JEAN BAUDRILLARD: HIPERREALITAS DAN SIMULACRA
Bicara tentang komunikasi, tepatnya filsafat komunikasi tidak bisa kita
lepaskan dari salah satu filsuf asal Perancis bernama Jean Baudrillard.
Filsafat komunikasi yang dimaksud ialah suatu disiplin yang menelaah pemahaman
secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis kritis, dan holistis
teori dari proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidangnya,
sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya, tekniknya, dan metodenya.
Baudrillard lahir di Reims, Perancis timur laut, pada tanggal 27 Juli 1929.
Pada Tahun 1956-1966, ia menjadi guru sekolah menengah; mengkhususkan pada
teori sosial Jerman dan kesusasteraan. Baudrillard adalah seorang teroris,
provokator, filsuf, sekaligus nabi postmodernitas. Tulisan-tulisannya memiliki
gaya yang khas dan orisinal deklaratif, hiperbolik, aforistik, skeptis,
fatalis, nihilis, namun tajam dan cerdas. Tulisan-tulisan Baudrillard seperti
bom yang meledakkan suasana, dan menyajikan cara pandang baru terhadap realitas
sosial postmodern.
Pada tahun 1962-1963, ia mengulas tulisan-tulisan di Les Temps Moderne,
termasuk sebuah esai tentang Italo Calvino. Pada tahun 1964-1968, ia
menerjemahkan naskah-naskah Jerman kedalam bahasa Perancis, termasuk beberapa
karya dramawan Peter Weiss (Marat/Sade, The German Ideology nya Marx dan
Engels, Messianisme revolutionairre du tiers monde dari Muhlmann) dan Bertold
Brecht. Pada bulan Maret 1965, ia mempertahankan disertasinya “Thèse de
Troisème Cycle” dalam bidang sosiologi, Universitas Paris X – Nanterre yang
diterbitkan menjadi Le systèm des objets. Berperan aktif sebagai intelektual
dalam demonstrasi mahasiswa di Paris, pada bulan Mei 1968. Pada tahun
1970-1976, ia menjadi maître-assistant di Nanterre. Pada tahun 1977-1978, ia
meluncurkan serial provokatif tentang esai antisosialis dan anti postrukturalis
dalam bentuknya yang sangat atraktif, publikasi gaya pamplet yang menutup
kariernya sebagai akademikus dan political outsider. Pada tahun 1995 ia mulai
mengundurkan diri dari kehidupan kampus, tetapi tetap aktif sebagai jurnalis,
esais, dan intelektual profesional bête noir.
Berikut essai-essai yang diterbitkan dari Baudrillard: Understanding Media,
Marshall-McLuhan dalam jurnal Marxis humanis L’homme et la société (1966); Le
système des objets (1967); De la séduction (1980); Simulacres et simulation
(1981); menerbitkan Les stratégies fatales (1982); Amérique (1986); À l’ombre
des majorités silencieuses, ou la fin du social (1978) / In the Shadow of
Silent Majorities or, The End of the Social and Other Essays (1983); L’autre
par luimême (1987); La Guerre du Golfe n’a pas eu lieu (1991); La transparence
du mal (1990), Cool Memories II (1990), dan L’illusion de la fin (1992).
Sebagai seorang sosiolog, Baudrillard menawarkan banyak gagasan dan wawasan
yang inspiratif. Pemikirannya menjadi penting karena ia mengembangkan teori
yang berusaha memahami sifat dan pengaruh komunikasi massa. Ia mengatakan media
massa menyimbolkan zaman baru di mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah
memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru. Sebagai pemikir aliran
postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh komunikasi dalam
masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan ide-ide cukup
kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini. Misalnya
dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya cyber ia
menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi
Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah
kebudayaan sebagai black hole. Ia menyebutnya Simulacra, di mana realitas yang
ada adalah realitas semu, realitas buatan (hyper-reality). Begitulah
Baudrillard memandang hakikat komunikasi massa. Lantas bagaimana pandangan
Baudrillard tentang hakikat komunikasi massa dan aapa sebetulnya yang dimaksud
dengan simulacra dan apa kaitannya dengan proses komunikasi?
