SAPI YANG SUCI DAN BABI YANG MENJIJIKKAN
Salah satu aplikasi perspektif evolusioner
materialitis yang paling terkenal adalah pemeriksaan yang dilakukan Marvin
Harris terhadap asal usul larangan agama tertentu bagi umatnya untuk memakan
makanan tertentu. Harris telah mencurahkan perhatian khusus untuk mencari
penjelasan kenapa agama Hindu di India memandang sapi sebagai binatang suci dan
menganggap daging sapi sebagai makanan terlarang. Dia juga melakukan studi yang
agak menyeluruh terhadap pantangan makan pada bangsa Israel kuno yang melarang
orang memakan daging babi karena mereka menganggap babi sebagai binatang yang
kotor. Dia yakin bahwa pantangan makan (tabu) ini dapat dipahami dengan sangat
baik sebagai respon apatif terhadap kostelasi kondisi material tertentu yang
dihadapi oleh penduduk yang mengikutinya.
Sudah
dikenal scara luas bahwa ajaran sentral ideologi keagamaan Hindu adalah
penyucin sapi. Sapi dianggap binatang yang suci, menyembelih dan memakannya
adalah tindakan yang tidak dapat diterima. Bagi kebanyakan orang Barat,
pantangan makan ini jelas merupakan mismanagemen sumber daya yang irrasional
dan merupakan sebab bertahannya kemiskinan dan kesengsaraannya yang meluas di
anak benua India. Seluruh kegiatan penyembahan sapi dipandang sebagai contoh
klasik memperlihatkan cara di mana praktek keagamaan yang bersifat mistik
membawa akibat-akibat yang tidak perlu dan tidak menyenangkan. Tetapi Harris
(1974,1997) tidak memandangnya seperti itu, dan dia percaya bahwa kecintaan
orang Hindu terhadap sapi adalah respon yang rasional dan memang perlu terhadap
keadaan ekologis dan ekonomis di mana mayoritas petani India berada.
Harris menyatakan bahwa sapi memainkan fungsi vital
dalam konteks ekologi dan ekonomi orang India, fungsi yang hanya dapat dipertahankan
kalau sapi tetap dibiarkan hidup. Kotoran sapi sangat berharga bagi petani
India, berfungsi sebagai pupuk, sebagai bahan bakar yang dalam memasak, dan
bila dicmpur dengan air untuk merekatkan., dapat dijadikan sebagai bahan lantai
rumah mereka. Tetapi peran yang jauh lebih berguna yang dimainkan sapi adalah
sebagai binatang penarik dalam membajakladang mereka. Sebagaimana dikatakan
Harris secara empatik, petani India yang pada berat tertentu tergoda untuk menyembelih
sapi mereka untuk makanan ternyata menyesengsarakan mereka sendiri, karena
mereka tidak akan pernah membajak lagi. Karena itu, sapi lebih berguna apabila
ia hidup daripada mati bagi rata-rata petani India. Namun, karena godaan untuk
menyembelih sapi dalam masa kekeringan atau kelaparan adalah problem yang
sering muncul bagi kebanyakan petani India, maka perlu bagi mereka menemukan
cara untuk menghilangkan godaan tersebut. Cara ini, kata Harris, dtemukan pada
pembuatan tau keagamaan yang menyucikan sapi dan menjadikan tindakan membunuh
dan mengkomsumsi sebagai tindakan yang haram dan tidak dapat diterima.
Sebagaimana dinyatakan Harris (1997:147).
Pentabuan
daging sapi adalah hasil kumulatif keputusan individual dari beribu-beribu dn
berjuta-juta petani, sebagaimana mereka lebih mampu memahami godaan untuk
menyembelih sandaran hidup mereka karena mereka sangat yakin bahwa hidupnya
sapi adalahs sesuatu yang suci. Mereka yang memegang keyakinan ini lebih
mempunyai kemungkinan untuk mempertahakan ladang mereka, dan mewariskannya
kepada anak-anak mereka, dan mewarisknnya kepada anak-anak mereka, daripada
mereka yang tidak mempercayainya....Sapi harus dilakukan seperti manusia karena
manusia yang memakan sapi hampir berarti memakan orang lain. Sampai sekarang,
para petani musiman yang tergoda dan menyembelih sapi mereka menanggung
akibtnya. Mereka tidak pernah dapat lagi membajak ketiak hujan tidak turun.
