan rakyat yang dapat dibina melalui proyek dengan pola UPP dengan tabel jumlah unit UPP dan luas perkebunan rakyat yang akan dibina sampai dengan akhir PELITA III dan akhir PELITA IV.
2.  Pola NES/PIR
            Pola NES ini membantu perkebunan rakyat yang ada disekitarnya didalam pembangunannya perkebunannya dengan teknologi yang lebih maju.
2.1 Tugas-tugas Kebun Inti
            Tugas yang dibebankan kepada Kebun inti (PNP/PTP) yaitu            :
a.         Membangun desa untuk pemukiman termasuk pembuatan perumahan, sarana air minum,dan sebagainya.
b.         Melaksanakan pertanaman selama tiga tahun pertama membuka lahan, penanaman karet, kelapa sawit, pemupukan penanaman hijau, dan lain sebagainya.
c.         Membantu menyiapkan lahan pangan serta penyediaan bibit yang diperlukan.
d.         Membina petani sebagai karyawan kebun-kebunnya belum menghasilkan diaraharkan pada pembentukan KUD.
e.         Tahun ke-4 membina petani yang telah dijadikan nasabah bank, dalam merawat dan memelihara kebun.
f.          Sejak tanaman menhasilkan, kebun inti menyediakan atau membangun pabrik pengolahan untuk menampung produksi peserta proyek.
2.2 Jenis-jenis PIR
            Perkembangan proyek-proyek perkebunan dengan pola PIR dibedakan       :
a.         PIR-Bantuan Luar Negeri, yang lazim disebut NES yang sebagian dananya diterima dari luar negeri, proyek yang telah disepakati yaitu ; NES Bantuan Bank Dunia yaitu NES  I s/d VI; Cotton dan NES Besi Batang; NES Bantuan KFW, yaitu NES Ophir di Sumatera Barat.
b.         PIR Swadana, seluruh dananya diperoleh dari dana dalam negeri.
IV. PERKEMBANGAN
1.      Perkembangan Luas Areal
Perkembangan luas areal perkebunan akan semakin mengalami perkembangan dengan pesat. Perkembangan luas areal terakhir yaitu dari tahun 1974 seluas 6.381.381 Ha – 8.742.007 Ha pada tahun 1982 ada kenaikan 30 % atau rata-rata 3, 75% tiap tahun. Dari luasan seluruh perkebunan 8.742.007 Ha yang sudah terjangkau proyek baru 2.820.269 Ha (32,26%)
2.      Perkembangan Produksi
Produksi budidaya perkebunan yang penting secara keseluruhan menunjukkan kenaikan rata-rata 7% per tahun. Produksi perkebunan sebesar 4.204.594 ton pada tahun 1974 meningkatkan menjadi 5.773.452 ton pada tahun 1979 dan sebesar 6.189.241 ton pada 1982. Hal ini disebabkan karena PNP/PTP memiliki kelebihan dibidang teknologi management dan permodalan dibandingkan dengan Perkebunan Besar Swasta maupun Perkebunan Rakyat.
3.      Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor
Ekspor hasil perkebunan masih memegang peran penting dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditi perkebunan pada tahun 1974 tercatat sebesar 1.861.870 ton meningkat menjadi 2.182.947 ton pada tahun 1979 dan 2.671.669 ton pada tahun 1980. Nilai ekspor komoditi perkebunan meningkat dari tahun 1974 hingga tahun 1980, dari US $ 938.180juta menjadi US $ 2.523.809 juta . Hal ini berarti ada peningkatan sebesar 269% atau rata-rata 20,09% per tahun.
V. PERMASALAHAN
1. Pencapaian Fisik Pembangunan
Pembinaan intensif pada perkebunan terutama pada perkebunan rakyat baru mencapai 32,26% yaitu areal yang ditangani proyek, diluar itu yaitu sebesar 67,74% belum tergarap pembinaannya.
2. Permasalahan dalam pelita III
2.1. Pelaksana Repeliti III yang berbentuk suatu percepatan rencana (akselerasi) merupakan suatu pemanfaatan momentum perkebunan mengingat perkebunan merupakan tanaman tahunan yang memerlukan suatu perkiraan prospek pekerjaan perencanaan dan langkah persiapan jangka panjang.
2.2.  Persiapan-persiapan pelaksanaan dalam bentuk penyusunan sistem dan prosedur, penyusunan organisasi dan personil dan penyediaan fasilitas serta sarana pelaksanaannya.
2.3. Hambatan-hambatan  yang penting dan menentukan tingkat keberhasilan meliputi :
a.  Belum adanya sistem dan prosedur kerja, karena penyusunannya besama dengan pelaksanaan
b. Pengadaan personil pelaksana belum dapat mencapai kwantitas dan kualitas yang  dikhendaki.
c. Pengadaan dan distribusi sarana produksi berbentuk bibit.
d. Masih dijumpainya resistensi dari petani yang diharapkan menjadi peserta proyek karena belum timbulnya kepercayaan atas tersedianya fasilitas berbentuk perkreditan, pembinaan, jaminan pemasaran, dan sebagainya.
3. Permasalahan pelaksanaan Repelita IV
3.1.      a. Rendahnya daya serap perkreditan oleh petani sebagai akibat resistensi masih akan merupakan hambatan dalam mencapai sasaran pembangunan.
b.Pengelolaan (Management) dan organisasi termasuk personal pelaksana proyek masih memerlukan penanganan khusus secara kuantitatif dalam pemantapan sistem dan prosedur dan secara kuantitatif. 
c.Pengadaan dan distribusi sarana baik berupa bibit maupun agrokimia masih perlu dikonsolidasikan untuk mencapai 5 tepat yaitu ; jumlah, waktu, mutu, tempat , dan harga sarana produksi tersebut.
3.2. Masalah-masalah yang penanggulangannya melibatkan kelembagaan diluar Departemen Pertanian meliputi           :
a. Dalam menumbuhkan lembaga usaha petani perkebunan dalam bentuk KUD diperlukan penanganan yang tuntas baik dalam bentuk pengorganisasian, pemberian badan hukum serta pembinaan dan kemudahan-kemudahannya.
b. Sertifikasi tanah yang meupakan persyaratan daripada proyek-proyek dengan kredit jangka panjang memerlukan usaha-usaha penyederhanaan prosedur, menekan biaya satuabn dan percepatan waktu penyelesaian.
c. Dukungan prasarana jalan dan komunikasi sangat diperlukan karena dalam Repelita IV usaha-usaha yang dilakukan selama pelita II dan III sudah mulai berproduksi.
d. Usaha dan kegiatan pasca panen yang meliputi pengolahan dan pemasaran hasil merupakan kegiatan-kegiatan usaha tani yang sangat penting dan memerlukan penanganan secara khusus, untuk itu penciptaan iklim usaha yang dapat menekan biaya pemasaran perlu ditingkatkan agar harga ditingkat produsen dapat menggairahkan petani
e. Sebagian terbesar dari komponen pembangunan perkebunan adalah merupakan komponen perkreditan baik bagi kepentingan perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.
f. Usaha pengembangan perkebunan dan kegiatan transmigrasi merupakan kegiatan yang saling mengisi dalam rangka pengembangan perkebunan, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup rakyat (transmigran) .

