MENGURANGI KEMISKINAN MELALUI INTERNALISASI MODAL SOSIAL PADA MASYARAKAT MISKIN DI DESA HUTA GALUNG KECAMATAN PARLILITAN KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan
merupakan permasalahan kompleks yang banyak dihadapi oleh negara-negara
berkembang salah satunya Indonesia. Tidak hanya karena masalah kemiskinan sudah
ada sejak lama, namun juga merupakan kemiskinan belum juga dapat diselesaikan
hingga saat ini. Dibutuhkan kinerja
dan memperbanyak kebijakan dalam penghapusan budaya kemiskinan.
Kemiskinan
bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan fenomena
sosial yang menjadi atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga
merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara yang maju yang
memiliki atribut sebagai negara modern. Kemiskina selalu identik dengan negara
dunia ketiga yang selalu melekat dengan strukturnya. Kemiskinan juga merupakan
momok yang belum bisa terselesaikan di Indonesia, begitu banyak kebijakan yang
telah dilakukan oleh pemerintah, namun belum bisa terhindar dari lingkaran
kemiskinan.
Kemiskinan memang sudah ada sejak
jaman dulu. Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang banyak dihadapi
oleh negara-negara berkembang salah satunya Indonesia. Dalam konteks masyarakat
Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan
untuk dikaji secara terus menerus. Tidak hanya karena masalah kemiskinan sudah
ada sejak lama, namun juga merupakan kemiskinan belum juga dapat diselesaikan
hingga saat ini. Bahkan, dewasa ini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan
krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Masalah
kemiskinan yang membelenggu sebagian
besar masyarakat dari periode-periode tetap menajdi “pekerjaan rumah” bagi
pembuat keputusan atau pemerintah.
Kemiskinan
di Indonesia terus meningkat semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Berdasarkan
data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, krisis ekonomi
yang kita pernah alami itu mengakibatkan kenaikan angka kemiskinan menjadi
45,90 juta atau sekitar 24,23 % dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia pada
tahun 1998 (http:www.tnp2k.go.id).
Jumlah penduduk miskin di Sumatera
Utara pada September 2014
sebanyak 1.390.000 orang (10,39%), angka ini bertambah sebanyak 51.600 orang
bisa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin Maret 2014 yang berjumlah sekitar
1.339.200 orang 910’06%). Selama jangka waktu Maret-September 2014, penduduk miskin di
daerah perdesaan bertambah 16.500 orang (dari 685.100 orang pada Maret 2014 menjadi 701.600 orang
pada September 2014),
sedangkan di daerah perkotaan bertambah menjadi 35.100 orang (dari 654.100
orang pada Maret 2014
menjadi 689.200 orang pada September 2014).
Penduduk yang miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 10,45 persen,
naik dibanding Maret 2014
yang sebesar 9,98 persen. Begitu juga dengan penduduk miskin di daerah
perdesaan, yaitu dari 10,13 persen pada Maret 2013 naik menjadi 10,33 persen
pada September 2014.
Desa Huta Galung Kecamatan
Parlilitan Kabupatan Humbang Hasundutan merupakan desa yang berada jauh dari
Kota Medan dan desa yang terpencil. Berdasarkan data dari daerah desa Hutagalung
adalah terdiri dari 655 kepala keluarga. Desa Hutagalaung merupakan secara umum
bermatapencaharian sebagai petani. Tanaman paling banyak di desa ini adalah
padi. Tingkat pendidikan yang ada di desa ini masih PAUD, SD, Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Daerah ini merupakan bagian desa dari Kecamatan Parlilitan, yang
berjarak 16 km dari Kecamatan Parlilitan.
Daerah ini masih kenal dengan kebudayaan yang menganut tradisi dan adat
istiadat. Dalam data desa, sekitar 480
adalah tergolong miskin. Data ini bisa dilihat dari banyaknya jumlah kepala
keluarga yang menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) pada tahun 2013.
Oleh
karena itu, untuk penghapusan kemiskinan gagasan penulis yang ingin sampaikan
adalah Mengurangi Kemiskinan Melalui
Internalisasi Modal Sosial Pada Masyarakat Miskin di
Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Dalam tulisan ini akan diberikan penjelasan dan jalan
keluar yang mungkin bisa bermanfaat adalah, masyarakat menerapkn modal sosial
yang ada dan telah disediakan oleh masyarakata itu sendiri.