Pendahuluan:
Tentang Simulacra
Pemikiran Baudrillard kiranya dapat memberikan kontribusi atas beberapa
pertanyaan yang agak ambisius dibawah ini (walaupun tidak secara langsung):
Bagaimanakah kita dapat menjelaskan krisis multi dimensional yang kita alami
sekarang ini? Apakah untuk hidup kita memerlukan identitas? Bila identitas itu
tidak perlu, apakah kekacauan yang kita alami sekarang ini disebabkan tidak
adanya identitas kita sebagai bangsa? Bagaimanakah pula, berhadap-hadapan
dengan globalisasi – tanpa identitas akankah sirna masyarakat “Indonesia” itu?
Atau sebaliknya dengan ditemukannya suatu formulasi tentang apa yang disebut
“Kebudayaan Indonesia”, dapatlah kiranya menyelesaikan segala kemelut,
mempersatukan bangsa dan kita dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Apakah
ledakan revolusi informatika yang berpusing membentuk galaksi menjadikannya
sebagai chain of signifier tanpa referen yang semakin membesar tanpa batas itu
menentukan segala nilai-nilai kebudayaan kita? Studi tentang pemikiran
Baudrillard berkaitan dengan manusia dan kebudayaan (Indonesia), walaupun tidak
langsung, dapatlah kurang lebih menjelaskan persoalan-persoalan tersebut.
Dasar Teoritis dan Pengaruh-pengaruh Utama
Baudrillard banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh diantaranya Karl Marx,
Frederich Nietzsche, Claude levi-Strauss, Louis Althusser, Georges Batalille,
Marel Mauss, Henri Lafebvre, Jacques Lacan, Roger Caillois, Gilles Deleuze,
filsuf Madzhab Frankfurt, Marshall McLuhan.
Ia pernah bekerjasama dengan Roland Barthes, dalam analisa semiotik dalam
kebudayaan , dalam pertamanya Obyek Sistem (1968). Ia adalah juga dipengaruhi
oleh Marshall McLuhan yang memperlihatkan pentingnya media massa dalam
pandangan kaum sosiologis. Karena dipengaruhi oleh semangat pemberontakan
mahasiswa di Universitas Nanterre (1968), ia bekerja sama dengan suatu jurnal yaitu
Utopie, yang dipengaruhi oleh anarcho-situationism, teori media dan Marxisme
struktural, di mana ia menerbitkan sejumlah artikel teoritis pada suasana
kemakmuran kapitalis, dan kritik teknologi.
Pemikiran Baudrillard juga dipengaruhi oleh pemikiran filsuf lain yang memiliki
pemikiran tentang objectivity and linguistic-sociological interface (Mauss),
Surrealism and Eroticism (Bataille), Psychoanalysis dan Freud, dan terutama
Marxisme. Lalu ia menjadi seorang yang dikagumi sebagai seorang yang mengerti akan
keadaan yang datang pada kondisi posmodernisme.
Filosofi Baudrillard terpusat pada dua konsep “hyperreality” dan “simulation“.
Terminologi ini mengacu pada alam yang tidak nyata dan khayal dalam kebudayaan
kontemporer pada zaman komunikasi massa dan konsumsi massa.
Pokok-pokok
pikiran Baudrillard
Baudrillard mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh
komunikasi massa. Ia mengatakan media massa menyimbolkan zaman baru, bentuk
produksi dan konsumsi lama telah memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang
baru, dunia yang dikonstruksi dari model atau simulacra. Sejak jaman
Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu
counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk
arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau obyek. Pertama,
image merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas.
Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni.
Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard
kemudian menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita
pada tahapan fractal, suatu tahapan transeverything yang mengubah secara
radikal cara pandang kita terhadap dunia.