Mereka harus menjual ladang mereka dan pindah ke kota. Hanya mereka yang
menahan lapar dan tidak memakan sapi yang dapat bertahan hidup ketika musim
hujan sangat pendek.
Bagaimana
sapi disucikan di India dapat dimengerti secara lebih baik melalui pemahaman
persfektif historis. Sebagaimana dinyatakan Harris, dalam sepanjang sejarah
India sapi secara teratur dimakan dan tidak ada pandangan yang menyucikan sapi.
Dia percaya bahwa baru sejak tahun 700 masehi kecintaan kepada sapi
dikembangkan hingga mencapai bentuknya dikenal sekarang. Dengan tidak
mempersoalkan kapan sapi mulai disembah di India, kita tahu bahwa pendeta
brahmana “selama berabad-abad adalah pengobanan dan pengkomsumsi daging
binatang” (Harris, 1997 : 145). Di bawah kondisi bagaimanakah para pendeta ini
berubah dari orang yang mengorbankan sapi secara ritual? Harris menyatakan
bahwa jawaban pertanyaan ini adalah bertambahnya kepadatan penduduk dan
menurutnya standart kehidupan (1997 : 146).
Ketika kepadatan penduduk
meningkat, ladang menjadi semakin sempit dan hanya spesies binatang ternak yang
paling penting yang dapat dibiarkan hidup luntuk mendiami tanah yang ada. Sapi adalah
satu spesies yang tidak boleh dikurangi. Ia adalah binatang penarik
bajak, kegiatan yang sangat menentukan seluruh siklus pertanian tadah hujan,
sedikitnya 2 ekor sapi jantan harus dipelihara oleh setiap keluarga dan
ditambah seekor sapi betina yang akan melahirkan penggantinya ketika sapi
jantannya sudah tidak dapat dipakai. Dengan demikian, sapi menjadi fokus utama
pantangan agama untuk memakan daging sebagai salah satu binatang sawah yang
masih tersisa maka secara potensial sapi adalah satu-satunya sumber daging yang
tersisa. Namun, menyembelihnya untuk memakan dagingnya akan melahirka ancaman
bagi seluruh pola produksi makanan. Dan karena itulah daging sapi ditabukan.
Adalah juga umumnya diketahui bahwa
bangsa Yahudi modern, melarang dimakan daging babi. Memang, sejak masa bangsa
Israel Kuno, bangsa Yahudi secara resmi memandang babi sebagai binatang yang
menjijikkan dan tidak pantas dikomsumsi manusia. Tetapi, orang Yahudi hampir
tidak seragam dalam penolakan mereka memakan daging babi. Daging babi sudah
dinikmati selama berabad-abad di wilayah-wilayah seperti China dan Eropa dan
banyak anggota masyarakat suku tidak hanya memakan daging babi, tetapi juga
menilai sangat penting daging babi, sehingga secara praktis mereka
memperlakukannya sebagai anggota keluarga (Harris, 1974).
Kalau
begitu banyak agama yang lain tidak menunjukkan kekengganan sama sekai
mengkomsumsi daging babi, kenapa bangsa Yahudi memperlakukanya sebagai binatang
yang jijik? Barangkali jawaban paling umum atas pertanyaan ini adalah karena babi
merupakan binatang yang tidak bersih: ia berkubang dalam kotorannya sendiri dan
membawa penyakit. Namun, bagaimana ditunjukkn Harris (1974), (1977), penjelasan
ini tidak memuaskan. Babi tidak selalu merupakan binatang kotor manakala ia berada
dalam habitat yang sesuai. Karena babi tidak dapat berkeringat, mereka
beradaptasi secara lebih baik dengan lingkungan di mana temperatur tidak
terlalu panas. Tetapi, di lingkungan yang kering dan panas (seperti Timur
Tengah), babi sangat kesulitan berada dalam dalam temperatur yang dingin, dan
karena itu mereka berkubang dalam kotorannya sendiri untuk mendinginkan badan
mereka. Mengenai kenyataan ini bahwa babi
menularkan penyakit tertentu, Harris mengakui bahwa ini benar, tetapi dia juga
menyatakan bahwa binatang lain yang dikomsumsi secara luas (sapi), juga membawa
penyakit.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009