MAKALAH: PENELITIAN DESA JARING HALUS
LAPORAN PENELITIAN DESA JARING HALUS
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG
Sebagai negara yang
dilalui oleh garis khatulistiwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang
dianugerahkan Sumber Daya Alam yang sangat melimpah. Indonesia juga tercatat
sebagai negara dengan pulau terbanyak di
dunia, lebih dari 17.000 pulau dari Sabang sampai marauke. Setiap pulau
memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Komoditas yang dihasilkan pun beraneka
ragam mulai dari pertanian, industri, bahan tambang, hingga sektor kelautan.
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan
alam, baik dari pertanian maupun sektor kelautan. Sumut memiliki banyak
keuntungan di bidang kelautan, salah satunya adalah dari kondisi geografisnya.
Garis pantai terletak di dua sisi yaitu pantai timur dan pantai barat.
![]() |
Desa Jaring Halus |
Meskipun
dikaruniai sumber daya perairan yang luar biasa, harus diakui sumber referensi
yang menyangkut kelautan masih sedikit. Sungguh sebuah ironi yang harus kita
terima. Bukankah ada peribahasa yang mengatakan “Nenek moyangku seorang
pelaut”. Ini menandakan bahwa Indonesia adalah negara maritim, negara yang
seharusnya berjaya di laut. Kenyataan yang ada adalah kita sudah terlalu lama
mengabaikan potensi laut yang tersedia. Tidak heran laut kita menjadi sasaran
empuk pencuri ikan. Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti
mengatakan kerugian negara mencapai 3000 triliun dalam setahun akibat pencurian
ikan di laut Indonesia. Namun inilah fakta yang terjadi di lapangan, untuk
negara yang lebih luas lautan daripada daratannya ini.
Kurangnya
perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap perairan, khususnya laut,
menyebabkan banyak hal. Salah satunya adalah terhadap wilayah pesisir dan
nelayan. . Menurut data BPS tahun 2013, kantong-kantong kemiskinan masyarakat
masih berasal dari sektor pertanian dan perikanan (kelautan). Wilayah pesisir
hampir selalu digambarkan sebagai wilayah yang kumuh dan tertinggal. Meskipun
pekerjaan di sector perikanan dengan pertanian dapat dikatakan setara ataupun
satu golongan, namun selalu ada perasaan memandang rendah sector kelautan.
Atas
dasar itu semua sudah layak dan sepantasnya perlu dilakukan kajian yang
mendalam membahas sektor kelautan yang di dalamnya menyangkut nelayan, wilayah
pesisir, desa nelayan, dan hal yang bersangkutan. Hal ini diperlukan untuk
menambah sumber referensi dan tentunya bertujuan untuk menyelesaikan (atau
paling tidak memberi rekomendasi terhadap pemangku kebijakan) masalah-masalah
yang selama ini menjangkiti sektor kelautan.
Semua
alasan yang telah diutarakan di atas menjadi alasan bagi peneliti untuk melakukan observasi menuju salah satu desa
nelayan yang ada di Sumatera Utara. Desa yang menjadi target penelitian adalah
Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Desa ini merupakan sebuah desa
yang berada di pesisir pantai yang letaknya cukup terisolir. Untuk
menjangkaunya diperlukan waktu sekitar 3,5 jam dari Kota medan. Diperlukan dua
moda angkutan, yaitu angkutan darat dan angkutan laut. Memerlukan waktu sekitar
2 jam untuk perjalanan darat. Setelah itu disambung menggunakan sampan atau
perahu kecil sekitar satu jam. Tidak ada akses selain via laut karena desa ini
terletak di pesisir pantai. Sempat ada gagasan untuk membuka akses darat melalui
hutan bakau yang ada si sekeliling desa. Namun rencana tersebut urung dilakukan
karena hal tersebut hanya akan merugikan masyarakat. Hutan bakau yang terkena
proyek pembuatan jalan akan rusak. Mengapa merugikan masyarakat? Bakau
merupakan tempat hidup hewan air, termasuk ikan. Mayoritas penduduk desa adalah
nelayan. Jika hutan bakau rusak, maka kehidupan nelayan pun akan terganggu
karena ikan, sumber penghasilan mereka, akan sulit didapat. Demikian dikatakan
staf dari Kecamatan Secanggang yang ikut menemani kami observasi yang bernama
Pak Akhyar.
Penduduk di desa ini berasal
dari berbagai suku. Tidak ada suku mayoritas karena kebanyakan merupakan
pendatang. Seperti desa pesisir lainnya, mayoritas pekerjaan penduduk adalah
nelayan ataupun hal lainnya yang mendukung. Desa Secanggang dikepalai oleh
kepala desa yang bersuku Nias. Terlihat toleransi antar sesama penduduk karena
tidak banyak desa ataupun daerah yang bisa menerima dipimpin oleh seorang yang
bukan berasal dari golongannya. Penduduk mayoritas beragama Islam. Ini terlihat
dari adanya beberapa Masjid dan Musholla.
I.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana kehidupan masyarakat
desa Jaring Halus secara umum?
b. Apa saja kemajuan yang sudah
dialami penduduk desa Jaring Halus?
c. Apa saja tradisi ataupun kegiatan unik yang dilakukan
masyarakat desa Jaring Halus?
I.3 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui gambaran umum kehidupan masyarakat
desa Jaring Halus.
b. Mengetahui kemajuan-kemajuan yang sudah dialami ataupun
dirasakan penduduk desa Jaring Halus.
c. Untuk mengetahui tradisi ataupun kegiatan unik penduduk
desa Jaring Halus yang rutin dilakukan oleh warga.
I.4 Manfaat Penelitian
a.
Menambah sumber referensi mengenai desa nelayan ataupun wilayah pesisir.
b. Menumbuhkan minat dan perhatian
khalayak umum terhadap desa nelayan.
c.
Menjadi bahan masukan bagi pemangku kebijakan untuk lebih memperhatikan desa
nelayan, baik dari sumber daya alam maupun sumber daya manusia, agar potensi
yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal.
I.5 Metode Penelitian
a. Penelitian lapangan.
