-->

Agustus 11, 2018

MAKALAH: HUBUNGAN BUDAYA PATRIARKI TERHADAP SUBORDINASI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latarbelakang Masalah
Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan maupun posisi dan status perempuan dalam kesetaraan dengan kaum pria. Pada satu sisi hubungan gender menjadi suatu persoalan tersendiri, padahal secara fakta persoalan emansipasi perempuan masih belum sepenuhnya mendapat respon yang positif dari semua kalangan. Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial dimana masyarakat masih sangat menonjolkan peran laki-laki. Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik di kalangan masyarakat terutama masyarakat yang sudah maju. Ada berbagai pendapat dan pandangan yang berbeda-beda perihal wacana kesetaraan gender tersebut. Sebagian ada yang pro dan sebagian lagi ada yang kontra.


Gender sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial sosial yang berkembang di dalam masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun temurun. Dalam perkembangannya, konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. Ideologi gender menjadi rancu dan merusak relasi perempuan dan laki-laki ketika dicampuradukkan dengan pengertian seks (jenis kelamin). Karena masyarakat tidak dapat dapat membedaan perbedaan seks dan gender dengan benar, maka muncullah masalah gender yang berwujud pada ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan. Salah satu ketidakadilan gender yang dialami perempuan adalah subordinasi yang disebabkan oleh budaya patriakhi yang masih mengakar kuat pada masyarakat.
Budaya patrakhi merupakan budaya yang tidak mengakomodasikan kesetaraan dan keseimbangan sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan. Budaya patriakhi begitu kuat, menonjol dan dominan seolah begitu adanya dan tidak terelakkan dalam kehidupan masyarakat. Patriarki merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial. Anggapan sosial yang menempatkan kaum perempuan emosional, tidak rasional dalam berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Hal ini berpengaruh pada posisi sosial perempuan dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Dan aspek yang sangat kentara mengalami subordinasi adalah aspek politik dan pendidikan. Walaupun kebebasan berpolitik dan kebebasan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya telah dijamin oleh negara, namun pada pelaksanaannya masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang disebabkan oleh pandangan yang sempit dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Kuota 30 persen perempuan dalam parlemen dan program wajib belajar 9 (sembilan) tahun serta berbagai program lainnya belum mampu menunjukkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, masih terdapat kebijakan-kebijakan yang bias  gender yang disebabkan oleh nilai-nilai dasar yang dianut dan pandangan tertentu terhadap perempuan. Berangkat dari hal tersebut, saya tertarik untuk mengkaji pengaruh atau hubungan budaya patriakhi terhadap subordinasi yang dialami perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya budaya patriakhi dalam masyarakat ?
2.      Apa yang dimaksud dengan subordinasi ?
3.      Bagaimana hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi yang terjadi pada kaum perempuan?
4.      Bagaimana gambaran perempuan Indonesia dalam bidang politik?
5.      Bagaimana gambaran perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan?
6.      Bagaimana gambaran perempuan Indonesia dalam bidang sosial dan budaya?
7.      Bagaimana analisis gender mengenai hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi ?

