-->

Maret 07, 2016

MENGURANGI KEMISKINAN MELALUI INTERNALISASI MODAL SOSIAL PADA MASYARAKAT MISKIN DI DESA HUTA GALUNG KECAMATAN PARLILITAN KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang salah satunya Indonesia. Tidak hanya karena masalah kemiskinan sudah ada sejak lama, namun juga merupakan kemiskinan belum juga dapat diselesaikan hingga saat ini. Dibutuhkan kinerja dan memperbanyak kebijakan dalam penghapusan budaya kemiskinan.
Kemiskinan bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan fenomena sosial yang menjadi atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara yang maju yang memiliki atribut sebagai negara modern. Kemiskina selalu identik dengan negara dunia ketiga yang selalu melekat dengan strukturnya. Kemiskinan juga merupakan momok yang belum bisa terselesaikan di Indonesia, begitu banyak kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, namun belum bisa terhindar dari lingkaran kemiskinan.
            Kemiskinan memang sudah ada sejak jaman dulu. Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang salah satunya Indonesia. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Tidak hanya karena masalah kemiskinan sudah ada sejak lama, namun juga merupakan kemiskinan belum juga dapat diselesaikan hingga saat ini. Bahkan, dewasa ini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Masalah kemiskinan yang membelenggu  sebagian besar masyarakat dari periode-periode tetap menajdi “pekerjaan rumah” bagi pembuat keputusan atau pemerintah.
Kemiskinan di Indonesia terus meningkat semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, krisis ekonomi yang kita pernah alami itu mengakibatkan kenaikan angka kemiskinan menjadi 45,90 juta atau sekitar 24,23 % dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia pada tahun 1998 (http:www.tnp2k.go.id).
            Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada September 2014 sebanyak 1.390.000 orang (10,39%), angka ini bertambah sebanyak 51.600 orang bisa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin Maret 2014 yang berjumlah sekitar 1.339.200 orang 910’06%). Selama jangka waktu Maret-September 2014, penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 16.500 orang (dari 685.100 orang pada Maret 2014 menjadi 701.600 orang pada September 2014), sedangkan di daerah perkotaan bertambah menjadi 35.100 orang (dari 654.100 orang pada Maret 2014 menjadi 689.200 orang pada September 2014). Penduduk yang miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 10,45 persen, naik dibanding Maret 2014 yang sebesar 9,98 persen. Begitu juga dengan penduduk miskin di daerah perdesaan, yaitu dari 10,13 persen pada Maret 2013 naik menjadi 10,33 persen pada September 2014.
            Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupatan Humbang Hasundutan merupakan desa yang berada jauh dari Kota Medan dan desa yang terpencil. Berdasarkan data dari daerah desa Hutagalung adalah terdiri dari 655 kepala keluarga. Desa Hutagalaung merupakan secara umum bermatapencaharian sebagai petani. Tanaman paling banyak di desa ini adalah padi. Tingkat pendidikan yang ada di desa ini masih PAUD, SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP). Daerah ini merupakan bagian desa dari Kecamatan Parlilitan, yang berjarak 16 km dari Kecamatan Parlilitan. Daerah ini masih kenal dengan kebudayaan yang menganut tradisi dan adat istiadat. Dalam data desa, sekitar 480 adalah tergolong miskin. Data ini bisa dilihat dari banyaknya jumlah kepala keluarga yang menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) pada tahun  2013.
            Oleh karena itu, untuk penghapusan kemiskinan gagasan penulis yang ingin sampaikan adalah  Mengurangi Kemiskinan Melalui Internalisasi Modal Sosial Pada Masyarakat Miskin di Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Dalam tulisan ini akan diberikan penjelasan dan jalan keluar yang mungkin bisa bermanfaat adalah, masyarakat menerapkn modal sosial yang ada dan telah disediakan oleh masyarakata itu sendiri.
1.2  Tujuan dan Manfaat
1.2.1. Tujuan:
Tujuan dari gagasan ini adalah:
1)    Memberikan penjelasan terhadap keadaan masyarakat miskin di Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan
2)    Memberikan solusi terhadap kenyataan kemiskinan dengan cara menerapkan modal sosial yang ada di dalam diri masyarakat untuk mengurangi kemiskinan.
3)    Mengubah pandangan dan juga sifat menerima apa adanya dalam masyarakat, menggunakan pendekatan para ahli sosiologi.
4)    Memberikan penjelasan bahwa lewat modal sosial, masyarakat bis berkembang dengan sendirinya.
1.2.2.  Manfaat:
            Manfaat dari gagasan ini adalah:
          Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pada dunia pendidikan terutama pada departemen Sosiologi. Penelitian ini juga merupakan salah satu proses pembelajaran bagi peneliti itu sendiri untuk dapat membuat penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama untuk mendapatkan beasiswa PPA dan menjadi syaratnya adalah membuat PKM (Proposal Karya Ilmiah).
           























