-->

Maret 05, 2016

Makalah: Pendahuluan Penelitian Sosiologi


1.Latar Belakang 

Tidak dapat dipungkiri bahwa agam sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial, menyatakan agama tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat dan kehidupan sosial mungkin sangat jauh dari persepsi agama itu sendiri, agama sendiri telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh dan terperinci. Di Indonesia sendiri hubungan antara agama dan politik memiliki tradisi yang mengakar panjang, dalam perjalanan sejarah inilah yang kemudian sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas sosio kultural dan politik . pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa agama sepanjang perkembangannya di Indonesia telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri ini, meskipun tidak serta merta  dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu unsure yang erat kaitannya dengan dunia perpolitikan di Indonesia


Kita dapat melihat dari sejarah perpolitikaan di Indonesiia, bahwa telah lumayan banyak partai-partai politik yang berasaskan dari salah satu agama yang diakui di Indonesia yang mengikuti alur dan jalan yang terus berkembang di Negara ini. Agama merupakan satu kesatuan yang fungsinya tidak lagi hanya menjurus kepada kehidupan spiritual atau hubungan antara manusia dengan penciptanya, dalam konteks yang lebih luas agama  telah berkembang menjadi suatu komoditi suatu kaum untuk mencaapai sebuah tujuan.

Di Indonesia sendiri dengan diakuinya beberapa keyakinan, serta aturan dalam undang-undang dasaar 1945 yang menyatakan bahwasanya tiap-tiap warga berhak untuk memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing telah menjadikan agama menjadi suatu kumpulan masyarakat yang kemudian bersatu untuk mencapai sebuah tujuan hidup, sebuah tujuan untuk meletakkan dasar pemikiran yang ada didalam  agamanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi dalam kaitannya agama dan politik memiliki kaitan yang sangat erat, terlebih di Indonesia, agama tidak lagi menjadi suatu antara interaksi manusia dan penciptanya, tapi agama telah menyentuh segala aspek kehidupan manusia, sehingga dalam keadaan apapun agama tidak dapat dipisahkan, agama apapun itu, kepercayaan apapun itu pasti telah meletakkan dasar-dasar pola berfikir dan tata cara berkehidupan dan berinteraksi dengan sesamanya.

2. Rumusan Masalah

Dari penjelasan sebelumnya  muncul suatu pertanyaan tentang keterikatan agama dan politik itu sendiri sehingga dapat lah dirumuskan tentang keterikatan dan keterkaitan antara agama dan politik yaitu :
1.     Apa Faktor yang menyebabkan Agama menjadi suatu hal yang erat kaitannya dengan kehidupan perpolitikan di Indonesia
2.     Apa Hubungan antara agama dan Politik Di Indonesia

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini tidak lain adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan bapak “ …………………………………..” dalam mata Kuliah sosiologi, disamping itu  penulisan makalah ini bertujuan untuk  :
1.     Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan agama menjadi suatu hal yang erat kaitrannya dengan kehidupan berpolitik di Indonesia
2.     Untuk mengetahui hubungan antara agama dan politik di Indonesia
3.     Sebagai referensi atau bahan kajian dalam karya-karya ilmiah berikutnya

                                                                         BAB I                                                                              
PENGERTIAN AGAMA DAN POLITIK
1.   Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka[1].
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim mengemukakan makna agama, merupakan sebuah perbedaan yang sakral dan profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral yang kemudian menjadi  syarat mutlak bagi keberadaan agama sehingga terciptanya ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok[2] Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah. Dalam pandangan sosiologi  Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani)
Mendefinisikan agama secara komprehensif yang mampu merangkum semua aspek nampaknya menjadi suatu permasalahan yang pelik bahkan mustahil untuk dilakukan mengingat luasnya aspek yang terkandung dalam agama itu sendiri. , misalnya ada tidak ada definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan karena agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan).
Agama menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya[3]. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana agama adalah suatu system kelakuan dan perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada terhingga luasnya, dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan kepada alam  semesta yang mengililinya
2.     Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.Istilah politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani) yang artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti
Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.Polites artinya warga Negara.Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.Politicia artinya pemerintahan Negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang adaPengertian politik dari para ilmuwan
Johan Kaspar Bluntschli dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned with the state, which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its essentials nature, in various forms or manifestations its development)[4]. Kosasih Djahiri dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang melihat kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai cara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenrnya setiap individu tidak dapat lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang dapat menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang memengaruhi.
”Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa “Sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golon gan lain. Dalam ilmu politik selalu ada kekuasaan atau kekuatan.” Idrus Affandi mendefinisikan: “Ilmu politik ialah ilmu yang mempelajari kumpulan manusia yang hidup teratur dan memiliki tujuan yang sama dalam ikatan negara.”

