-->

Oktober 09, 2019

Bagaimana Jika Kamu Memilih Tersenyum Selama Dua Bulan?

Sadar dan Hadir Penuh

            Di jalanan yang tak berbatu, berdiri, dan bergerak kembali. Tanpa sadar ternyata tali sepatu kanan terlepas dari ikatannya. Tanpa panjang pikir, duduk sejenak, mengikat tali sepatu kembali. Sambil kubersihkan sisa – sisa lumpur yang menempel di sepatu, karena kemarin itu hujan lebat membuat jalanan itu licin dan berlumpur. Kembali kumelangkah dengan sedikit memerhatikan jalanan, agar tidak terpeleset dan jadi bahan tertawaan orang – orang di sekitarku.



Aku tidak tahu sudah berapa kali aku melewati jalan itu. Pastinya itu jalanan setiap hariku, lebih dari dua kali aku harus melewati jalan itu. Setiap aku melangkahkan kaki di jalan ini, akal sehatku sering sekali memberikan sinyal ke otakku dan kembali lagi di transfer kehatiku, “ayo, langkahkan dengan penuh kesadaran”. Kalimat ini mengingatkanku kepada satu situasi yang tak mudah untuk aku pahami apalagi sampai aku melakukan. Bahwa pada hakikatnya jalan itu tidak terlalu panjang untuk kulangkahkan. Tidak juga sampai membuatku lelah.

Setiap hembusan napas dan dalam posisi sadar, aku selalu menghadirkan versi terbaik diriku di jalan ini. Menyatukan panggung belakang dan panggung depan sebuah keharusan. Sebelumnya, bisa saja aku memilih untuk memperlihatkan panggung depanku saja dengan menyimpan panggung belakang (karena di jalan lain itu bukan sebuah keharusan). Looking my self, lihat diriku sendiri. Itu percakapanku sendiri di dalam hati, karena tidak bisa kutemukan juga dipercakapan yang lain.

Usaha untuk memberikan panggung yang ideal itu adalah kebiasaan yang harus kutanamkan. Namun sebagai seorang manusia, aku justeru sudah pernah menampilkan yang “ideal” itu menjadi versi dariku. Ketika banyak hal yang harus kupertimbangkan dalam setiap situasi, justeru akan mempersulit energi yang positif yang mengalir dari dan untukku.

Bahasa Universal Kebaikan

Aku pun tersenyum dalam setiap pandangan. Karena memang menurutku bahasa kebaikan yang paling universal adalah memberikan senyum kepada setiap orang. Mudah saja, karena aku tidak terlalu memperdulikan akan manfaatnya aku senyum kepada siapa, di mana, dan kapan. Apalagi jika aku harus mengunci bahwa senyumanku itu “harus” dibalas dengan senyum juga. Jika tidak! Apakah aku harus mengutuk apa itu keharusan? Ini yang kubangun agar bahasa yang universal itu bisa hadir penuh dalam situasi seperti apapun. Jika idealnya seperti berbalas pantun, maka ruang komunikasi non verbal itu akan melahirkan benci. 

Setiap langkah, pagi, siang, dan sore di jalan itu akan kujadikan dalam wadah proses belajar. Hingga kelak keabadiaan sebuah pengalaman ini akan melahirkan investasi kebaikan dikemudian hari. Situasi menjadi bahan ingatan yang sudah membekas dalam waktu singkat ini akan me-refresh kembali tujuan akan hadirnya langkah kaki di jalan ini. Sebab jalan ini dipilih bukan untuk terapi menenangkan diri. Walaupun beberapa hari yang lalu pernah membangun sebuah pola, bahwa ini adalah jalan yang tepat untuk segera lari dari satu situasi yang kuanggap titik terendah dalam masa penentuan makna dan jati diriku.

Pernah sekali aku berhenti di jalan ini, karena ada satu tiang besi yang baru di tancapkan di pinggir jalan ini. Membawa alam penasaranku bertanya, kapan tiang ini akan mengalirkan cahaya? Kembali di sini aku memandang kejauhan akan masih panjangnya jalan yang harus kutempuh untuk sampai kepada merah putihnya bangunan yang memiliki tujuh ruangan itu. Diam sejenak, kembali kupandang hijaunya alam yang mengelilingiku. Refleksi menjadi santapan sehari – hariku di jalan ini.  Ini masih 2 bulan di jalanan ini, masih panjang cerita dan saksi – saksi yang tak akan ternilai. Bagi ku walau pun masih singkat, tapi sudah melahirkan sebuah pola hidup yang belum pernah kudapatkan di tempat lain.

Tags :

bonarsitumorang