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1. Tujuan:
Tujuan
dari gagasan ini adalah:
1) Memberikan penjelasan terhadap keadaan masyarakat miskin
di Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupaten
Humbang Hasundutan
2) Memberikan solusi terhadap kenyataan kemiskinan dengan
cara menerapkan modal sosial yang ada di dalam diri masyarakat untuk mengurangi
kemiskinan.
3) Mengubah pandangan dan juga sifat menerima apa adanya
dalam masyarakat, menggunakan pendekatan para ahli sosiologi.
4) Memberikan penjelasan bahwa lewat modal sosial,
masyarakat bis berkembang dengan sendirinya.
1.2.2. Manfaat:
Manfaat
dari gagasan ini adalah:
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pada dunia pendidikan terutama pada departemen Sosiologi. Penelitian
ini juga merupakan salah satu proses pembelajaran bagi peneliti itu sendiri
untuk dapat membuat penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama untuk mendapatkan beasiswa PPA dan menjadi
syaratnya adalah membuat PKM (Proposal Karya Ilmiah).
BAB II
GAGASAN
Menjadi objek gagasan dalam tulisan ini adalah dengan
memberikan penjelasan dan kakteristik, mengapa masyarakat Hutagalung, Kec.
Parlilitan, Kab. Humbang Hasundutan masih tergolong masyarakat yang miskin? Anggapan
ini bisa diperjelas dengan melakukan perbandingan antara ciri-ciri budaya
kemiskinan yang diungkapkan Oscar Lewis dengan yang ada di masyarakat Hutagalung.
1. Tingginya
tingkat kepasrahan nasib, mereka menganggap bahwa kemiskinan merupakan garis
takdir dari Tuhan. Peneliti seringkali mendengar warga berkata “kalau sudah
segitu rejekinya ya sudahlah tak perlu dipermasalahkan” mereka menganggap bahwa
rejeki mereka sudah diatur tuhan dan seberapa pun berusaha mungkin tidak akan
merubah apa yang akan mereka dapatkan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari,
mereka sering sekali tidak menghiraukan apa yang mereka dapatkan atas pekerjaan
itu. Artinya yang penting bisa makan.
2. Sarana
yang diberikan pemerintah kurang memadai dalam pertanian yang ada di desa ini.
Semua alat pertanian tidak disediakan pemerintah dalam mencapai cita-cita
petaninya.
3. Banyaknya
masyarakat di desa Huta Galung, yang belum mengecap pendidikan. Ini
bisa dibuktikan banyaknya
keluarga yang belum peduli terhadap pendidikan.
4. Rendahnya
semangat dan dorongan dalam meraih kemajuan, masyarakat Huta Galung cenderung
kurang bersemangat dalam memperbaiki hidupnya, ada banyak sekali keluarga yang
tidak secara sungguh-sungguh dalam mencari nafkah. Mereka malas dalam melakukan
pekerjaannya.
5. Lemahnya
daya juang untuk mengubah kehidupan, masyarakat Desa Huta Galung tidak memiliki
usaha lebih untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang mereka rasakan, mereka
hanya bekerja di ladang atau di sawah seberapa mereka ingin. Kemudian dari
hasilnya, setiap keluarga monoton dalam mengharaapkan hasilnya, ini bisa
dibuktikan dengan masyarakat atau kelaurga tidak menambah jam kerja dan
menambah pertanian yang mereka inginkan.
6. Lemahnya
aspirasi untuk membagngun kehidupan yang lebih baik, sesuatu yang sangat
memprihatinkan sekali di desa ini adalah kurangnya aspirasi mereka terhadap
pemilihan rakyat. Masyarakat di desa ini, masih jauh dari pengetahuan tentang
politik. Maka, sering sekali dalam pemilihan mereka tidak perduli.
7. Respon
yang pasiff pada kesuliatn ekonomi, masyarakat cenderung tidak banyak berusaha
untuk menghadapi kesulitan ekonomi mereka, para ibu sering sekali melakukan
peminjaman uang ketika kesulitan untuk belanja mingguan. Hal ini mempersulitkan
masyarakat untuk maju dan berjuang dari kemiskinan. Para bapak dinilai tidak
baik dalam menjalani pekerjaan di ladang. Ini karena masyarakat kurang
pendidikan dalam mengolah pertanian, sehingga tidak menghalsilkan kebutuhan
sehari-hari.
