Makalah : Looking Glass Self Charles Horton Cooley
PENGERTIAN LOOKING –GLASS SELF dari COOLEY[1]
Pengertian
“Looking Glass Self” yang berarti “cermin diri”, tidak akan diterjemahkan,
untuk mencegah kesalahpahaman. Pengertian tersebut diintruksikan oleh Charles
Horton Cooley, di dalam hasil karyanya yang berjudul “Human Nature an the
Social Order” (tahun 1962). Menurut Cooley, maka tingkah laku orang seolah-olah
merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu. Cooley menyatakan, bahwa
terdapat tiga elemen, yakni:



Dalam menggunakan “looking glass self’ sebagai perumpamaan, oleh
karena hal itu mencakup dan mencerminkan aspek dari formasi konsepsi pribadi. Akan
tetapi dia juga mengakui kukurangan yang ada. Cermin tersebut memberikan suatu
konotasi pada citra yang actual dan tanpa penilaian. Padahal, Cooley
menganalisa suatu citra yang merupakan suatu
imputasi dan bersifat evalusi.
Sebagaimana halnya
dengan Mead, maka Cooely yang menaruh perhatian pada cara-cara konsepsi diri
pada anak-anak berkembang. Berdasarkan pelbagai pengamatan terhadap anak-anak dia
berkesimpulan, bahwa sejak usia muda sekali anak-anak menaruh perhatian pada
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh mereka pada pihak-pihak lainnya. Cooley
menganggap bahwa anak-anak tersebut berusaha mempengaruhi orang-orang yang ada
di sekitarnya, terutama orang tuanya. Misalnya, anak-anak tadi menagis atau
menarik-narik baju orang tuanya, agar usaha mempengaruhi tersebut berhasil.
Semakin meningkat usia dan kematangannya anak-anak itu semakin
rumit pula keadaan yang dihadapinya. Cooley mengganggap bahwa anak-anak tadi
semakin berusaha untuk menyembunyikan keinginan-keinginanya untuk disayangi,
serta berusaha mencari cara-cara terselubung untuk menyalurkan
keinginan-keinginan tersebut. Mereka juga semakin sensitive terhdap perbedaan
dengan orang-orang lain. Sebagai akibatnya, maka sikapnya berubah-ubah sesuai
dengan pihak-pihak yang dihubunginya pada waktu-waktu tertentu. Mereka berusaha
sesuai dengan keadaan pihak lain, di dalam jiwa pikiran orang lain tadi,
tampaklah siapa diri anak-anak tersebut. Dalam hal ini ada persamaan antara
Mead dan Cooley, yaitu bahwa mereka menganggap kualitas pribadi lebih bersifat
situasional.
Perbedaan utama antara teori Mead dengan Cooley, terletak pada orientasi-orientasi
teoritisnya. Meda menganggap dirinya lebih mementingkan perilaku nyata manusia
daripada motif-motifnya. Oleh karena itu, maka dia lebih menekankan pada
reaksi-reaksi dari pihak lain. Dari dasar itu, ia mengganggap bahwa Cooley
terlalu memperhatikan keinginan batiniah dari manusi yang bersifat
introspektif. Oleh karena itu, Cooley tidak berhasil membedakan antara perilaku
sebagai subjek dan objek, hal mana sangat penting bagi Mead.
Apabila pendekatan interaksi simbolis tersebut untuk pertama kali
dikenal, maka timbul pertanyaan apaka aspek-aspek tentang konsepsi diri pribadi
harus dihubungkan secara erat dengan kualitas yang sesungguhnya dari pribadi.
Jawabannya yang pertama adalah, bahwa kedua hal itu tidak identik, seseorang yang
wajahnya buruk mungkin menganggap dirinya cantik, atau sebaliknya. Manusia
dapat mempercayai anggapan tertentu mengenai dirinya, apabila hal itu diperkuat
oleh pihak lain. Bagaimana sebenarnya seorang pribadi itu? Pada umumnya hal itu
tergantung pada pihak yang ditanya mengenai hal itu. Dengan demikian dapatlah
dikatakan, bahwa diri pribadi seseorang dikontrukjsikan dari proses interaksi sosial.