Pokok masalah pemikiran Baudrillard ini dipengaruhi sejarah perkembangan
industri sejak zaman Renaissance hingga sekarang adalah sejarah simulacra,
yaitu sejarah imitasi, atau reproduksi sehingga menimbulkan persoalan makna,
orisinalitas dan identitas manusia. Kedua, Masyarakat konsumen adalah
masyarakat dalam pertanyaan. Ketiga, Sirnanya realitas “Not into nothingness,
but into the more real than real (the triumph of simulacra)? Keempat,
perkembangan yang pesat dari teknologi diakhir abad 20 dan awal millennium
ketiga ini telah melampaui batasbatasnya dan menjalar keseluruh sendi-sendi
kehidupan manusia dan mengubah secara radikal cara pandang manusia terhadap
dunia. Dipertanyakan kemampuan teori untuk menjawabnya.
Kemunculan
Simulacrum
Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra (gambar, citra atau
penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman). Manusia postmodern
hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, tidak ada yang nyata di luar
simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Nilai guna komoditas dan nilai
imperatif sebuah produksi pun telah digantikan oleh model, kode, tontonan dan
hiperrealisme “simulasi”. Komunikasi lewat media telah membuat orang terjebak
dalam permainan simulacra yang tidak berhubungan dengan “realitas eksternal”.
Kita hidup di dunia simulacra, dunia yang dipenuhi citra atau penanda suatu
peristiwa dan telah menggantikan pengalaman nyata. Ya, kita hidup di dunia yang
penuh dengan simulasi: tidak nyata, tidak asli, dan tidak dapat ditiru. Dunia
tak lagi nyata, karena yang “yang ada “ hanyalah simulasi. Baudrillard
menguraikan bahwa pada jaman kini “masyarakat” sudah sirna dan digantikan oleh
mass atau massa. Massa tidak mempunyai predikat, atribut, kualitas maupun
reference . Pendeknya, massa tidak mempunyai realitas sosiologikal. (Baudrillard:
1978)
Sistem
Obyek-Obyek
Di jaman ini konsumsi telah menjadi basis pokok dalam tatanan sosial
(Baudrillard: 1967). Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu sign function
(fungsi tanda) secara linguistik. Iklan (advertising) telah mengambil alih
tanggungjawab moral atau moralitas puritan masyarakat dan menggantikannya
dengan moralitas hedonistik yang mengacu melulu pada kesenangan. Parahnya lagi,
hedinistik itu telah dijadikan sebagai barometer dari hyper-civilization
(peradaban hiper).
Kebebasan dan kemerdekaan pun akhirnya diperoleh dari sistem komoditas: “bebas
menjadi diri-sendiri” pun lantas diterjemahkan sebagai “bebas untuk
memproyeksikan keinginan seseorang pada barang-barang industri”; bebas
menikmati hidup berarti bebas menjadi orang yang irasional. Mentalitas ini pun
merasuki masyarakat, dan seolah-olah tak terhindarkan, bahkan telah menjadi
keutamaan dalam moralitas masyarakat. Maka sah-sah saja bila individu secara
simultan menyelaraskan kebutuhan dirinya dengan kelompok di sekitarnya. Manusia
pun akan menjadi mahluk sosial yang sempurna. Benarkah ?
Menurut Baudrillard, membeli komoditas adalah tindakan yang sudah direkayasa
sebelumnya dan terjadi pada persilangan dua sistem. Pertama, relasi individual
yang bersifat cair, tak saling berhubungan dengan individu lainnya. Kedua
relasi produksi, yang dikodifikasi, berkelanjutan dan merupakan sebuah
kesatuan. Tentu saja tidak ada interaksi antara keduanya selain integrasi yang
dipaksakan dari sistem kebutuhan kepada sistem produksi. Obyek konsumsi ialah
artikulasi partikular (parole) dari seperangkat ekspresi yang kehadirannya
mendahului komoditas (langue). Dalam sistem ini kita melihat orang yang sedang
membangun menara Babel”: setiap hal berbicara dalam idiomnya sendiri hingga
kehilangan syntax (kalimat) yang benar hingga satu-sama lain bertikai dan
berebut pengaruh. Tentu saja ini adalah suatu sistem klasifikasi dan bukan
suatu bahasa. Kebutuhan (needs) semacam ini diciptakan oleh obyek konsumsi:
obyek bertindak sebagai kategori obyek dengan caranya yang sangat
sewenang-wenang, menentukan kategori manusia. Pada masyarakat (konsumen) obyek
menandai status sosial dan menggantikan segala macam perbedaan hirarki sosial
yang ada. Pengenalan suatu kode universal memberitahukan kepada kita bahwa orang
yang memakai jam Rolex berada pada status sosial yang tinggi dan pemakai ponsel
buatan China sebagai orang biasa-biasa saja.