Untuk mengetahui kehidupan
masyarakat desa Jaring Halus maka peneliti harus terjun langsung ke lapangan,
mengamati kegiatan mereka dan melakukan interaksi. Meskipun penelitian hanya
dilakukan selama beberapa jam saja, namun peneliti berusaha untuk menggali
informasi mengenai masyarakat desa Jaring Halus.
b.
Wawancara
Setelah turun langsung ke
masyarakat, maka untuk mengetahui kehidupan masyarakat secara lebih dalam
diperlukan wawancara kepada beberapa warga agar informasi yang didapat lengkap
dan akurat.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Pengertian Desa
Menurut Undang – Undang No. 5 Tahun 1979, Desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Selain itu
pengertian desa menurut beberapa ahli yakni :
a.
Sutardjo
Kartodikusumo Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal
suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri
b.
Saniyanti
Nurmuharimah, Desa merupakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat
yang memiliki sistem pemerintahan sendiri
c.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh
sejulah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh
seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok rumah di luar kota yang
merupakan kesatuan
d.
Bambang
Utoyo, Desa merupakan tempat sebagian besar penduduk yang bermata pencarian di
bidang pertanian dan menghasilkan bahan makanan.
II.2 Pengertian Desa Nelayan
Desa nelayan identik
dengan wilayah pesisir. Menurut Beatly et-al dalam Dahuri 1996, wilayah pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat
mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang
surut, dan ke arah laut meliputi paparan benua.
II.3 Hasil Penelitian Sebelumnya
di Desa Bagan Deli Mengenai Kemiskinan Nelayan
*Penelitian ini adalah penelitian yang kami lakukan sebelumnya di desa
Bagan Deli, Medan.
Kemiskinan yang terjadi di daerah
Bagan Deli disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah pendidikan dan
keterampilan. Hal yang sama juga terjadi kecamatan Mawasangka kecamatan Buton.
Di daerah tersebut angka putus sekolah masih cukup tinggi. Tingkat putus
sekolah mencapai 41%. Salah satu penyebabnya adalah fasilitas pendidikan yang
minim dan kurangnya dorongan orang tua untuk sekolah. Hal ini mirip dengan
kondisi yang terjadi di desa Bagan Deli. Sekolah yang relative jauh dari
pemukiman menyebabkan peserta didik malas untuk sekolah. Namun beberapa tahun
belakangan telah didirikan sekolah di sekitar Bagan Deli untuk meningkatkan
angka partisipasi sekolah. Lebih dari setengah anak-anak hanya tamat SD. Jarang
yang mencapai SMA bahkan SMP sekalipun. Beberapa ada yang melanjutkan
pendidikan hingga Perguruan Tinggi namun kebanyakan dari mereka adalah anak
dari juragan ( Tengkulak ) ataupun nelayan yang memiliki kapal yang cukup
besar.[1]
Banyak sekali defenisi dari
kemiskinan. Istilah kemiskinan selalu merujuk kepada sebuah kondisi yang serva
kekuranganyang bisa dirasakan secara subyektif, obyektif, ataupun secara
relative dan.didasarkan kepada perbandingan dengan orang lain sehingga
melahirkan pandanganb obyektif, subyektif, dan relative tentang
kemiskinan. Dari segi kepemilikian alat
tangkap, nelayan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu nelayan buruh, nelayan
juragan, dan nelayan perorangan. Yang menjadi mayoritas adalah
nelayan buruh dan nelayan perorangan, sehingga citra tentang kemiskinan melekat
pada kehidupan nelayan.kemiskinan
nelayan dari ruang lingkupnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan pra
sarana dan kemiskinan keluarga. Minimnya pra sarana yang ada di suatu desa
nelayan secara tidak langsung turut menyumbang kemiskinan pada keluarga
nelayan. Misalnya, tidak tersedianya air bersih, maka keluarga nelayan trpaksa
mengelurakna uang untuk membeli air bersih. [2]
Ketergantungan nelayan terhadap teknologi sangat tinggi. Pekerjaan
nelayan yang memiliki mobilitas yang tinggi menyebabkan peralatan yang
digunakan harus memadai. Selain itu, cuaca jug sangat menentukan. Pada saat
musim-musim tertantu, nelayan tidak bisa melaut karena cuaca buruk, gelombang
tinggi. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan nelayan sulit lepas dari
kemiskinan dan ini telah menjadi semacam ‘lingkaran setan’.[3]
Dapat dikatakan, kemiskinan nelayan sudah sangat lengkap, mulai dari budaya,
fasilitas hingga ketergantungan kepada teknologi yang tinggi.
Suatu ironi memang negara maritim seperti Indonesia yang masyrakat
nelayannya adalah yang termiskin di dunia.pemandangn yang sering dijumpai di
perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang sangat kumuh dan rumah-rumah
yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menonjol, rumah
tersebut umumnya dimiliki oleh pemiliki kapal, pemodal ataupun rentenir. [4]
Sama halnya di daerah Bagan Deli. Beberapa anak yang menempuh pendidikan tinggi
adalah anak-anak tokeh dan pemiliki sampan, sehingga terlihat jelas perbedaan
yang ada. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kemiskinan, namun
selalu ada beberapa kendala, seperti:
· Kerusakan fisik habitat ekosistem
· Pencemaran
· Permodalan.
· Fasilitas.
· Eksploitasi berlebihan sumberdaya hayati laut.
· Sumber daya manusia
· Mutu produk.[5]
Ketika berbicara
kemiskinan, banyak orang yang langsung menyalahkan pemerintah. Kemiskinan
seolah-olah ‘buah’ dari kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugasnya
mensejahterakan rakyat. Kebanyakan orang lepas tanggung jawab dan seakan-akan
cuci tangan atas kemiskinan yang ada di sekitar mereka. Namun Charles Booth
menjadikan masalah kemiskinan menjadi ‘masalah semua orang’ mencakup
argumentasi berikut:
· Pikiran-pikiran tentang kemiskinan dapat diperluas sehingga setiap orang
tanpa sengaja ikut bersimpati dan membantu memecahkannya.
· Kemiskinan tidak hanya diukur dengan ketidak mampuan memenuhi
kegutuhanmateri, tetapi juga kehilangan harga diri dan kehormatan dalam
masyarakat.
