Makalah: Tafsir Sosial Atas Kenyataan
BAB I
DASAR-DASAR PENGETAHUAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Kenyataan
Hidup Sehari-hari
Kenyataan dalam kehidupan kita adalah sesuatu yang
memang tergantung atas kesadaran kita sendiri atas hal tersebut. Kenyataan
tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terus berlanjut dalam
kehidupan kita. Dari hal tersebutlah kita memiliki tingkat tanggapan perasaan
yang berbeda sesuai dengan apa yang kita hadapi. Pengarang buku menyebutnya
dengan kesadaran atas suatu kenyataan subyektif batiniah.
Salah satu contohnya ialah bedanya perasaan yang kita
alami saat melihat pemandangan yang indah dan perasaan saat kita cemas. Hal ini
membuktikan bahwa kita sedang berada dalam kenyataan hidup yang memang saat itu
kita alami.
Kesadaran akan kenyataan hidup ini akan terus berlaku
bagi kita seiring dengan semua kegiatan kita sehari-hari. Hal itu akan terus
berlangsung sampai suatu saat kita menemukan sesuatu yang berbeda dengan
kebiasaan kita sehari-hari. Misalnya adalah sebuah kegiatan yang dimiliki
montir handal yang menguasai permasalahan tentang mobil. Namun suatu saat
seorang pengendara sepeda motor mengalami kerusakan tepat didepan bengkelnya,
maka seketika hal itu akan lebih membawa ia pada kesadaran akan kenyataan hidup
bahwa ia hanyalah memiliki keahlian dalam bidang mobil, bukan motor. Tindakan
yang dapat ia lakukan ialah menolongnya sebagai seorang profesional, atau
membiarkannya mencari bengkel motor karena memang ia tidak ingin membantu atau
sekedar mencoba membantu atau alasan lainya.
Seperti contoh diatas, begitupun dengan kehidupan
kita. Kita akan terus berjalan menjalani kenyataan hidup yang selama ini kita
sadari adalah kenyataan hidup kita sampai kita menemukan suatu masalah yang
memang berbeda dari kehidupan kita sehari-hari. Layaknya seorang montir
tersebut, kita dapat memilih untuk mengabaikannya, atau kita hendak menelaahnya
bahkan mempelajarinya guna perkembangan kehidupan kita selanjutnya.
Dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur ruang dan waktu. Keduanya
memiliki peran penting dalam pembentukan tingkat kesadaran kita atas kenyataan
yang ada. Seperti halnya kita pernah mengadakan sebuah acara di suatu tempat,
maka saat kita mendatangi tempat tersebut kesadaran kita akan terbangkitkan
kembali. Namun ternyata peran waktu mengambil porsi yang cukup banyak
dibandingkan ruang. Karena kita cenderung lebih banyak kita lewati dari pada
ruang itu sendiri.
Interaksi
Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari
Manusia sebagai makhluk sosial menjadikan dirinya tidak bisa hidup sendiri
tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik secara langsung dengan cara
tatap muka (bertemu) ataupun melalui sarana pembantu. Hal itu akan terus
berlanjut seiring berlangsungnya kehidupan yang memang tidak bisa terlepas dari
pihak lain selain diri kita.
Namun ternyata, proses tatap muka mempunyai peran yang lebih besar dalam proses
interaksi sosial. Karena dengan tatap muka kita akan mengetahui secara langsung
atas apa yang pernah kita ketahui tentang apa yang kita lihat. Dalam kata lain,
kita tidak hanya mendengar kabar saja, melainkan kita dapat membuktikannya
dengan penglihatan kita. Lain halnya dengan interaksi yang dilakukan dengan
sarana pembantu. Kemungkinan adanya rekayasa dalam proses interaksi lebih
besar. Karena kita tidak akan tahu keadaan orang yang menulis kata maaf
misalnya. Apakah benar-benar tulus atau bahkan dilakukan dengan lidah menjulur
sebagai tanda mempermainkan. Sehingga akibatnya kesalah pahaman rentan terjadi.