VI. KESIMPULAN
1.         Usaha peningkatan devisa melalui usaha pembangunan perkebunan mempunyai prospek  yang cerah karena kenaikan tingkat produksi yang dibarengi dengan kecenderungan kenaikan harga-harga komoditi dapat memberikan harapan akan dicapainya sasaran nilai ekspor walaupun ada gangguan resesi dunia yang diharapkan tidak terlalu lama akan berakhir.
2.         Dengan ditetapkannya pelaksanaan pembangunan perkebunan rakyat dengan pola UPP dan pola PIR, diharapkan perkembangan perkebunan rakyat dan berjalan lebih cepat dari  masa-masa sebelumnya.
3.         Pengembangan perkebunan besar negara berjalan cukup pesat karena usaha peningkatan kemampuan menajemen dapat lebih hasil baik, serta didukung oleh fasilitas permodalan yang lebih longgar.
4.         Pengembangan perkebunan besar swasta nampak lebih lamban dibanding jenis perkebunan lainnya, karena minat yang kurang, berhubung dengan adanya resiko yang lebih besar pula, sedang waktu mulainya menghasilkan agak lama, dibandingkan dengan usaha-usaha lain.
  
PENINGKATAN PRODUKSI GULA
1.Pendahulan

Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya pendapatan perkapita serta berubahnya pola konsumsi masyarakat, maka pada tahun-tahun mendatang dapat dipastikan bahwa jumlah konsumsi gula akan terus meningkat. Jika pada tahun 1979 konsumsi gula Indonesia adalah lebih kurang 1,5 juta ton maka pada tahun 1988 konsumsi gula Indonesia diperkirakan akan naik menjadi 3 juta ton. Keterbatasan kapasitas produksi akan mengakibatkan selisih antara produksi dan konsumsi semakin membesar dan akan mencapai 1.589.797 ton pada akhir tahun 1988 apabila tidak diambil langkah-langkah penanggulangannya. Dengan program peningkatan produksi gula yang dipercepat melalui pembangunan 18 buah pabrik gula baru terutama di luar jawa dengan kapasitas 3000-4000 ton tebu, yang direncanakan telah beroperasi sekitar akhir  tahun 1986 disamping merehabilitasi pabrik gula di jawa dan usaha mencukupi kebutuhan bahan bakunya melalui intensifikasi dan perluasan areal, diharapkan kita telah dapat berswasembada gula pada akhir tahun tersebut.
II. Perkembangan
Dalam penyediaan lahan untuk keperluan areal pabrik gula baru di luar jawa maka status lahan milik dan hak guna usaha mutlak perlu dikombinasikan secara serasi. Untuk menjamin agar pabrik gula dapat beroperasi secara ekonomis maka pada tahun pertama perlu dikembangkan areal inti sambil dipersiapkan segala sesuatu untuk mengembangkan pelaksanaan pengembangan plasma yang dimulai setelah tercapainya titik kembali pokok, sehingga dengan demikian tujuan yang terkandung dalam penerapan konsep PIR dalam pembangunan pabrik gula baru dimana PG bisa mengembangkan petani-petani anggota. Upaya meningkatkan total produksi tebu memerlukan adanya pengembangan budidaya tebu baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan.
3.Tebu Rakyat Intensifikasi
a. Areal
Pada tahun 1975/1976 dari proyeksi areal yang ditetapkan dengan surat keputusan menteri pertanian seluas 9000 ha direalisir 15.192 ha. Sedang pada tahun 1982/1983 dari proyeksi areal 224.820 ha telah direalisir seluas 190.616 ha.
b.      Produksi
Walaupun realisir areal tebu rakyat intensifikasi dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan tapi produktifitas cenderung mengalami peningkatan tapi produktifitas cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan produktivitas tebu pada kurun waktu 1971/1975.