· Jati diri bangsa merupakan tuntutan moral setiap orang.
· Tyanggung jawab moral sangat kuat jika terkait dengan kepentingan
sendiri (self-interest).[6]
Secara umum, faktor-faktor yang
menyebabkan kemiskinan pada nelayan
berasal dari dalam dan luar. Faktor dari dalam berkaitan dengan sumber
daya manusia dan aktifitas kerja mereka, sedangkan dari luar berhubungan dengan
kondisi luar diri dan aktivitas kerja nelayan.
Faktor-faktor internal mencakup masalah : (1) keterbatasan
kualitas sumber daya manusia nelayan, (2) keterbatasan kemampuan modal usaha
dan teknologi penangkapanny, (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh)
dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh,
(4) kesulitan melakukan diversifikasi
usaha penangkapan, ( 5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan
(6) gaya hidup yang dipandang “ boros “ sehingga ku berorientasi ke masa depan.
Faktor-faktor
kemiskinan yang bersifat eksternal ini mencakup masalah : (1) kebijakan
pembangunan perikanan yang lebih beroirientasi pada produktivitas yang
menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial, dan tidak memihak nelayan
tradisional, (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan
pedagang perantara, (3) keruskan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran
dari wiayah darat, praktek penangkapan dengan bahan kimia, perusakan terumbu
karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir, (4) penggunaan peralatan
tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan hukum yang lemah terhadap
perusak lingkungan, (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan
pascatangkap, (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor nonperikanan yang
tersedia di desa-desa nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak
memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, dan (9) isolasi geografis desa
nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa , modal, dan manusia.[7]
Di
Indonesia saat ini terdapat sekitar 3,2 juta rumah tangga nelayan. Ironisnya,
meskipun dua per tiga wilayah Indonesia berupa lautan, kehidupan 70 % nelayan
tergolong miskin. Benang kusut mengenai peneybab dan solusi mengatasi
kemiskinan masyarakat nelayan ini sudah banyak diuraikan oleh para pakar, mulai
Ramond Firth (1967) sampai dengan Kusnadi ( kompas, 16 April 2003), Bagong
Suyanto ( kompas, 23 April 2003), dan Edi Susilo ( kompas, 25 April 2003).
Menurut Raymond Firth, kemiskinan nelayan paling tidak dicirikan oleh lima
karakteristik.
·
Pertama, pendapatan
nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan.
Selain itu, pendapatannya juga sangat bergantung pada musim dan status nelayan
itu sendiri, dalam arti ia sebagai juragan ( nelayan pemilik alat produksi)
atau pandega (nelayan buruh). Dengan pendapatan yang bersifat harian, tidak
dapat ditentukan, dan sangat tergantung pada musim, mereka (khususnya nelayan
pandega) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan pendapatannya. Keadaan
demikian mendorong nelayang untuk segera membelanjakan uangnya setelah
mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan
modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan
habis digunakan untuk menutupi kebutuhan keluarga sehari-hari,bahkan sering
tidak mencukupi kebutuhan tersebut. Masa penangkapan ikan yang hanya semusim
dalam satu tahun, menyebabkan pendapatan nelayan sangat kecil. Pada musim
paceklik (musim angin barat), mereka sering harus berhutang, khususnya kepada
juragan untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya.
·
Kedua, dilihat dari
pendidikannya, tingkat pendidikan neayan atau anak-anak nelayan pada umumnya
rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh
pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai nelayan.
Sementara itu, anak-anak nelayan yang berhasil mencapai pendidikan tinggi,
maupun para sarjana perikanan, enggan berprofesi sebagai nelayan, karena
menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan.
·
Ketiga, dihubungkan
dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak
berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk tersebut bukan merupakan
makanan pokok. Selain itu, sifat produk yang mudah rusak dan harus segera
dipasarkan, menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang.
Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai pedagang.
·
Keempat, bidang
perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung resiko
yang cukup besardibandingkan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu, nelayan
cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana, atau hanya
menjadi Anak Buah Kapal (ABK).ABK yang bekerja keras dilaut dengan penuh
resiko, hanya mendapat bagian yang sangat kecil, sedangkan pemilik kapal yang
tinggal di darat mendapat bagian yang lebih besar. Hasil yang diperoleh sekali
melaut, 50 % untuk juragan, sedangkan sisanya setelah dikurangi biaya
operasional dibagi pada ABK sesuai dengan kedudukan dan statusnya. Dalam sistem
bagi hasilini nekayan pandega mendapat bagian paling sedikit.
·
Kelima, kehidupan
nelayan yang miskin juga diliputi kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh
terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan
produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada satu mata
pencaharian, yaitu menangkap ikan. Keluarga nelayan memiliki kebiasaan tidak
mengikutsertakan perempuan dan anak-anak dalam pengkapan ikan. Kondisi wilayah
pesisir yang umumnya gersang juga mengurangi kesempatan mereka untuk membuka lapangan
kerja dan mengembangkan usaha di sektor lainnya. [8]
Di atas telah dijelaskan kemiskinan
nelayan di daerah lainnya. Penelitian yang dilakukan Zulkifli (1989) juga
mengambil tempat di desa Bagan Deli yang menyebutkan ruktural patron dank lien
bahwa akibat structural patron dank lien yaitu antara pemborong dan nelayan
maka nelayan yang menjadi klien yang miskin. [9]
Mata pencaharian Masyarakat Melayu
sangat beragam dan berkaitan erat dengan sumber daya yang tersedia di
lingkungan tempat tinggal mereka. Pada kesempatan ini diarahkan pada orang
Melayu yang berprofesi sebagai nelayan. Kemiskinan nelayan Melayu menjadi lebih
dalam lagimengingat suku Melayu adalah salah satu pribumi di Sumatera Utara,
yang seharusnya dominan tetapi mengalami pasang surut kehidupan setelah
penyerahan kedaulatan. Sampai sekarang belum juga bangkit untuk keluar dari
pertapaan yang cukup lama. Masyarakat Melayu bukan tidak memiliki etos kerja
yang tinggi, namun kalah berkompetisi dengan suku bangsa lain menyebabkan
mereka terpukul mundur. Pendidikan yang rendah turu menambah kemunduran Melayu
dari suku bangsa yang lainnya.[10]
Modal
sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mereduksi kemiskinan, khususnya
komunitas nelayan. Sayangnya potensi modal yang terdiri dari element-element pokok kepercayaan, networks dan institution
sudah mengalami kelemahan sehingga tidak dapat berperan banyak. Keadaan ini
tidak terlepas dari kebijakan pembangunan top down yang dijalankan pemerintah, lebih banyak menguntungkan
pemerintah daripada anggota komunitas sendiri. Juga KKN
yang selama ini merajalela.
