Makalah: Pendahuluan Penelitian Sosiologi
1.Latar Belakang
Tidak
dapat dipungkiri bahwa agam sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial,
menyatakan agama tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat dan kehidupan
sosial mungkin sangat jauh dari persepsi agama itu sendiri, agama sendiri telah
memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh dan
terperinci. Di Indonesia sendiri hubungan antara agama dan politik memiliki
tradisi yang mengakar panjang, dalam perjalanan sejarah inilah yang kemudian
sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas sosio kultural dan
politik . pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa agama sepanjang
perkembangannya di Indonesia telah menjadi bagian integral dari sejarah politik
negeri ini, meskipun tidak serta merta
dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu unsure yang erat
kaitannya dengan dunia perpolitikan di Indonesia
Kita
dapat melihat dari sejarah perpolitikaan di Indonesiia, bahwa telah lumayan
banyak partai-partai politik yang berasaskan dari salah satu agama yang diakui
di Indonesia yang mengikuti alur dan jalan yang terus berkembang di Negara ini.
Agama merupakan satu kesatuan yang fungsinya tidak lagi hanya menjurus kepada
kehidupan spiritual atau hubungan antara manusia dengan penciptanya, dalam
konteks yang lebih luas agama telah
berkembang menjadi suatu komoditi suatu kaum untuk mencaapai sebuah tujuan.
Di
Indonesia sendiri dengan diakuinya beberapa keyakinan, serta aturan dalam
undang-undang dasaar 1945 yang menyatakan bahwasanya tiap-tiap warga berhak
untuk memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing
telah menjadikan agama menjadi suatu kumpulan masyarakat yang kemudian bersatu
untuk mencapai sebuah tujuan hidup, sebuah tujuan untuk meletakkan dasar
pemikiran yang ada didalam agamanya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi
dalam kaitannya agama dan politik memiliki kaitan yang sangat erat, terlebih di
Indonesia, agama tidak lagi menjadi suatu antara interaksi manusia dan
penciptanya, tapi agama telah menyentuh segala aspek kehidupan manusia,
sehingga dalam keadaan apapun agama tidak dapat dipisahkan, agama apapun itu,
kepercayaan apapun itu pasti telah meletakkan dasar-dasar pola berfikir dan
tata cara berkehidupan dan berinteraksi dengan sesamanya.
2. Rumusan Masalah
2. Rumusan Masalah
Dari
penjelasan sebelumnya muncul suatu
pertanyaan tentang keterikatan agama dan politik itu sendiri sehingga dapat lah
dirumuskan tentang keterikatan dan keterkaitan antara agama dan politik yaitu :
1. Apa
Faktor yang menyebabkan Agama menjadi suatu hal yang erat kaitannya dengan
kehidupan perpolitikan di Indonesia
2. Apa
Hubungan antara agama dan Politik Di Indonesia
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini tidak lain adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan bapak “ …………………………………..” dalam mata Kuliah sosiologi, disamping
itu penulisan makalah ini bertujuan
untuk :
1. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan agama menjadi suatu hal yang erat
kaitrannya dengan kehidupan berpolitik di Indonesia
2. Untuk
mengetahui hubungan antara agama dan politik di Indonesia
3. Sebagai
referensi atau bahan kajian dalam karya-karya ilmiah berikutnya
BAB
I
PENGERTIAN AGAMA DAN
POLITIK
1. Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial
manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara
berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama”
(religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur:
agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai
spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka[1].
Sedangkan menurut pandangan sosiolog,
Emile Durkheim mengemukakan makna agama, merupakan sebuah perbedaan yang sakral
dan profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang
sakral yang kemudian menjadi syarat mutlak
bagi keberadaan agama sehingga terciptanya ritual-ritual yang mengubah kekuatan
moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam
suatu kelompok[2]. Syarat-syarat lain dari agama adalah
kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah. Dalam pandangan sosiologi Agama dipandang sebagai suatu institusi yang
lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik,
baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia maka dalam
tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap
masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat
(akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani)
Mendefinisikan
agama secara komprehensif yang mampu merangkum semua aspek nampaknya menjadi
suatu permasalahan yang pelik bahkan mustahil untuk dilakukan mengingat luasnya
aspek yang terkandung dalam agama itu sendiri. , misalnya ada tidak ada definisi
tentang agama yang benar-benar memuaskan karena agama dalam keanekaragamannya
yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan
bukan definisi (batasan).
Agama
menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya[3].
Menurut Sutan Takdir Alisyahbana agama adalah suatu system kelakuan dan
perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada terhingga
luasnya, dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengililinya
2.
Pengertian Politik
Secara
etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau
negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti
warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara,
politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti
kewarganegaraan.Istilah politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani) yang
artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti
Politeia
artinya segala hal ihwal mengenai Negara.Polites artinya warga Negara.Politikus
artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau
negarawan.Politicia artinya pemerintahan Negara. Secara umum dapat dikatakan
bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana
melaksanakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan
yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Aristoteles
(384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata
politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon.
Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah
politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan
hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan
tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan
posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi,
dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum
(public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang adaPengertian politik
dari para ilmuwan
Johan Kaspar
Bluntschli dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang
memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman
tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau
manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned with the state,
which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its
essentials nature, in various forms or manifestations its development)[4].
Kosasih Djahiri dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang
melihat kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai
cara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenrnya setiap individu tidak
dapat lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang
dapat menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang
memengaruhi.
”Wirjono
Projodikoro menyatakan bahwa “Sifat terpenting dari bidang politik adalah
penggunaan kekuasaan oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golon gan
lain. Dalam ilmu politik selalu ada kekuasaan atau kekuatan.” Idrus Affandi
mendefinisikan: “Ilmu politik ialah ilmu yang mempelajari kumpulan manusia yang
hidup teratur dan memiliki tujuan yang sama dalam ikatan negara.”
BAB
III
HUBUNGAN
POLITIK DAN AGAMA
A.
Hubungan Agama Dan Politik
Untuk mengkaji mengenai hubungan antara Agama dan Politik
terlebih di Indonesia maka akan sangat erat kaitannya bila kita melihat sejarah
dan perkembangan dunia agama sendiri dan
pula kehidupan perpolitikan di Indonesia. Salah satu contoh yang memiliki
kaitan yang erat antara Hubungan agama dan politik adalah ada dalam sila
pertama Pancasila. Sila pertama Pancasila sendiri telah sangat menjelaskan
bahwa agama memiliki peranan yang penting dalam tatanan kehidupan berpolitik di
Indonesia. “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ merupakan perwujudan kesatuan
agama-agama yang ada di Indonesia,
walaupun Islam menjadi Mayoritas di Indonesia, namun dalam penyusunannya Islam
juga memahami bahwa Indonesia merupakan Negara kesatuan yang Pluralisme. Sehingga
dalam sila pertama Pancasila tidak hanya mencerminkan Islam sebagai Negara
mayoritas, melainkan mewakili seluruh elemen kehidupan beragama di Indonesia.
Pada awalnya Kepemimpinan agama berada di garis depan pada
arus perubahan masyarakat. Dibeberapa Negara pada pertengahan abad 7 dan Modern
ternyata agama tidak dintregaasikan secara penuh, ada dua faktor utama mengapa
agama gagal menjadi ideologi penuh atau dasar sebuah Negara. Yang pertama
adalah sikap para pemimpin agama untuk menciptakan system pemerintahan religio-
politik. Sikap tokoh para pemuka dan pemmpin agama kala itu yang cenderung
memilih status quo dengan alas an pilihan ummat sebagamana yang terjadi dalam
sejarah terbentuknya bani umayyah. Dalam era modern seperti sekarang partisipasi
politik pemimpin agama yang menjadi pemimpin politik semakin kuat. Kita dapat melihat di Indonesia
sendiri dengan bermunculan nya partai-partai yang berasaskan agama tertentu[5]
Yang kedua adalah adanya anggapan bahwa agama harus mandiri
dan tidak berfungsi sebagai kekuasaan. Dalam hal ini biasa nya pemimpin agama
menenmpatkan agama pada kontteks yang ttidak terlalu luas sehingga dapat
dikatakan agama menjadi sebuah simboln kepercayaan tanpa harus ikut terlibat
dalam kehidupan pemerintahan maupun bernegara[6].
Dalam
konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga seharusnya
dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan politik di
negara Barat yang memisahkan secara tegas antara politik dan agama. Politik dan
posisi-posisi politik harus dipisahkan secara tegas dengan agama. Konsepsi ini
menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat dalam politik praktis. Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam
merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini
terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam
di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam
umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.
Deliar Noer termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep
negara dan Islam dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer,
sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum harus dijalankan,
3. Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan diberikan tempat,
5. Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang
panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah
air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman
agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat.
Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit
antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham,
melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama
induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama
khususnya Islam. Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan
pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah
membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen
Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha[7]
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui
pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci,
nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak
pemerintah melakukan tiga hal. Pertama,
membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua,Memberagamakan warga
masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai
wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama. Dari sudut pandang
intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas spiritual.
Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks. maka agama adalah suatu sistem simbol
yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan
lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan
umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu
aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara
unik nyata ada. Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam
konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi
integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan
formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk
menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara
terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia
sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam
masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama
diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama
adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu
institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di
luar dari agama.
Kedua, Agama dan
Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi
corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai
instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara
seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan
harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari
sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan
kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali
menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama
agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada
gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga
keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam
kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan
bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat
karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk
mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada
di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau
Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya
manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang
dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta
ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik
merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan
Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din
wasiyasah sesungguhnya
menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan
agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya
harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme”
keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara
harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun
juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih
berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.Di lain pihak,
independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan
haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan
pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada
masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan
melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas. Kekuasaan politik
haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din), akal (aql), jiwa(nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin
tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang
memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik
kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk
mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan
kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass
root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa)
dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut
kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif
terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi
komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor
integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk
Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan. Agama secara hakiki berhungan
dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh
rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal.
Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat
melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri,
sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit
atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk
memberi legitimasi pada kekuasaan politik. Hubungan politik dengan agama tidak
dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran
agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan
bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh
ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang
paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah
yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat
dan sumbernya yang transcendent.