1.3. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui sejarah terbentuknya budaya patriakhi dalam masyarakat.
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan subordinasi.
3.      Untuk mengetahui hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi yang terjadi pada kaum perempuan.
4.      Untuk mengetahui gambaran perempuan Indonesia dalam bidang politik.
5.      Untuk mengetahui gambaran perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan.
6.      Untuk mengetahui gambaran perempuan Indonesia dalam bidang sosial dan budaya.
7.      Untuk mengetahui analisis gender mengenai hubungan budaya patriakhi dengan subordinasi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Asal Usul Budaya Patriakhi
            Budaya patriarki muncul pada zaman peralihan yaitu peralihan zaman paleolitikum dan zaman logam yang dimulai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura yang dilakukan oleh perempuan, kemudian domestifikasi binatang buruan menjadi ternak hingga ditemukannya baja/logam dan api yang dibuat menjadi bajak sehingga dapat mengelolah tanah lebih luas. Pembajakan ini dilakukan oleh laki-laki karena perempuan tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan memelihara anak dengan produksi pertanian dan hal lain yang melatarbelakangi kenapa perempuan tidak membajak karena proses evolusi tubuh perempuan yang berubah pada zaman holtikultura. Pembajakan mendapatkan hasil yang banyak sehingga terjadi akumulasi modal dan menyebabkan surplus, jelas yang mendapatkan surplus adalah laki-laki sehinga muncul kepemilikan pribadi. Surplus inilah yang memulai adanya budaya patriarki dimana perempuan mulai didomestifikasi dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan generasi yang nantinya generasi dijadikan sebagai tenaga kerja. Perempuan menjadi penting sebagai alat perdagangan karena memiliki rahim untuk memproduksi anak, karena perempuan menjadi alat perdagangan maka munculah mekanisme pasar yaitu sistem jual beli perempuan disebut Mahar atau mas kawin. Hal diatas lah yang melatarbelakangi muncul patriarki di masyarkat. Sistem ini lah yang diadopsi dan turun temurun hingga sekarang dikalangan masyarakat di bumi ini.
Pada mulanya “patriarki” mempunyai arti yang sempit, menunjuk kepada sistem  yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga laki-laki memiliki kekuasaan  hukum dan perempuan yang menjadi tanggungannya berikut budak laki-laki maupun perempuannya. Yang mutakhir istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia  untuk menggambarkan dominasi  laki-laki atas perempuan dan anak-anak didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Pandangan ini berpengaruh penting penting ketika kita membicarakan mengapa peran gender tradisional sukar berubah. Ini merupakan ciri pokok masyarakat yang terorganisir sepanjang garis patriarkal di mana ada ketidakikutsertaan hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Menolak ketidakadilan gender merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena berarti menolak seluruh struktur sosial.
Patriarki merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial, dan kini kita akan menelaah  sebagian aspek dan sistem ini serta melihat bagaimana strukturnya yang memberi hak- hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan perempuan, menjunjung tinggi perbedaan gender.
 Secara umum budaya patriarki didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki atau dominasi laki-laki terhadap perempuan. Pada sistem ini laki-laki yang memiliki kekuasaan untuk menentukan, kondisi ini dianggap wajar karena dikaitkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks. Keberadaan budaya ini telah memberikan keistimewaan pada jenis kelamin laki-laki. Patriarki adalah suatu sistem dimana adanya relasi yang timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, dimana yang mendominasi mengontrol yang didominasi. Biasanya ini berkenaan terhadap ekspresi gender dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin (superior) sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminim (inferior).

2.2. Pengertian Subordinasi

Subordinasi merupakan istilah atau konsep yang mengacu kepada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Subordinasi perempuan berawal dari pembagian kerja berdasarkan gender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu. Kemampuan perempuan ini digunakan sebagai alasan untuk membatasi perannya hanya pada peran domestik dan pemeliharaan anak, jenis pekerjaan yang tidak mendatangkan penghasilan yang secara berangsur menggiring perempuan sebagai tenaga kerja yang tidak produktif dan tidak menyumbang kepada proses pembangunan.

Anggapan sosial yang menempatkan kaum perempuan emosional, tidak rasional dalam berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Peran perempuan pada posisi subordinat artinya posisi perempuan sebagai pelengkap terhadap posisi laki-laki sebagai pemegang posisi ordinat. Posisi subordinat perempuan dapat dilihat pada :

Ø  Pengambilan keputusan dalam keluarga dimana laki-laki (suami) sebagai pengambil keputusan.
Ø  Dalam tatanan sosial budaya masyarakat ada kecenderungan lebih mengutamakan laki-laki (prinsip patriakhi).
Ø  Pada wilayah hukum dan politik subordinasi perempuan terjadi pada akses dan partisipasi hukum dan politik. Banyak peraturan yang bersifat diskriminatif gender.