Namun bukan berarti proses ini tidak memiliki kelemahan sama sekali. Karena
seseorang dapat pula berpura-pura melakukan suatu hal di hadapan kita yang
sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan di belakang kita. Namun
setidaknya ini merupakan proses yang paling berperan. Karena kita dapat
membangun kesadaran akan kenyataan dengannya. Dimana kita bisa menyadari atau
membuktikan atas informasi yang kita terima.
Dapat kita simpulkan bahwa hasil dari semua interaksi apapun sangat ditentukan
oleh sikap kita menanggapi hal itu. Apakah kita menanggapinya sebagai hal yang
positif atau sebaliknya sebagai hal negatif.
Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari
Bahasa yang dimaksud disini tidaklah hanya terbatas dalam arti bahasa sebagai
suara atau perkataan, melainkan bahasa sebagai cara manusia mengekspresikan apa
yang mereka rasakan. Seperti sebuah isyarat, tanda, atau body language sebagai
cara mengekspresikannya.
Bahasa dalam bentuk suara merupakan salah satu tanda untuk mengungkapkan rasa,
namun ternyata ruang lingkupnya lebih sedikit. Seiring dengan perkembangan
zaman dan peragaman bahasa, tentunya tidak semua kalangan mengerti akan satu
bahasa secara keseluruhan. Terlebih untuk lintas makhluk hidup seperti manusia
dengan hewan. Melihat dari kenyataan tersebut, maka bahasa secara umum dapat
mempunyai fungsi yang lebih luas. Seperti misalnya isyarat dengan mengepalkan
tangan atau mengacungkan jempol, tentunya hampir semua orang tahu maksud dari
isyarat tersebut.
Namun terlepas dari pembagian bahasa tersebut, bahasa pun mengambil peran yang
sangat penting dalam interaksi sosial. Dimana bahasa dapat mempersatukan semua
kalangan sehingga antar manusia dapat saling berkomunikasi untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya.
Selain bahasa, hal lain yang mempengaruhi hubungan sosial masyarakat ialah
adanya pengetahuan tentang kehidupan itu sendiri. Dengan pengetahuan yang
dimiliki, manusia akan menemukan kemudahan dalam hidupnya. Namun seperti konsep
pengetahuan pada umumnya, pengetahuan tentang kehidupan pun akan berjalan
begitu saja sampai sauatu saat ada yang mematahkan atau mengkritik atas
pengetahuan tersebut. Secara sendirinya manusia akan melakukan pncarian
pengetahuan baru saat dimana hal yang dia ketahui ternyata tidak berjalan
sesuai kenyataan. Seperti halnya sesorang yang hendak menghubungi orang lain di
kejauhan, sebelum adanya alat bantu maka ia akan mendatanginya walaupun
jaraknya jauh. Namun apabila dia mengetahui bahwa hal itu dapat dibantu oleh
sarana telekomunikasi, tentunya ia akan mendapat kemudahan.
Apabila kita simpulkan, penulis berpendapat bahwa segala bentuk kesadaran atas
kenyataan hidup manusia akan tetap berlangsung begitu saja, samapi ada suatu
masalah yang terjadi yang membuatnya berpikir untuk mencari solusinya atau
bahkan tidak memperdulikannya sama sekali. Termasuk dalam pengetahuan sosial
tersebut. Rasa ingin tahu manusia lebih sering akan muncul saat ia dihadapkan
dengan masalah. Penulis mencontohkannya dengan seseorang yang tidak relevan
untuk mengetahu bagaimana cara memasak istrinya selama masakan tersebut sesuai
dengan seleranya, ia tidak perlu tahu tentang konsep ketuhanan apabila ia
seorang atheis, ia tidak perlu tahu tentang sepeda motor apabila ia tidak
memilikinya, dan lain-lain.