The Ecstasy
of Communication
“Everything began with objects, yet there is no longer a system of objects”
(segalanya dimulai dengan obyek-obyek hingga tidak ada lagi sistem
obyek-obyek). Pernyataan ini berkenaan dengan obyek sosial pada masyarakat
kapitalis akhir dan suatu ontological metaphor. Seperti halnya St. Yohanes
dalam kepercayaan Gereja Katolik mengatakan dalam injilnya: “In the beginning
was the word” (Yoh 1:1) atau Faust “In the beginning was the deed”. Demikianlah
keberadaan obyek telah mendahului masyarakat. Obyek hadir di luar dan di atas
aspek kegunaaan dan pertukaran. Baudrillard menyebutnya sebagai symbolic exchange,
sesuatu yang menempatkan obyek sebagai cermin dari subyek sebagaimana halnya
cermin (mirror) dan adegan (scene). Cermin dan adegan kini sudah digantikan
oleh monitor (screen) dan jaringan (network). Tidak ada lagi transendensi dan
kedalaman, yang ada hanyalah permukaan fungsional dari komunikasi. Dalam
televisi, prototipe obyek adalah yang paling indah pada jaman ini. Alam dan
tubuh kita pun kini telah berubah menjadi layar monitor.
Konsumsi
Menentukan Status Sosial Seseorang
Dalam sistem kapitalis hubungan manusia telah ditransformasikan dalam hubungan
objek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai
sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari bayaknya tanda
yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau
dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu. Demikianlah kode telah mengambil
fungsi kontrol terhadap individu. Menurut pandangan Baudrillard, proses
konsumsi dapat diaanalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar yaitu: pertama,
sebagai proses signifikansi dan komunikasi yang didasarkan pada peraturan
(kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini
konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Kedua, sebagai
proses klasifiaksi dan diferensiasi sosial di mana kali objek-objek/tanda-tanda
ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode
tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hirarki. Di sini
konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang menentukan kekuatan,
khususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungannya
dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, budaya, dan lain-lain).
Hilangnya
Ruang Publik
Bagi Baudrillard, dunia dewasa ini tidak ada lagi adegan cermin, yang ada
hanyalah layar dan jaringan. Periode produksi dan konsumsi telah membanjiri
jalanan. Manusia abad kontemporer hidup dalam ekstasi komunikasi yang karut
marut, seiring dengan lenyapnya ruang privat. Ruang publik pun tak lagi menjadi
tontonan dan ruang privat pun tak lagi menjadi rahasia. Hapusnya perbedaan
antara bagian dalam dan bagian luar, seiring dengan rancunya batas antara ruang
publik dan ruang privat. Kehidupan yang paling intim, sekarang menjadi penopang
hidup virtual media.
Terbentuknya
Hyperreallity
Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan
keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa;
tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori
kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di
dalam dunia seperti itu.
“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai
sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan
komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan
ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi
sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass
sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut
Baudrillard sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)
Dramatisasi yang dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis, secara umum
dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh pelaku utama
yang mempunyai cerita. Akhirnya menjadi mustahil membedakan yang nyata dari
yang sekedar tontonan. Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show,
kejadian-kejadian nyata semakin mengambil ciri hiper-riil (hyperreal). Tidak
ada lagi realitas yang ada hanyalah hiper-realitas. Dampak yang dihasilkan dari
hiperreality adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang
sebenarnya bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan
pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah
kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Serta
terbentuknya pola pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala
sesuatunya ingin cepat saji.
Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan
dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari
masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena
pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat
menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yang
mereka junjung tinggi.
Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan
banyak sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder, sampai
tertier. Ditemani oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusi
periklanan produk menjadi lebih gencar tambah lagi teknologi informasi yang
memungkinkan pihak pengusaha untuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakat
yang dihadapi, dan pihak konsumen mendapatkan informasi tentang kebutuhan yang
mereka tidak butuhkan tetapi mereka inginkan. Asumsi-asumsi yang terbentuk
dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari
keadaan hiperrealitas ini.
Dari uraian tentang pemikiran Baudrillard diatas maka dapat diperoloeh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, didalamnya citra atau
penanda atau kode atas suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Zaman
simulasi adalah jaman informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes
dan cybernetics.
2. Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu fungsi tanda (sign function)
dalam linguistik. Iklan atau reklame telah mengambil-alih tanggungjawab moral
masyarakat dan telah menggantikan moralitas puritan dengan moralitas hedonistik
yang mengacu hanya kepada kesenangan saja dan menjadikannya sebagai barometer
dari hypercivilization.
3. Secara ontologis, komunikasi (khususnya komunikasi massa) merupakan upaya
untuk mempengaruhi masa untuk mengikuti ritual-ritual ekonomi konsumtif. Secara
epistemologis, proses komunikasi merupakan simulacra. Secara aksiologis,
komunikasi massa dimaksudkan agar masyarakat mengikuti irama kepentingan
ekonomis-politis kapitalisme, sehingga hubungan masyarakat dicitrakan dalam
budaya massa.
Masyarakat
Konsumen
Masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi,
yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan dengan hasrat selalu
dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumsi pandangan bahwa barang
(komoditi) tidak lebih dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan
nilai guna kini pelan-pelan mulai ditinggalkan dan diganti dari komoditas
menjadi tanda dalam pengertian Saussurian. Dengan demikian konsumsi, tidak
dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama sebagai konsumsi
tanda. Dalam masyarakat konsumen hubungan menusia ditransformasikan dalam
hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Objek adalah tanda. Perbedaan status
dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari
bayaknya tanda yang dikonsumsi.
Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan
kelompok sosial tertentu, jadi kode mengambil fungsi kontrol terhadap individu.
Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat diaanalisis dalam
perspektif dua aspek yang mendasar yaitu: pertama, sebagai proses signifikansi
dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik
konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan sistem
pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Kedua, sebagai proses klasifiaksi dan
diferensiasi sosial, di mana kali ini objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan
hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai
yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki. Di sini konsumsi dapat menjadi
objek pembahasan strategis yang menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi
nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya:
pengetahuan, kekuasaan, budaya, dan lain-lain) (Baudrillard, Masyarakat
Konsumsi, 2004).
Simulacra
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan
melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang
tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor
penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat
manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan
melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara
simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality
dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.
Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara
informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik.
Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda(signs/simulacra), hal
ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang
ditawarkan oleh keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan macam
sebagainya.
Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas
telah hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas
tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini
dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur,
silang sengkarut menandakan datangnya era kebudayaan postmodern. Simulasi
mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang
benar dengan yang palsu.
Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard
dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada
“nilai tanda”.
Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan posmodern kita adalah dunia
tanda-tanda yang membuat hal yang fundamental – mengacu pada kenyataan –
menjadi kabur atau tidak jelas.
“In The
Consumer Society Jean Baudrillard outlines how consumers buy into the “code” of
signs rather than the meaning of the object itself. His analysis of the process
by which the sign ceases pointing towards an object or signified which lies
behind it, but rather to other signs which together constitute a cohesive yet
chaotic “code”, culminates in the “murder of reality”. The rupture is so
complete, the absence so resounding, and the code so “totalitarian” that
Baudrillard speaks of the combined “violence of the image” and “implosion of
meaning”. Politics, religion, education, any human undertaking is swept up and
absorbed by this process and ultimately neutralized; any liberating activity
becomes complicit in the reproduction of its opposite. “The code is
totalitarian; no one escapes it: our individual flights do not negate the fact
that each day we participate in its collective elaboration.”