8. Jalan
yang masih banyak berlubang menuju desa ini. Selain daripada itu jauhnya desa
dari jangkauan pemasaran hasil pertanian yang meraka miliki. Masyarakat
cenderung menjual dengan harga yang murah di desa itu sendiri. Sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan apa yang selayaknya.
Berdasarkan
data dan pengamatan peneliti di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian di Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang
Hasundutan. Menurut
Oscar Lewis dalam Astika (2010) budaya kemiskinan terbentuk melalui situasi
yang mengelompokkan masyarakat dalam dua kategori yang miskin dan tidak miskin.
Budaya kemiskinan melahirkan sebuah kategori yang memunculkan ciri-ciri khusus,
seperti rendahnya semangat
dan dorongan dalam meraih kemajuan, lemahnya daya juang untuk mengubah
kehidupan si miskin itu sendiri, lemahnya motivasi kerja, respon yang tidak
jelas dalam menghadapi kesulitan ekonomi, tingginya tingkat kepasrahan,
lemahnya aspirasi dalam meningkatkan kehidupam yang lebih baik, cenderung
mencari kepuaan yang sesaat yang digunakan hanya untuk masa sekarang dan tidak
berorientasi pada masa depan.
2.1. Solusi Terhadap Masyarakat Miskin di Desa Hutagalung
Lima
asset yang biasa digunakan oleh para pengentas kemiskinan untuk mempelajari
cara yang paling tepat dalam usaha mengurangi jumlah masyarakat miskin itu,
yaitu:
1. Asset financial atau
modal keuangan, modal ini dapat berupa persediaan uang yang dimiliki oleh
invidu untuk dapat memulai kegiatan pembuat mata pencarian mereka sendiri.
Modal keuangan biasanya dapat diperoleh dari tabungan, pinjaman, ataupun
pemberian dari pemerintah.
2. Human capital
atau modal manusia, modal manusia merupakan keterampilan, pengetahuan,
kemampuan tenaga kerja dan kesehatan yang baik. Modal manusia sangat menentukan
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat karena merupakan subjek yang
akan melakukan kegiatan perubahan.
3. Natural capital
atau modal alam, modal alam merupakan sumber daya yang ada di sekitar tempat
tinggal individu dan dapat dimanfaatkan seperti: tanah yang subur, kekayaan
alam (yang dapat digunakan untuk sektor pariwisata), keanekaragaman hayati, dan
lain-lain.
4. Modal
fisik atu infrastruktur, modal fisik merupakan ketersediaan dari barang-barang
dasar yang dibutuhkan dalam upaya mendukung mata pencaharian. Infrastruktur
yang ada diharapkan dapat mengubah individu.
5. Sosial capital
atau modal sosial, modal sosial merupakan jaringan yang dimiliki individu dalam
menjalankan usahanya. Jaringan yang dimaksud dapat dikembangkan dalam kategori
seperti: jaringan dan berhubungan baik vertikal atau horizontal yang
meningkatkan kepercayaan dan kemampuan dalam bekerja sama memperluas akses
mereka terhadap asset lainnya, hubungan kepercayaan timbal balik dan pertukaran
yang memfasilitasi kerjasama serta mengurangi biaya transaksi dan dapat
memberikan dasar bagi jaring pengaman informal di antara masyarakat.
2.2. Modal
Sosial
Menurut Light
(Masik, 2005) modal sosial merupakan salah
satu dari 5 (lima) modal yang ada di
masyarakat yaitu Financial Capital,
Physical Capital, Human Capital, Cultural Capital dan Social Capital. Menurut Putnam (SiisiƤinen, 2000) modal sosial adalah jaringan kerja dan norma
sosiasi timbal balik yang memiliki nilai. Sedangkan menurut Fukuyama (2002), modal sosial
adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama
di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya
kerjasama di antara mereka. Modal sosial merupakan potensi dan
kekuatan yang bila didayagunakan secara baik akan memberikan kontribusi positif
terhadap pembangunan.
Modal Sosial
![]() |
|
:
1. Participation in a
network. Kemampuan sekelompok orang untuk
melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi
hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip
kesukarelaaan, kesamaan, kebebasan, dan keadaban.