2.3. Hubungan Budaya Patriakhi dengan Subordinasi

            Budaya patriarkhi dalam beberapa aspek kehidupan cenderung lebih mengunggulkan laki laki dan merendahkan wanita. Di sebagian besar masyarakat yang menganut garis keturunan ayah (patriarkhi), beranggapan bahwa laki laki mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, kedudukan serta perlakuan terhadap wanita berkonotasi diskriminatif. Anggapan sosial yang menempatkan kaum perempuan emosional, tidak rasional dalam berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat.  Kenyataan demikian ini terjadi melalui proses yang sangat panjang baik lewat sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial, kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Oleh karena melalui proses yang panjang itulah, maka lama kelamaan perbedaan gender antara laki laki dan perempuan menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat diubah lagi.
Proses  konstruksi sosial tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik, psikis dan biologis masing masing jenis kelamin. Konstruksi gender tentang wanita yang digambarkan mempunyai sifat keibuan, lemah lembut, emosional, penakut, sabar, telaten, rajin, kemudian pada akhirnya wanita terbentuk kepribadian yang cenderung sebagaimana dikostruksikan.
Wanita yang secara fisik dipandang lebih lemah, karenanya harus mendapat  perlindungan, itulah sebabnya mereka ini tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga dan akibatnya harus menyelesaikan pekerjaan di dalam rumah tangga atau disektor domestik yang resikonya jauh lebih kecil. Pekerjaan perempuan disektor domestik ini sering dipandang rendah dan tidak produktif. Konstruksi sosial demikian ini terus dipelihara sebagai suatu kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima sebagai kebenaran bahwa wanita diberi strereotip sosok lemah dibandingkan dengan laki laki. Itulah sebabnya  sejak wanita itu masih kanak-kanak terus mendapatkan sosialisasi untuk menyelesaikan pekerjaan yang halus dan terlindung di dalam rumah tangga, seperti memasak,mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan alat rumah tangga.. 
2.4. Gambaran Perempuan Indonesia dalam Bidang Politik
Membicarakan peran politik perempuan, kita harus melihat politik bukanlah dari kerangka formal di bidang legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Eksistensi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama pada tingkat lokal dan kepekaan terhadap masalah yang ada. Perempun harus sadar bahwa ketika mereka tidak peduli terhadap politik mereka telah menggantungkan hidup mereka pada keputusan negara yang sangat bias gender karena mayoritas keputusan diputuskan oleh laki-laki. Siapa lagi yang mempunyai urgensi menyuarakan kepentingan-kepentingan perempuan selain perempuan itu sendiri? Inilah mengapa keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif sangatlah penting.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam sensus tahun 2010, persentase penduduk perempuan sebesar 49, 66 persen dari total penduduk di seluruh Indonesia. Beda tipis dengan penduduk laki-laki yang persentasenya 50,34 persen, dengan Seks Rasio adalah 101. Berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.  Lalu mengapa keterwakilan perempuan di parlemen masih sangat sedikit? Pada pemilu tahun 2009, meski kebijakan kuota 30 persen di parlemen sudah dicanangkan, nyatanya hanya 9 persen perempuan yang duduk di legislatif.
Tahun 2014, keberpihakan kepada perempuan pada pemilu memang semakin terbuka lebar. UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah menunjukkan adanya tindakan afirmatif (affirmative action), contohnya dalam aturan penyusunan DCT (Daftar Calon Tetap), penentuan nomor urut calon legislatif dan perhitungan perolehan suara, hal ini disebabkan oleh :
Ø  Pertama, dalam aturan penyusunan DCT, harus ada minimal 30% keterwakilan perempuan dari setiap partai politik (parpol).
Ø  Kedua, dalam aturan penentuan nomor urut calon legislatif, nama calon perempuan dalam Daftar Calon Tetap diletakkan secara berurutan, yakni misalnya nomor urut 1, 2 dan 3. Tidak hanya ditempatkan pada nomor urut 3 sampai 6 atau seterusnya. Jadi dalam setiap 3 bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1 dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya. Dengan demikian caleg perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, 2 dan 3. Selama ini tak jarang perempuan hanya mendapat nomor urut buncit dalam pemilu legislatif.
Ø  Ketiga, dalam aturan perhitungan perolehan suara untuk penetapan jumlah kursi, saat caleg laki-laki dan perempuan dalam satu daerah pemilihan memperoleh jumlah suara yang sama, maka dimenangkan caleg perempuan. Itu tidak hanya berlaku bagi caleg dalam satu partai politik (parpol) tetapi juga lintas parpol.
Meski dalam tataran regulasi keberpihakan pada perempuan semakin terlihat, bukan berarti kita sebagai perempuan bisa bernafas lega. Persoalannya kemudian, apakah nama-nama caleg perempuan dalam Daftar Calon Tetap itu adalah sosok-sosok mumpuni dan memang berdedikasi dalam menyuarakan aspirasi perempuan? Memiliki wakil perempuan di parlemen memang semakin membuka peluang agar aspirasi kita disuarakan. Namun kita, sebagai perempuan, tetap perlu mengawasi bagaimana proses penyuaraan aspirasi itu berjalan.
Tabel 1
PEROLEHAN SUARA NASIONAL PEMILIHAN LEGISLATIF (DPR RI, DPD RI, DPRD PROVINSI, DPRD KAB/KOTA) TAHUN 2014
No
DPR RI

Jenis Kelamin
Jumlah Kursi
Persentase (%)
1
Laki-laki
483
86,3
2
Perempuan
97
17,3

Jumlah
560
100

No
DPD RI

Jenis Kelamin
Jumlah Kursi
Persentase (%)
1
Laki-laki
98
74,2
2
Perempuan
34
25,8