BAB III
HASIL OBSERVASI
III. 1 DESKRIPSI DESA JARING HALUS
Desa Jaring
Halus merupakan salah satu desa pesisir yang terletak di Provinsi Sumatera
Utara, tepatnya di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Desa ini merupakan
sebuah perkampungan yang letaknya jauh dari pusat kota. Secara geografis, Desa
Jaring Halus terletak pada 3º51’30”
- 3º59’45” LU dan
98º30’ - 98º42’ BT dengan ketinggian
± 1 m dpl. Desa ini
merupakan desa yang berbatasan dengan Selat Malaka disebelah utara dan timur,
sebelah selatan dengan Desa Selotong, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Tapal Kuda. Desa ini didirikan pada tahun 1917, konon ceritanya masyarakat awal
yang tinggal di Desa Jaring Halus ini adalah orang Malaysia yakni suku melayu yang dulunya
datang pada masa penjajahan Belanda dan mulai membentuk sebuah desa yang
memiliki asas kekeluargaan yang tinggi. Namun setelah terjadinya perkembangan
zaman masyarakat di sana sudah mulai membaur dengan banyaknya pendatang.
Kami
melakukan pengamatan ke Desa Jaring Halus pada tanggal 13 Desember 2014.
Pengamatan ini dilakukan oleh Mahasiswa/i Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik khususnya untuk Mahasiwa/i yang mengambil mata kuliah
Sosiologi Pedesaan T.A 2014/2015. Dalam proses pengamatan ini kami ditemani
oleh Dosen Pembimbing mata kuliah Sosiologi Pedesaan yakni Pak Sismudjito
beserta Sekretaris Camat yang juga merupakan penduduk asli Desa Jaring Halus
yang bertugas di luar Desa Jaring Halus. Beliau bernama Pak Mukhtar. Kami
menggunakan 2 buah Bus dan 1 buah mobil Kijang Innova sebagai alat transportasi
menuju Batang Buluh. Untuk bisa sampai ke Desa Jaring Halus memerlukan waktu
yang cukup lama yakni sekitar ±
3 jam dari pusat Kota Medan. Disepanjang perjalanan menuju desa ini kita akan melewati
Pinang Baris, Binjai, Stabat,
Secanggang, Batang Buluh, hingga sampai di Desa Jaring Halus. Badan
jalan dari Secanggang hingga Batang Buluh sudah dalam keadaan rusak, banyaknya
jalan yang berlobang mengharuskan kami untuk berhati-hati dalam
berkendara. Setelah sampai di Batang
Buluh, untuk melakukan perjalanan selanjutnya menuju Desa Jaring Halus tidak
bisa menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, dan lain-lain. Kami
menggunakan boat yang akan menyeberangkan kami dari Batang Buluh menuju
perkampungan Desa Jaring Halus. Penyeberangan ini membutuhkan waktu ± 45 menit, dan boat yang
digunakan pun tidak terlalu besar dan biasanya mampu membawa penumpang sebanyak
100 orang dengan keadaan penumpang yang harus rela duduk berdesak-desakan,
karena akses untuk menuju ke Desa Jaring Halus ini tidak setiap jam ada. Namun,
karena kami merupakan rombongan kami memutuskan untuk menyewa 2 buah boat agar
perjalanan kami lebih aman.
Disepanjang
perjalanan menuju Desa Jaring Halus, kami melihat hutan mangrove terhampar luas
dipertengahan muara. Hal ini tentu saja tidak membuat kami merasa bosan
disepanjang perjalanan dengan adanya pemandangan ini ditambah dengan suara
percikan air dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana didalam boat tidak
penat. Dari jarak yang cukup jauh, kami melihat menara mesjid yang cukup tinggi
yang menunjukkan bahwa letak Desa Jaring Halus tidak jauh lagi dan kami akan segera sampai di perkampungan itu.
Kami merasa
nyaman dan senang karena kehadiran kami diterima oleh masyarakat Desa Jaring
Halus. Masyarakat Desa Jaring Halus sangat senang dengan kehadiran orang-orang
baru disana terlebih-lebih kehadiran mahasiswa. Mereka sangat terbuka dan tidak
menolak kedatang mahasiswa yang hendak melakukan penelitian di desanya.
III.2 Kondisi Fisik
Desa Jaring Halus
Desa Jaring
Halus dihuni oleh 785 KK dan dibagi menjadi 5 Dusun . Masyarakat Desa Jaring
Halus ini terdiri dari beberapa suku yakni Melayu yang menjadi suku mayoritas
penduduk, kemudian suku Mandailing, Karo, Jawa dan Nias. Dan keseluruhan
masyarakatnya beragama islam. Desa sicanggang dikelilingi hutan mangrove yang
sangat lebat . Di hutan tersebut ,terdapat banyak fauna diantaranya seperti
burung dan ikan. Potensi alam di desa ini masih sangat besar dikarenakan
masyarakat yang masih melestarikan hutan-hutan mangrove yang ada di sekitar.
Masyarakat desa tersebut mempunyai kearifan tradisional
dalam mangelola dan memanfaatkan hutan mangrove yang ada di desanya .meskipun
desa Jaring Halus sering mendapat bantuan teknis dan pendampingan dan material
dan pemerintah atau LSM namun sebenarnya mereka mendapat pengetahuan lokal
tentang pelestarian hutan tumbuh secara alami. Demikian pendapat salah satu
warga di Dusun 5 yang bernama Ibu Yuslina.