B. Pemisahan
Agama dan Politik
Uraian di atas memperlihatkan
hubungan antara agama dan politik secara teoretis konseptual. Padahal hubungan
antara keduanya dalam realitas faktual sangat kompleks. Tidak ada formulasi yang disepakati sejak
era kenabian sampai di era modern. Keberagaman formulasi tentang hubungan
antara agama dan politik, sesungguhnya terjadi pula pada bangsa lain tergantung
pada ideologi yang dianut. Kompleksitas bahkan kekacauan nalar tentang hubungan
antara agama dan politik tidak lepas dari kesalahpahaman dalam memahami istilah
agama ( itu sendiri. Kemudian diperparah
dengan tidak adanya diskusi yang sehat antar berbagai aliran pemikiran. Mereka
tidak mau bahkan tidak berusaha untuk saling memahami konsep yang dikemukakan
oleh masing-masing. Apalagi mereka juga mencampuraduk antara pengertian kata al-dîn yang
bersifat khusus dan yang bersifat umum. Banyak yang berpendapat bahwa politik
dan agama harus dipisahkan. Politik dibangun atas kehendak masyarakat sipil
yang tidak terkait dengan spritual. Agama menurut mereka bersifat absolut
sedangkan politik bersifat relatif. Pendapat ini dibangun atas dasar bahwa
agama adalah hubungan ritual (ruhiyah) antara
seorang hamba dengan Tuhan. Hakikat agama adalah keimanan yang melekat pada
nurani dan hati seseorang. Sebaliknya muncul pendapat lain bahwa agama tak
terpisahkan dari politik karena Islam adalah agama komprehensif sehingga tidak
mungkin memisahkan kehidupan politik dari agama. Perbedaan tersebut muncul
karena kurangnya pemahaman terhadap berbagai istilah dan konsep yang ada.
Banyak orang ketika mendengar “pemisahan antara agama dan politik” memahaminya
dengan memisahkan politik dari nilai-nilai etis religius. Politik kemudian
seakan dikemas berdasarkan selera subyektif dengan melakukan kebohongan dan
penipuan. Meninggalkan prinsip keadilan dan kesetaraan untuk kebaikan bersama.
Pada sisi lain mereka yang menafikan pemisahan politik dari agama tidak
mengapresiaisi berbagai keputusan politik yang dilakukan oleh pihak penguasa
atau pemerintah.
Hubungan ideal antara politik dan
agama bukan pemisahan yang bersifat permanen, dan bukan pula bersifat
kombinatif secara total. Tetapi antara keduanya selalu berdampingan yang tak
dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki sisi perbedaan dan persamaan. Adalah
sulit untuk mengapresiasi konsep yang memisahkan secara total antara agama dan
politik dalam masyarakat manapun, baik muslim maupun non-muslim, beragama atau
tidak beragama. Karena bagaimanapun, agama telah memberikan sistem nilai dan
tolok ukur yang menjadi tujuan mulia bersama, seperti keadilan, kebebasan,
kesetaraan, ketransparanan, musyawarah dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Bahkan agama menunggu dari orang-orang yang meyakininya agar mencerminkan
akhlak yang terpuji dan
menghindari akhlak yang buruk dalam
berbagai aktivitas politik. Selanjutnya nilai-nilai sakral dan universal dari
agama harus hadir dalam diri seseorang sebabagi pengarah sekaligus pengontrol
dalam aktivitas politiknya. Meski demikian, praktik politik harus bebas dan
independen dari kekuatan manapun yang mengatasnamakan agama atau otoritas
agama. Pembedaan antara agama dan politik, bukan berarti pemisahan secara total
atau penyamaan secara total.
Dengan pemahaman seperti ini kita
akan dapat mengapresiasi temuan-temuan konseptual dan teoritis dalam bidang
politik, dan dalam waktu yang sama akan memposisikan agama sebagai sumber nilai
tertinggi yang selalu mengontrol praktik politik di suatu Negara. Agama dalam
konteks kemaslahatan ukhrawi, ajaran dan hukumnya bersifat pasti. Tetapi agama
dalam konteks kemaslahatan duniawi selalu bersifat dinamis dan baru. Artinya
agama dalam maknanya yang umum ini tidak termasuk wahyu atau ketentuan hukum
ilahi yang bersifat permanen. Jadi politik tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan beragama yang dinamis. Dengan kata lain, politik harus tunduk pada
visi keagamaan secara umum. Pelaku politik praktis harus berkomitmen pada
prinsip-prinsip dan nilai-nilai universal yang terkandung di dalam agama.
[1] Rafael, Raga Maran Pengantar
Sosio;ogi Politik P T Rineka Cipta, Jakarta 2007 Hal 231
[2] Abdullah, Taufik & Der Leeden ,
A. C. Van. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia 1986. Hal 45
[3] Alwi, Hasan.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2007
[4] Garna, Judistira K.. Materi Kuliah Teori-teori Ilmu
Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Hal 150
[5] Soedjatmoko, Etika Pembebasan
Pilihan Karangan tentang Agama, LP3ES Cet.I Jakarta , 2005
[6] Ibid
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009