Jumlah
132
100

No
DPRD Provinsi (33 Provinsi)

Jenis Kelamin
Jumlah Kursi
Persentase (%)
1
Laki-laki
1.779
84.15
2
Perempuan
335
15.85

Jumlah
2.114
100

No
DPRD Kabupaten/Kota (403 Kabupaten/Kota)

Jenis Kelamin
Jumlah Kursi
Persentase (%)
1
Laki-laki
12.360
85.8
2
Perempuan
2.406
14.2

Jumlah
14.410
100


Tabel 2
Jumlah Perempuan di DPR Hasil Pemilu 1999-2014
Pemilu
Total Anggota DPR
Jumlah Perempuan
%
1999
500
45
9,00
2004
550
61
11,09
2009
560
101
17,86
2014
560
97
17,32
Sumber: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.

Tabel 3
Empat orang caleg dengan suara terbanyak
No
Nama
Keterangan
Partai
Dapil
Jumlah Suara
1
KarolinMargret Natasa
Perempuan
PIDP
KalBar
397.481
2
Puan Maharani
Perempuan
PDIP
JaTengV
369.927
3
I Wayan Koster
Laki-laki
PDIP
Bali
260.342
4
Rieke Diah Pitaloka
Perempuan
PDIP
JaBar VII
260.342

STATISTIK ANGGOTA DPR HASIL PEMILU LEGISLATIF 2009-2014
PERBANDINGAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK
STATISTIK ANGGOTA DPD 2009-2014
HASIL PEMILU LEGISLATIF

Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK

Tabel 4
Jumlah Perbandingan Caleg Perempuan dan Laki-laki di Sumatera
Provinsi
Caleg DPRD
Perempuan
Laki-Laki
PresentasePr
NAD
275
89
186
32(%)
Sumut
642
213
429
33(%)
Sumbar
276
99
177
36(%)
Riau
228
74
154
32(%)
Jambi
137
49
88
36(%)
Sumsel
340
123
217
36(%)
Bengkulu
102
39
63
38(%)
Lampung
331
118
213
36(%)
Bangka Belitung
78
29
49
37(%)
Kepulauan Riau
85
27
58
32(%)
Total
2494
860
1634
34(%)

Sumber: Media Center KPU (1 April 2009)

2.5. Gambaran Perempuan Indonesia dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, semestinya tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan ataupun menelantarkan pendidikan kaum perempuan. Ini berarti perempuan bisa belajar bidang apa saja. Memang secara umum sebagaian besar orang tua di Indonesia saat ini sudah mulai menyadari akan pentingnya sekolah bagi putra-putrinya namun ada sebagian yang masih memiliki pandangan yang timpang terhadap pendidikan anak perempuannya.
Jika di telusuri ketimpangan pendidikan perempuan di Indonesia ini dikarenakan oleh beberapa hal antara lain: masyarakat masih berpandangan maleoriented atau lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki dari pada anak perempuannya. Male oriented juga berkaitan dengan budaya yang telah mengakar kuat dengan anggapan bahwa perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena nantinya hanya akan ke dapur. Persepsi ini tidak diluruskan dan tidak disadari bahwa sesungguhnya peran di dapur pun menuntut ilmu dan pengetahuan.
 Budaya bahwa perempuan adalah konco wingking, sehingga tidak perlu menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan faktor kemiskinan atau keterbatasan penghasilan orang tua kadang-kadang juga dapat memarginalkan pendidikan perempuan. Harus diakui faktor biaya pendidikan saat ini yang dirasa masih mahal merupakan kendala utama bagi anak anak kurang mampu untuk terus menempuh pendidikan. Selain faktor-faktor di atas, adanya trend bahwa perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan lebih memilih kembali ke ruang domestik atau memilih menjadi ibu rumah tangga, banyak menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan itu mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan yang disadari secara penuh.
Pada zaman yang modern ini boleh saja perempuan memilih menjadi pengurus rumah tangga (ibu rumah tangga) secara total tetapi hendaknya menjadi ibu rumah tangga yang berwawasan luas, handal dan berdaya. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan pendidikan, pelatihan, terus belajar untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Banyak faktor yang menyebabkab para perempuan Indonesia tidak memiliki keterampilan, antara lain adalah: sedikitnya kesempatan memperoleh keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan setempat, faktor kemiskinan, tidak adanya semangat dan kemauanuntuk memperoleh kesempatan dan fasilitas berlatih keterampilan dengan baik, meskipun otaknya mungkin cemerlang. Tingkat pendidikan dan pengetahuan serta ketrampilan yang rendah bagi perempuan menyebabkan mereka menjadi sumberdaya manusia yang kurang mampu bersaing di dunia kerja. Agar memiliki kemampuan bersaing, salah satunya adalah menjadi manusia yang berkualitas tinggi. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi ini dapat dihasilkan salah satunya melalui jalur pendidikan dan pelatihan dengan sistem pemagangan.
Untuk memastikan terpenuhinya hak perempuan dan laki-laki akan pendidikan maka perlu segera meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi anakanak perempuan dan laki-laki usia sekolah terutama di daerah miskin, terpencil, dan terisolasi. Membuka sekolah kejuruan yang relevan dengan kebutuhan pemberdayaan perempuan dan masyarakat setempat, responsif dan antisipatif serta dapat membantu pencapaian tujuan sosial yang dapat menjamin akses dan ekuitas peserta didik, berikutnya memperbaiki mutu pendidikan dan meningkatkan kesempatan bagi perempuan untuk menjamin bahwa perempuan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, sehingga diharapkan dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender. Pendidikan adalah salah satu jalan menjadikan perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekedar penerima pasif program-program pemberdayaan. Pendidikan juga dapat menjadi salah satu faktor yang memungkinkan perempuan memiliki independensi (kemandirian) ekonomi dengan bekerja baik di luar maupun di dalam rumah tinggalnya.