BAB II
MASYARAKAT SEBAGAI KENYATAAN OBJEKTIF
PELEMBAGAAN
A. Organisme dan Aktivitas
Secara biologis organisme manusia terus berkembang
sementara ia sudah berhubungan dengan lingkungannya. proses menjadi manusia
berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan suatu lingkungan.Secara empiris,
eksistensi manusia belangsung dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan
kestabilan. Hal ini disebabkan, bahwa suatu tatanan sosial yang sudah ada
mendahului setiap perkembangan organismis individu. tatanan sosial merupakan
suatu produk manusia, atau lebih tepat lagi, suatu produksi manusia yang
berlangsung terus-menerus. Ia diproduksikan oleh manusia sepanjang
eksternalisasinya yang berlangsung terus-menerus.
Keberadaan manusia harus terus-menerus
mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas. Keharusan antropologis ini berakar
dalam perlengkapan biologis manusia. Ketidakstabilan yang inheren dari
organisme manusia mengharuskannya untuk mengusahakan adanya suatu lingkungan
yang stabil bagi perilakunya. Manusia sendiri harus menspesialisasikan dan
mengarahkan dorongan-dorongannya. Fakta-fakta biologis ini merupakan
praandaian-praandaian bagi produksi tatanan sosial. Dengan kata lain, meski tak
satu pun dari tatanan sosial yang ada dapat diasalkan dari data biologis,
keharusan bagi adanya tatanan sosial itu sendiri berasal dari perlengkapan
biologis manusia.
B. Asal-mula Pelembagaan
Semua kegiatan manusia bisa mengalami proses
pembiasaan. Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu
pola yang kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil mungkin.
pembiasaan kegiatan manusia adalah koekstensif (sama lingkup dan lamanya)
dengan pelembagaan kegiatan itu.Pelembagaan terjadi apabila ada suatu
tipifikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi
berbagai tipe pelaku. Tipifikasi tindakan-tindakan yang sudah dijadikan
kebiasaan, yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik bersama.
Lembaga-lembaga selanjutnya mengimplikasikan
historisitas dan pengendalian. Tipifikasi-tipifikasi timbal balik dari
tindakan-tindakan tumbuh dalam perjalanan sejarah yang dialami bersama. Dalam
pengalaman yang sesungguhnya, lembaga-lembaga pada umumnya mewujudkan diri
sebagai kolektivitas-kolektivitas yang mencakup manusia dalam jumlah yang besar
sekali. Namun demikian, secara teoritis penting untuk ditekankan bahwa proses
pelembagaan ditipifikasi timbal-balik akan terjadi juga apabila dua individu
mulai berinteraksi untuk pertama kalinya.
Eksternalisasi dan objektivasi merupakan momen-momen
dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Momen ketiga dalam
proses ini, yakni internalisasi (dengan mana dunia sosial yang sudah
diobjektivasi dimasukkan kembali ke dalam kesadaran selama berlangsungnya
sosialisasi).Masing-masing dari ketiga momen itu bersesuaian dengan suatu
karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Masyarakat merupakan produk
manusia. Masyarakat merupakan kenyataan objektif. Manusia merupakan produk sosial.
C. Pengendapan dan Tradisi
Hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman
manusia tersimpan terus dalam kesadaran. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan
terus itu lalu mengendap yang terkumpul sebagai ingatan sebagai entitas yang
bisa dikenal dan diingat kembali. pEngendapan intersubjektif itu hanya
benar-benar dinamakan sosial apabila sudah diobjektivasi dalam suatu sistem
tanda; artinya, apabila ada kemungkinan bagi berulangnya objektifikasi
pengalaman-pengalaman bersama itu. Sistem tanda yang menentukan adalah yang
bersifat linguistik. Bahasa mengobjektivasi pengalaman-pengalaman bersama dan
menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan
dengan demikian menjadi dasar dan alat bagi cadangan pengetahuan kolektif.
Bahasa lalu menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar
endapan-endapan kolektif, yang bisa diperoleh secara monotetik; artinya,
sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses
pembentukannya semula.