III Permasalahan dan saran perbaikan
1.      Pembangunan pabrik gula baru
Dana    : semula pembiayaan rupiah dari penyertaan modal pemerintah departemen keuangan, mulai permulaan tahun 1982 dialihkan keperkreditan bank bumi daya, dan hingga sekarang belum ada keputusan dari bank bumi daya.
Lahan  : masalah ini acapkali sulit untuk diselesaikan mengingat kurangnya koordinasi lintas sektoral.
Infrastruktur    : pada umumnya struktur di luar jawa sangat terbatas, sehingga tidak mudah untuk menyangkut mesin dan alat-alat ke lokasi proyek.
Kontraktor      : meskipun sudah ada penetapan pemenang tender oleh SEKNEG, masih ada beberapa kontraktor yang terlambat pelaksanaannya yaitu untuk PG subang.
Suku Cadang  : sub.kontraktor perlu diberi kesempatan menjadi kontraktor dan barang-barang yang dapat dibuat industri dalam negeri seyogyanya diserahkan di dalam negeri.
Sumber Daya Manusia            :tehnik budidaya tebu di lahan kering masih sangat terbatas

KOMODITI KELAPA SAWIT
Pemasaran komoditi kelapa sawit perlu digiatkan tidak saja bagi produksi perkebunan-perkebunan besar, tetapi juga bagi produksi perkebunan rakyat.

II Keadaan sekarang
1. Pengalokasian minyak kelapa sawit untuk pasaran dalam negeri yang diadakan sejak tahun 1978.
2. Hal ini dilihat dengan penebusan alokasi, yang pada umumnya dikaitkan dengan perkembangan harga di luar negeri.
3. Pada waktu harga ekspor lebih tinggi dari pada harga yang ditentukan untuk pasaran dalam negeri.
4. Perbandingan antara produksi dan alokasi dengan realisasi penebusan termasuk persentase
5. Kantor pemasaran bersama
6. Pelabuhan, fasilitas yang ada dipelabuhan belawan masih kurang dan belum sempurna khususnya tempat sandar.

III. Sasaran yang ingin dicapai
1.Pemasaran

a. Penentuan alokasi di dalam negeri hendaknya didasarkan kepada kebutuhan konsumsi
b. Dalam rangka peningkatan devisa minyak inti kelapa sawit dan PKP  di ekspor dengan harga semaksimal mungkin


2. Kelembagaan
a. Dalam rangka pemasaran yang ofensif perlu menambah, badan-badan pemasaran di luar negeri antara lain Tokyo, amerika serikat.
b. Perlu penempatan tenaga-tenaga teknologi diperwakilan pemasaran di luar negeri, guna menampung keinginan pembeli.
c. Sejalan dengan itu di dalam negeri perlu diadakan penyempurnaan tugas-tugas KPB.

MASA DEPAN PERKEBUNAN DI INDONESIA DITINJAU DARI TATA GUNA TANAH, LANDREFORM DAN SUMBANGANNYA KEPADA PEMBANGUNAN NEGARA.

            Pertanyaan klasik yang dapat di ajukan yang menyangkut peranan perkebunan dalam pembangunan di tanah air kita Indonesia merupakan apakah sektor perkebunan harus berperan memberikan sumbangan dalam pembangunan Indonesia terumata dari segi pemasukan devisa luar negeri? Sejarah perkembangan perkebunan di tanah air kita memiliki kesan yang maha buruk dalam perekonomian bangsa Indonesia. Perkebunan selalu diindentikkan dengan perbudakan, terkenal lagi diterapkannya Poenale Sanctie dalam management perkebunan-perkebunan dizaman Hindia Belanda. Di zaman Liberalisme yang demikian kuat di dunia Barat, maka di Indonesia saat itu berlaku suatu hubungan perburuhan kolonial, dimana terhadap rakyat yang tidak bersedia bekerja dapat dipidana penjara sebab dinilai enggan atau disersi untuk bekerja.
            Seperti diketahui thema dari seminar nasional ini ialah :
a.       Meningkatkan devisa dalam rangka eksport non minyak,
b.      Tercukupinya kebutuhan dalam negeri sehingga menghemat devisa,
c.       Terserapnya tenaga kerja.

Thema dari seminar ini sinkron dengan GBHN/1983 kita, malahan akan memberikan suatu tekanan khusus kepada peranan dari perkebunan dalam ekspor non minyak. Tentu seminar ini merupakan refleksi dari resesi dunia serta mundurnya peranan minyak sebagai penghasil devisa negara, setelah kita dimabukkan dengan petro dolar. Kita tidak bisa lengah lagi oleh karena suatu masa minyak bumi akan terkuras habis dan kita tetap memerlukan devisa yang semakin besar guna membiayai pembangunan di tanah air kita.
Jika ditinjau kembali GBHN/1983, maka nyatalah bahwa perkebunan itu dalam pengembangannya satu nafas dengan lain-lain aspek yaitu : Kehutanan, Perikanan dan Peternakan sungguhjpun kita dapat mengerti luasnya cakupan pernyataan dari GBHN/1983, Ekonomi, Pertanian No. 1c tersebut.
Di Indonesia sebagai akibat Perang Dunia ke-2, maka perkebunan telah mengalami suatu tekanan atas arealnnya yang masih terjadi sampai dengan saat ini. Minsalnya di Sumatera utara, timbul masalah lain, yaitu oleh Gubernur KDH Sumatera Utara di ambil kebijakan untuk membagi-bagi tanah kepada rakyat yang terkenal dengan proyek SIM (Surat Izin Menggarap), yaitu memberikan areal perkebunan untuk rakyat yang mendudukinya dengan tujuan politis menghadapi Pemili 1982 yang lalu. Proyek ini telah menimbulkan kesulitan dan manipulasi akibat tidak matangnya persoalan seperti SIM yang double, ada SIM yang tanpa tanah dan ada tanah tetapi tidak punya SIM. Sangat disayangkan bahwa dalam suatu dunia yang sudah menguasai managemen yang maju, masih bisa kebobolan karena memang tujuan politis sehingga lupa kepada pengaturan yang baik dan tertib, sampai sekarangpun perkebunan tetap saja di rong-rong oleh penyerobotan-penyerobotan areal yang tidak dikerjakan atau sedang dirotasikan.