2.6. Gambaran Perempuan Indonesia dalam Bidang Sosial dan Budaya
Perdebatan mengenai posisi kaum perempuan dan laki-laki merupakan perdebatan yang tak ada habis-habisnya. Anggapan sosial yang menempatkan kaum perempuan emosional, tidak rasional dalam berpikir, dan tidak dapat tampil sebagai pemimpin telah menempatkan perempuan pada posisi subordinat.  Kenyataan demikian ini terjadi melalui proses yang sangat panjang baik lewat sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial, kultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara. Oleh karena melalui proses yang panjang itulah, maka lama kelamaan perbedaan gender antara laki laki dan perempuan menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat diubah lagi.
Proses  konstruksi sosial tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik, psikis, sosial dan budaya. Subordinasi merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial. Dalam bidang sosial dan budaya subordinasi juga memberi hak- hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan hak-hak perempuan, menjunjung tinggi perbedaan gender. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus contoh berikut :
a.       Sumatera Utara : Pada masyarakat Batak, laki-laki lebih dihargai daripada perempuan. Istri yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki menyebabkan laki-laki (suami) boleh mengawini perempuan lain untuk mendapatkan anak laki-laki. Perempuan bekerja keras, laki-laki berkumpul di lapo tuak sambil main catur atau kartu. Dalam suatu pesta adat Batak, kepala babi diberikan kepada laki-laki sebagai manifestasi falsafah Batak “Hasangapon, Hamoran, Hagabeon”. Hubungan darah yang berdasarkan marga menunjukkan hubungan yang paternalistik. Dalam hal pembagian harta warisan, pihak laki-laki lebih diutamakan dan mendapat porsi yang lebih banyak, bahkan bisa jadi perempuan tidak mendapat apa-apa kalau harta warisan orangtua jumlahnya sedikit. Masyarakat Batak juga menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena nanti bila sudah menikah akan menjadi milik marga (keluarga) lain. Sedangkan laki-laki akan membawa nama besar keluarga dan marga apabila berhasil mencapai pendidikan tinggi dan jabatan yang tinggi (siboan goar).
b.      Lampung : Dalam masyarakat Lampung (Kecamatan Padang Ratu), laki-laki mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi, mempunyai hak untuk menceraikan istri. Keputusan tentang kehidupan (pengolahan tanah, penentuan jenis tanaman, dll) ditentukan oleh laki-laki.
c.       Toraja : perempuan tidak bebas memilih jodoh. Perempuan dituntut untuk memelihara nama baik keluarga dan adat.
2.7. Analisis Gender : Pengaruh Budaya Patriakhi terhadap Subordinasi
Untuk menganalisis pengaruh budaya patrikahi terhadap subordinasi digunakan teknik analisis Longwe. Teknik analisis Longwe adalah suatu teknik analisis yang dikembangkan sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi : kesejahteraan, akses, kesadaran, kritis, partisipasi, dan kontrol. Lima dimensi sama lain berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan kelima dimensi tersebut juga merupaka tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan otomatis makin tinggi tingkat keberdayaan.
a.       Dimensi Kesejahteraan
Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan, dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Dengan demikian kesenjangan gender di tingkat kesejahteraan perempuan dasarnya. Level ini merupakan tingkatan nihil dari pemberdayaan perempuan. Padahal upaya untuk memperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi.
b.      Dimensi Akses
Kesenjangan gender disini dilihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya. Lebih rendahnya akses mereka terhadap sumber daya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki. Pembangunan perempuan tidak cukup hanya pada pemerataan akses karena kurangnya akses perempuan buak saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi gender. Oleh karena itu akar penyebab kesenjagan akses atas sumber daya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran.
c.       Dimensi Kesadaran Kritis
Kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan adanya anggapan bahwa posisi sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat ini berarti menumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas: bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan.
d.      Dimensi Partisipasi
Partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Disini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring, serta evaluasi. Hasil analisis partisipasi ditunjukkan dalam tabel profil partisipasi. Ketidaksetaraan peranan laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari hasil tersebut. Kesenjangan partisipasi perempuan mudah diidentifikasi, misalnya dari partisipasi di lembaga legislatif, eksekutif, organisasi politik dan massa. Namun partisipasi secara umum dapat dilihat dari adanya peran serta stara anatara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun Negara.
e.        Dimensi Kuasa/Kontrol
Kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, satu tidak mendominasi atau berada dalam posisi dominan atas lainnya. Artinya perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera.
Hasil Analisis :
  1. Dimensi Kesejahteraan : kesejahteraan perempuan belum mencapai hasil yang memuaskan, hal ini dibuktikan dengan ketimpangan tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Masih banyak kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan laki-laki lebih utama daripada pendidikan perempuan, hal ini berpengaruh pada kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan, penghasilan, dan lain-lain karena pendidikan yang rendah.
  2. Dimensi Akses : perempuan telah memiliki akses yang sama dalam bidang pendidikan tetapi dalam bidang politik dan sosial budaya perempuan masih mengalami ketidakdilan atau ketimpangan.
  3. Dimensi Kesadaran Kritis : perempuan belum sepenuhnya menerapkan kesadaran kritis, hal itu dibuktikan dengan masih rendahnya partisipasi perempuan dalam mengkritisi nilai-nilai dan norma yang dianut dalam masyarakat terutama budaya patriakhi.
  4. Dimensi Partisipasi : tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan belum menunjukkan hasil yang memuaskan walaupun dalam parlemen kuota perempuan cukup signifikan.
  5. Dimensi Kuasa/Kontrol : kesetaraan dalam kuasa/kontrol masih timpang, hal ini dibuktikan dengan persentasi perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan (lembaga legislatif) masih timpang.