D. Peranan
Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi maka
bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif, yang pada
gilirannya memerlukan suatu objektifikasi linguistik. Lembaga-lembaga
diwujudkan dalam pengalaman individu melalui peranan. Peranan yang
diobjektifikasi melalui bahasa, merupakan ramuan yang esensial dari dunia yang
tersedia secara objektif dari tiap masyarakat. Dengan memainkan peranan,
individu berpartisipasi dalam suatu dunia sosial. Dengan menginternalisasi
peranan itu, dunia tersebut secara objektif menjadi nyata baginya.
Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan.
Representasi ini berlangsung pada dua tingkat. Pertama, pelaksanaan peranan
merepresentasikan dirinya sendiri. Kedua, peranan merepresentasikan suatu
keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga. Lembaga-lembaga juga
direpresentasikan dengan cara-cara lain. Objektifikasi-objektifikasi linguistik
di dalamnya, mulai dari pemberian tanda verbalnya yang sederhana sampai kepada
pemasukannya ke dalam simbolisasi kenyataan yang sangat kompleks, juga
merepresentasikan semua itu; artinya, membuatnya hadir dalam pengalaman. Dan
mereka bisa direpresentasikan secara simbolis oleh objek-objek fisik, baik yang
alami maupun yang artifisial.
Analisa peranan terutama penting bagi sosiologi
pengetahuan karena ia menyingkapkan perantaraan (mediasi) antara universum
makna makroskopik yang diobjektivasi dalam suatu masyarakat dan cara-cara yang
dengannya universum-universum itu menjadi nyata secara subjektif bagi
individu-individu.
E. Lingkup dan Cara-cara Pelembagaan
Secara sangat formal, lingkup pelembagaan tergantung
kepada sifat umum dari struktur-struktur relevansinya. Jika banyak, atau bagian
terbesar, dari struktur-struktur relevansi dalam suatu masyarakat secara umum
dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan luas. Jika hanya sedikit
saja struktur relevansi yang dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan
sempit.
Pelembagaan bukanlah suatu proses yang tidak bisa
dibalik, walaupun dalam kenyataannya lembaga-lembaga, begitu sudah terbentuk,
mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus. Satu konsekuensi lainnya dari
segmentasi kelembagaan itu adalah kemungkinan bagi adanya berbagai subuniversum
makna yang secara sosial terpisah satu sama lain.
Baik tatanan kelembagaan secara keseluruhan maupun
bagian-bagiannya bisa dipahami secara reifikasi. Umpamanya, tatanan masyarakat
secara keseluruhan bisa dibayangkan sebagai suatu mikrokosmos yang mencerminkan
makrokosmos dari seluruh universum, sebagaimana yang telah diciptakan oleh para
dewa. Apa pun yang terjadi “di bawah sini” hanyalah merupakan pantulan yang
samar-samar saja dari apa yang terjadi “di atas sana”. Lembaga-lembaga tertentu
bisa dipahami dengan cara yang serupa. “Resep” dasar bagi reifikasi
lembaga-lembaga adalah untuk memberikan kepadanya suatu status ontologis yang
terlepas dari kegiatan dan pemberian arti oleh manusia.
Melalui reifikasi, dunia lembaga-lembaga tampak
melebur dengan dunia alam. Ia menjadi keharusan dan takdir, dan dihayati
seperti itu, dengan rasa gembira atau sedih, tergantung keadaannya.
Analisa reifikasi ini penting karena ia merupakan
koreksi yang tetap terhadap banyak kecenderungan pemikiran teoritis pada
umumnya dan sosiologi pengetahuan pada khususnya untuk melakukan reifikasi. Ia
khususnya penting bagi sosiologi pengetahuan, karena ia mencegahnya agar tidak
terjerumus ke dalam suatu konsepsi yang tidak dialektis mengenai hubungan
antara apa yang dilakukan oleh manusia dan apa yang mereka pikirkan. Penerapan
sosiologi pengetahuan secara historis dan empiris harus memberikan perhatian
yang istimewa kepada kondisi sosial yang mendorong de-reifikasi—seperti
ambruknya tatanan kelembagaan secara keseluruhan, kontak antara
masyarakat-masyarakat yang tadinya terpisah satu sama lain, dan fenomena
penting dari marjinalitas sosial. Tetapi masalah-masalah itu melampaui kerangka
pembahasan kita sekarang.