(www.infed.org/thinkers/baudrillard.htm, 2006)
Proses simulasi inilah yang mendorong lahirnya term ‘hiperrealitas’, di mana
tidak ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi
rujukan. Baudrillard memandang era simulasi dan hiperrealitas sebagai bagian
dari rangkaian fase citraan yang berturut-turut:
1. Merefleksikan kenyataan
2. Menutupi atau menyesatkan kenyataan
3. Menutupi ketiadaan dalam kenyataan
4. Menunjukkan tidak adanya hubungan diantara kenyataan manapun dan murni hanya
sebagai simulacrum. (Ritzer, 2003).
Jean Baudrillard menggambarkan dalam tulisannya Simulacra and Simulation bahwa
Disneyland adalah contoh tepat yang menggambarkan kondisi hyperreality.
Baudrillard juga mengatakan bahwa tempat yang paling hyperreality adalah di
gurun pasir dan Amerika. Di kedua tempat itu banyak ditemukan khayalan dan
fatamorgana, yang artinya ketika kita berada di gurun pasir kita akan melihat
khayalan tentang air dan tempat untuk berteduh yang merupakan fatamorgana.
Begitu juga ketika seseorang bermain games, menonton acara televisi, menonton
film yang memiliki cerita menarik dan lain sebagainya. Mereka kemudian
melibatkan emosi dan perasaannya akibat alur cerita dan penokohan yang
dibawakan oleh karakter film dan kemudian terbawa dalam kehidupan nyata
sehingga dia tidak lagi bisa membedakan antara realitas nyata dan realitas yang
dikonstruksikan.
Pemikiran Baudrillard mengenai konsep Simulacra, Simulations dan Hyperreality
sesungguhnya bukanlah sebuah konsep yang terpisah satu dengan yang lainnya
melainkan sebuah proses metamorphosis.
Sekali lagi, simulation menurut pandangan badrillard merupakan tiruan dari
sesuatu objek atau keadaan yang masih dapat dibedakan mana yang asli dan palsu
atau realitas yang sebenarnya dan realitas buatan.
Dalam mengkonstruksi sebuah citra terdapat empat fase, yaitu ketika suatu tanda
dijadikan refleksi dari suatu realitas, ketika suatu tanda sudah menutupi dan
menyesatkan realitas itu sendiri, ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dalam
kenyataan, dan akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan realitas. Fase terakhir inilah yang dikatakan
sebagai suatu simulacra.
Simulacra menurut pandangan Jean Baudrillard menjadi sebuah duplikasi, yang
aslinya tidak pernah ada atau bisa dikatakan merupakan sebuah realitas tiruan
yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya, sehingga perbedaan antara
duplikasi dan asli menjadi kabur. Simulacra bisa juga dikatakan sebagai
representasi, misalnya dilakukan oleh pencitraan. Hyperreality merupakan proses
terakhir dalam konsep yang diperkenalkan oleh Jean Badrillard. Hyperreality
dijelaskan sebagai sebuah dekonstruksi dari realitas real yang sebelumnya,
karena realitas ini akan berbeda dari realitas yang sebelumnya.
Kebudayaan
Postmodern
Konsern utama Baudrillad dalam kajian kebudayaan postmodern didasarkan pada
beberapa asumsi hubungan antara manusia dengan media, yang sebelumnya
pertama-tama dibicarakan oleh Marshall McLuhan. Baudrillard mengatakan media
massa menyimbolkan zaman baru di mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah
memberi jalan bagi semesta komunikasi yang baru (Madan Sarup, 2003).