BAB III
HUBUNGAN POLITIK DAN AGAMA

A.    Hubungan Agama Dan Politik
Untuk mengkaji mengenai hubungan antara Agama dan Politik terlebih di Indonesia maka akan sangat erat kaitannya bila kita melihat sejarah dan perkembangan  dunia agama sendiri dan pula kehidupan perpolitikan di Indonesia. Salah satu contoh yang memiliki kaitan yang erat antara Hubungan agama dan politik adalah ada dalam sila pertama Pancasila. Sila pertama Pancasila sendiri telah sangat menjelaskan bahwa agama memiliki peranan yang penting dalam tatanan kehidupan berpolitik di Indonesia. “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ merupakan perwujudan kesatuan agama-agama yang ada di  Indonesia, walaupun Islam menjadi Mayoritas di Indonesia, namun dalam penyusunannya Islam juga memahami bahwa Indonesia merupakan Negara kesatuan yang Pluralisme. Sehingga dalam sila pertama Pancasila tidak hanya mencerminkan Islam sebagai Negara mayoritas, melainkan mewakili seluruh elemen kehidupan beragama di Indonesia.
Pada awalnya Kepemimpinan agama berada di garis depan pada arus perubahan masyarakat. Dibeberapa Negara pada pertengahan abad 7 dan Modern ternyata agama tidak dintregaasikan secara penuh, ada dua faktor utama mengapa agama gagal menjadi ideologi penuh atau dasar sebuah Negara. Yang pertama adalah sikap para pemimpin agama untuk menciptakan system pemerintahan religio- politik. Sikap tokoh para pemuka dan pemmpin agama kala itu yang cenderung memilih status quo dengan alas an pilihan ummat sebagamana yang terjadi dalam sejarah terbentuknya bani umayyah. Dalam era modern seperti sekarang partisipasi politik pemimpin agama yang menjadi pemimpin politik  semakin kuat. Kita dapat melihat di Indonesia sendiri dengan bermunculan nya partai-partai yang berasaskan agama tertentu[5]
Yang kedua adalah adanya anggapan bahwa agama harus mandiri dan tidak berfungsi sebagai kekuasaan. Dalam hal ini biasa nya pemimpin agama menenmpatkan agama pada kontteks yang ttidak terlalu luas sehingga dapat dikatakan agama menjadi sebuah simboln kepercayaan tanpa harus ikut terlibat dalam kehidupan pemerintahan maupun bernegara[6].
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat dalam politik praktis. Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum harus dijalankan,
3. Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan diberikan tempat,
5. Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama khususnya Islam. Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha[7]
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua,Memberagamakan warga masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama. Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks.  maka agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada. Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas. Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din), akal (aql), jiwa(nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan. Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik. Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent. 
B.    Pemisahan Agama dan Politik
Uraian di atas memperlihatkan hubungan antara agama dan politik secara teoretis konseptual. Padahal hubungan antara keduanya dalam realitas faktual sangat kompleks. Tidak ada formulasi yang disepakati sejak era kenabian sampai di era modern. Keberagaman formulasi tentang hubungan antara agama dan politik, sesungguhnya terjadi pula pada bangsa lain tergantung pada ideologi yang dianut. Kompleksitas bahkan kekacauan nalar tentang hubungan antara agama dan politik tidak lepas dari kesalahpahaman dalam memahami istilah agama ( itu sendiri. Kemudian diperparah dengan tidak adanya diskusi yang sehat antar berbagai aliran pemikiran. Mereka tidak mau bahkan tidak berusaha untuk saling memahami konsep yang dikemukakan oleh masing-masing. Apalagi mereka juga mencampuraduk antara pengertian kata al-dîn yang