ASPEK SOSIAL DAN POLITIK DARI SISTEM PERTANIAN PERKEBUNAN
I.          PENDAHULUAN
Di Jawa dan Sumatera memiliki sejarah perkebunan yang gemilang di tahun 1830-1930. Expor gula merupakan salah satusumber devisa negara Pemerintah Belanda di samping karet, tembakau, dan minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh perkebunan Belanda di Sumatera, khususnya Sumatera Utara hingga berhasil menunjang perekonomian setempat.
Daerah patebon di Jawa merupakan politis rawan dimana dari daerah ini gerakan rakyat Jawa terhadap pemerintah kolonial dimulai serta daerah ini juga merupakan pusat gerakan petani tradisional bersifat mesianistis. Pada zaman post colonial daerah patebon merupakan pusat dari konsentrasi kekuatan komunis. Sama halnya yang terjadi di Malaysia dan Amerika Latin. Equador, Honduras, dan beberapa negara lain di Amerika Latin bagian Tengah (Banana Countries) dimana perkebunan pisang menjadi pendukung utama perekonomian nasional mereka.
Ada dua alasan pemerintah tetap menghidupkan perkebunan di negara kita. Pertama, lebih mempercepat tercapainya usaha pemerintah memperoleh devisa dari export non-minyak. Kedua, investasi di bidang perkebunan.
Setelah selesainya di bagian ekonomis maka selanjutnya akan ada yang di pertimbangkan lagi lewat sosial politik. Pertama dimana perkebunan itu berada dan hubungannya dengan perekonomian di dunia.

II.        DIMENSI INTERNAL PERKEBUNAN
Jika memasuki komunitas perkebunan tentunya ada beberapa hal yang dibahas. Pertama, adanya “residential segregation” di masyarakat perkebunan atas dasar jabatan, suku bangsa, warna kulit,dan nationalitas anggota komunitas perkebunan. Kedua, masyarakat memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku seperti administratur perkebunan, pegawai staf, pegawai perkebunan (non-staf), dan buruh perkebunan. Ketiga, hubungan pemerintah daerah/nasional dengan pemilik modal perkebunan, dimana pemerintah melihat kedudukan perkebunan pemilik modal dan memberikan fasilitas untuk memperoleh tanah dan buruh yang murah serta perlindungan politis. Dalam hal ini diingkatkan pada kekuatan politik yang dimiliki oleh Suiker Sindikat yaitu organisasiyang dibentuk oleh pemilik modal pabrikgula di zaman kolonial Belanda.

Pemerintah masih membantu perusahaan perkebunan dengan istimewa terutama menghadapi sengketa yang terjadi antara management perkebunan dengan buruhnya atau dengan petani diluar lingkungan, namun seringnya terjadi perselisihan ini, pemerintah memihak pihak management karena hampir semua perkebunan milik pemerintah.

Struktur sosial masyarakat yang kaku, perbedaan kehidupann materiil yang mencolok, dan perlindungan politis yang berlebihan kepada pemilik modal menyebabkan masyarakat perkebunan potensial rawan terhadap pengaruh unsur kekuatan politik yang negatif.

III. Dimensi External dari Perkebunan
            Salah satu hal yang membedakan sistem pertanian perkebunan dan sistem pertanian lainnya adalah bahwa sistem pertanian adalah bahwa sistem pertanian perkebunan, keseluruhan hasil produksinya diekspor ke luar negara. Prinsip “production for export” ini menyebabkan adanya integrasi ekonomi setempat dengan pasaran internasional. Hal ini juga berarti bahwa pengamilan keputusan bergeser pula dari tingkat daerah/nasional ke tingkat internasional dimana para produsen ataupun pemerintah tidak lagi mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama yang menyangkut harga dari perkebunan di pasaran internasional. Ketergantungan produk perkebunan pada pasaran internasional menyebabkan perkembangan perekonomian di wilayah tersebut tidak stabil, sehingga hal ini lebih menambah kemungkinan timbulnya kerawanan politik di wilayah perkebunan tersebut.

IV. Perkebunan dan Kemiskinan
            Secara teoritis, keberhasilan suatu perkebunan tergantung dari dua hal :
1.         Tersedianya tanah yang cukup luas dan murah.
2.         Tersedianya tenaga buruh yang murah.
Dalam semangat Etis Politik, pemerintah colonial Belanda berusaha mengurangi kemiskinan di jawa dengan mendorong investasi modal dibidang industry dan mendorong program koloialisasi di Sumatera. Melihat usaha-usaha tersebut para pemilik modal perkebunan, melalui organisasi mereka menentang usaha-usaha itu. Akibat dari hal-hal tersebut perkembangan ekonomi di Jawa masih dapat kita rasakan sampai saat ini. Jawa menjadi pulau “pengekspor buruh murah”. Hal ini bukan karena petani Jawa ingin bekerja diperkebunan, tetapi karena mereka tidak mempunyai alternative lain disebabkan pemerintah belanda tidak mau merugikan kepentingan ekonomi pemilik modal perkebunan.

Kesimpulan
Ketergantungan perekonomian wilayah perkebunan kepada perekonomian internasional menyebabkan wilayah tersebut ecara ekonomis tidak dapat mandiri. Berkembang atau matinya kehidupan wilayah tersebut akan sangat bergantung pada situasi harga produk perkebunan tersebut di pasaran internasional. Karena hal tersebut maka tindakan pemerintah untuk tidak mengijinkan pihak swasta mendirikan perkebunan besar, melaikan menggalakkan pola perkebunan inti rakyat merupakan suatu tindakan yang terpuji. Karena pada hakikatnya perkebunan inti rakyat merupakan indakan agrarian reform.

PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN DALAM KEBIJAKSANAAN OPERASIONAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
1.         Kebijaksanaan Umum
Usaha perkebunan di Indonesia mempunyai potensi yang besar di dalam memberikan kesempatan kerja, sebagai sumber pedapatan devisa yang utama, serta memenuhi kebutuhan konsumsi didalam negeri. Berdasarkan potensi tersebut pengembangan perkebunan di Indonesia didasarkan atas kebijakan sebagai berikut :
a.         Pembangunan Perkebunan Rakyat menjadi dasar usaha perkebunan dan penerapan usaha pemerataan dari segala aspek.
b.         Pembangunan Perkebunan Besar Negara menjadi pendukung usaha dalam bidang teknologi budidaya dan pengelolaan serta pemasaran dan hasil.
c.         Pembangunan Perkebunan Besar Swasta menjadi pelengkap yang mampu mewadahi perkembangan kewiraswastaan petani pengebun kearah usaha yang lebih rasional.
2.         Kebijakan Teknis
a.         Pengadaan tenaga kerja yang terampil
b.         Memperbanyak kebun induk
c.         Menyediakan sarana dan prasarana
Perkebunan Rakyat
- Penyediaan dana pembangunan
                        - Melengkapi sarana kerja pada UPP
                        - Meningkatkan kualitas personil UPP
                        - Memanfaatkan kontraktor dan distributor sarana produksi
            * Perkebunan Besar Negara
                        - Penyediaan dana kredit perbankan
                        - Membakukan biaya pengadaan tenaga ahli dan tenaga terampil
                        - Penambahan penyertaan modal pemerintah
            * Perkebunan Besar Swasta
                        - penyediaan dana perbankan yang memadai dengan kemungkinan penyertaan saham perbankan disertai dengan bantuan manajemen
            3. Kebijaksanaan Budidaya
            3.1. Dasar kebijaksanaan Budidaya
                        Mengingat bahwa sebagian terbesar budidaya perkebunan adalah berupa tanaman tahunan, maka tingkat keberhasilan pembangunan subsector perkebunan sangan bergantung pada keberhasilan pembangunan tanaman tahunan tersebut. investasi dalam bentuk peremajaan atau perluasan tanaman, hasilnya baru akan nyata setelah 10 tahun atau lebih.
            Pada dasarnya proiritas pengembangan ini disusun atas berbagai faktor, antara lain :
a.         Tersedianya sumber daya alam
b.         Peranan dan prospek budidaya dalam menyediakan dan meratakan kesempatan kerja
c.         Sebagai kebutuhan bahan pokok rakyat dan industry dalam negri
d.         Penyebaran wilayah dan lokasi yang lebih seimbang utuk pemerataan pembangunan
      
1.3 Organisasi UPP
            Luas areal proyek yang diselenggarakan dengan sistem UPP ini menurut budidaya dan keadaan lapangan. Variasi I luas daerah pembinaan optimum bagi satu unit UPP meliputi sekitar 2.000-3.000 Ha. Susunan personalianya (baku) sebagai berikut :
-          Kepala UPP (Manager) 1 orang dengan kwalifikasinya yaitu sarjana pertanian atau yang sederajat.
-          Pembantu Kepala UPP (Asisten Manager) 4 orang dengan kwalifikasinya yaitu Sarjana muda atau yang sederajat (tiga orang bidang pertanian, satu orang bidang sosial).
-          Petugas lapangan proyek terpadu 14 orang dengan kwalifikasi SPMA atau yang sederajat.
-          Pemegang Uang Muka Cabang (PUMC) 1 orang dengan kwalifikasinya SMA atau  yang sederajat ditambah kursus bendaharawan.

1.4 Areal Pembinaan
            Areal perkebunan rakyat yang dapat dibina melalui proyek dengan pola UPP dengan tabel jumlah unit UPP dan luas perkebunan rakyat yang akan dibina sampai dengan akhir PELITA III dan akhir PELITA IV.

2.  Pola NES/PIR
            Pola NES ini membantu perkebunan rakyat yang ada disekitarnya didalam pembangunannya perkebunannya dengan teknologi yang lebih maju.

2.1 Tugas-tugas Kebun Inti
            Tugas yang dibebankan kepada Kebun inti (PNP/PTP) yaitu            :
a.       Membangun desa untuk pemukiman termasuk pembuatan perumahan, sarana air minum,dan sebagainya.
b.      Melaksanakan pertanaman selama tiga tahun pertama membuka lahan, penanaman karet, kelapa sawit, pemupukan penanaman hijau, dan lain sebagainya.
c.       Membantu menyiapkan lahan pangan serta penyediaan bibit yang diperlukan.
d.      Membina petani sebagai karyawan kebun-kebunnya belum menghasilkan diaraharkan pada pembentukan KUD.
e.       Tahun ke-4 membina petani yang telah dijadikan nasabah bank, dalam merawat dan memelihara kebun.
f.        Sejak tanaman menhasilkan, kebun inti menyediakan atau membangun pabrik pengolahan untuk menampung produksi peserta proyek.

2.2 Jenis-jenis PIR
            Perkembangan proyek-proyek perkebunan dengan pola PIR dibedakan       :
a.       PIR-Bantuan Luar Negeri, yang lazim disebut NES yang sebagian dananya diterima dari luar negeri, proyek yang telah disepakati yaitu ; NES Bantuan Bank Dunia yaitu NES  I s/d VI; Cotton dan NES Besi Batang; NES Bantuan KFW, yaitu NES Ophir di Sumatera Barat.
b.      PIR Swadana, seluruh dananya diperoleh dari dana dalam negeri.