Ketika kami
sampai di Desa Jaring Halus, yang menjadi pemandangan pertama yang kami amati adalah
kondisi jalan yang sempit yang saling menghubungkan setiap dusun dan rumah-rumah
kecil yang saling berdempet dengan berdinding papan, dan beberapa diantaranya
ada yang semi permanen, bahkan ada juga yang permanen. Selain itu, kebanyakan
rumah-rumah warga Desa Jaring Halus berbentuk seperti rumah panggung. Hal lain
yang bisa kita lihat adalah kondisi lingkungan pemukiman yang dipenuhi oleh
sampah. Banyak sampah yang tertimbun dibawah kolong rumah masyarakat, mulai
dari sampah plastik, kaleng-kaleng, dan kulit kerang. Selain merupakan sampah
masyarakat, sampah-sampah lain merupakan sampah yang terbawa oleh air laut yang
sedang pasang. Para warga desa ini juga tidak memiliki inisiatif untuk
membersihkan lingkungan mereka, karena mereka berpendapat bahwa sampah-sampah
tersebut akan terbawa oleh arus air laut.
Selain itu,
kami juga melihat sebuah mesjid yang cukup besar dan merupakan mesjid
satu-satunya di Desa Jaring Halus. Kemudian aset lain yang dimiliki oleh desa
ini juga adalah sebuah Sekolah Dasar, juga sebuah SLTP, serta memiliki sebuah
Puskesmas. Pemanfaatan Puskesmas di desa ini belum maksimal dilakukan, seperti
yang dikemukakan oleh salah seorang warga Dusun V yakni Ibu Yuslina ketika
diwawancarai adalah yang menjadi kendala bagi warga Desa Jaring Halus untuk
berobat di Puskesmas adalah ketidakadaan biaya pengobatan. Mereka lebih memilih
alternatif lain yakni berobat kepada orang pintar yang biayanya relatif lebih
murah.
Selain itu,
kami juga melihat perpustakaan yang letaknya di dalam Kantor Lurah Desa Jaring
Halus. Perpustakaan ini tidak memiliki buku dalam jumlah banyak, namun cukup memadai. Hal
lain yang menjadi hasil pengamatan kami adalah desa ini juga memiliki seorang
Kepala Desa yang bernama Pak Muktamar Laia. Beliau bukanlah Suku Melayu, namun
merupakan kelahiran dari Suku Nias. Ia dipilih melalui pemilihan langsung yang
dilakukan oleh warga Desa Jaring Halus. Bagi masyarakat Desa Jaring Halus,
mereka tidak mempersoalkan latar belakang orang yang akan memimpin mereka,
terserah dari suku manapun yang pasti bisa dipercaya bisa memimpin Desa Jaring
Halus lebih baik lagi. Selain Kepala Desa, Desa Jaring Halus juga memiliki
Kepala Adat yakni yang disebut sebagai Pawang Laut. Pawang laut adalah seseorang yang dapat menerima atau
merasakan pesan-pesan yang datang dari penghuni laut atau semacam hal magic
yang terdapat di sekitar desa. Jadi tidak sembarang orang yang bisa menjadi
Pawang Laut, namun hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan khusus
dan mengetahui sejarah Desa Jaring Halus.
Dari keadaan situasi
tersebut, memberikan gambaran bahwa masyarakat Desa Jaring Halus belum terlepas
dari kepercayaan mereka terhadap hal-hal mistis dan masih percaya akan kekuatan
magic.
Kemudian, kami
juga memperoleh informasi dari warga juga dari Kepala Desa serta Sekretaris Camat
bahwa tanah yang menjadi tempat tinggal warga tidaklah menjadi kepemilikan
pribadi namun merupakan tanah adat. Setiap tahunnya Desa Jaring Halus akan
menyetor pajak sebesar Rp 360.000,00 dan dana ini diperoleh dari kontribusi
setiap rumah tangga yang bertempat tinggal di Desa Jaring Halus.
III.3 Sumber Daya Manusia di Desa Jaring Halus
Dari segi sumber daya manusia,
warga Desa Jaring Halus belum bisa dikatakan memadai, karena kebanyakan dari
masyarakat desa ini memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Banyak dari warga
Desa Jaring Halus yang mengenyam pendidikan hanya di bangku SD, dan selebihnya
di tingkat SLTP. Hanya beberapa orang saja yang bisa menduduki tingkat
pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi, karena tingkat pendidikan SLTA terletak
diluar desa dan juga karena rendahnya pendapatan masyarakat Desa Jaring Halus.
Bahkan diantara warga Desa Jaring halus ada yang belum menamatkan pendidikan
dasar, dan beberapa diantaranya ada yang menikah diusia yang tergolong masih
sangat muda.
Selain itu berdasarkan pengamatan
yang telah kami lakukan, kami melihat bahwa anak-anak di Desa Jaring Halus berbeda
dengan anak-anak yang ada di kota. Hal ini bisa dibandingkan dengan kegiatan
mereka sehari-hari. Salah satu hal yang kami dapatkan, bahwa kegiatan anak-anak
yang sedang duduk dibangku sekolah setelah pulang sekolah, mereka mencari ikan,
kerang, barang-barang bekas yang sudah rusak (botot). Kebiasaan ini mereka
lakukan, untuk menambah uang jajan. Dengan hasil penjualan ini, mereka bisa menikmati
uang hasil keringat mereka sendiri.
Mengenai proses belajar, mereka
hanya belajar di sekolah saja, setelah itu mereka tidak menggunakan waktu
luangnya untuk belajar di rumah. Hal ini bisa dibuktikan bahwa sepulang sekolah
mereka sibuk dengan pekerjaan yang menghasilkan uang, bukan belajar di rumah. Kami
melihat anak-anak di desa ini sangat senang dalam mencari uang, walaupun hasil
yang mereka peroleh sedikit.