2. Reciprocity. Kecenderungan saling tukar
kebaikan antar individu
dalam suatu kelompok atau antar
kelompok itu sendiri yang terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan
jangka pendek dengan nuansa altruism
tanpa mengharapkan imbalan.
3. Trust.
Suatu bentuk tindakan kolektif yang didasari sikap saling percaya dalam
interaksi sosial yang didasari
oleh perasaan yakin
bahwa orang lain
akan melakukan sesuatu seperti
yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung demi kemajuan bersama.
4. Social norms. Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi
dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan
ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi, dipahami sebagai
penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada
sangsi sosial yang diberikan jika melanggar.
5. Values.
Sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota
kelompok masyarakat yang mempengaruhi tindakan
dan perilaku masyarakat.
6. Proactive action. Keinginan
yang kuat dari
anggota kelompok untuk
mencari informasi tentang berbagai pengalaman, memperkaya ide,
pengetahuan, dan beragam
bentuk inisiatif lainnya yang berguna dalam membangun
masyarakat.
Salah satu kunci keberhasilan
membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu
asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan
sosial. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain
melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas
prinsip kesukarelaan (voluntary),
kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Kemampuan anggota anggota
kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang
sinergitas akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal
sosial suatu kelompok.
Satu ciri khas teori
jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro.
Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu tetapi mungkin pula
kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan ini dapat terjadi di tingkat
struktur sosial skala luas maupun di tingkat yang lebih mikroskopik. Jaringan
sosial tidak hanya digunakan sebatas suatu alat pelengkap untuk mencatat dan
mengorganisasikan data dalam sebuah penelitian belaka, melainkan sebagai suatu
alat analisis, yang bertujuan untuk menglasifikasikan tipe-tipe ikatan antar
individu dan memilah-milah pola-pola yang dibentuknya dalam ikatannya atas
ketidakleluasaam pola perilaku, sikap dan tindakan bagi para pelaku yang
merupakan bagian dari jaringan (Agusyanto, 2007).
Konsep jaringan
dalam modal sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antara simpul yang bisa
berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian
adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana
kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep
jaringan ini, terdapat unsur kerja yang melalui media hubungan sosial menjadi
kerjasama. Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling
tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam
melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. Intinya, konsep jaringan dalam modal
sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang
memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Untuk mewujudkan berbagai
hal, seringkali orang memilih untuk berbicara dengan orang yang mereka kenal.
Minta bantuan teman, keluarga, atau kenalan yang dapat dipercaya jauh lebih
mudah daripada berurusan dengan birokrasi, dan hasilnya lebih memuaskan. Hal
ini menjadikan jaringan yang dimiliki orang benar-benar penting. Namun, dengan
mengenal orang saja belumlah cukup, perlu adanya rasa memiliki kesamaan satu
sama lain. Jika memiliki kesamaan nilai, mereka lebih cenderung bekerja sama
untuk mencapai tujuan (Field, 2010).
Menurut Fukuyama (1995),
kerjasama yang ada dalam modal sosial membentuk suatu organisasi di mana para
anggotanya secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak individunya untuk
bekerja bersama-sama mencapai suatu tujuan, berdasarkan aturan-aturan yang
disepakati. Kesepakatan tersebut menyebabkan setiap orang melaksanakan
kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama
lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya.
Bukan hanya itu
saja, akan tetapi msih banyak hal yang bisa menjadi acuan dalam mengurangi
kemiskinan. Yaitu, nilai
adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota
kelompok masyarakat. Nilai dipahami sebagai gagasan mengenai apakah suatu
pengalaman berarti, berharga, bernilai dan pantas atau tidak berarti, tidak
berharga, tidak bernilai dan tidak pantas (Damsar, 2013). Nilai berkaitan
dengan ide yang dimiliki secara bersama tentang sesuatu itu baik atau buruk,
diharapkan atau tidak diharapkan. Nilai ini dibentuk oleh masyarakat dan
dianggap penting. Nilai-nilai dalam modal sosial yang sering dipakai oleh para
pelaku wisata seperti budaya kerja, disiplin, kreatifitas, keramahtamahan dan
lain sebagainya. Nilai-nilai ini diyakini dan diaplikasikan dalam kehidupan
seseorang terkhusus untuk menguraangi kemiskinan.
