Sosiologi: Weber dan Birokrasi
Sebelum
masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi
(asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal
dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau
kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan
yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah
"mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi
baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat
sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam
konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.
![]() |
Hal
yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif
menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu
menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala
birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial.
Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi
yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi
tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan
pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak
pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal.
Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang
seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Weber
terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:
- tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
- tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
- jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
- aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
- anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
- pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
- administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
- sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Bagi
Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya,
Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional.
Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai
berikut:
- para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
- terdapat hirarki jabatan yang jelas;
- fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
- para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
- para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
- para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
- pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
- suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
- pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
- pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber
juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem
birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan
birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada
aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya
dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya,
Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini,
jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di
tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional
melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan
pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi
point-point berikut:
- Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
- Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
- Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
- Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
- Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga
kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di
sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
Kritik
atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi
Secanggih
apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan Weber
akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan
pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin Albrow (lihat
referensi).
Robert
K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton
mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber
pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam
suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk
mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang
berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika
para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal
yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan
individu-individu warganegara. Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu
struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan
akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian
tujuan-tujuan organisasi.
Robert K. Merton, (4
Juli 1910 - 23 Februari 2003) sosiolog asal Amerika ini mungkin dianggap lebih
dari ahli teori lainnya yang telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas
serta seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas mengenai teori-teori fungsionalisme. Ia mengakui bahwa
pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga
mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi
seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap
sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan
”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap
lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan”
(Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model
fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang
paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”
Model analisa fungsional Merton merupakan hasil
perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang
menggunakan penulis besar seperti Max Weber. Pengaruh Weber dapat dilihat dalam
batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196)
mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern; (1)
birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan
formal; (2) ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang
jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan
tujuan-tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan
ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi
tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis; (6) berbagai kewajiban serta
hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta
terperinci; (7) otoritas pada jabatan, bukan pada orang; (8) hubungan-hubungan
antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala
besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik
tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.
Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat
batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan
menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam
postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat
di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu.
Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi
sebagai ”suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja
sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai,
tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau
diatur” (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal
yang sempurna dari suatu masyarakat adalah ”bertentangan dengan fakta”. Sebagai
contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat
fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok)
akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para
sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau
tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana agama
mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak
kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.
1.
Strategi Dasar Analisis Strukturalisme
Fungsional
Teori Fungsionalisme Struktural yang
dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata memiliki perbedaan apabila
dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons.
Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi
subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada
konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku. Menurut Robert
K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada
yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi
ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang
tidak dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya
konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang
bersifat fungsional dan ada pula yang bersifat disfungsional. Anggapan yang
demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara pendekatan Robert K.
Merton dengan pendekatan fungsionalisme struktural yang
lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf Menengah yang ia cetuskan
tersebut, merupakan pendekatan yang sesuai untuk meneliti hal-hal yang bersifat
kecil atau khusus dan bersifat empiris dalam sosiologi.
2.
Disfungsi dan Perubahan Sosial
Menurut Robert K. Merton
dinyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku
dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi
objektif dari individu dalam perilaku mampu mengarah pada integrasi dan
keseimbangan, sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang
bersifat disfungsional akan memperlemah integrasi. Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat
disfungsional akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam
sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling berhadapan
antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan adanya ketegangan
tersebut maka akan mengundang munculnya struktur dari yang bersifat alternatif
sebagai substitusi untuk menetralisasi ketegangan.
Perlu
diketahui bahwa adanya ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya
struktur-struktur baru tersebut akan berarti bahwa konsekuensi objektif yang
bersifat disfungsional itu akan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan
sosial. Di samping itu disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya anomie dan
masalah sosial. Kenyataan tersebut juga mengandung arti timbulnya
struktur-struktur baru, yang pada hakikatnya menunjukkan adanya perubahan
sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan dalam masyarakat.
3.
Kelompok Referensi (Reference Group)
Teori
Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi objektif dari
individu dalam berperilaku. Keharusan adanya konsekuensi objektif baik
fungsional maupun disfungsional dan harus adanya konsep-konsep alternatif
fungsional dalam pelaksanaan
analisisnya, tepat apabila diterapkan pada masyarakat yang memiliki
perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu,
Robert K. Merton mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan
sebagai penilaian dirinya dan pembanding serta menjadi bimbingan moral. Teori
Kelompok Referensi (Reference Group Theory) yang terdiri dari Kelompok
Referensi Normatif, Kelompok Referensi Komparatif dan ada bentuk lain, yaitu
kelompok keanggotaan (Membership Reference Group). Kelompok Referensi
Normatif, yaitu suatu kelompok yang menempatkan individu-individu mengambil
standar normatif dan standar moral, sedangkan Kelompok Referensi Komparatif,
yaitu kelompok yang memberikan kepada individu-individu suatu kerangka berpikir
untuk menilai posisi sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang
lain. Sementara Kelompok Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang
menempatkan bahwa individu itu sebagai anggotanya.
Konsep birokrasi Weber berlainan dengan pengertian birokrasi populer, dimana orang cnderung mengartikan kata birokrasi dengan konotasi negatif, yaitu organisasi yang lamban, tidak reponsif terhadap perubahan.
Ada suatu teori yang bernama teori klasik tentang organisasi atau manajemen. Teori ini berasumsi terhadap efisiensi,rasionalitas,kontrol, serta perbandingan/perselisihan antara pemilik dan pekerja. Disamping itu, dalam berpandangan, teori ini mengibaratkan organisasi sebagai sebuah mesin. Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori klasik ini ialah Taylor,Fayol,Bernard,serta Weber yang akhirnya memunculkan teori birokrasi weber.
Teori Birokrasi Weber
Weber memiliki suatu anggapan bahwa untuk menciptakan nilai produksi yang tinggi organisasi harus menggunakan sistem birokrasi. Birokrasi menurut Webber ini menekankan aspek struktur dimana perlu dibentuk untuk terciptanya proses kerja yang efektif dalam organisasi. Disamping itu, konsep utama dari teori ini adalah rasional legal, yakni orang berhak melaksanakan sesuatu berdasarkan kedudukannya yang telah disetujui dan ditetapkan secara legal.
Tipe Ideal Birokrasi Webber:
1. Pembagian kerja berdasarkan fungsi/spesialisasi
2. Hirarki wewenang yang jelas
3. Prosedur seleksi yang formal
4. Jenjang karir berdasarkan prestasi kerja
5. Peraturan yang rinci
6. Hubungan impersonal
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
1.tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2.tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3.jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
4.aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
5.anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
6.pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7.administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
8.sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Berikut kritik para ahli atas Teori Birokrasi Weber :
Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri.
Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara.
Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Tags : Jurnal Sosiologi