III.4 Keadaan
Ekonomi Masyarakat Desa Jaring Halus
Sebagaimana ciri masyarakat
nelayan, masyarakat Desa Jaring Halus mayoritas berprofesi sebagai nelayan, karena
keberadaan Desa Jaring halus ini yang dikelilingi oleh lautan, selebihnya
berprofesi sebagai pengusaha ikan, pedagang, dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa sumber daya laut menjadi potensi utama yang
menggerakan kegiatan perekonomian desa ini. Tentu saja untuk
memanfaatkan sumber daya laut ini bergantung pada cuaca. Jika keadaan cuaca
buruk maka para nelayan ini tidak bisa melaut. Sehingga hal ini sangat
mempengaruhi keadaan perekonomian warga Desa Jaring Halus, yang membuat tingkat
pendapatan yang mereka terima sangat rendah, ditambah lagi bila hasil tangkap
yang diperoleh sangat sedikit akibat penggunaan alat-alat yang secara instan
bisa membuahkan hasil yang banyak yang akhirnya membuat komoditas ikan dilaut
terganggu. Belum lagi bila warga tersebut hanyalah sebagai nelayan kecil yang
menggunakan fasilitas melaut dari tauke. Nelayan tersebut harus membagi hasil
yang diperoleh kepada tauke, dan pembagian ini pun tidak sebanding, karena
bahan bakar yang digunakan disaat melaut dibebankan kepada nelayan kecil.
Seperti yang dikemukakan oleh
salah seorang warga yang bernama Pak Aswan yang sudah menikah dengan Ibu
Zulfa dan memiliki 7 orang anak, bahkan ada 3 orang anak yang sudah
berkeluarga. Pak Aswan dan Ibu Zulfa dari kecil sudah bertempat tinggal di Desa
Jaring Halus tersebut. Pekerjaan Pak Aswan sebagai nelayan. Dan Ibu Zulfa
sebagai Ibu Rumah Tangga. Beliau mengatakan bahwa terkadang dalam bekerja
seperti melaut tidak menentu. Hal ini dikarenakan oleh adanya halangan misalnya
cuaca. Cuaca yang tidak mendukung akan membuat para nelayan tidak dapat
bekerja. Dan ini membuat mereka tidak memperoleh penghasilan. Selain itu, istri
para nelayan juga biasanya mencari pekerjaan sampingan yang bisa membantu
perekonomian keluarga mereka. Mereka bekerja sebagai buruh pembelah ikan pada
toke ikan. Selain itu ada juga ibu-ibu yang berjualan sabun cuci piring, jamu
yang merupakan hasil dari pelatihan mereka selama mengikuti kegiatan PKK.
III.5 Sosial Budaya
Menurut pemaparan Ibu Yuslina yang
merupakan warga Dusun V ia mengatakan bahwa sistem kekerabatan di Desa Jaring
Halus masih sangat erat. Hampir semua warga Desa Jaring Halus saling mengenal satu
sama lain. Bahkan tidak jarang kita bisa menemukan di satu dusun itu warganya
saling memiliki ikatan darah (bersaudara). Masyarakat Desa Jaring Halus
menjalin interaksi yang baik terhadap sesamanya.
Selain itu, Ibu Yuslina juga
memaparkan bahwa Desa Jaring Halus memiliki tradisi yang sudah dilakukan secara
turun - temurun oleh warga Desa Jaring Halus. Hal ini juga di kemukakan oleh
Bapak Sariman yang juga merupakan warga Dusun V dan Beliau merupakan saudara
dari Ibu Yuslina. Tradisi tersebut disbut dengan nama “Jamu Laut “ dan “ Tolak
Bala “.
III.5.1 Tradisi Jamu Laut
Kata ini tak lagi asing bagi
mereka yang tinggal di kawasan pesisir laut. Sebab jamu laut adalah sebuah
ritual menghormati para lelembut yang menguasai kawasan laut. Mereka dipercayai
memberikan kesejahteraan bagi para nelayan. Ini adalah sebuah peninggalan
kebudayaan yang telah berlangsung dalam kurun berabad, lalu kini pelaksanaannya
disesuaikan agama yang dianut di setiap daerah.
Upacara Jamu Laut yang dilaksanakan di
Desa Jaring Halus dilaksanakan 3 tahun sekali dan tanggal pelaksanaannya tidak
ditetapkan, namun Pawang Lautlah yang akan memberitahu masyarakat tanggal
pelaksanaannya. Upacara ini dilakukan jika dirasa laut sudah berkurang
menghasilkan ikan seperti biasanya, atau ketika banyak nelayan yang mengalami
kecelakaan di laut sewaktu mencari ikan. Oleh karena itu, dibuatlah upacara Jamuan
Laut dengan memanggil pawang laut untuk memimpin upacara tersebut.
Jamu Laut ini merupakan bahagian dari kearifan
tradisional, karena sebagai bentuk hubungan yang harmonis manusia dengan alam.
Masyarakat mengkonsepsikan bahwa di alam dan sekitar pemukiman serta tempatnya
mencari nafkah (muara, laut dan hutan) juga dihuni oleh mahluk lain yang
memiliki kekuatan supranatural. Mahluk ini dengan kekuatannya dapat memberikan
kebaikan berupa hasil tangkapan yang berlimpah, tetapi juga berbagai penyakit
yang bisa menyebabkan kematian. Sikap terbaik dalam konsepsi masyarakat adalah
membangun hubungan yang harmoni dengan mahluk tersebut melalui cara tidak merusak
alam dan memberikan makanan melalui Upacara Jamu Laut.
Dalam ritual ini, mereka
melakukan sesaji kepada para lelembut berupa kepala kambing, kepala ikan dan
kue-kue buatan masyarakat. Dana pelaksanaan Jamu Laut ini merupakan iuran yang
dikumpulkan dari setiap warga. Dan acara ini biasanya menghabiskan dana puluhan
juta rupiah. Masyarakat akan melakukan makan bersama. Mereka bisa makan
sepuasnya, namun apabila masih ada makanan yang tersisa, mereka tidak boleh
membawa pulang kerumah. Makanan tersebut akan mereka tinggalkan disana untuk
para leluhur dan penghuni laut. Dan menurut kepercayaan mereka, para leluhur
dan penghuni laut juga turut serta berkumpul bersama mereka disana. Dan melalui
upacara ini mereka mengucapkan syukur kepada para leluhur dan penghuni laut.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada saat dilakukan acara jamuan laut yaitu
mereka menggunakan batang kayu bakau sebanyak 10 buah dengan tinggi sekitar 3-4
meter yang digunakan sebagai tiang bendera yang dipacakkan di sudut kampung,
dan masyarakat menggunakan kayu bakau ukuran kecil sebanyak 20 batang yang
dijadikan tempat untuk makanan yang menurut kepercayaan mereka makanan tersebut
dipersembahkan untuk penghuni laut sebagai rasa ucapan syukur. Dan tempat
makanan ini tidak boleh dipegang oleh siapapun dan tidak boleh sengaja
diruntuhkan. Namun dibiarkan runtuh dengan sendirinya. Dituturkan oleh Ibu Yuslina juga Bapak Seriman bahwa dala
pelaksanaan Jamu Laut orang-orang luar Desa Jaring Halus juga turut serta dalam
acara tersebut, yakni orang-orang Malaysia karena acara Jamu Laut ini dulu
pertama kali dilakukan oleh orang Malaysia yang menjadi pendiri Desa Jaring
Halus. Sorenya, mereka melakukan hari pantang. Hari di mana selama 24 jam
mereka tidak boleh mengangkat air yang berasal dari tanah maupun laut. Tidak
boleh mengambil seluruh benda yang jatuh ke tanah, tidak boleh menebang kayu.
