-->

Februari 08, 2020

KETULUSAN KAMERA (KAMU DAN MEREKA)




"Aku seorang guru di SDN Haratai 3, Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Aku ini adalah Pengajar Muda (PM) dari Indonesia Mengajar (IM) Angkatan XVIII.  Dengan rompi yang aku pakai masyarakat sudah mengenalku dari mana. Karena  untuk saat ini aku menjadi estafet ke empat (PM). Enam bulan bertugas. Tanggal 10 Agustus 2019 menjadi hari pertamaku ditempatkan di sini. Aku bertugas menjadi penerus ke empat optimisme Indonesia Mengajar di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, secara khusus di Desa Haratai, bahwa pendidikan itu ada. Enam bulan perjalan di sini, sungguh membuatku jatuh cinta. Banyak sekali hal – hal yang baru aku kenal dan rasakan. Bahagi. Tertawa. Kehangatan yang sungguh luar biasa. Itu yang membuatku jatuh cinta. "

Mandi di Sungai


Di sini aku mengenal banyak hal; kultur, sosial, bahasa, alam, tak lupa aku juga mengenal kasih dan cinta orang – orang yang luar biasa di sekelilingku.  Dari kultur contohnya aku mengenal apa itu kepercayaan Kaharingan, apa itu baharago, baaruh, pamataan, tentang balai, baaruh basambu, baaroh ganal, dan masih banyak lagi.

Dari sosial masyarakat aku belajar banyak tentang masyarakat Dayak Gunung Meratus karena memang di sinilah tempatku, belajar membersamai orang – orang yang sama sekali belum pernah ku kenal sebelumnya. Melalui kebiasaan sehari – hari mereka, bercocok tanam, tentang bagaimana mereka disatukan dalam satu kohesi sosial yang sangat melekat, dengan gotong royongnya yang masih tinggi, harmonis, dan sangat terbuka terhadap orang baru. Masyatakat di sekitar Gunung Meratus sangatlah ramah. Ini dibuktikan banyaknya orang dari luar yang datang ke desa ini. Termasuk turis yang sering menginjakkan kaki di Dusun 3 tempatku untuk pergi ke Gunung Halau-halau yang menjadi salah satu gunung tertinggi di Kalimantan.

Di sisi lain aku juga banyak mengenal bahasa termasuk Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak Meratus. Bahasa di sini berbeda – beda antar desa. Padahal jarak antar desa tidak terlalu jauh. Bahasa Banjar di sini mempunyai kemiripan dengan Bahasa Jawa. Misalnya kata inggih (Ia), lawang (pintu), dan banyak lagi. Bahasa menjadi tolok ukur adaptasiku di desa, kecamatan, bahkan di tingkat kabupaten. Karena melalui bahasa aku dapat berbincang terbuka dan menghargai kekayaan bahasa yang dimiliki daerah.


Aku juga banyak belajar tentang alam pegunungan, menuntutuku untuk beradaptasi. Cuaca pegunungan yang dingin, beraptasi juga dengan pola makan/minum di desa. Orang di desaku masih menyatu dengan alam. Makanan dan minuman bersumber dari alam di sekitar, tidak dibeli, dan masih menunjukkan kepemilikaan bersama. Karena mereka menyakini, bahwa tanaman tua yang berbuah saat ini adalah warisan leluruh mereka. Dijaga dan dinikmati adalah salah nilai yang mereka utamakan untuk bersahabat dengan alam.

Desa ini selalu menghadirkan kenyamanan, alamnya juga, percikan air sungai yang mengalir setiap hari dari kaki Gunung Meratus, Air Terjun Haratai yang menampilkan pesona alam yang begitu indah, suara burung yang memberikan penghiburan pagi dan menjelang sore hari. Setiap malam aku memandang langit, aku merasakan bahwa bintang itu sungguh dekat di tempat ini. Sungguh ini semua adalah ciptaan Tuhan yang layak disyukuri dan dijaga.

Ditanggal 02 – 02 – 2020 ini. Tanggal, bulan dan tahun yang unik ini. Tak lupa aku juga mensyukuri akan hadirnya aku di sini. Termasuk anak – anak yang menjadi tempatku mengajar dan juga belajar, ada banyak hal yang tak bisa direkam kamera tapi bisa disaksikan dengan kepala mata sendiri. Tentang ketulusan, kegembiraan, semangat, motivasi, kemauan yang tinggi, antusias, dan sebagainya, dan sebagainya.

