Konflik Sosial Dalam Pengembangan Sektor Perkebunan di Sumatera Utara
Pada
dasarnya tidak ada masyarakat yang mengalami suatu kemandegan. Artinya
masyarakat senantiasa dalam kondisi berubah dan berkembang. Demikian pula
masyarakat yang selalu mengalami perkembangan. Menyimak aspek historisnya pengembangan
perubahan perkebunan sejak berakhirnya tanam paksa telah membawa konsekuensinya
semakin terbukanya kesempatan bagi
pemilik modal swasta Barat untuk mempergunakan tanah-tanah penduduk dalam usaha
perkebunan mengakibatkan meningkatnya sewa tanah (Nadio: 1907).
Dalam
perubahan tersebut, masyarakat perkebunan rentan dengan konflik. Tumpang tindih
dalam pengurusan/ penyelesaian tanah-tanah berkaitan dengan lahan perkebunan,
terutama dalam pendistribusian tanah baik itu dalam pembuatan surat-surat tanah
juga untuk siapa dan apa keuntunganya. Perubahan
sosial disatu pihak dapat mengandung arti proses perubahan dan pembaharuan
struktur sosial, sedangkan dipihak lain mengandung makna perubahan dan
pembaharuan nilai (Alfian,1986).
Kasus pertanahan di Sumatera Utara
khususnya di daerah perkebunan mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sumatera
Utara yang sebelumnya disebut sebagai Sumatera Timur memang daerah perkebunan
yang menjadi rebutan kalangan investor asing terutama investor swasta Belanda
dengan kekuatan Belanda sebagai penjajah di Indonesia. Sengketa dan perbedaan
kepentingan pertanahan antara petani dan masyarakat dengan perkebunan sangat
rumit dan unik. Hal tersebut tidak terlepas dari situasi di Sumatera Utara yang
secara kultur didukung dengan heteroginitas suku dan tarik menarik kepentingan
akibat kebutuhan ekonomi, baik investor asing maupun tuntutan masyarakat (Alwi, Afrizan, 2006:78 –
79)
Konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan Inggris di Kalimantan.
Ketegangan
antara perusahaan perkebunan HSL dan masyarakat adat di daerah Manis Mata,
Kalimantan Barat terus meningkat. Pada bulan Juli, perusahaan milik Inggris
tersebut mulai membebaskan tanah adat penduduk desa Terusan, walaupun
masyarakat telah berulang kali menyatakan penolakan mereka secara
bersungguh-sungguh terhadap kelapa sawit. Sengketa tanah ini berlanjut menjadi
perkara terhadap hak atas tanah adat. ( http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/konflik-antara-masyarakat-dan-perusahaan-perkebunan-inggris-di-kalimantan 1 diakses pada
tanggal 17 September 2015)
Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekwensi lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola kehidupan saling mempengaruhi
Konflik pertanahan telah berlangsung sejak
zaman kolonial hingga saat ini. Khususnya dalam areal perkebunan yang berasal
dari konsensi yang diberikan sultan kepada perusahaan perkebunan (onderdeming)
diatas tanah ulayat.
Konflik adalah sebuah sisi lain dan
menjadi bagian aspek seluruh kehidupan masyarakat. Ada tiga unsur yang termuat
dalam konflik. Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan
sosial, sehingga konflik bersifat inheren,
artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang waktu, di mana saja
dan kapan saja. Konflik sosial mengasumsikan beragam bentuk (Elly M. Setiadi
dan Usman Kolip 2011: 347). Kompetisi menunjukkan konflik atas kontrol sumber
daya atau keuntungan yang dikehendaki pihak lain (Brian S. Tunner, 2010:105). Konflik perkebunan kian
meningkat seiring dengan perluasan lahan.
Serupa dengan Marx,
Simmel (termasuk juga Weber) juga memandang bahwa gejala konflik merupakan
sesuatu yang tidak terhindarkan dalam suatu masyarakat, namun memainkan peranan
positif dalam mempertahankan masyarakat dan memupuk rasa persatuan. Namun
Simmel tidak sependapat untuk melihat struktur sosial sebagai sistem yang hanya
terbagi menjadi dua strata—kelas dominan dan subordinat—tetapi lebih sebagai
proses asosiatif dan disosiatif yang bercampur dan tidak dapat saling dipisahkan.
Pemisahan hanya dapat dilakukan dalam tingkat analisis, bukan pada level
realita (Surata dan Andrianto, 2001: 16).
Justru
menekankan perhatiannya pada fungsi atau konsekuensi konflik dalam suatu sistem
sosial. Pandangan teoretiknya tertuju kepada teori fungsional yang digunakan
untuk membahas masalah perubahan sosial dan dinamika historis.
Perhatian
Coser umumnya ialah memperlihatkan bahwa konflik tidak harus merusak atau
bersifat disfungsional, melainkan mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif dan
menguntungkan sistem sosial di mana konflik itu terjadi (Johnson, 1990: 195).
konflik yang menyangkut relasi-relasi
pertentangan yang objektif dan struktural itu, justru dapat menyumbang menuju
ke arah kelestarian kelompok dan mempererat relasi antaranggota kelompok
tersebut (Garna, 1992: 67).
Lewis Coser menyebutkan beberapa konflik
sosial diantaranya konflik dapat memberikan solidaritas kelompok yang agak
longgar, menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas
itu bisa menghantarnya kepada aliansi-aliansi dalam kelompok, menyebabkan
anggota-anggota masyarakat yang terisolasi menjadi berperan secara aktif dan
konflik juga bisa berfungsi untuk komunikasi dan tukar menukar pikiran (Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011:372)..
Konflik merupakan
bagian dari dinamika sosial yang lumrah di setiap interkasi sosial dalam
tatanan pergaulan keseharian masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu
proses menuju penciptaan keseimbangan sosial. Proses perubahan dalam dimensi
budaya, politik, ekonomi, sosial yang berdampak secara kelembagaan dan
ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Makna politiknya adalah Rakyat yang diadu domba sebagai
bentuk ketidakmauan pengusaha dan pemerintah untuk melaksanakan pembaruan
agraria. Konflik agraria ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan
saja jika pembaharuan undang-undang agraria tidak dilaksanakan. konflik agraria
di Indonesia akan tetap ada bahkan akan terus menjadi gelombang yang semakin
membesar.
Oleh karena itu
dari gambaran dan realita di atas dibutuhkan faktor
penyebab konflik perkebunan dipicu oleh keterbatasan lahan sehingga lebih mudah
menimbulkan konflik di daerah. Lain halnya, kalau lahan masih tersedia maka
potensi konflik tidak terlalu besar. Selain itu, faktor kesejahteraan
masyarakat juga mendorong konflik yang terjadi di perkebunan. Konflik
sosial dalam pengembangan sektor perkebunan di Sumatera Utara sangat dibutuhkan
dalam membangunan perkebunan.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009