Serta dilarang memotong sesuatu yang berdarah selama 40 hari sejak hari pantang
diberlakukan. Dan biasanya sekolah-sekolah akan diliburkan pada saat hari pantang
ini dilkasanakan.
Maka beberapa jam setelah ritual
jamu laut selesai, kampung mulai kosong. Yang tersisa hanya 10% dari total 785
KK warga pulau Jaring Halus. Warga meninggalkan kampung karena mereka tidak
bisa menjamin anak-anaknya dapat menghindari seluruh pantangan. Mereka memilih
meninggalkan kampung pergi ke tempat sanak famili yang tinggal di luar pulau.
Karena jika
salah seorang dari mereka melanggar pantangan maka akan dapat sangsi berupa
denda atau tiba-tiba akan terjadi musibah yang menimpa orang yang melanggar
pantangan tersebut. Maka harus diadakan Pengulangan Jamu Laut dengan kembali
mengumpulkan dana untuk persiapan pelaksanaannya.
Agama islam biasanya
melarang umatnya mengadakan ritual-ritual lainnya seperti memberikan persembahan-persembahan
kepada selain ALLAH. Namun masyarakat Desa Jaring Halus malah mengabaikan hal
tersebut dan kebanyakan mereka mempelajari ilmu-ilmu magis yang bersifat tidak
terlihat. Seperti yang di katakan Sariman: “Semua ilmu itu suci tidak ada yang
di sebut dengan ilmu hitam melainkan digunakan untuk hal-hal tidak baik” Beliau adalah seorang nelayan Desa Jaring
Halus yang turut ikut serta mempelajari hal-hal magis dan mengaku sudah banyak
menguasai ilmu-ilmu tersebut. Bapak Mukhtamar juga menyampaikan hal yang serupa
bahwa Jamu Laut ini tidak bisa dikatakan tidak percaya kepada Tuhan, karena
pada proses pelaksanaannya ayat-ayatserta doa-doa yang dibacakan sama seperti
yang diajarkan oleh agama.
Dan menurut penuturan Ibu
Yuslina dan Bapak Sariman, orang – orang yang berkunjung ke pinggir pantai
tidak boleh terlalu bergembira, tidak boleh teriak-teriak, tidak boleh cakap
kotor karena akan menyebabkan sesuatu terjadi kepada orang yang melakukannya.
III.5.2
Tradisi Tolak Bala
Menurut pemaparan Kepala
Desa Jaring Halus yakni Bapak Mukhtamar Laia, ia berpendapat bahwa sebagian
besar orang menganggap bahwa Tolak Bala dana Jamu Laut itu sama dan tidak
berbeda. Namun sebenarnya, Tolak Bala ini memiliki perbedaan dengan Jamu Laut.
Tolak Bala dilakukan dua tahun sekali, sedangkan Jamu Lau tiga tahun sekali.
Tolak Bala ini muncul dalam bentuk upacara pemujaan
terhadap penyembuhan penyakit yang disebabkan karena sakit demam, sakit perut,
guna-guna secara serentak penyakitnya. Jadi masyarakat akanberkumpul di depan
mesjid selama 3 hari untuk membaca doa demi keselamatan mereka agar terhindar
dari penyakit yang sedang mewabah.
Kedua tradis yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jaring Halus ini
dipercaya bisa membuat desa ini terlindungi dari bencana alam. Seperti yang
dikemukakan oleh Pak Sariaman, bahwa dulu mereka pernah hampir di timpa oleh
bencana yakni tsunami, ketika air di sekeliling kampung ini surut mereka para
ibu-ibu dan anak-anak segera diungsikan ke Batang Buluh, dan yang tinggal hanya
para kaum bapak. Menurut penuturan Pak Sariaman, ketika keberadaan desa sudah
sepi beberapa warga melihat air laut setinggi ± 2 meter naik, saat itu
warga sudah pasrah akan apa yang terjadi. Namun, tiba-tiba air laut tersebut
surut kembali dan kembali seperti semula. Hal ini dipercaya dilakukan oleh
penjaga laut. Itu sebabnya tradisi ini tidak pernah ditinggalkan.
III.6 Modernisasi
Berdasarkan hasil pengamatan yang kami peroleh,
masyarakat Desa Jaring Halus tidak setiap hari keluar dari desa, hanya jika ada
keperluan saja. Dengan keluarnya mereka dari desa maka disitulah waktu mereka
untuk berinteraksi dengan orang luar. Mereka perlahan-lahan mulai mengikuti
gaya berbusana seperti masyarakat luar, selain itu mengikuti model rambut,
misalnya saja melakukan pewarnaan rambut, gaya rambut, dan lain-lain.