IV. PERKEMBANGAN
1.      Perkembangan Luas Areal
Perkembangan luas areal perkebunan akan semakin mengalami perkembangan dengan pesat. Perkembangan luas areal terakhir yaitu dari tahun 1974 seluas 6.381.381 Ha – 8.742.007 Ha pada tahun 1982 ada kenaikan 30 % atau rata-rata 3, 75% tiap tahun. Dari luasan seluruh perkebunan 8.742.007 Ha yang sudah terjangkau proyek baru 2.820.269 Ha (32,26%)


2.      Perkembangan Produksi
Produksi budidaya perkebunan yang penting secara keseluruhan menunjukkan kenaikan rata-rata 7% per tahun. Produksi perkebunan sebesar 4.204.594 ton pada tahun 1974 meningkatkan menjadi 5.773.452 ton pada tahun 1979 dan sebesar 6.189.241 ton pada 1982. Hal ini disebabkan karena PNP/PTP memiliki kelebihan dibidang teknologi management dan permodalan dibandingkan dengan Perkebunan Besar Swasta maupun Perkebunan Rakyat.

3.      Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor
Ekspor hasil perkebunan masih memegang peran penting dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditi perkebunan pada tahun 1974 tercatat sebesar 1.861.870 ton meningkat menjadi 2.182.947 ton pada tahun 1979 dan 2.671.669 ton pada tahun 1980. Nilai ekspor komoditi perkebunan meningkat dari tahun 1974 hingga tahun 1980, dari US $ 938.180juta menjadi US $ 2.523.809 juta . Hal ini berarti ada peningkatan sebesar 269% atau rata-rata 20,09% per tahun.

V. PERMASALAHAN
1. Pencapaian Fisik Pembangunan
                        Pembinaan intensif pada perkebunan terutama pada perkebunan rakyat baru mencapai 32,26% yaitu areal yang ditangani proyek, diluar itu yaitu sebesar 67,74% belum tergarap pembinaannya.

2. Permasalahan dalam pelita III
2.1. Pelaksana Repeliti III yang berbentuk suatu percepatan rencana (akselerasi) merupakan suatu pemanfaatan momentum perkebunan mengingat perkebunan merupakan tanaman tahunan yang memerlukan suatu perkiraan prospek pekerjaan perencanaan dan langkah persiapan jangka panjang.
2.2.  Persiapan-persiapan pelaksanaan dalam bentuk penyusunan sistem dan prosedur, penyusunan organisasi dan personil dan penyediaan fasilitas serta sarana pelaksanaannya.
2.3. Hambatan-hambatan  yang penting dan menentukan tingkat keberhasilan meliputi :
a.  Belum adanya sistem dan prosedur kerja, karena penyusunannya besama dengan pelaksanaan
b. Pengadaan personil pelaksana belum dapat mencapai kwantitas dan kualitas yang  dikhendaki.
c. Pengadaan dan distribusi sarana produksi berbentuk bibit.
d. Masih dijumpainya resistensi dari petani yang diharapkan menjadi peserta proyek karena belum timbulnya kepercayaan atas tersedianya fasilitas berbentuk perkreditan, pembinaan, jaminan pemasaran, dan sebagainya.

3. Permasalahan pelaksanaan Repelita IV
3.1       a. Rendahnya daya serap perkreditan oleh petani sebagai akibat resistensi masih akan merupakan hambatan dalam mencapai sasaran pembangunan.
          b.Pengelolaan (Management) dan organisasi termasuk personal pelaksana proyek masih memerlukan penanganan khusus secara kuantitatif dalam pemantapan sistem dan prosedur dan secara kuantitatif.
         c.Pengadaan dan distribusi sarana baik berupa bibit maupun agrokimia masih perlu dikonsolidasikan untuk mencapai 5 tepat yaitu ; jumlah, waktu, mutu, tempat , dan harga sarana produksi tersebut.
3.2. Masalah-masalah yang penanggulangannya melibatkan kelembagaan diluar Departemen Pertanian meliputi        :
            a. Dalam menumbuhkan lembaga usaha petani perkebunan dalam bentuk KUD diperlukan penanganan yang tuntas baik dalam bentuk pengorganisasian, pemberian badan hukum serta pembinaan dan kemudahan-kemudahannya.
            b. Sertifikasi tanah yang meupakan persyaratan daripada proyek-proyek dengan kredit jangka panjang memerlukan usaha-usaha penyederhanaan prosedur, menekan biaya satuabn dan percepatan waktu penyelesaian.
            c. Dukungan prasarana jalan dan komunikasi sangat diperlukan karena dalam Repelita IV usaha-usaha yang dilakukan selama pelita II dan III sudah mulai berproduksi.
            d. Usaha dan kegiatan pasca panen yang meliputi pengolahan dan pemasaran hasil merupakan kegiatan-kegiatan usaha tani yang sangat penting dan memerlukan penanganan secara khusus, untuk itu penciptaan iklim usaha yang dapat menekan biaya pemasaran perlu ditingkatkan agar harga ditingkat produsen dapat menggairahkan petani
            e. Sebagian terbesar dari komponen pembangunan perkebunan adalah merupakan komponen perkreditan baik bagi kepentingan perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.
            f. Usaha pengembangan perkebunan dan kegiatan transmigrasi merupakan kegiatan yang saling mengisi dalam rangka pengembangan perkebunan, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup rakyat (transmigran) .

