-->

Maret 09, 2016

Sosiologi Perkebunan



Ikatan Kerja

Dalam masyarakat perkebunan penyerahan wewenang dari pengusaha local kepada tuan kebun tidak hanay berlaku untuk tanah melainkan juga untuk hak menguasai tenaga kerja. Kenyataannya tenaga kerja itu lebih sulit diperolah daripad tanah, sehingga dalam masyarakat perkebunan, tenaga kerja itu didatangka dari tempat lain. Dalam suku adat melayu, memberikan kesempatan kepadataun kebun untuk memastikan agar kuli menempati kewajibannya, dan tuan kebun bisa menghukum bila kuli bermaksud mengelakkan kewajibannya (veth 1887:168). Dalam hal ini kuli yang ingin memutuskan hubungan kerja dengan tuan kebun, dianggap melakukan pelanggaran. Tuan kebun berpegang pada anggapan bahwa menurut perjanjian 1862 kekuasan hukum dan kepolisian berada di tangan Sultan deli. Tuan kebun selalu mengandalkan alasan bahwa semakin rendahnya mutu para pekerja untuk menegakkan disiplin para kuli. Ada juga anggapan bawa tenaga kerja itu adalah “sampah masyarakat bangsa Cina”. Pada tahun 1873, di Deli yang sementara dibawah siak, mendapat seorang asisten residen yang semula berkedudukan di Labuhan, tapi sejak 1879 pindah ke Medan. Residen ini memiliki kekuasaan hukum atas penduduk yang berasal dari tempat lain. Dalam hal ini Sultan Deli menerima 85.000 gulden/tahun, dan para pembesar kerajaan menerima hamper setengah dari total tersebut, sedangkan penguasa pribum harus puas dengan jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi imbalan yang mereka terima berlimpah dibandngkan dengan gaji asisten residen dan kontrolir yang bertugas di daerah itu.

            Di Jawa, terdapat juga peraturan hukum khusus yang sudah lebih dahulu diterapkan dibangdingkan di Deli. Pada tahun 1829, para pembantu rumah tangga di Surabaya bisa dituntut apabila mereka meninggalkan majikan tanpa izin. Sistem tanam pkas yang dilakuka oleh masyrakat belanda mengharuskan penduduk daearah pertanian di Jawa melakukan pekerjaan secara kolektif lewat kepala des, artinya tidak perlu mereka dipaksa bekerja secara perorangan. Akan tetapi peraturan ini ditentang oleh wakil-wakil sebuah aliran politik baru yang beranggapan bahwa Negara harus menarik diri dari kehidupan ekonomi dan tidak boleh mencampuri maslah hubungan antara majikan dan buruh. Pada tahun 1872, untuk seluruh kepulauan ini mulaiberlaku peraturan kepolisian yang baru, yaitu bahwa buruh bisa dihukum apabila memutuskan kontrak tanpa memperhatikan tenggang waktu yang pantas atau menolak bekerja (Koeli 1918:361). Bila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar harus kembali kepada majikan untuk menyelesaikan masa kerjanya sesudah ia menjalani hukuman. Dalam hal ini pemerintah dan tuan kebun bekerjasama dan terlihat kerjasamanya dari asisten residen ketiak pendapat pemerintah sama dengan pendapat tuan kebun dan mendukung usul-usul tuan kebun. Kekuatan polisi afdeling Deli hanya terdiri atas seorang mandor dan 12 orang opas. Sedangkan di daerah Langkat dan Serdang pada masa itu sama sekali tidak mempunyai kepolisian untuk menjaga kebunnya. Keamanan dan disiplin dipercayakan kepada kekuasaan Sultan sudah merosot menjadi keadaan tanpa hukum. Sehigga menyebabkan para kuli-kuli beraksi akibat tindakan semena-mena terhadapa kuli terjadilah dendam yang mengakibatkan perampokkan, pembakaran, dan pembunuhan yang dilakukan oleh gerombola kuli tersebut. Para golongan menengah yang merupakan pemilik took, pedagang Cina, pengelola rumah judi dan tempat madat selalu menjadi korban dendam para kuli yang sudah dipecat oleh tuan kebunnya. Tuan kebun melalukan pengamanan sendiri akibat tidak adanya perlindungan penuh dari pihak yang berwajib dengan cara mengambil tindakan yang dikenal dengan larangan untuk “Bergelandangan”, mendirikan pos-pos penjagaan dan membentuk dinas patroli. Terdapat juga peraturan bahwa setiap penduduk yang menangkap basah para kuli yang membuat tindakan perampokan dapat menangkap dan mengadukkanya pada pihak yang berwajib. Akan tetapi tuan kebun jarang menyerahkan para pelaku pelanggaran kepada pihak berwajib, tuan kebun menghukum sendiri para pelanggar tersebut dengan sesuka hatinya saja demi mempertahankan keamanan usahanya. Praktek seperti itu sudah dianggap wajar oleh public.

            Pada tahun  1873 terjadi ketidakberesan dan pemerintah harus bertindak untuk menghindarkan kerusuhan di sebuah perkebunan (Broersma 1919:73). Pada Tahun 1876, seorang anggota pengadilan tinggi dari Batavia, ditemani oleh seorang juru bahas Cina, dikirim ke Deli untuk menyelidiki sejumlah pengadauan tentang penganianyaan atas para kuli oleh beberapa tuan kebunnya. Pembelaan diri dari tuan kebun dengan cara mengatakan bahaw hal yang terjadi hanya berupa ekses, maksudnya kejadian yang tidak bisa dielakkan, karena pemerintah setempat tidak mempunyai saran untuk melakukan ketertiban.

Tags :

bonarsitumorang