BAB III
  PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gender sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial sosial yang berkembang di dalam masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun temurun. Dalam perkembangannya, konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. Ideologi gender menjadi rancu dan merusak relasi perempuan dan laki-laki ketika dicampuradukkan dengan pengertian seks (jenis kelamin). Karena masyarakat tidak dapat dapat membedaan perbedaan seks dan gender denan benar, maka muncullah masalah gender yang berwujud pada ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan. Salah satu ketidakadilan gender yang dialami perempuan adalah subordinasi yang disebabkan oleh budaya patriakhi yang masih mengakar kuat pada masyarakat.
Secara umum budaya patriarki didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki atau dominasi laki-laki terhadap perempuan. Pada sistem ini laki-laki yang memiliki kekuasaan untuk menentukan, kondisi ini dianggap wajar karena dikaitkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks.
Patriarki merembes ke semua aspek-aspek masyarakat dan sistem sosial, dan subordinasi memberi hak- hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan perempuan, menjunjung tinggi perbedaan gender. Wanita yang secara fisik dipandang lebih lemah, karenanya harus mendapat  perlindungan, itulah sebabnya mereka ini tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga dan akibatnya harus menyelesaikan pekerjaan di dalam rumah tangga atau disektor domestik yang resikonya jauh lebih kecil. Perempuan mengalami subrodinasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, pendidikan, sosial dan budaya, serta berbagai aspek lainnya.
3.2. Saran
a. Memperkuat kelembagaan dan jalur pendidikan, sebagai upaya pemberdayaan perempuan untuk memberikan kemampuan dalam pengambilan keputusan serta meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik yang selama ini dianggap bukan dunia perempuan.
b. Program pemberdayaan perempuan harus segera dilakukan dengan serentak, berkesinambungan, dan melibatkan semua elemen masyarakat. Upaya pemberdayaan perempuan juga harus dilakukan secara nyata, tidak hanya bersifat slogan dan berhenti pada tingkat wacana.
c. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan, untuk meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterlibatan dalam setiap program pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan.
d. Menyusun mekanisme pemberdayaan perempuan secara terpadu dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, baik aparat pemerintahan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga pendidikan, swasta, dan LSM dan lain-lain.
e. Peningkatan fungsi dan peran organisasi perempuan, dalam pemasaran sosial program-program pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting mengingat selama ini program pembangunan yang ada, kurang disosialisasikan dan kurang melibatkan peran masyarakat.
f. Pelibatan kelompok perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring semua program pembangunan yang ada. Keterlibatan perempuan meliputi program pembangunan fisik, penguatan ekonomi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
g. Kesadaran akan perlunya pelibatan perempuan dalam pembangunan serta perlunya perencanaan pembangunan yang peka gender harus ditumbuhkan dalam masyarakat, khususnya di kalangan birokrat dan anggota dewan.
h. Meningkatkan akses dan kontrol terhadap sumber dan manfaat dengan menerapkan kerangka pemberdayaan mulai dari tingkat kesejahteraan hingga tingkat kontrol/kekuasaan.
i. Meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilaya tempat tinggalnya.
j. Membentuk jaringan kerja (kaukus) antara lembaga yang mempunyai kepedulian dan bidang garapan yang berkaitan dengan perempuan dengan tidak mengabaikan keragaman sosial-budaya, jenis pekerjaan, lingkungan dan sebagainya.
k. Memasukkan berbagai pandangan internasional tentang hak-hak perempuan

DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Harmona. 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan : USU Press.
Ichromi,T.O. 1995, Kajian Wanita dan Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta.
Mansour Fakih, 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar : Yogjakarta.
Murniati, Nunuk. P. A. 2004. Getar Gender : Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga, Magelang : Indonesiatera.
Setiadi, Elly M. Dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi, Jakarta : Kencana.
http://www.wydii.org/index.php/library/data/representation-of-women/130-daftar-pejabat-publik-perempuan-di-indonesia.html
http://femaline.co/keterwakilan-perempuan-dalam-legislatif-pekerjaan-yang-tak-pernah-sele/
http://www.kaskus.co.id/thread/508df40f0a75b48a2d000002/wow13-srikandi-pemimpin-daerah-di-indonesiacantik-cantik-gan-serba-13
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/03/200818/Ironi-Wanita-Pekerja-
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/10/data-perempuan-indonesia-ngeri-ngeri-sedap-ternyata-558795.html
http://www.academia.edu/4813062/Pendidikan_Perempuan_Kepala_Keluarga
http://harianjoglosemar.com/berita/persepsi-gender-salah-timbulan-ketidakadilan-gender-14142.html
www.kpu.go.id
www.bps.go.id
www.dpr.go.id
http://www.koalisiperempuan.or.id/subordinasi/