LEGITIMASI
A. Asal-mula Universum-universum
Simbolis
Legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan
sebagai suatu objektivasi makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan
makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah
diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi
adalah untuk membuat objektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan
menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif. perlu
ditambahkan bahwa “integrasi” dalam salah satu bentuknya juga merupakan
tujuan khas yang memotivasi orang yang melakukan legitimasi itu.
Integrasi dan, bersamaan dengan itu masalah yang
secara subjektif masuk akal itu mengacu kepada dua tingkat. Pertama,
keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti, secara bersamaan, oleh
para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda.Kedua, keseluruhan
kehidupan individu, yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam
tatanan kelembagaan, harus diberi makna subjektif.
Legitimasi “menjelaskan” tatanan kelembagaan dengan
memberikan kesahihan kognitif kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi.
Legitimasi membenarkan tatanan kelembagaan dengan memberikan martabat normatif
kepada perintah-perintah praktisnya. Penting untuk dipahami bahwa legitimasi
mempunyai unsur kognitif maupun normatif.
Perlu sebuah universum simbolik yang menyediakan
legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum-universum simbolis
merupakan perangkat-perangkat tradisi teoritis yang mengintegrasikan berbagai
bidang makna dan mencakup tatanan kelembagaan dalam suatu totalitas simbolis.
Universum simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua
realitas adalah bermakna bagi individu dan individu harus melakukan sesuai
makna itu.
B. Peralatan Konseptual untuk
Memelihara Universum
Dipandang sebagai suatu konstruksi kognitif, universum
simbolis itu sifatnya teoritis. Ia berasal dari proses-proses refleksi
subjektif yang setelah melalui objektivasi sosial melahirkan ikatan-ikatan yang
eksplisit antara tema-tema penting (significant themes) yang berakar dalam
berbagai lembaga.
Prosedur-prosedur spesifik pemeliharaan universum
menjadi perlu apabila universum simbolis bersangkutan telah menjadi satu
masalah. Selama keadaannya belum sampai demikian, universum simbolis bisa
memelihara diri sendiri; artinya melegitimasikan diri hanya melalui faktisitas
eksistensi objektifnya dalam masyarakat bersangkutan.
Peralatan-peralatan konseptual-konseptual untuk
memelihara universum itu adalah juga produk kegiatan-kegiatan sosial. Peralatan
tersebut meliputi d pertama Mitologi sebagai suatu peralatan konseptual
letaknya paling dekat dengan taraf naif dari universum simbolis tingkat di mana
terdapat kebutuhan yang paling kecil untuk pemeliharaan universum secara
teoritis dengan melampaui pengandaian bahwa universum yang bersangkutan
benar-benar merupakan kenyataan yang objektif. Teologi berfungsi sebagai
paradigma bagi konseptualisasi filosofis dan ilmiah yang lebih kemudian
mengenai kosmos.
C. Organisasi Sosial untuk
Memelihara Universum
Karena merupakan produk historis dari kegiatan
manusia, maka semua universum yang dibangun secara sosial itu berubah, dan
perubahan itu ditimbulkan oleh tindakan-tindakan kongkrit manusia. Jika kita
tenggelam dalam segala seluk beluk mengenai peralatan konseptual yang digunakan
untuk memelihara tiap universum tertentu, kita bisa lupa akan fakta sosiologis
yang mendasar ini: Kenyataan ditentukan atau didefinisikan secara sosial. Akan
tetapi definisi-definisi itu selamanya diwujudkan, artinya, individu-individu
dan kelompok individu yang kongkrit bertindak sebagai pembuat definisi tentang
kenyataan. Untuk dapat memahami keadaan universum yang dibangun secara sosial
itu pada setiap saat tertentu, atau perubahannya dalam perjalanan waktu, kita
harus memahami organisasi sosial yang telah memungkinkan para pembuat definisi
melakukan tugas itu.