BAB II
GAGASAN
Menjadi objek gagasan dalam tulisan ini adalah dengan memberikan penjelasan dan kakteristik, mengapa masyarakat Hutagalung, Kec. Parlilitan, Kab. Humbang Hasundutan masih tergolong masyarakat yang miskin? Anggapan ini bisa diperjelas dengan melakukan perbandingan antara ciri-ciri budaya kemiskinan yang diungkapkan Oscar Lewis dengan yang ada di masyarakat Hutagalung.
1.     Tingginya tingkat kepasrahan nasib, mereka menganggap bahwa kemiskinan merupakan garis takdir dari Tuhan. Peneliti seringkali mendengar warga berkata “kalau sudah segitu rejekinya ya sudahlah tak perlu dipermasalahkan” mereka menganggap bahwa rejeki mereka sudah diatur tuhan dan seberapa pun berusaha mungkin tidak akan merubah apa yang akan mereka dapatkan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering sekali tidak menghiraukan apa yang mereka dapatkan atas pekerjaan itu. Artinya yang penting bisa makan.
2.     Sarana yang diberikan pemerintah kurang memadai dalam pertanian yang ada di desa ini. Semua alat pertanian tidak disediakan pemerintah dalam mencapai cita-cita petaninya.
3.     Banyaknya masyarakat di desa Huta Galung, yang belum mengecap pendidikan. Ini bisa dibuktikan banyaknya keluarga yang belum peduli terhadap pendidikan.
4.     Rendahnya semangat dan dorongan dalam meraih kemajuan, masyarakat Huta Galung cenderung kurang bersemangat dalam memperbaiki hidupnya, ada banyak sekali keluarga yang tidak secara sungguh-sungguh dalam mencari nafkah. Mereka malas dalam melakukan pekerjaannya.
5.     Lemahnya daya juang untuk mengubah kehidupan, masyarakat Desa Huta Galung tidak memiliki usaha lebih untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang mereka rasakan, mereka hanya bekerja di ladang atau di sawah seberapa mereka ingin. Kemudian dari hasilnya, setiap keluarga monoton dalam mengharaapkan hasilnya, ini bisa dibuktikan dengan masyarakat atau kelaurga tidak menambah jam kerja dan menambah pertanian yang mereka inginkan.
6.     Lemahnya aspirasi untuk membagngun kehidupan yang lebih baik, sesuatu yang sangat memprihatinkan sekali di desa ini adalah kurangnya aspirasi mereka terhadap pemilihan rakyat. Masyarakat di desa ini, masih jauh dari pengetahuan tentang politik. Maka, sering sekali dalam pemilihan mereka tidak perduli.
7.     Respon yang pasiff pada kesuliatn ekonomi, masyarakat cenderung tidak banyak berusaha untuk menghadapi kesulitan ekonomi mereka, para ibu sering sekali melakukan peminjaman uang ketika kesulitan untuk belanja mingguan. Hal ini mempersulitkan masyarakat untuk maju dan berjuang dari kemiskinan. Para bapak dinilai tidak baik dalam menjalani pekerjaan di ladang. Ini karena masyarakat kurang pendidikan dalam mengolah pertanian, sehingga tidak menghalsilkan kebutuhan sehari-hari.
8.     Jalan yang masih banyak berlubang menuju desa ini. Selain daripada itu jauhnya desa dari jangkauan pemasaran hasil pertanian yang meraka miliki. Masyarakat cenderung menjual dengan harga yang murah di desa itu sendiri. Sehingga hasilnya tidak sesuai dengan apa yang selayaknya.
Berdasarkan data dan pengamatan peneliti di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Desa Huta Galung Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Menurut Oscar Lewis dalam Astika (2010) budaya kemiskinan terbentuk melalui situasi yang mengelompokkan masyarakat dalam dua kategori yang miskin dan tidak miskin. Budaya kemiskinan melahirkan sebuah kategori yang memunculkan ciri-ciri khusus, seperti rendahnya semangat dan dorongan dalam meraih kemajuan, lemahnya daya juang untuk mengubah kehidupan si miskin itu sendiri, lemahnya motivasi kerja, respon yang tidak jelas dalam menghadapi kesulitan ekonomi, tingginya tingkat kepasrahan, lemahnya aspirasi dalam meningkatkan kehidupam yang lebih baik, cenderung mencari kepuaan yang sesaat yang digunakan hanya untuk masa sekarang dan tidak berorientasi pada masa depan.

