Bahaya Golobalisasi
Pertanyaannya,
mengapa globalisasi dapat mendatangkan bencana? Sedikitnya dan dirangkum dalam
tulisan ini, ada tiga alasan utama mengapa globalisasi dapat membawa malapetaka
bagi ideologi dunia?
Pertama, globalisasi didasari fre market fundamentalism yang patuh
pada mitos ”the invesible hand” dan
antipati terhadap peran negara ( Stiglitz, 20030. Diyakini bahwa kalau
pemerintah mengeliminasi intervensi ekonominya (subsidi, proteksi, kepemilikan),
maka pasar privat dapat menjalankan perannya lebih efisien yang pada gilirannya
mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme “efek
rembesan ke bawah “ (trickle down effectt).
Kenyataanya, “tangan tak kelihatan” tidak dapat mengatur pasar secara sempurna,
utamanya di negara-negara berkembang, karena ketidaksempurnaan informasi dan
ketidaklengkapan pasar. Sesungguhnya, dalam kondisi seperti ini, intervensi
negara diperlukan untuk merespon ketidaksempurnaan dan bahkan kegagalan pasar
(market failure).
Kedua, globalisasi memperoleh hegemoni perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional (MNCs/TNCs). Di balik
kedok globalisasi, bersembunyi wajah neobelarisme, dan di belakang neobelarisme
berjajar MNC yang memiliki kepentingan menguasai ekonomi. Toni Clark (2001),
dalam bukunya The Case Againts The Global
Economy, menunjukkan bahwa dari 100 pemegang kekayaan dunia, 52-nya adalah
MNC; sebanyak 70 perdagangan dikontrol oleh 500 MNC, dan 443 dari 500 perusahaan
berasal atau berlokasi di AS (185),
Eropa (158) dan Jepang (100) (lihat Khudori, 2003).
Kelimpahan
kekayaan MNC membuat mereka memilii posisi tawar (bargaining position) yang kuat. Mereka dapat memaksa negara
bertekuk lutut. MNC bisa menawarkan investasi, lapangan pekerjaan, dan
pertumbuhan ekonomi bagi negara sejauh memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
(pajak rendah, upah buru minimum, serikat buruh yang lunak). Melemahnya sistem walfare state di Eropa Barat, misalnya,
dapat disebut sebagai “tunduknya” kepala negara kepada MNC. Seperti dicatat
Wibowo (2002), sampai tahun 1980-an tidak ada satu negara pun yang berani
mengubah kebijakan sosial (kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua) yang sangat
sensitif. Dipelopori panji ekonomi “Thatcherisme”,
satu demi satu negara yang terkenal dengan keroyalan pembangunan kesejahteraan
sosial itu “merekstrukturasi” welfare state (lihat Suharto, 2004). Negara lemah versus negara sejahtera.
Alasannya, welfare state dianggap “boros”
dan menakutkan para MNC memasukkan modalnya ke negara mereka.
Ketiga, bahaya globalisasi tidak hanya
disebabkan oleh saratnya muatan ideoogi
neobelarisme dan kepentingan kapitalis dunia. Lebih jauh, ia disokong oleh tiga
lembaga internasional penting: Bank Dunia, Internatinatioaly Monetary Fund
(IMF) dan World Trade Organization (WTO) yang sanggup mencengkram dunia. Melalui
strategi eksprot-oriented production dan pendekatan structural adjusment policy (SAP), Bank Dunia dan IMF bertindak
laksana agen kolonialisme bar yang mengeruk kekayaan negaranegara berkembang. Ketika
sebuah negara sudah tergantung secara ekonomi karena terjebak dengan pinjaman
yang berkedok bantuan, maka WTO dapat dengan meleluasa meliberalisasi ekonomi
negara tersebut.
Jelaslah,
secara internasional memburuknya permasalahan sosial globalisasi bermuara pada
globalisasi. Melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antara negara maju dan berkembang,
meningkatnya ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, serta
menguatnya dominasi negara kapitalis atas faktor-faktor produksi negara
berkembang telah melahirkan dan bahkan memperparah tragedi kemanusiaan. Selain itu,melemahnya
peran negara dalam pembangunan ekonomi pada gilirannya akan disusul dengan melemahnya
pembangunan negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sabagaimana terjadi
dibanyak negara berkembang, melemahnya peran negara ini seringkali memicu
disintegrasi sosial dan munculnya permasalahan sosial “lokal”.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009