Membicarakan ‘media’ berarti melibatkan kata ‘massa’, dan memang media massa
memiliki fungsi penting dalam perjalanan kebudayaan postmodern. Media telah
menginvasi ruang publik dan privat, dan mengaburkan batas-batasnya, dan pada
akhirnya media menjadi ukuran baru moral masyarakat mengantikan institusi
tradisional semisal agama. Fungsi media dalam kerangka kapitalisme lanjut adalah
membentuk institusi-institusi baru masyarakat yang disebut budaya massa dan
budaya populer. Tujuan utama pembentukan budaya massa tentu saja untuk
memperoleh keuntungan yang besar melalui penciptaan produk-produk budaya massa
untuk dikonsumsi secara massal pula. Secara umum kajian Baudrillard membentuk
satu kesatuan yang utuh dan sulit dipisahkan. Konsep-konsep dasar yang
dielaborasinya bertaut, mulai dari masalah konsumsi, simulasi, tanda,
hiperrealitas, sampai objek-objek kajian yang biasanya tidak diperhitungkan
dalam kajian sosiologis seperti berahi, tubuh, fashion, televisi, film, seni
dan iklan. Dengan demikian sebenarnya Baudrillard telah memulai babakan baru
dalam study sosiologi dewasa ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Imam, 2001, Galaksi Simulacra, LkiS: Yogyakart
Gunawan, Arief, 2006, Membaca Baudrillard
[http://ariefgunawan.blogspot.com/2006/05/membaca-baudrillard.html]
Lusius Sinurat, Simulacra dan Realitas Semu
[http://5iu5.blogspot.com/2013/07/simulacra-dan-realitas-semu-dalam.html]
Utoyo, Bambang, 2001, Perkembangan pemikiran Jean Baudrillard: dari realitas ke
simulakrum, Perpustakaan Universitas Indonesia: Jakarta
http://www.uta.edu/english/hawk/semiotics/Baudrillard and Simulation.htm.htm
Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Maarisit, Marthen L., Hipersemiotika dan Postmodernisme,
PEMIKIRAN POSTMODERN JEAN BAUDRILLARD
Pendahuluan
Postmodern yang
selama ini menjadi pembicaraan dimana sebuah era modernitas telah berakhir dan
memasuki suatu era baru yaitu postmodernitas. Perubahan yang terjadi misalnya
dalam hal perbedaan sudut pandang dan juga pemikiran yang terjadi sehingga mas
postmodern bukan merupakan suatu masa yang dilihat dari perubahan realitas
tetapi dilihat dalam perubahan sudut pandang dan juga pemikiran.
Jean Baudrillard
adalah seorang postmodernis karena karya-karya yang dia keluarkan memiliki efek
yang luar biasa pada reori social postmodern dan mempengaruhi postmodernis
dalam bidang yang meliputi banyak hal. Tetapi Baudrillard sendiri sangat jarang
menggunakan terma postmodern dan bahkan memusuhinya dalam menggambarkan
orientasinya: “Tidak ada satu hal pun asperti postmodernisme. Jika anda
menafsirkan cara ini, sudah nyata bahwa saya bukan gambaran kehampaan ini...
tidak ada kaitan dengan saya...saya tidak mengakui diri saya dalam semua ini.”
Pemikiran
Baudrillard mengenai sosial telah bubar dan meledak dalam massa artinya faktor
sosial kunci seperti kelas dan perbedaan etnik telah lenyap dalam penciptaan
yang sangat besar, massa yang tidak terbedakan.
Isi
Sebelum membahas
tentang karya Baudrillard yang dibahas ini hanya sebatas konsumerisme dan kode.
Karya Baudrillard sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian yang menitik
beratkan pada masalah ekonomi. Tetapi Marx dan sebagian marxian menfokuskan
pada produksi sedangkan Baudrillard menfokuskan tentang masalah konsumsi.
“Baudrillard tetap pada dasar pendirian teori marxis yang menitikberatkan pada
masalah ekonomi dan proses-proses material dalam analisis cultural dibandingkan
marxis lain saat ini.”(Gane, 1991a: 70-71).