2.3. Internalisasi
Internalisasi
merupakan sebuah proses sosialisasi yang berlangsung sepanjang hidup individu
dimulai saat individu dilahirkan sampai akhir hayatnya. Individu menjalani
kehidupannya dengan cara melakukan proses pembelajaran dalam mengolah berbagai
perasaan yang tercipta, nafsu, hasrat, atau emosi yang kemudian membentuk
kepribadian individu tersebut. Internalisasi dapat diartikan sebagai perasaa
pertama yang diarasakan ketika bayi dilahirkan, perasaan ini bisa dicontohkan
sebagai rasa puas ataupun tidak puas yang menyebabkan seoarang bayi menangis.
Secara
etimologis internalisasi berasal dari kata “intern” atau kata “internal” yang
berarti bagian dalam atau di dalam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002:439) internalisasi adalah penghayatan terhadap suatu ajaran doktrin atau
nilai sehinggga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau
nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Internalisasi merupakan
pengaturan ke dalam pikiran atau kepribadian atas perbuatan nilai-nilai patokan
–patokan, ide, atau praktek-praktek dari orang-orang lain menjadi bagian dari
diri sendiri. Internalisasi merupakan sebuah proses pemasukan nilai pada
seorang yang kemudian akan
membentuk kepribadiaanya dalam melihat makna realita pengalaman. Nilai-nilai
tersebut biasanya terjadi dari berbagai aspek baik agama budaya agama, budaya,
norma sosial dan lain-lain. Pemaknaan atas nilai kemudian mewarnai pemaknaan
dan penyikapan manusia terhadap diri, lingkungan, dan kenyataan di
sekelilingnya, Blumer dalam Poloma (2003:258) menyatakan ada tiga premis dalam
intraksi, yaitu:
1. Manusia
bertindak terhadap suatu berdasarkan makna sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna
tersebut berasal dari interaksi seseorang tersebut kepada orang lain.
3. Makna-makna
tersebut akan disempurnakan selama proses interaksi berlangsung.
Blumer
dalam Poloms (2003:260) menjelaskan bahwa manusia bukan hanya bertindak atas
kekuatan luar saja, dan bukan pula hanya berdasarkan kekuatan dalam saja.
Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, menyatakan objek-objek yang
diketahui melalui apa yang disebut Blumer sebagai “self indication” atau sebuah proses di mana individu mengetahui
sesuatu, menilai, dan memberikan makna, kemudian memutuskan unuk bertindak
berdasarkan makna tersebut.
Koentjaraningrat
(2002:228) mengatakan bahwa proses internalisasi adalah sebuah proses panjang
sejak individu dilahirkan, sampai ia hampir meninggal di mana individu tersebut
belajar, menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, nafsu, hasrat, serta
emosi yang ada dalm kepribadian individunya, tetapi wujud pengaktifan diri
berbagai macam isi kepribadianya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam
stimuli yang ada di luar individu baik di di dalam lingkungan alam, sosialnya,
maupun budayanya.
Internalisasi budaya kemiskinan
didapat individu pertama kali melalui keluarga. Anak dari keluarga yang
memiliki budaya kemiskinan akan menyerap nilai yang ada dalam keluarganya
dijadikan pedoman hidupnya. Kemudian budaya kemiskinan tersebut akan tertanam
dari lingkungan sosial sebagai tahap selanjutnya dari agen sosial yang
membentuk perilaku individu.
Gagasan yang ditawarkan dengan
melakukan internalisasi modal sosial yang sudah dimiliki masyarakat menjadi
lebih baik dan bisa bekerja tanpa campur tangan dari pemerintah. Realita kemiskinan yang disebabkan
oleh budaya struktural dan juga masyarakat yang masih belum tahu jalan keluar
kemiskinan. Tulisan ini akan menawarkan beberapa jalan dan alternatif agar bisa
keluar dari lingkaran kemiskinan. Adapun jalan itu adalah dengan memusatkan
perhatian terhadap wadah dari proses-proses sosial, pola-pola interaksi serta melengkapi
unsur-unsur pokok dalam masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Pokok perhatian dalam tulisan ini
adalah dengan memberikan karakteristik, budaya kemiskinan dan juga mermberikan
jalan keluar dengan internalisasi modal sosial. Masyarakat yang begitu luas,
memiliki potens yang bisa dikembangkan sendiri. Sehingga kemiskinan itu bisa dilepaskan dari masyarakat melalui
internalisasi aspek dan peluang yang bisa dicapai dalam mencapai masyarakat
yang lebih maju.