Tiga Puluh Tujuh Cahaya Mimpi (SDN Haratai 3)

Ini tentang tiga puluh cahaya di Kadayang. Mengapa aku sebut mereka sebagai cahaya? Karena cahaya selalu memberikan terang. Sudah pasti terang itu disukai oleh banyak orang, dalam terang kita dapat menemukan kebahagiaan, optimisme, semangat, dan harapan. Aku sebut mereka tiga puluh tujuh cahaya masa depan di desaku. Angka itu adalah jumlah siswa/i di sekolahku. Mereka punya tekad dan optimis, bahwa jauhnya kota dari tempat tinggalnya tidak menjadi penghalang untuk sekolah, jauhnya akses dari kecamatan tidak menjadi penghalang untuk bisa menampilkan kemauan. Karena keindahan masa depan seseorang itu sebenarnya tergantung pada keyakian dan impiannya. Sekarang mereka itu sudah yakin, bahwa mereka semangat. Hadir di sini akan membawamu benar – benar untuk “becoming the true you”. Karena alamnya matahari adalah menyinari dan memberi cahaya; “alam”nya manusia adalah memberi; ketika matahari bersinar, manusia akan berkontribusi.
Belajar Malam
Sebelumnya aku ingin beritahu. Nama lengkapku adalah Bonar Situmorang. Kalau di tanah kelahiranku, Sumatera Utara nama panggilanku adalah Bonar. Kalau di sini agak berbeda sedikit, aku itu dipanggil Bapak Bunar. Hihihi. Baik oleh anak – anak di sekolah dan masyarakat kece di desaku. Mengapa? Karena di sini itu orang mengenal o ( U bulat) dan U (U pecah). Unik bukan?

Di sini aku selalu di kelilingi orang – orang baik. Ada keluarga asuhku yang menerimaku, ada masyarakat desa yang selalu memberikan kehangatan, terutama anak – anak didik. Di desa merekalah temanku sehari – hari. Pergi ke kayuan (hutan), mandian (mandi) di sungai, mencari buah – buahan, apalagi saat ini di desaku lagi musim buah. Setiap hari mereka membawa buah untukku. Pokoknya mereka adalah sumber energiku setiap hari di sana.


Aku datang ke desa ini hanya sendirian. Awalnya tujuanku membawa inspirasi. Sekarang justeru aku yang banyak diinspirasi oleh anak – anak, orang tua, dan masyarakat desa. tentang bagaimana mereka melakukan kebaikan, ketulusan, dan membuatku berefleksi akan hadirnya aku di sini.  Berharap hadirnya estafet ke empat di sini akan membawa kebaikan untuk mereka. Dulunya, aku adalah pribadi yang cukup khawatir kalau pergi ke mana – mana. Maklum saja, daerah ini belum pernah sama sekali aku jejaki. Baru pembagian penempatan aku ketahui bahwa di Tanah Air Indonesia ini ada satu tempat yang begitu indah yaitu Dusun Kadayang, Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sekarang ini aku sudah bisa memetakan kekhawatiran. Aku tidak takut lagi di sini tentang makanan, tempat tidur, tidak bisa bahagia. Justeru aku mendapatkan semua di sini. Anak – anak yang sering mengantarkan makanan untukku, mereka yang mengajakku untuk tidur di rumahnya, dan mereka jugalah yang membuatku selalu menikmati setiap hariku. Melalui orang – orang yang ada di sekitarku.

Keseruan Mencari Buah - buahan
Ini semua sudah aku rasakan selama enam bulan di penempatan. Semuanya berjalan begitu cepat. Waktu terasa begitu cepat berputar selama enam bulan ini. Benar pepatah mengatakan “di mana ada kemauan, di situ ada jalan” apalagi di sini bukan hanya tentang jalan yang aku temukan, juga kemauan orang – orang di sekitarku selalu memberikan optimisme.

Aku pun semakin sering menghitung hari mundurku di sini. Mestakung (semesta mendukung). Itu nyata dan terbukti. Awal pertengahan sampai detik ini aku selalu bersama dengan tiga puluh tujuh orang yang selalu setia dan menjadi tempatku bercerita. Mereka patut dan layak mendapatkan satu tempat cita – cita kelak. Tentang mereka yang selalu giat belajar, antusias mengajak bapak gurunya membaca dan belajar malam, mereka jugalah yang menjadi inspirasiku. Bagaimana mungkin tidak, merekalah yang mengajariku untuk hidup menyatu dengan alam. Melangkah, bermain, tertawa, menikmati setiap proses yang ada bersama mereka. Langkah dan pijakan kaki mereka selalu kurenungkan untuk jadi bahan refleksiku setiap hari.