2.1. Solusi Terhadap Masyarakat Miskin di Desa Hutagalung
            Lima asset yang biasa digunakan oleh para pengentas kemiskinan untuk mempelajari cara yang paling tepat dalam usaha mengurangi jumlah masyarakat miskin itu, yaitu:
1.     Asset financial atau modal keuangan, modal ini dapat berupa persediaan uang yang dimiliki oleh invidu untuk dapat memulai kegiatan pembuat mata pencarian mereka sendiri. Modal keuangan biasanya dapat diperoleh dari tabungan, pinjaman, ataupun pemberian dari pemerintah.
2.     Human capital atau modal manusia, modal manusia merupakan keterampilan, pengetahuan, kemampuan tenaga kerja dan kesehatan yang baik. Modal manusia sangat menentukan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat karena merupakan subjek yang akan melakukan kegiatan perubahan.
3.     Natural capital atau modal alam, modal alam merupakan sumber daya yang ada di sekitar tempat tinggal individu dan dapat dimanfaatkan seperti: tanah yang subur, kekayaan alam (yang dapat digunakan untuk sektor pariwisata), keanekaragaman hayati, dan lain-lain.
4.     Modal fisik atu infrastruktur, modal fisik merupakan ketersediaan dari barang-barang dasar yang dibutuhkan dalam upaya mendukung mata pencaharian. Infrastruktur yang ada diharapkan dapat mengubah individu.
5.     Sosial capital atau modal sosial, modal sosial merupakan jaringan yang dimiliki individu dalam menjalankan usahanya. Jaringan yang dimaksud dapat dikembangkan dalam kategori seperti: jaringan dan berhubungan baik vertikal atau horizontal yang meningkatkan kepercayaan dan kemampuan dalam bekerja sama memperluas akses mereka terhadap asset lainnya, hubungan kepercayaan timbal balik dan pertukaran yang memfasilitasi kerjasama serta mengurangi biaya transaksi dan dapat memberikan dasar bagi jaring pengaman informal di antara masyarakat.
2.2. Modal Sosial

Menurut Light (Masik, 2005) modal sosial merupakan salah satu dari 5 (lima) modal yang ada di masyarakat yaitu Financial Capital, Physical Capital, Human Capital, Cultural Capital dan Social Capital. Menurut Putnam (SiisiƤinen, 2000) modal sosial adalah jaringan kerja dan norma sosiasi timbal balik yang memiliki nilai. Sedangkan menurut Fukuyama (2002), modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Modal sosial merupakan potensi dan kekuatan yang bila didayagunakan secara baik akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan.
Modal Sosial