Pada tahapan awal
Baudrillard menggunakan posisi Marxistredisional dan terus terpusat pada
produksi karena dia memandang objek konsumsi sebagai suatu yang diorganisir
oleh tatanan produksi atau dalam arti lain kenyataannya kebutuhan dan konsumsi
adalah perluasan kekuatan produktif yang diorganisir. Meskipun penerimaan yang
nyata dari model super struktur dasar ini. Baudrillard memberikan makna
konsumsi bukanlah tambahan kecil bagi perputaran capital tetapi merupakan
kekuatan produktif yang penting bagi capital itu sendiri.
Pandangan
Baudrillard system objek konsumen dan system komunikasi pada dasar periklanan
sebagai pembentukan sebuah kode signifikansi yang mengontrol objek dan individu
ditengah masyarakat seperti yang diklaim Baudrillard yaitu bahwa objek menjadi
tanda dan nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Ketika kita mengkonsumsi
objek kita juga mengkonsumsi tanda dan dalam konsepnya kita mendefinisikan diri
kita. Melalui objek setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat
masing-masing pada sebuah tatanan dan mendorong tatanan ini berdasarkan garis
pribadi.
Baudrillard
menjelaskan bahwa dalam sebuah dunia yang dikontrol oleh kode
persoalan-persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan atas apa yang
umumnya kita kenal sebagai kebutuhan. Ide kebutuhan berasal dari pembagian
subjek dan objek palsu sehingga ide kebutuhan diciptakan untuk menghubungkan
keduanya itu. Jadi berdasarkan pengulangan penegasan antara subjek dan objek
(subjek butuh objek dan objek adalah yang dibutuhkan subjek). Baudrillard
mencoba untuk mendekonstruksi dikotomi subjek dan objek dan lebih umum lagi
konsep kebutuhan. Kita tidak membeli apa yang kita butuhkan tetapi membeli apa
yang kode sampaikan pada kita tentang apa yang seharusnya kita beli. Lebih jauh
lagi kebutuhan kita sendiri ditentukan oleh kode jadi kita menentukan kebutuhan
atas apa yang disampaikan kode pada kita tentang apa yang dibutuhkan.
Konsumsi juga
tidak ada kaitannya atas yang secara umum kita pahami sebagai suatu realitas,
malahan konsumsi berkaitan dengan kepemilikan yang sistematis dan tidak
terbatas tanda objek konsumsi. Dan dalam masyarakat konumen yang dikontrol oleh
kode hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan dengan objek terutama
konsumsi objek. Objek-objek itu tidak memiliki makna karena kegunaa dan
keperluan tetapi memiliki makna sendiri sebagai tanda daripada nilai guna atau
nilai tukar dan konsumsi tanda-tanda objek ini menggunakan bahasa yang kita
pahami. Komoditas dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan,
kekuasaan dan sebagainya.
Baudrillard juga
menyelidiki tetang masalah dunia fashion sebagai sebuah paradigma kode. Dalam
dunia fashion semua yang kita lihat adalah permainan sederhana penanda-penanda
dan akibatnya hilanglah setiap sistem rujukan. Fashion tidak menciptakan
apa-apa juga tidak merujuk pada sesuatu yang nyata bahkan tidak menggiring
kemanapun tetapi hanya menciptakan suatu kode. Fashion juga tidak memiliki
nilai moralitas dan cenderung menyebar laksana virus dan kanker.
Meskipun fashion
menggambarkan dominasi kode dan juga komoditas dan simulasi ia juga dalam satui
pengertian merupakan ancaman bagi system. Fashion adalah salah satu bidang yang
bercirikan permainan ketimbang kerja, ia adalah dunia ilusi. Ia bermain dengan
sesuatu misalnya kebaikan dan kejahatan, rasionalitas dan irrasionalitas.
Fashion ini mengendalikan orang muda zaman sekarang sebagai perlawanan bagi
setiap bentuk perintah, perlawanan tanpa ideologi, tanpa tujuan.
Penutup
Jadi
konsumerisme dan fashion merupakan pengkodean atau penyimbolan yang mengsugesti
masyarakat dan dapat merusak suatu system serta tatanan yang ada dalam
masyarakat
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009