BENARKAH KECERDASAN DITURUNKAN DARI ORANGTUA?
Menurut Anda apakah seorang yang dilahirkan dari pasangan orang tua yang memiliki pendidikan tinggi, sebut saja profesor sudah pasti akan memiliki anak yang cerdas. Atau sebaliknya seorang yang lahir dari kedua orang tua yang bukan dari golongan akademik, memiliki anak yang "bodoh". Mungkin jawaban sementara kita dengan cepat memberikan pernyataan bahwa tidak ada hubungannya.
Mengapa ada orang yang berpandangan bahwa ada hubungan antara pendidikan orang tua terhadap kemampuan dan kecerdasan anak. Tentu ada pandangan ini ada yang mendasari walaupun memang ada cara dan penelitian yang membuktikan tidak ada hubungan antara kemampuan dan kecerdasan anak terhadap pendidikan orang tua yang dimiliki.
Jadi bagaimana sejarah munculnya keluarga yang dianggap ras unggul, pintar, dan berpendidikan tinggi. Mitos
ras unggul mungkin bisa kita patahkan dengan mudah di zaman ini. Tetapi,
bagaimana dengan perbedaan di tingkat individu? Richard Lewontin maupun Jared
Diamond tidak membantah adanya perbedaan kecerdasan di tingkat individu.
Francis Galton, seorang multi-talenta pada zaman Victoria Inggris yang juga
merupakan sepupu Charles Darwin, adalah tokoh yang membuat banyak orang percaya
bahwa kecerdasan adalah hasil keturunan.
![]() |
Perkembangan Anak |
Dalam
buku The Lunar Men, Jenny Uglow
menceritakan sekelompok pria cerdas di Inggris yang berkumpul setiap bulan
purnama dan melakukan ritul diskusi tentang topik hangat saat itu. Para anggota
kelompok itu adalah Jamess Watt (penemu mesin uap), Josiah Wedgwood (pembuat
tembikar terkenal), Joseph Priestley (pendeta yang juga penemu gas oksigen) dan
James Keir (wirswasta yang terkenal pada bidang gelas dan kimia). Di dalam
kelompok elite tersebut berkumpul juga Erasmus Darwin dan Samuel Galton yang
menjadi pemimpin mereka. Erasmus Darwin terkenal sebagai seorang dokter,
penemu, dan ahli ilmu alam. Pertemuan tersebut dimulai dari siang sampai malam
hari. Mereka berdisukusi tentang apa saja. Anak dan istri mereka juga berkumpul
sama. Salah seorang anak laki-laki Samuel Galton kemudian menikahi salah satu
putri Erasmus Darwin. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Farncis Galton.
Francis
Galton pada awalnya percaya setiap manusia dilahirkan dengan potensi yang sama.
Tetapi semuanya berubah ketiak dia membaca puisinya, Charles Darwin, tentang
evolusi. Galton mengajukan hipotesis bila karakteristik fisik seperti tinggi
badan dan warna kulit diturunkan. Perbedaan mental akan menentukan keberhasilan
individu bersangkuta. Untuk menguji hipotesisnya. Galton mengamati halaman,
Galton mengamati halaman obituari di surat kabar Times. Halaman demi halaman dikumpulkannya dengan cermat dan Galton
menemukan mereka yang berprestasi tinggal kebanyakan memiliki hubungan keluarga
dengan mereka yang berprestasi walaupun tidak harus di bidang yang sama. Dengan
kata lain, prestasi melahirkan prestasi. Dari sana dia menyimpulkan, keahlian
atau keunggulan diturukan dari orangtua ke anak-anaknya.
