-->

Agustus 03, 2018

Membangun Karakter Pancasila


Sering kita mengklaim dalam peradaban modern-kontemporer ini, orang Indonesia menganut budaya timur yang ramah, santun, bersahabat, murah senyum dan label lain yang bermakna positif. Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mejadikan bangsa yang besar, bermartabat, dan masyarakat yang cerdas. Dipertegas juga  dengan Pancasila sebagai pedoman bangsa.

Akan tetapi das sollen (mengharuskan) dan das sein (peristiwa konkret) tidak berjalan seirama. Ternyata keadaan di atas berbalik dengan fakta yang ada dalam kehidupan bersama. Berbagai dimensi konflik diselesaikan dengan cara kekerasan, pembunuhan,  dan paling nyata adalah krisis hati nurani dalam masyarakat. Krisis nurani saat ini menunjukkan suatu keadaan mental yang hanya mengetahui cara menyingkirkan dan membunuh orang lain. Seolah social action individu tidak puas jika orang lain tidak terluka.

Pancasila


Tujuh abad yang lalu Ibnu Khaldun menyebut keadaan mental ini sebagai bentuk dari animal power. Bentuk fisik memang manusia namun cara menyelesaikan konflik seperti hewan. Padahal Yang Maha Kuasa sudah menciptakan dalam diri setiap individu nurani dan  common sense (akal sehat) agar manusia itu berbeda dengan hewan.
           
Krisis nurani ini menciptakan masyarakat Indonesia yang rentan dengan konfik kekerasan dan sering menyelesaikan permasalahan dengan main hakim sendiri. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita persekusi, salah satu contoh hilangnya jati diri bangsa ini. Umat manusia kini berhadapan dengan bentuk dan strategi penindasan, penipuan, dan tanpa tindakan rasionalitas.
            
Jika dominasi tindakan tanpa batasan ini terus berlanjut, maka diyakini bangsa ini akan  memiliki mentalitas instan. Akibatnya generasi ke depana akan menghadapi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sebagai bentuk perang dengan gaya dan model yang baru. Bahkan tindakan yang membangun hanya menjadi sebuah intuisi bagi kebanyakan pihak.
            
Permenungan sekarang adalah omne quod videtur est verum (yang benar adalah segala yang tercerap belaka). Kemampuan hidup antara baik dan tidak dalam dua dimensi kehidupan (res cogitans dan res extensa) harus bisa menjadi sebuah pertimbangan dalam kecakapan terhadap sebuah tindakan. Hujan kekerasan di Indonesia harus ditanggapi dengan serius. Serta masalah yang ada harus diselesaikan dengan negosiasi damai ataupun dengan jalur judicial settlement (jalur hukum). Tindakan contetious adalah sikap yang agresif, serta tidak memperdulukan kelompok lain dan menganut karakter zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan mati untuk lawan harus dibatasi dengan internalisasi nilai dan norma yang sudah lama dipegang teguh bangsa ini.

Pancasila Sebagai Etika dalam Bertindak

Pancasila sudah ditetapkan oleh pendiri bangsa (founding father) sebagai nilai-nilai luhur dan mendalam, yang menjadi pandangan hidup dan dasar  bertindak negara dan warga negaranya. Semangat nilai praksis seyogyanya sama dengan semangat juang pahlawan yang sudah bersusah payah mendirikan Indonesia di atas fondasi yang kuat dan bernilai.
           
Setiap orang pasti mempunyai moral, tetapi belum tentu setiap orang memiliki pikiran yang kritis tentang moralnya. Jika ingin menjadi maju rakyat Indonesia tidak cukup hanya bermoral, tetapi juga harus memiliki etika dalam bertindak. Sehingga ketika sudah berpikir kritis terhadap moral yang diyakini, ia sendiri tidak akan gamang apabila sewaktu-waktu seseorang dijadikan panutan moralnya telah tiada atau kehilangan pamorny

Nilai, norma, dan moral yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar falsafah Indonesia dan merupakan sebuah alasan mutlak untuk tetap berbuat baik ke pada sesama manusia dan kepada negara. Pancasila bukan hanya diwariskan dari orang tua atau pendahulu bangsa, melainkan tidak akan mudah goyah oleh masuknya paham radikalisme, ideologi lain yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia .
            
Jadi Pancasila menjadi dasar untuk melakukan renuranisasi masyarakat Indonesia dan sumber etika. Mengajak kita untuk berpikir lebih kritis, hingga Pancasila yang sudah kita terima selama puluhan tahun benar-benar hasil pilihan bangsa dan negara Indonesia. Bukan sesuatu yang dipaksakan untuk kita renungkan dan laksanakan. Sehingga paradigma pemikiran ini bisa menjadi sumbangan besar bagi pembangunan nasional.


            
Dengan Pancasila bisa menjadi problem solving  (pemecah masalah) persoalan yang krusial yang dihadapi bangsa sejauh ini. Perkara-perkara besar seperti mengobarkan rasa kebencian terhadap suatu ras, umat dan bangsa, membunuh dan membantai bisa ditekan habis tindakan destruktif tersebut (containment of violence) dengan menginternalisasikan nilai, moral, dan etika Pancasila ke hati nurani masyarakat. Hingga pancasila bukan hanya simbol kekuatan (symbolic power) melainkan social capital  (modal sosial) bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Tags :

bonarsitumorang