Nilai, Kultur, Persepsi:
Simpati dan saling percaya
 






:

1.     Participation in a network. Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan, kesamaan, kebebasan, dan keadaban.
2.     Reciprocity.  Kecenderungan saling  tukar  kebaikan  antar  individu  dalam  suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri yang terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan.
3.     Trust. Suatu bentuk tindakan kolektif yang didasari sikap saling percaya dalam interaksi sosial  yang  didasari  oleh  perasaan  yakin  bahwa  orang  lain  akan  melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung demi kemajuan bersama.  
4.     Social norms.  Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi, dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar.
5.     Values. Sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat yang mempengaruhi tindakan  dan perilaku masyarakat.
6.     Proactive action.  Keinginan  yang  kuat  dari  anggota  kelompok  untuk  mencari informasi tentang berbagai pengalaman, memperkaya  ide,  pengetahuan,  dan  beragam  bentuk  inisiatif  lainnya yang berguna dalam membangun masyarakat.
Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Kemampuan anggota anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergitas akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.
Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan ini dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun di tingkat yang lebih mikroskopik. Jaringan sosial tidak hanya digunakan sebatas suatu alat pelengkap untuk mencatat dan mengorganisasikan data dalam sebuah penelitian belaka, melainkan sebagai suatu alat analisis, yang bertujuan untuk menglasifikasikan tipe-tipe ikatan antar individu dan memilah-milah pola-pola yang dibentuknya dalam ikatannya atas ketidakleluasaam pola perilaku, sikap dan tindakan bagi para pelaku yang merupakan bagian dari jaringan (Agusyanto, 2007).
Konsep jaringan dalam modal sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antara simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja yang melalui media hubungan sosial menjadi kerjasama. Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. Intinya, konsep jaringan dalam modal sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Untuk mewujudkan berbagai hal, seringkali orang memilih untuk berbicara dengan orang yang mereka kenal. Minta bantuan teman, keluarga, atau kenalan yang dapat dipercaya jauh lebih mudah daripada berurusan dengan birokrasi, dan hasilnya lebih memuaskan. Hal ini menjadikan jaringan yang dimiliki orang benar-benar penting. Namun, dengan mengenal orang saja belumlah cukup, perlu adanya rasa memiliki kesamaan satu sama lain. Jika memiliki kesamaan nilai, mereka lebih cenderung bekerja sama untuk mencapai tujuan (Field, 2010).
Menurut Fukuyama (1995), kerjasama yang ada dalam modal sosial membentuk suatu organisasi di mana para anggotanya secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak individunya untuk bekerja bersama-sama mencapai suatu tujuan, berdasarkan aturan-aturan yang disepakati. Kesepakatan tersebut menyebabkan setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya.
Bukan hanya itu saja, akan tetapi msih banyak hal yang bisa menjadi acuan dalam mengurangi kemiskinan. Yaitu, nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai dipahami sebagai gagasan mengenai apakah suatu pengalaman berarti, berharga, bernilai dan pantas atau tidak berarti, tidak berharga, tidak bernilai dan tidak pantas (Damsar, 2013). Nilai berkaitan dengan ide yang dimiliki secara bersama tentang sesuatu itu baik atau buruk, diharapkan atau tidak diharapkan. Nilai ini dibentuk oleh masyarakat dan dianggap penting. Nilai-nilai dalam modal sosial yang sering dipakai oleh para pelaku wisata seperti budaya kerja, disiplin, kreatifitas, keramahtamahan dan lain sebagainya. Nilai-nilai ini diyakini dan diaplikasikan dalam kehidupan seseorang terkhusus untuk menguraangi kemiskinan.