VI. KESIMPULAN
1.                  Usaha peningkatan devisa melalui usaha pembangunan perkebunan mempunyai prospek  yang cerah karena kenaikan tingkat produksi yang dibarengi dengan kecenderungan kenaikan harga-harga komoditi dapat memberikan harapan akan dicapainya sasaran nilai ekspor walaupun ada gangguan resesi dunia yang diharapkan tidak terlalu lama akan berakhir.
2.                  Dengan ditetapkannya pelaksanaan pembangunan perkebunan rakyat dengan pola UPP dan pola PIR, diharapkan perkembangan perkebunan rakyat dan berjalan lebih cepat dari  masa-masa sebelumnya.
3.                  Pengembangan perkebunan besar negara berjalan cukup pesat karena usaha peningkatan kemampuan menajemen dapat lebih hasil baik, serta didukung oleh fasilitas permodalan yang lebih longgar.
4.                  Pengembangan perkebunan besar swasta nampak lebih lamban dibanding jenis perkebunan lainnya, karena minat yang kurang, berhubung dengan adanya resiko yang lebih besar pula, sedang waktu mulainya menghasilkan agak lama, dibandingkan dengan usaha-usaha lain.
                 
PENINGKATAN PRODUKSI GULA

1.Pendahulan

Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya pendapatan perkapita serta berubah nya pola konsumsi masyarakat, maka pada tahun-tahun mendatang dapat dipastikan bahwa jumlah konsumsi gula akan terus meningkat. Jika pada tahun 1979 konsumsi gula Indonesia adalah lebih kurang 1,5 juta ton maka pada tahun 1988 konsumsi gula Indonesia diperkirakan akan naik menjadi 3 juta ton. Keterbatasan kapasitas produksi akan mengakibatkan selisih antara produksi dan konsumsi semakin membesar dan akan mencapai 1.589.797 ton pada akhir tahun 1988 apabila tidak diambil langkah-langkah penanggulangannya. Dengan program peningkatan produksi gula yang dipercepat melalui pembangunan 18 buah pabrik gula baru terutama diluar jawa dengan kapasitas 3000-4000 ton tebu, yang direncanakan telah beroperasi sekitar akhir tahun 1986 disamping me rehabilitasi pabrik gula di Jawa dan usaha mencukupi kebutuhan bahan bakunya melalui intensifikasi dan perluasan areal, diharapkan kita telah dapat berswasembada gula pada akhir tahun tersebut.

II. Perkembangan
Dalam penyediaan lahan untuk keperluan areal pabrik gula baru diluar Jawa maka status lahan milik dan hak guna usaha mutlak perlu dikombinasikan secara serasi. Untuk menjamin agar pabrik gula dapat beroperasi secara ekonomis maka pada tahun pertama perlu dikembangkan areal inti sambil dipersiapkan segala sesuatu untuk mengembangkan pelaksanaan pengembangan plasma yang dimulai setelah tercapainya titik kembali pokok, sehingga dengan demikian tujuan yang terkandung dalam penerapan konsep PIR dalam pembangunan pabrik gula baru dimana PG bisa mengembangkan petani-petani anggota. Upaya meningkatkan total produksi tebu memerlukan adanya pengembangan budidaya tebu baik padalahan sawah maupun lahan tegalan.

3.Tebu Rakyat Intensifikasi
a. Areal
pada tahun 1975/1976 dari proyeksi areal yang ditetapkan dengan surat keputusan menteri pertanian seluas 9000 ha direalisir 15.192 ha. Sedang pada tahun 1982/1983 dari proyeksi areal 224.820 ha telah direalisir seluas 190.616 ha.
b.Produksi
walaupun realisir areal tebu rakyat intensifikasi dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan tapi produktifitas cenderung mengalami peningkatan tapi produktifitas cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan produktivitas tebu pada kurun waktu 1971/1975.

III. Permasalahandan saran perbaikan
1.      Pembangunan pabrik gula baru
Dana    : semula pembiayaan rupiah daripenyertaan modal pemerintah departemen keuangan, mulai permulaan tahun 1982 dialihkan keperkreditan bank bumidaya, dan hingga sekarang belum ada keputusan dari bank bumidaya.
Lahan  : masalah ini acap kali sulit untuk diselesaikan mengingat kurangnya koordinasi lintas sektoral.
Infrastruktur    : pada umumnya struktur diluar Jawa sangat terbatas, sehingga tidak mudah untuk menyangkut mesin dan alat-alat ke lokasi proyek.
Kontraktor      : meskipun sudah ada penetapan pemenang tender oleh SEKNEG, masih ada beberapa kontraktor yang terlambat pelaksanaannya yaitu untuk PG subang.
Suku Cadang  : sub.kontraktor perlu diberi kesempatan menjadi kontraktor dan barang-barang yang dapat  dibuat industri dalam negeri seyogyanya diserahkan didalam negeri.
Sumber Daya Manusia            : tehnik budi dayate budi lahan kering masih sangat terbatas


KOMODITI KELAPA SAWIT

Pemasara nkomoditi kelapa sawit perlu digiatkan tidak saja bagi produksi perkebunan-perkebunan besar, tetapi juga bagi produksi perkebunan rakyat.
II. Keadaans ekarang
1. Pengalokasian minyak kelapa sawit untuk pasar dalam negeri yang diadakan sejak tahun 1978
2. Hal ini dilihat dengan penebusan alokasi, yang pada umumnya dikaitkan dengan perkembangan harga diluar negeri
3. Pada waktu harga ekspor lebih tinggi dari pada harga yang ditentukan untuk pasaran dalam negeri.
4. Perbandingan antara produksi dana lokasi dengan realisasi penebusan termasuk persentase.
5. Kantor pemasaran bersama
6. Pelabuhan, fasilitas yang ada di pelabuhan belawan masih kurang dan belum sempurna khususnya tempat sandar.

