-->

November 18, 2019

KELUARGA SEBAGAI AGEN PERUBAHAN

Sudah menjadi suatu fakta de­wasa ini, perilaku (behavior) manusia su­dah di luar kebiasaan sosial. Tero­ris­me, menebar keben­cian (stigma, pre­­judice, dan streotype) sudah men­jadi sarapan pagi dalam berita lokal, na­sional, bahkan media internet se­ka­lipun. Tingkah laku menyimpang (des­truktive) sudah sangat menjadi hal biasa kita temukan.
Serang-menyerang, hakim-meng­ha­kimi, membenci kebena­ran yang ha­kiki dan menyerang hukum. Meng­ang­gap dirinya selalu benar dan cerdik da­lam menilai kelemahhan orang lain. Individu yang sekarang sudah menjadi manusia satu dimensi (mengikuti apa saja yang fenomenal), bahkan di luar du­gaan sikap tolong-menolong (pro social) sangat minim temukan ke­hidup­an yang berdam­pingan sekarang ini. Dengan penuh pengamatan, bah­wa dunia maya menjadi lebih muncul ke permukaan daripada kehidupan nyata.
Proposisi Herbet Spencer yang me­nyebutkan, “Who is strong is, he who sur­vives” menjadi kenyataan bahwa yang lemah akan selalu tertindas, dan yang kuat akan merajalela.  Paling meng­hebohkan  lagi keadaan itu se­pertinya tidak punya solusi lagi dan ke­percayaan terhadap pemegang ken­dali (stake holder) hilang. Keper­ca­yaan tersebut hilang punya sebab, ka­rena tugas yang diamanahkan tidak di­kerjakan sesuai visi dan misi yang su­dah dijanjikan yang menjadi ke­wa­jiban yang tertulis. Pengaruh me­le­bur­kan agama dengan politik, perilaku ko­rupsi, apatisme yang merajalela, bu­daya permisif tanpa saringan men­jadi tantangan terberat bagi para pemimpin negara.
Banyak solusi yang muncul diper­mu­kaan untuk mengatasi masalah sosial yang ada sekarang ini. Ketaku­tan akan menyebarnya konflik sosial mu­lai dipikirkan dengan matang. Su­dah banyak agenda pemerintah yang sudah bisa kita lihat untuk meng­an­tisipasi keadaan tersebut. Namun, me­lihat keefektifan lembaga sosial se­ka­rang yang sarat dengan cobaan, bisa saja runtuh dan goyah.
Negara Indonesia adalah negara hukum, memiliki dasar negara, dan punya garis-garis besar yang harus diikuti sesuai dengan tujuan UUD 1945. Seluruh masyarakat Indonesia harus bisa menjadi “solution maker” dalam pergejolakan nasional bahkan internasional. Hingga amanat yang di­berikan “founding father” kita tidak men­jadi intuisi saja bagi banyak orang, namun menjadi tugas semua orang.  Umpama orang Pakpak salah satu suku di Sumatera Utara me­nga­katan “Mela oda pande pemendeken, mencedai giam unang” yang artinya “Jika tidak bisa membangun (mem­per­­baiki), jangan merusak”. Harapan dari umpama itu adalah semua orang menjadi agen perubahan (agent of change) bagi kemajuan bangsa bukan menjadi perusak.
Keluarga sebagai Solution Maker
Tentunya dalam setiap kritik harus diikuti dengan solusi. Solusi menurut pe­nulis di sini adalah berdasarkan pe­ngalaman empiris dalam kehidupan sehari-hari. Agen perubahan yang pa­ling jelas adalah keluarga. Keluarga men­jadi aktor penting dalam perubah­an, sebagai kelompok sosial yang ter­kecil, memiliki tujuan, ikatan dan tem­pat menanamkan nilai dan norma bagi setiap anggotanya. Jika dimulai dari ke­luarga dan melebur menjadi ma­sya­rakat, tentunya nilai dan norma yang sudah ditanamkan di dalam ke­luarga akan menjadi sebuah bukti dalam maysarakat.
Namun, banyak yang gagal fokus atas prinsip berinteraksi dalam hidup ber­dampingan dan bernaneka ragam. Ke­banyakan ingin membangun, ber­interaksi, dimulai dari negara - ke ling­kungan - ke keluarga baru ke diri­nya sendiri. Sebuah kesalahan yang besar, karena yang terpenting seka­rang alurnya adalah membangun hal yang kecil menuju yang besar. Ek­pe­rimen yang didasari dengan hal yang kecil menuju yang besar akan me­miliki fondasi yang kuat saat ada gon­cangan.
Buku yang sangat terkenal tentang keluarga dari berjudul Tujuh Kebia­sa­an Keluarga yang Sangat Efektif ka­rangan Stephen R. Covey yang ingin membangun perilaku baik dari budaya harmonis di dunia yang tengah bergejolak. Adapun menjadi kebia­sa­an itu adalah bersikap proaktif; me­mu­lai dengan memikirkan tujuan; men­dahulukan hal-hal yang utama; ber­­pikiran untuk menang-menang; ber­­usaha untuk memahami dahulu, baru dipahami, bersinergi dan menga­sah gergajinya. Ketujuh kebiasaan ini menjadi  jika dilakukan akan besar pengaruhnya terhadap lingkungan kita sendiri bahkan akan modal pemba­ngun­an manusia yang akan ber­pe­nga­ruh besar bagi negara.
Bukan tanpa alasan, jika di dalam ke­luarga yang tidak har­monis akan me­lahirkan anggota masyarakat yang tidak harmonis juga. Melampiaskan kegagalan keluar­ga ke masyarakat. Kehi­dupan yang tertekan dalam kelu­arga bisa saja menjadi penyebab mencari kebebasan dalam masyara­kat. Karena anggota keluarga yang tidak terpeniuhi fungsinya, maka akan menjadi disfungsi dalam masyarakat.
Dengan menciptakan hidup berda­sar­kan sebuah pernyataan misi, ke­luarga menjadi mampu membangun keputusan moral, menyangkal paham radikalisme, dan mengeluarkan energi positif untuk kemajuan bangsa. Prof. Dr. Ing. Bacharudin Jusuf Habibie me­­­nyampai­kan bahwa untuk menjadi pe­­mimpin di­mulai dari keluarga, or­ga­nisasi, ke­lurahan, gubernur sampai ke presiden. Me­mulai pemba­ngun­an dari akarnya, memiliki mentalitas baja, demi peru­bahan Indonesia yang le­bih baik. 

*Tulisan ini sudah diterbitkan di koran Analisa Medan

Tags :

bonarsitumorang