Sosiologi Perkebunan
Ikatan Kerja
Dalam
masyarakat perkebunan penyerahan wewenang dari pengusaha local kepada tuan
kebun tidak hanay berlaku untuk tanah melainkan juga untuk hak menguasai tenaga
kerja. Kenyataannya tenaga kerja itu lebih sulit diperolah daripad tanah,
sehingga dalam masyarakat perkebunan, tenaga kerja itu didatangka dari tempat
lain. Dalam suku adat melayu, memberikan kesempatan kepadataun kebun untuk
memastikan agar kuli menempati kewajibannya, dan tuan kebun bisa menghukum bila
kuli bermaksud mengelakkan kewajibannya (veth 1887:168). Dalam hal ini kuli
yang ingin memutuskan hubungan kerja dengan tuan kebun, dianggap melakukan
pelanggaran. Tuan kebun berpegang pada anggapan bahwa menurut perjanjian 1862
kekuasan hukum dan kepolisian berada di tangan Sultan deli. Tuan kebun selalu
mengandalkan alasan bahwa semakin rendahnya mutu para pekerja untuk menegakkan
disiplin para kuli. Ada juga anggapan bawa tenaga kerja itu adalah “sampah
masyarakat bangsa Cina”. Pada tahun 1873, di Deli yang sementara dibawah siak,
mendapat seorang asisten residen yang semula berkedudukan di Labuhan, tapi
sejak 1879 pindah ke Medan. Residen ini memiliki kekuasaan hukum atas penduduk
yang berasal dari tempat lain. Dalam hal ini Sultan Deli menerima 85.000
gulden/tahun, dan para pembesar kerajaan menerima hamper setengah dari total
tersebut, sedangkan penguasa pribum harus puas dengan jumlah yang lebih
sedikit. Akan tetapi imbalan yang mereka terima berlimpah dibandngkan dengan
gaji asisten residen dan kontrolir yang bertugas di daerah itu.
Di Jawa, terdapat juga peraturan
hukum khusus yang sudah lebih dahulu diterapkan dibangdingkan di Deli. Pada
tahun 1829, para pembantu rumah tangga di Surabaya bisa dituntut apabila mereka
meninggalkan majikan tanpa izin. Sistem tanam pkas yang dilakuka oleh masyrakat
belanda mengharuskan penduduk daearah pertanian di Jawa melakukan pekerjaan
secara kolektif lewat kepala des, artinya tidak perlu mereka dipaksa bekerja
secara perorangan. Akan tetapi peraturan ini ditentang oleh wakil-wakil sebuah
aliran politik baru yang beranggapan bahwa Negara harus menarik diri dari
kehidupan ekonomi dan tidak boleh mencampuri maslah hubungan antara majikan dan
buruh. Pada tahun 1872, untuk seluruh kepulauan ini mulaiberlaku peraturan
kepolisian yang baru, yaitu bahwa buruh bisa dihukum apabila memutuskan kontrak
tanpa memperhatikan tenggang waktu yang pantas atau menolak bekerja (Koeli
1918:361). Bila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar harus kembali kepada
majikan untuk menyelesaikan masa kerjanya sesudah ia menjalani hukuman. Dalam
hal ini pemerintah dan tuan kebun bekerjasama dan terlihat kerjasamanya dari
asisten residen ketiak pendapat pemerintah sama dengan pendapat tuan kebun dan
mendukung usul-usul tuan kebun. Kekuatan polisi afdeling Deli hanya terdiri atas seorang mandor dan 12 orang opas.
Sedangkan di daerah Langkat dan Serdang pada masa itu sama sekali tidak
mempunyai kepolisian untuk menjaga kebunnya. Keamanan dan disiplin dipercayakan
kepada kekuasaan Sultan sudah merosot menjadi keadaan tanpa hukum. Sehigga
menyebabkan para kuli-kuli beraksi akibat tindakan semena-mena terhadapa kuli
terjadilah dendam yang mengakibatkan perampokkan, pembakaran, dan pembunuhan
yang dilakukan oleh gerombola kuli tersebut. Para golongan menengah yang
merupakan pemilik took, pedagang Cina, pengelola rumah judi dan tempat madat
selalu menjadi korban dendam para kuli yang sudah dipecat oleh tuan kebunnya.
Tuan kebun melalukan pengamanan sendiri akibat tidak adanya perlindungan penuh
dari pihak yang berwajib dengan cara mengambil tindakan yang dikenal dengan
larangan untuk “Bergelandangan”, mendirikan pos-pos penjagaan dan membentuk
dinas patroli. Terdapat juga peraturan bahwa setiap penduduk yang menangkap
basah para kuli yang membuat tindakan perampokan dapat menangkap dan mengadukkanya
pada pihak yang berwajib. Akan tetapi tuan kebun jarang menyerahkan para pelaku
pelanggaran kepada pihak berwajib, tuan kebun menghukum sendiri para pelanggar
tersebut dengan sesuka hatinya saja demi mempertahankan keamanan usahanya.
Praktek seperti itu sudah dianggap wajar oleh public.
Pada tahun 1873 terjadi ketidakberesan dan pemerintah
harus bertindak untuk menghindarkan kerusuhan di sebuah perkebunan (Broersma
1919:73). Pada Tahun 1876, seorang anggota pengadilan tinggi dari Batavia,
ditemani oleh seorang juru bahas Cina, dikirim ke Deli untuk menyelidiki
sejumlah pengadauan tentang penganianyaan atas para kuli oleh beberapa tuan
kebunnya. Pembelaan diri dari tuan kebun dengan cara mengatakan bahaw hal yang
terjadi hanya berupa ekses, maksudnya kejadian yang tidak bisa dielakkan,
karena pemerintah setempat tidak mempunyai saran untuk melakukan ketertiban.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009