2.3. Internalisasi
Internalisasi merupakan sebuah proses sosialisasi yang berlangsung sepanjang hidup individu dimulai saat individu dilahirkan sampai akhir hayatnya. Individu menjalani kehidupannya dengan cara melakukan proses pembelajaran dalam mengolah berbagai perasaan yang tercipta, nafsu, hasrat, atau emosi yang kemudian membentuk kepribadian individu tersebut. Internalisasi dapat diartikan sebagai perasaa pertama yang diarasakan ketika bayi dilahirkan, perasaan ini bisa dicontohkan sebagai rasa puas ataupun tidak puas yang menyebabkan seoarang bayi menangis.
Secara etimologis internalisasi berasal dari kata “intern” atau kata “internal” yang berarti bagian dalam atau di dalam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:439) internalisasi adalah penghayatan terhadap suatu ajaran doktrin atau nilai sehinggga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Internalisasi merupakan pengaturan ke dalam pikiran atau kepribadian atas perbuatan nilai-nilai patokan –patokan, ide, atau praktek-praktek dari orang-orang lain menjadi bagian dari diri sendiri. Internalisasi merupakan sebuah proses pemasukan nilai pada seorang yang kemudian akan membentuk kepribadiaanya dalam melihat makna realita pengalaman. Nilai-nilai tersebut biasanya terjadi dari berbagai aspek baik agama budaya agama, budaya, norma sosial dan lain-lain. Pemaknaan atas nilai kemudian mewarnai pemaknaan dan penyikapan manusia terhadap diri, lingkungan, dan kenyataan di sekelilingnya, Blumer dalam Poloma (2003:258) menyatakan ada tiga premis dalam intraksi, yaitu:
1.     Manusia bertindak terhadap suatu berdasarkan makna sesuatu itu bagi mereka.
2.     Makna tersebut berasal dari interaksi seseorang tersebut kepada orang lain.
3.     Makna-makna tersebut akan disempurnakan selama proses interaksi berlangsung.
Blumer dalam Poloms (2003:260) menjelaskan bahwa manusia bukan hanya bertindak atas kekuatan luar saja, dan bukan pula hanya berdasarkan kekuatan dalam saja. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, menyatakan objek-objek yang diketahui melalui apa yang disebut Blumer sebagai “self indication” atau sebuah proses di mana individu mengetahui sesuatu, menilai, dan memberikan makna, kemudian memutuskan unuk bertindak berdasarkan makna tersebut.
Koentjaraningrat (2002:228) mengatakan bahwa proses internalisasi adalah sebuah proses panjang sejak individu dilahirkan, sampai ia hampir meninggal di mana individu tersebut belajar, menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, nafsu, hasrat, serta emosi yang ada dalm kepribadian individunya, tetapi wujud pengaktifan diri berbagai macam isi kepribadianya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli yang ada di luar individu baik di di dalam lingkungan alam, sosialnya, maupun budayanya.
            Internalisasi budaya kemiskinan didapat individu pertama kali melalui keluarga. Anak dari keluarga yang memiliki budaya kemiskinan akan menyerap nilai yang ada dalam keluarganya dijadikan pedoman hidupnya. Kemudian budaya kemiskinan tersebut akan tertanam dari lingkungan sosial sebagai tahap selanjutnya dari agen sosial yang membentuk perilaku individu.
            Gagasan yang ditawarkan dengan melakukan internalisasi modal sosial yang sudah dimiliki masyarakat menjadi lebih baik dan bisa bekerja tanpa campur tangan dari pemerintah.           Realita kemiskinan yang disebabkan oleh budaya struktural dan juga masyarakat yang masih belum tahu jalan keluar kemiskinan. Tulisan ini akan menawarkan beberapa jalan dan alternatif agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Adapun jalan itu adalah dengan memusatkan perhatian terhadap wadah dari proses-proses sosial, pola-pola interaksi serta melengkapi unsur-unsur pokok dalam masyarakat.