Lembaga-lembaga dan universum simbolis dilegitimasi
oleh individu-individu yang hidup, dengan lokasi-lokasi dan kepentingan sosial
yang kongkrit. Sejarah teori-teori legitimasi selalu merupakan bagian dari
sejarah masyarakat secara keseluruhan. Tiada “sejarah gagasan” yang berlangsung
terpisah dari darah dan keringat sejarah umum. Namun perlu ditekan bahwa ini
tidak berarti bahwa teori-teori itu hanya sekedar pantulan “gagasan-gagasan”
dan proses-proses sosial yang mendukungnya selalu merupakan hubungan dialektis.
Kiranya tepat untuk mengatakan bahwa teori dibuat untuk melegitimasi lembaga
sosial yang sudah ada. Akan tetapi bisa juga terjadi bahwa lembaga sosial
diubah agar sesuai dengan teori yang sudah ada; artinya membuatnya lebih
“absah”. Para pakar dalam hal legitimasi bisa beroperasi sebagai orang-orang
yang memberikan pembenaran teoritis kepada status quo; mereka juga bisa tampil
sebagai ideolog-ideolog revolusioner. Definisi tentang kenyataan mempunyai
potensi membenarkan diri. Teori dapat direalisasi dalam sejarah, bahkan
teori-teori yang sangat muskil sekalipun ketika untuk pertama kali disusun oleh
para penemunya. Karena itu perubahan sosial harus selalu dipahami dalam
hubungan dialektis dengan “sejarah gagasan”. Baik pemahaman yang “idealistis”
maupun pemahaman yang “materialistis” mengenai hubungan ini melupakan
dialektika itu, dan dengan demikian mengubah jalan sejarah. Dialektika yang
sama berlaku bagi transformasi universum simbolis secara keseluruhan yang telah
kita bahas. Yang masih tetap sangat penting dari segi sosiologi adalah
pengakuan bahwa semua universum simbolis dan semua legitimasi merupakan buatan
manusia; eksistensi mereka mempunyai landasan dalam kehidupan individu-individu
kongkrit, dan tidak punya status empiris yang terlepas dari kehidupan mereka.
Bab III
TAFSIR SOSIAL ATAS KENYATAAN
Masyarakat
Sebagai Kenyataan Subjektif
Memahami dinamika masyarakat yang heterogen, harus
dipadu dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus-menerus. Ada tiga
hal penting yang berperan didalamnya: eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi. Masyarakat dan tiap bagian darinya secara serentak
dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga setiap analisa yang hanya dari
satu atau dua segi dari ketiga momen itu, tidak memadai.
Namun demikian, individu tidak dilahirkan sebagai
anggota masyarakat. Misalnya, dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah
sosialitas dan kemudian bercengkrama menjadi anggota masyarakat. Karena itu,
dalam kehidupan setiap individu, ada suatu urutan waktu dan selama itu ia diimbas
ke dalam partisipasi dalam dialektika masyarakat. Titik awal dari proses ini
adalah internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu
peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Artinya, sebagai suatu
manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang dengan demikian
bermakna secara subjektif.
Internalisasi subyektif disini adalah pemahaman Peter
L Beger dalam menelaah suatu masyarakat yang berdialektika dengan kenyataan
sosial, dimana pemahaman Beger hanya berasumsi terhadap pradigma berfikir yang
muncul dari dia pribadi (subyektif) . Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil
dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi,
melainkan dimulai dengan individu an-sich. Beger memahami suatu dunia di mana
ia hidup dan dunia itu menjadi dunia Beger sendiri. Sejatinya ia menilai dari
perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara
intersubjektif.