Berbekal
bukti kuat tersebut, Galton kemudian menulis sebuah buku yang sering dibaca
sampai saat ini, Hereditary Genius. Tulisanya
yang persuasif dengan bukti-bukti yang disusun secara ilmiah dan metodi
berhasil mempengaruhi banyak orang. Selain itu, ilmu pengetahuan pada zaman itu
belum berhasil melahirkan teori lternatif dengan argumen yang sama kuatnya. Maka,
pengaruh Galton dengan cepat tersebar dan menancapkan kukunya: genius
melahirkan genius kebalikanya, pecundang melahirkan pecundang. Sekali Anda
mendapatkan gen dari orang tua Anda, tidak banyak lagi yang bisa dilakukan. Gen
itulah yang akan mendikte kualitas hidup Anda seumur hidup.
Galton
kemudian juga mempelopori lahirnya ilmu eugentik,
sebuah studi sistematis untuk mengembangkan bibit-bibit unggul pada
manusia, dengan tujuan meningkatkan kualitas spesies manusia. Mereka yang
percaya pada manfaat praktis eugenetik terbagi menjadi dua buku.
Kubu
pertama adalah penganut eugenetik positif, yang percaya pada kualitas spesies
manusia bisa ditingkatkan dengan memberikan intensif dan kesempatan lebih besar
bagi mereka yang memiliki kualitas unggul untuk memiliki keturunan sebanyaknya,
sementara di saat bersamaan menerapkan kebijakan mengurangi penduduk yang
memiliki bibit kurang unggul. Francis Galton berada pada kubu ini.
Kubu
kedua adalah penganut eugentika negatif, yang percaya bahwa mereka yang unggul
harus dibiakkan dan mereka yang memiliki gen buruk harus dimusnahkan dengan
segala cara. Adolf Hitler berada. Meski elihat eugentika positif lebih
manusiawi, patut dicatat bahwa Adolf Hitler justru mendapatkan idenya dari
geraka eugenetika positif yang dijalankan Amerika pada awal 1990-an. Sampai di
sini kita bisa melihat betapa berbahayanya pengaruh pemikiran Francis Galton
tersebut.
Tetapi
apakah kita bisa menyalahkan Galton sepenuhnya atas pandangan tersebut? Di masa
itu, ilmu genetika dan neurologi belum berkembang sejauh ini. Untuk mempelajari
otak, satu-satunya cara adalah dengan membuka batok kepala. Karena teknologi
bedah otak belum berkembang di jaman Galton, satu-satunya cara untuk mengenal
dan mempeajari otak adalah dengan cara melalui mayat. Dengan keterbatasan
tersebut, Galton hanya bisa menarik kesimpulan dari efek yang tampak di
permukaan. Bahkan studi-studi kini menemukan adanya pengaruh keturunan dalam
hal kecerdasan. Hanya saja pengaruhya tidak sederhana yang disimpulkan oleh
Galton. Orangtua selain memengaruhi anak melalui gen, juga bisa memengaruhi
perkembangan anak melalui status sosial, pendidikan,, dan interaksi
sehari-hari. Hal itulah yang terlewatkan oleh Galton karena kecerdasan
teknologi dan pengetahuan. Tetapi sekarang kita hidup pada zaman yang berbeda
sama sekali. Gen sudah berhasil dipetakan dan kita bisa mempelajari otak
melalui mesin pemindai tanpa harus membedah kepala. Kemajuan ilmu berhasil
menyingkap bnayak rahasia kecerdasan yang tak mungkin Galton ketahui.
Sebenarya
Galton tidak sepenuhya mendewakan kecerdasan. Dia berargumen bahwa kecerdasan
yang diturunkan adalah berupa potensi. Untuk mewujudkan potensi tersebut
dibutuhkan dua unsur lain, yaitu kerja keras dan semangat. Dia menyadari
pentingnya latihan fisik untuk meningkatkan kinerja motorik dan hal sama
berlaku untuk kemampuan mental yang bisa diasah melalui pendidikan dan belajar.
Tanpa latihan, potensi yang ada tersebut akan sia-sia. Sayangnya, kedua bagian
terakhir itu sering diabaikan para pengikutnya, termasuk Lewis Terman.
Tags : Pengembangan Diri