III. Sasaran yang ingin dicapai
1.Pemasaran
a. Penentuan alokasi didalam negeri hendaknya didasarkan kepada kebutuhan konsumsi.
b. Dalam rangka peningkatan devisa minyak inti kelapa sawit dan PKP  diekspor dengan harga semaksimal mungkin
2. Kelembagaan
a. Dalam rangka pemasaran yang efensif perlu menambah, badan-badan pemasaran diluar negeri antara lain Tokyo, Amerika Serikat.
b. Perlu penempatan tenaga-tenaga teknologi diperwakilan pemasaran diluar negeri, guna menampung keinginan pembeli.
c. Sejalan dengan itu di dalam negeri perlu diadakan penyempurnaan tugas-tugas KPB.

3. Usaha – usaha Peningkatan Ekspor
a.      Pelabuhan
Fasilitas pelabuhan untuk mengekspor minyak kelapa sawit seperti kade, tempat penimbunan atau bulking installation dan pemoupen perlu disempurnakan dan ditambah, khususnya pelabuhan belawan. Pelabuhan baru Kuala Tanjung yang dekat dengan sentra produksi di Sumatera Utara agar dapat dimanfaatkan.
b.      Ruang Kapal
Perlu penyediaan space yang cukup kontinu dengan mengikat perjanjian sekurang kurangnya dua perusahaan perkapalan, sehingga terhindr adanya monopoli. Penggunaa ruang kapal diutamakan kepada armada nasional.
c.       Harga Patokan
Pengalaman menunjukkan, bahwa penetapan  harga patokan untuk ekspor selalu terlambat.
d.      Perundingan – perundingan International
Didalam perundingan – perundingan  internasional mengenai ekspor  komoditi  perkebunan, hendaknya PNP/PTT  diikut sertakan sebagai anggota delegasi, minimal sebagai peninjau, untuk dapat mengikuti/ memonitor perkembangan pereembangan internasional.
e.       Pengembangan
Guna melancarkan pengembangan tanaman perkebunan didaerah daerah non tradisional dimintakan adanya keterpaduan tindakan antara aparat Pemerintah,  baik  pusat maupun daerah, sehingga pelaksanaanya dapat berjalan dengan baik.

MASALAH TEMBAKAU DAN USAHA PENANGGULANGANNYA

1.      Peranan komoditi Tembakau
a.       Luas areal dan produksi beberapa jenis tembakau Indonesia selama tahun 1997 sampai dengan 1981  mennujukkan bahwa rata rata luas area pertahun mencapai 198.441ha, dengan rata rata produksi 113,463 ton dan rata rata produksi per hektar 572.  Tembakau Indonesia terdiri dari tembakau untuk ekspor dan tembakau untuk komsumsi dalam negri.

b.      Perkembangan volume dan nilai ekspor tembakau sejak tahun 1997 sampai 1981 menunujukkkan bahwa volume ekspoe menurun dengan rata rata penurunan 5,44% setahun, demikian pula nilai ekspor menurun yaitu rata rata 3,92% tahun. Penurunan ekspor lebih besar dibandingkan nilai ekspor disebabkan adanya kenaikan harga rata rata perkilogram (6,19%)

c.       Sebagian besar dari pada tembakau komsumsi  dalam negri di komsumsi dalam bentuk rokok dan sebagian kecil saja yang dikomsumir dalam bentuk tembakau kunyah serta bahan obat obatan.  Produsi rokok kretek meningkat rata rata 5,84% per  tahun dan produksi  sigaret meningkat  5,07% pertahun.

d.       Usaha pertembakauan sejak dari pertanaman, pengolahan hasil sampai dengan industri rokok melibatkan tenaga kerja yang cukup besar baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Di bidang pertanaman dan pengolahan hal diperkirakan  membutuhkan 6 orang tenaga kerja per ha. Di bidang industry yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah industry rokok.

e.       Jika pertembakauan berperan dalam pendapatan Negara yang selalu meningkat baik melalui devisa maupun cukai  serta dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup besar baik dalam bidang produksi maupun pada industry rokok, akan  tetapi pendapatan petani sebagai produsen tidak banyak mengalami peningkatan. Pendapatan petani tembakau pda umumnya setiap tahun berfluktuasi  tergantung pada mutu dan produksi yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan.

2.      Prospek pertembakauan
Peranan pertambakauan dalam bidang ekspor maupun komsumsi dalam negri mengambarkan prospek dari jenis jenis tembakau Indonesia.
a.      Tembakkau cerutu
Bagi temabakau Deli, Besuki Na Oogost dan Vorstenlanden  harga jual di pasar lelang Bremen relative tidak menunujukkan kenaikan. Untuk mengembangkan tembakau cerutu terutama dalam peningkatan harga jual diperlukan usaha diversifikasi pasar dan diversifikasi jenis produksi kearah memperbesar daun pembalut, dengan tujuan untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor.
b.      Tembakau Virginia
Tembakau Virginia penggunaan tembakau Virginia di waktu waktu yang akan dating diharapkan selalu meningkat baik sebagai bahan baku sigaret maupun sebagai bahan campuran rokok kretek dalam negri serta untu tujuan eskpor.
c.       Tembakau Rakyat
Dengan meningkatnya produksi rokok kretek setiap tahun di perkirakan komsumsi tembakau rakyat akan meningkat sebesar 6,22% setiap tahun. Prospek tersebut meningkatkan usaha intensifikasi mencaup seluruh jenis tembakau rakyat yang produkksinya cukup besar.


Tags :

bonarsitumorang