Internalisasi
dan Struktur Sosial
Dalam kenyataan objektif masyarakat, meskipun
kenyataan itu secara subjektif menampilkan diri kepadanya dengan cara yang
asing dan terpotong, individu akan menghadapi kegagalan realitas. Akan
menyeruak sebuah tingkat asimetri yang tinggi antara realitas yang
didefinisikan secara sosial di mana ia secara de facto terperangkap, seperti
dalam suatu dunia yang asing, dan kenyataan subjektifnya sendiri, yang hanya
dapat mencerminkan dunia itu dengan cara yang sangat tidak sempurna. Tetapi
asimetri itu tidak akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi struktural yang
akumulatif karena ia tidak mempunyai landasan sosial yang dapat diwujudkan
menjadi suatu dunia-tandingan (counter-world) dengan perangkat
identitas-identitas tandingannya sendiri yang sudah dilembagakan. Individu yang
sosialisasinya tidak berhasil itu sendiri sudah didefinisikan sebelumnya secara
sosial sebagai satu tipe yang sudah digariskan dengan jelas (si pincang, si
anak haram, si dungu, dan sebagainya). Karena itu, apa pun identitas-diri yang
berlawanan, yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam kesadarannya sendiri,
tidak akan memiliki struktur masuk-akal yang dapat mentransformasikannya
menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar khayalan-khayalan yang berlalu begitu
saja.
Teori-teori
Identitas
Konsep identitas adalah konsep yang bersifat
relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial.
Etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim suatu identitas tertentu
bagi diri mereka dan didefinisikan oleh yang lain dengan pelbagai asumsi.
Etnisitas bermakna identifikasi dengan suatu kelompok etnik karena afiliasi.
Subjektivitas dan identitas merupakan produk khas
budaya yang bersifat tidak pasti. Karenanya, identitas maupun etnisitas
dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat mengada di luar
representasi kultural dan sosial. Ia adalah ciptaan wacana yang bisa berubah
makna sesuai waktu, tempat dan penggunaannya. Begitulah memperoleh wujudnya, ia
dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan
sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan
identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas yang
dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur
sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya,
memodifikasinya, atau malahan membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai
sejarah dan didalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus;
tetapi, sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas
tertentu. Berger menyebut hal ini dengan sub specie aeternitatis.
Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari
dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya, tipe-tipe identitas
merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsur-unsur yang relatif stabil
dari kenyataan sosial objektif. Teori-teori tentang identitas selalu berakar
dalam penafsiran yang lebih umum tentang kenyataan. Teori-teori itu dipasang
dalam universum simbolik dan legitimasi-legitimasi teoritisnya, serta
bervariasi dengan sifat yang disebut belakangan. Identitas akan-tetap tak bisa
dipahami kecuali jika ia berlokasi dalam suatu dunia. Karena itu, setiap
kegiatan berteori tentang identitas-dan tentang tipe-tipe identitas tertentu.
Konsepsi masyarakat secara subjektif yang dibangun
oleh Beger berasal dari Weber dan Schutz. Sedang konsepsi sosialisasi bertumpu
pada teori Mead. Kemudian konsepsi tentang sifat diri yang direfleksikan Beger
berasal dari Cooley dan Mead. Akar-akarnya bisa ditemukan dalam analisa tentang
diri sosial (social self) oleh William James dalam buku Principles of
Psychology yang dengan lantang mendedah persoalan psikologisme Freud atau
psikologisme behavioristik.
Sementara konsep jarak peran atau teknik sorot balik
Beger tentang masyarakat subjektif sejatinya mengembangkan teori Erving Goffman
terutama dalam Asylums (Garden City, N.Y.: Doubleday-Anchor, 1961). Analisa
Beger menyarankan bahwa jarak seperti itu hanya mungkin dalam
kenyataan-kenyataan yang telah diinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder.
Peter L. Berger merupakan sosiolog yang berusaha
menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan
mikro, antara voluntarisme dan determinisme. ia dengan gigih berusaha mencari
pertautan antara mentalitas dan struktur.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009