LAMPIRAN
Daftar Menteri Perempuan Kabinet Kerja Masa Bakti 2014-2019
No
Nama
Jabatan
1
Retno Marsudi
Menteri Luar Negeri
2
Susi Pudjiastuti
Menteri Kelautan dan Perikanan
3
Nila Moeloek
Menteri Kesehatan
4
Siti Nurbaya Bakar
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
5
Puan Maharani
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
6
Yohana Yembise
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Daftar Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Perempuan di Indonesia
No
Nama
Jabatan
1
Ratu Atut Chosiyah
Gubernur Banten
2
Rustriningsih
Wakil Gubernur Jawa Tengah
3
Tri Risma Harini
Walikota Surabaya
4
Airin Rachmi Diany
Walikota Tangerang Selatan
5
Atty Suharti Tochija
Walikota Cimahi
6
Anna Sophanah
Bupati Indramayu
7
Neneng Hasanah Yasin
Bupati Bekasi
8
Rina Iriani
Bupati Karanganyar
9
Sri Suryawidati
Bupati Bantul
10
Ni Putu Eka Wiryastuti
Bupati Tabanan
11
Juliarti
Bupati Sambas
12
Indah Putri Indriani
Wakil Bupati Luwu Utara
13
Rustriningsih
Bupati Kebumen
14
Widya Kandi Susanti
Bupati Kendal
15
Christian Euginia Paruntu
Bupati Minahasa Selatan
16
Idza Priyanti
Bupati Brebes
17
Rita Widyasari
Walikota Kutai Kartanegara
18
Cellica Nurrachadiana
Wakil Bupati Karawang
19
Suryatati A Manan
Walikota Tanjungpinang
Berikut nama perempuan anggota DPR periode 2014-2019.
No
Nama
Partai
No
Nama
Partai
1
Meutya Hafid
Golkar
50
Elva Hartati
PDI-P
2
Enny Aggraeny Anwar
Golkar
51
Rita Zahara
Gerindra
3
A. Fauziah P. Hatta
Golkar
52
Sri Melyana
Gerindra
4
Agatie Sulie Mahyudin 
Golkar
53
Susy Marleny Bachsin
Gerindra
5
Neni Moernaeni
Golkar
54
Dwita Ria Gunadi
Gerindra
6
Eni Maulani S
Golkar
55
Rachel M. Sayidina
Gerindra
7
Siti Hediati Suharto
Golkar
56
Putih Sari
Gerindra
8
Endang S.Handayani
Golkar
57
Sri Wulan
Gerindra
9
Endang Maria Astuti
Golkar
58
Rahayu S.D.
Gerindra
10
Wenny Haryanto
Golkar
59
Novita Wijayanti
Gerindra
11
Dewi Asmara
Golkar
60
Katherine A Oendoen
Gerindra
12
Popong Otje Djundjunan
Golkar
61
Ruskati Ali Baal
Gerindra
13
Dwi Aroem Hadiatie
Golkar
62
Peggi Patrisia Pattipi
PKB
14
Saniatul Lativa
Golkar
63
Rohani
PKB
15
Delia Pratiwi Sitepu
Golkar
64
Siti Masrifah
PKB
16
Betti Shadiq Pasidigoe
Golkar
65
Ida Fauziyah
PKB
17
Rooslynda Marpaung
Demokrat
66
Anna Mu’awannah
PKB
18
Dwi Astuti Wulandari
Demokrat
67
Nihayatul Wafiroh
PKB
19
Melani Leimena Suharli
Demokrat
68
Latifah Shohib
PKB
20
Linda Megawati
Demokrat
69
Siti Mukaromah
PKB
21
Siti Mufattanah
Demokrat
70
Neng E.M. Zulfa Hiz
PKB
22
Evi Zainal Abidin
Demokrat
71
Chusnunia Chalim
PKB
23
Nurhayati Ali Asegaf
Demokrat
72
Elviana
PPP
24
Vena Melinda
Demokrat
73
Okky Asokawati
PPP
25
Vivi Sumantri Jayabaya
Demokrat
74
Leni Marlinawati
PPP
26
Erma Suryani Ranik
Demokrat
75
Wardatul Asriah
PPP
27
Norbaiti Isran Noor
Demokrat
76
Nurhayati
PPP
28
Verna G. M. Inkirawang
Demokrat
77
Irna Narulita
PPP
29
Aliyah Mustika Ilham
Demokrat
78
Kartika Yudhisti
PPP
30
Mercy Chriesty Barends
PDI-P
89
Kasriyah
PPP
31
Irine Yusiana Roba Putri
PDI-P
80
Ermalena
PPP
32
Vanda Sarundajang
PDI-P
81
Fatmawati Rusdi
PPP
33
Karolin Margret Natasa
PDI-P
82
Asnawati Hasan
PAN
34
Sadarestuwati
PDI-P
83
Yasti S. Mokoagow
PAN
35
Damayanti W. Putranti
PDI-P
84
Indira CT Syahrul
PAN
36
My Esty Wijayati
PDI-P
85
Ammy A.F. Surya
PAN
37
Indah Kurnia
PDI-P
86
Yayuk Basuki
PAN
38
Puan Maharani
PDI-P
87
Laila Istiana
PAN
39
Agustina W. Pramestuti
PDI-P
88
Desy Ratnasari
PAN
40
Evita Nusranty
PDI-P
89
Dewi Coryati
PAN
41
Puti Guntur Soekarno
PDI-P
90
Hanna Gayatri
PAN
42
Risa Mariska
PDI-P
91
Irma Suryani
Nasdem
43
Rieke Diah Pitaloka
PDI-P
92
Amelia Anggraini
Nasdem
44
Ribka Tjiptaning
PDI-P
93
Yayuk Sri. R
Nasdem
45
Diah Pitaloka
PDI-P
94
Tri Murny
Nasdem
46
Dwi Ria Latifa
PDI-P
95
Dewi Yasin Limpo
Hanura
47
Wiryanti Sukamdani
PDI-P
96
Miryam S Haryani
Hanura
48
Itet T. Sumarijanto
PDI-P
97
Ledia Hanifa Amaliah
PKS
49
Isma Yatun
PDI-P













Tags :

bonarsitumorang