bersifat khusus dan yang bersifat umum. Banyak yang berpendapat bahwa politik dan agama harus dipisahkan. Politik dibangun atas kehendak masyarakat sipil yang tidak terkait dengan spritual. Agama menurut mereka bersifat absolut sedangkan politik bersifat relatif. Pendapat ini dibangun atas dasar bahwa agama adalah hubungan ritual (ruhiyah) antara seorang hamba dengan Tuhan. Hakikat agama adalah keimanan yang melekat pada nurani dan hati seseorang. Sebaliknya muncul pendapat lain bahwa agama tak terpisahkan dari politik karena Islam adalah agama komprehensif sehingga tidak mungkin memisahkan kehidupan politik dari agama. Perbedaan tersebut muncul karena kurangnya pemahaman terhadap berbagai istilah dan konsep yang ada. Banyak orang ketika mendengar “pemisahan antara agama dan politik” memahaminya dengan memisahkan politik dari nilai-nilai etis religius. Politik kemudian seakan dikemas berdasarkan selera subyektif dengan melakukan kebohongan dan penipuan. Meninggalkan prinsip keadilan dan kesetaraan untuk kebaikan bersama. Pada sisi lain mereka yang menafikan pemisahan politik dari agama tidak mengapresiaisi berbagai keputusan politik yang dilakukan oleh pihak penguasa atau pemerintah.
Hubungan ideal antara politik dan agama bukan pemisahan yang bersifat permanen, dan bukan pula bersifat kombinatif secara total. Tetapi antara keduanya selalu berdampingan yang tak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki sisi perbedaan dan persamaan. Adalah sulit untuk mengapresiasi konsep yang memisahkan secara total antara agama dan politik dalam masyarakat manapun, baik muslim maupun non-muslim, beragama atau tidak beragama. Karena bagaimanapun, agama telah memberikan sistem nilai dan tolok ukur yang menjadi tujuan mulia bersama, seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, ketransparanan, musyawarah dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Bahkan agama menunggu dari orang-orang yang meyakininya agar mencerminkan akhlak yang terpuji dan menghindari akhlak yang buruk dalam berbagai aktivitas politik. Selanjutnya nilai-nilai sakral dan universal dari agama harus hadir dalam diri seseorang sebabagi pengarah sekaligus pengontrol dalam aktivitas politiknya. Meski demikian, praktik politik harus bebas dan independen dari kekuatan manapun yang mengatasnamakan agama atau otoritas agama. Pembedaan antara agama dan politik, bukan berarti pemisahan secara total atau penyamaan secara total.
Dengan pemahaman seperti ini kita akan dapat mengapresiasi temuan-temuan konseptual dan teoritis dalam bidang politik, dan dalam waktu yang sama akan memposisikan agama sebagai sumber nilai tertinggi yang selalu mengontrol praktik politik di suatu Negara. Agama dalam konteks kemaslahatan ukhrawi, ajaran dan hukumnya bersifat pasti. Tetapi agama dalam konteks kemaslahatan duniawi selalu bersifat dinamis dan baru. Artinya agama dalam maknanya yang umum ini tidak termasuk wahyu atau ketentuan hukum ilahi yang bersifat permanen. Jadi politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beragama yang dinamis. Dengan kata lain, politik harus tunduk pada visi keagamaan secara umum. Pelaku politik praktis harus berkomitmen pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai universal yang terkandung di dalam agama.




[1] Rafael, Raga Maran Pengantar Sosio;ogi Politik P T Rineka Cipta, Jakarta 2007 Hal 231
[2] Abdullah, Taufik & Der Leeden , A. C. Van. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1986. Hal 45

[3] Alwi, Hasan.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2007
[4] Garna, Judistira K..  Materi Kuliah Teori-teori Ilmu Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Hal 150
[5] Soedjatmoko, Etika Pembebasan Pilihan Karangan tentang Agama, LP3ES Cet.I Jakarta , 2005

[6] Ibid
[7] Mudhofir, Ali Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo.2001 Hal. 53

Tags :

bonarsitumorang