Selain itu, warga Desa Jaring Halus sudah menerima
kehadiran teknologi di lingkungannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya
masyarakat yang memiliki televisi, telepon genggam, lemari pendingin di
buktikan dengan kehadiran pedagang es krim dan beberapa diantaranya sudah
mengetahui internet. Walaupun tidak semua masyarakat desa memiliki dan
mengetahuinya. Masyarakat Desa Jaring Halus juga mengalami perubahan dalam segi
penggunaan alat-alat melaut yang sudah lebih baik. Masyarakat Desa Jaring Halus
tidak memiliki alat-alat transportasi seperti yang ada di kota. Alat
transportasi yang sering mereka gunakaan hanyalah boat yang mengantarkan mereka
keluar desa. Mereka tidak memiliki aset pribadi berupa sepeda motor, mobil,
becak mesin, dan lain-lain. Disana memang ada salah seorang warga yang memiliki
kendaraan roda dua yakni sepeda motor mini. Sepeda motor yang dimiliki oleh
warga ini serupa dengan mainan anak-anak karena ukurannya yang cukup kecil, dan
biasanya sepeda motor ini disewakan kepada orang-orang yang ingin
menggunakannya keliling perkampungan Desa Jaring Halus. Mereka harus membayar
Rp 10.000,00 per jam.
Di Desa Jaring Halus tidak terdapat swalayan seperti
yang ada di kota. Di desa ini hanya ada beberapa warung kecil yang menjual
jajanan – jajanan tapi tidak untuk barang-barang kelontong. Hal ini membuat
mereka harus keluar desa untuk membeli kebutuhan dapur rumah tangganya. Dan ada
juga pedagang keliling yang juga menjual jajanan.
III.7 Kebijakan Pemerintah terhadap Desa Jaring
Halus
Pemerintah tidak diam begitu saja melihat kondisi
warga Desa Jaring Halus. Menurut informasi yang kami terima dari beberapa warga
yakni Ibu Yuslina warga Dusun V, mengatakan bahwa pemerintah sudah turut
membantu para warga Desa Jaring Halus dengan diberikannya bantuan kepada warga
berupa sembako, kemudian membangun infrastruktur jalan di kampung ini dengan
melakukan perbaikan jalan yang sudah ada, kemudian dengan diberikannya dana bos
membuat pengeluaran orang tua di Desa Jaring Halus tidak begitu banyak dan
anak-anak mereka bisa bersekolah. Pemerintah juga mekakukan renovasi rumah bagi
warga Desa Jaring Halus yang memiliki rumah tidak layak huni. Namun terkadang
bila ada sosialisasi atau pelatihan
dalam pembuatan kerajinan tangan kerap terjadi ketidakmerataan diantara dusun.
Menurut Ibu Yuslina, warga Dusun I dan
dusun II merupakan warga yang sering mengikuti pelatihan dalam membuat
kerajinan tangan misalnya saja membuat sabun cuci piring. Pengetahuan ini tidak
diketahui oleh warga Dusun lain yang juga merupakan warga Desa Jaring Halus
akibat ketidakmerataan penyampaian informasi kepada seluruh warga. Warga yang
menerima pelatihan tersebut biasanya memiliki penghasilan yang cukup untuk
membantu perekonomian keluarganya karena mereka bisa menjual hasil produksi
mereka.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian penelitian tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut. Desa Jaring Halus merupakan sebuah desa pesisir dimana
mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Hal ini dikarenakan letak
desa ini dikelilingi oleh lautan. Dari hasil pengamatan kami
desa Jaring Halus dapat dikategorikan sebagai desa Swakarya. Hal ini
ditunjukkan oleh keberadaan teknologi yang sudah ada di desa dan diterima
dengan baik. Masyarakat juga sudah menggunakan teknologi saat melaut (menangkap
ikan).
Meskipun mereka sudah menerima
teknologi dan perubahan namun masyarakat pada umumnya masih mempercayai
beberapa hal yang bersifat mistik. Contohnya adalah tradisi Jamu Laut dan Tolak
Bala. Hal ini kami dapat langsung dari warga saat kami mewawancarainya. Hal ini
dalam pandangan peneliti merupakan sebuah sesuatu yang unik. Di satu sisi
mereka sudah memeluk dan meyakini agama yang mereka anut, tetapi mereka masih
mempercayai hal-hal yang bersifat mistik. Dari pandangan kami, secara
subyektif, hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan. Namun mereka merasa
nyaman dengan kebiasaan itu.
B.
SARAN
Setelah melakukan observasi dan wawancara dengan masyarakat, harapan
mereka agar pemerintah melakukan kebijakan dengan pemerataan pembangunan. Saat
kami melakukan wawancara engan salah satu penduduk di dusun 5, kami menemukan
fakta bahwa kerap kali sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kurang
berjalan dengan baik. Hal ini bisa dibuktikan dari kurang meratanya sosialisasi
tersebut sehingga ada dusun yang tidak mengetahui isi dari sosialisasi
tersebut.
Selain mengenai sosialisasi,
masalah sampah juga memerlukan perhatian khusus. Diperlukan kerja sama antara
pemerintah dengan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan desa. Selain
masalah kebersihan, pemerintah juga perlu memberikan sosialisasi mengenai
pentingnya menabung untuk masa depan. Dari hasil pengamatan, uang jajan
anak-anak di desa Jaring Halus rata-rata sebesar 10.000 rupiah. Ini jelas
nominal yang cukup besar. Sehingga perlu diberikan pengertian kepada masyarakat
arti menabung demi masa dean, terutama untuk pendidikan.
[1] Devi Asiati, dkk. 2012. Pengelolaan Sumber Daya Laut dan
Kesejahteraan Masyarakat. Leuser Cita Pustaka: Jakarta. Hal. 10.
[2] S, Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. Raja Grafindo Persada:
Jakarta. Hal. 47.
[3] Ibid, hal. 49.
[4] Basri, Yuswar. 2007. Bunga Rampai
Pembangunan Ekonomi Pesisir. Universitas Trisakti: Jakarta. Hal. 35
[5] Ibid, hal. 56
[6] Mubyarto. 2000. Kisah-kisah IDT & Program Menghapus Kemiskinan di Sulawesi.
Aditya Media: Yogyakarta. Hal. 3. s
[7] Kusnadi. 2004. Polemik kemiskinan
Nelayan. Pondok edukasi & Pokja Pembaruan: Bantul. Hal. v
[8] Ibid, hal. 29
[9] Arif Nasution, dkk. 2005. Isu-isu
kelautan Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal.
61.
[10] Ibid, hal. 87-90.
Tags : Jurnal Sosiologi