BAB III
KESIMPULAN
            Pokok perhatian dalam tulisan ini adalah dengan memberikan karakteristik, budaya kemiskinan dan juga mermberikan jalan keluar dengan internalisasi modal sosial. Masyarakat yang begitu luas, memiliki potens yang bisa dikembangkan sendiri. Sehingga kemiskinan itu bisa  dilepaskan dari masyarakat melalui internalisasi aspek dan peluang yang bisa dicapai dalam mencapai masyarakat yang lebih maju.
Participation in a network. Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan, kesamaan, kebebasan, dan keadaban. Dalam hal ini masyarakat Hutagalung harus bisa memanfaatkan dan langsung berpartispasi demi terwujudnya masyarakat yang lebih maju. Reciprocity.  Kecenderungan saling  tukar  kebaikan  antar  individu  dalam  suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri yang terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan.  
Trust. Suatu bentuk tindakan kolektif yang didasari sikap saling percaya dalam interaksi sosial  yang  didasari  oleh  perasaan  yakin  bahwa  orang  lain  akan  melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung demi kemajuan bersama.  Social norms.  Sekumpulan aturan  yang  diharapkan  dipatuhi  dan  diikuti  oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi, dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar.
Selain itu yang perlu dibahas adalah Values. Sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat yang mempengaruhi tindakan  dan perilaku masyarakat. Demikian juga Proactive  action.  Keinginan  yang  kuat  dari  anggota  kelompok  untuk  mencari informasi tentang berbagai pengalaman, memperkaya  ide,  pengetahuan,  dan  beragam  bentuk  inisiatif  lainnya yang berguna dalam membangun masyarakat.
Dengan menginternalisasikan aspek-aspek modal sosial yang sudah ada dalam masyarakt Hutagalung, setidaknya sudah menjadi solusi yang ditawarkan untuk mengurangi angka kemiskinan yang ada. Sehingga dalam penerapanya masyarakat bisa lebih mndiri dan mengetahui apa saja peluang yang bisa dilakukan untuk mengurangi kesengsaraan mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

                  Rohidi, Tjejep Rohendi. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan.      Bandung: Penerbit Nusantara.
Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kollip, Elly M. Setiadi. 2011. Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Pemahaman Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya). Jakarta: Kenacana Prenada Media Group
Poloma, M Margaret. 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zubeirsyah, Nurhayati. 2008. Bahasa Indonesia dan Teknik Penyusunan Karangan Ilmiah. Medan:   Universitas Sumatera Utara Press (USU PRESS)
   Taneko, Soleman. 1986. Konsepsi Sistem Sosial Indonesia dan Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV Fajar Agung
Damsar dan Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana.
Lawang, R.M.Z, 2005. Kapital Sosial: Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press.
Wirutomo, dkk. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Astika, Ketut Sudana. 2010. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Budaya Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Kemiskinan di Mayarakat Denpasar. Jurnal Ilmiah FISIP Universitas Udayana Volume 1 No. 01 Tahun 2010
Suyanto, Bagong. 2008. Perangakap Kemiskinan dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin.  Jakarta: Jurnal Kebijakan Publik edisi 3 November 2008.
Tunner, Bryan, dkk. 2010.  Kamus Sosiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta.    
                         Pustaka Pelajar.
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology 94 (Supplement), S95–S120.
Putu Agus Prayogi, Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1 No.1 hal.69 Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya
SiisiƤinen, Martti. 2000. Two Concepts of Social Capital: Bourdieu vs Putnam. University of Jyvaskyla.
Sumber lain:
(http:www.tnp2k.go.id/ diakses 4 Maret 2016)
(http://www.tnp2k.go.id/ diakses1  Februari 2016)
(http://www.Sumut.bps.go.id diakses tanggal 4 Maret 2016)
Kemiskinan Wikipedia bahasa Indonesia. Eksiklopedia diakses 5 Maret 2016)
(http:www// bi.go.id diakses tangal 6 Maret 2016)

Tags :

bonarsitumorang