Participation
in a network. Kemampuan sekelompok orang untuk
melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi
hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip
kesukarelaaan, kesamaan, kebebasan, dan keadaban. Dalam hal ini masyarakat Hutagalung harus bisa memanfaatkan dan langsung
berpartispasi demi terwujudnya masyarakat yang lebih maju. Reciprocity. Kecenderungan saling tukar
kebaikan antar individu
dalam suatu kelompok atau antar
kelompok itu sendiri yang terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan
jangka pendek dengan nuansa altruism
tanpa mengharapkan imbalan.
Trust.
Suatu bentuk tindakan kolektif yang didasari sikap saling percaya dalam
interaksi sosial yang didasari
oleh perasaan yakin
bahwa orang lain
akan melakukan sesuatu seperti
yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung demi kemajuan bersama. Social norms. Sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan
diikuti oleh masyarakat dalam
suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi,
tidak tertulis tapi, dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam
konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika
melanggar.
Selain itu yang perlu
dibahas adalah Values.
Sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota
kelompok masyarakat yang mempengaruhi tindakan
dan perilaku masyarakat. Demikian juga Proactive action. Keinginan
yang kuat dari
anggota kelompok untuk
mencari informasi tentang berbagai pengalaman, memperkaya ide,
pengetahuan, dan beragam
bentuk inisiatif lainnya yang berguna dalam membangun
masyarakat.
Dengan menginternalisasikan aspek-aspek modal sosial yang
sudah ada dalam masyarakt Hutagalung, setidaknya sudah menjadi solusi yang
ditawarkan untuk mengurangi angka kemiskinan yang ada. Sehingga dalam
penerapanya masyarakat bisa lebih mndiri dan mengetahui apa saja peluang yang
bisa dilakukan untuk mengurangi kesengsaraan mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rohidi,
Tjejep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang
Miskin: Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nusantara.
Shadily,
Hassan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta
Soekanto,
Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kollip,
Elly M. Setiadi. 2011. Pengantar
Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Pemahaman Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya). Jakarta: Kenacana Prenada Media Group
Poloma,
M Margaret. 2003. Sosiologi Kontemporer,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zubeirsyah,
Nurhayati. 2008. Bahasa Indonesia dan
Teknik Penyusunan Karangan Ilmiah. Medan: Universitas
Sumatera Utara Press (USU PRESS)
Taneko,
Soleman. 1986. Konsepsi Sistem Sosial
Indonesia dan Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV Fajar Agung
Damsar
dan Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi
Ekonomi. Jakarta : Kencana.
Lawang,
R.M.Z, 2005. Kapital Sosial: Dalam
Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press.
Wirutomo, dkk. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Astika,
Ketut Sudana. 2010. Budaya Kemiskinan di
Masyarakat: Tinjauan Budaya Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Kemiskinan di
Mayarakat Denpasar. Jurnal Ilmiah
FISIP Universitas Udayana Volume 1 No. 01 Tahun 2010
Suyanto,
Bagong. 2008. Perangakap Kemiskinan dan
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Jakarta: Jurnal
Kebijakan Publik edisi 3 November 2008.
Tunner, Bryan, dkk. 2010. Kamus
Sosiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human
Capital. American Journal of Sociology 94 (Supplement), S95–S120.
Putu Agus Prayogi, Jurnal
Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.69 Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya
SiisiƤinen, Martti. 2000. Two Concepts of Social Capital: Bourdieu vs Putnam. University of
Jyvaskyla.
Sumber
lain:
(http:www.tnp2k.go.id/
diakses 4 Maret
2016)
(http://www.antaranews.com/berita/380706/blsm-dari-berbagai-pandangan diakses tanggal 3 Maret 2016)
(http://www.Sumut.bps.go.id
diakses tanggal 4 Maret 2016)
Kemiskinan Wikipedia
bahasa Indonesia. Eksiklopedia diakses 5 Maret
2016)
(http:www// bi.go.id
diakses tangal 6 Maret 2016)
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009
2 Reviews
Good job
ReplyMauliate
Reply