Hari Ini, Besok, Sebelum Berakhir

Tadi aku sudah bercerita tentang masyarakat desa, alam, dan kultur yang senantiasa menjadi teman bertumbuhku. Kali ini aku akan bercerita tentang tiga puluh tujuh orang yang selalu memberikanku energi dan recharge semangatku setiap hari. tak luput juga bahwa mereka jualah sumber semangatku. Melihat senyum hangat mereka setiap hari, mendengar kisah mereka, mengikuti langkah mereka, bahkan kepolosan hati mereka akan selalu menjadi penyemangat buatku untuk menjalankan peran dan tugas.


Mereka jugalah sering menanyakanku, kaya apa habarnya pian pak ae? (apa kabar bapak), bapak laparankah (apakah bapak sedang lapar), pak ae kita maunjun yuk! (Pak, kita memancing yuk), pak ae kita mandian yuk ke sungai Panting (pak, kita mandian yuk ke sungai Panting), pauji pak? (kenapa pak). Pertanyaan – pertanyaan ini yang selalu hadir ditelingaku sebagai bukti bahwa mereka benar – benar memerhatikanku.

Tak lepas dari itu, enam bulan membersamai mereka adalah waktu yang sangat kusyukuri. Mereka yang selalu hadir saat hujan dan terik matahari. Mereka jugalah yang sering mengajakku tersenyum setiap hari, dengan kepolosan hati mereka, senyum tawa, energi mereka yang tak pernah habis ketika diajak bermain di alam. Mereka punya waktu selalu untukku.

Bagiku, hadirnya orang setulus mereka kadang membuatku tidak bisa menahan haru dalam hati. Tak mudah untuk melepas mereka, kalau ada kegiatan harus ke kecamatan atau pun ke kabupaten. Ketika aku kembali, mereka akan langsung menyalam dan menanyakanku? “bapak dari mana?”.  Mereka selalu menanyakan apakah saya sudah makan atau belum. Tiba – tiba mereka yang menawarkan makanan. Baik saat proses belajar berlangsung. Begitu juga di luar jam belajar di sekolah.

Tiba – tiba saja mereka menawarkan aku kerupuk yang berada digenggaman tangannya. Pak, hatjinkah? (pak maukah). Bapak masih kenyang, makan saja. Sambutnya, bapak harus makan, pantang menolak makanan pak. Itu satu dua siswa saja yang mengatakan demikian saya rasa tidak apa – apa. Bagaimana jika itu dilakukan oleh setiap siswa yang ada di sekolah. Bisa kenyang makanan aku setiap hari di sana. Mereka yang tiba  - tiba membawa beras kepadaku. Pak ini ada beras, nanti bapak masak ya! Biar bapak jangan lapar. Mereka jugalah teman bermain. Tak bisa dipungkiri kalau hari – hari ku di desa selalu saja mulus. Ada batu kerikil yang hadir di jalan – jalan yang kulalui. Tapi, berkat melihat mereka semua itu menjadi semangat. Karena mereka sendirilah yang menjadi temanku untuk berbagi, bercerita, dan ambil hikmat dalam setiap perjalanan.

Aduh, foto yok pak

Mereka yang sering mengajakku pergi ke hutan. Mencari buah, mencari kayu bakar, mencari hasil alam mereka, mengattam (mencari kepiting di sungai). Setiap pergi ke hutan aku akan selalu orang yang berjalan di depan, katanya biar bapak tidak ketinggalan di jalan. Mereka jugalah yang pertama memberiku buah. “Pak coba ini dulu, kalau rasanya enak nanti saya ambil lagi” katanya. Ini semua tentang kehadiran mereka bersamaku di desa.


Dengan kepolosan hati mereka. Bisa saja ketika jam isterahat, mereka membawa buah – buahan dibagikan kepada guru. Ada durian, duku, rambutan, dan lain masih banyak lagi. Ini semua diberi untuk bapak, tidak perlu dibayar, katanya. Di saat seperti inilah aku benar – benar tersentuh. Tanpa mereka di desa aku bukan siapa – siapa. Orang yang datang Sumatera sana diterima begitu hangat. Tak ada kata – kata yang dapat mewakilkan perasaan.

Berulang, berulang, dan berulang kali aku hanya bisa ucapkan terima kasih kepada mereka. Atas ketulusan, atas kebaikan, atas hadirnya semangat dalam setiap kondisi, dan perhatian mereka yang tulus akan. Cerita manis ini layak untuk dirasakan, disyukuri, dinikmati, dan layak untuk dibalas dengan AKS18AIK.

Tags :

bonarsitumorang