Penerapan Interaksi Simbolis Cooley Pada Beberapa Contoh
Pendekatan interaksi simbolis tersebut, dapat diterapkan pada suatu
contoh, yaitu kasus Edith Stern, Aaron dan Bella Stern, yaitu orang tua Edith
beremigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Mereka menikah di Warsawa dan
Aaron adalah salah seorang korban kaum konsentrasi Jerman dalam Perang Dunia
Kedua. Mula-mula Aaron dan Bella tinggal di Brooklyn, dan pada tahun 1952
lahirnya Edith. Pada waktu Edith lahir, ayahnya mengadakan konsperensi pers, di
mana dia menyatakan, bahwa Edith akan dijadikannya manusia yang sempurna. Sejak
Edith pulang dari rumah sakit, ayahnya mulai mengerjakan proyeknya. Dia begitu
yakin bahwa anaknya akan menjadi jenius. Pada usia lima tahun, Edith telah
menyelesaikan membaca Encyclopedia Britannica. Pada usia dua belas tahun dia
memasuki sekolah tinggi, dan pada usia dia mempersiapkan disertasi untuk
menjadi doctor, serta mengaar matematika. Pada kasus Edith diungkapkan dia
telah berusaha 30 tahun dan bekerja sebagai tenaga ahli pada IBM. IQ-nya
sedemikiaj tingginya sehingga dia tidak dapat dipastikan menurut anggapannya
sendiri, dia agak lamban dan badannya terlalu berat. Dia sama sekali tidak
mempermasalahkan hal itu, dan ibunya mengganggap mahkluk yang merupakan
gangguan.
Sebagaimana disinggung di atas, maka di dalam menerapkan proyeknya,
maka Aaron terlalu memusatkan pada intelektualitas dari Edith. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan, sebagai akibat sosialisasi yang kurang serasi, Edith
mengalami kekurangan-kekurangan lain, kecuali intelelektualitasinya. Hal itu
juga berpengaruh pada unsure-unsur pribadi tersebut, lebih tepat bila interaksi
simbolis di atas diterpakn dengan contoh lain.
CONTOH PERTAMA
|
Suatu contoh yang disajikan di bawah ini merupakan hasil penelitian
yang pernah dilakukan terhadap 78 anak, dari dua lembaga anak-anak yang
terbelakang di Kanada. Para ahli diminta untuk memberikan suatu penilaian
terhadap anak-anak tersebut, yang dihubungkan dengan kemungkinan-kemungkinannya
untuk sembuh. Anak-anak tadi kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori, yang
paling baik, baik dan buruk. Antara ketiga golongan tersebut tidak ada
perbedaan usia waktu dan jangja waktu perawatan yang dialami. Rata-rata
anak-anak tadi berusia 12,5 tahun dan mengalami terapi selama 20 bulan. Mereka
diminta unutuk menilai dirinya masing-masing menurut dimensi-dimensi tertentu,
seperti baik, buruk, kasar, lembut, pengganggu, menyenangkan dan seterusnya.
Kepada mereka juga diajukan pertanyaan, tentang bagaimanakah tanggapan
orang-orang lain terhadap mereka, seperti misalnya, ibunya, ayahnya,
teman-teman dekat dan para perawat.
Sebelum menelaah hasilnya,
maka ada baiknya untuk menjajagi kemungkinannya adanya penemuan-penemuan serta
implikasinya. Anak-anak yang tergolong kategori paling baik, mungkin paling
tidak yakin terhadap dirinya sendiri. Mungkin mereka menerima beberapa
indikasi, khususnya dari terapisnya, yang menyatakan keadaan terbelakang
merupakan peranan sementara bagi mereka. Oleh karena itu, maka mereka masih
berada dalam proses menemukan, member dasar, dan membentuk diri. Anak-anak yang
tergolong kepribadian buruk, mungkin terikat pada suatu identitas yang
terganggu. Pihak-pihak lain mungkin memberikan suatu refleksi, bahwa peranannya
tidaklah bersifat sementara.
Untuk meneliti masalah tersebut di atas, maka para peneliti
menghitung korelasi antara sepuluh hal yang menjadi patokan untuk menilai bagi
anak-anak tadi. Hasilnya adalah sesuai dengan asumsi yang menyatakan, bahwa
anak-anak yang tergolong baik, ternyata tidak konsisten dengan dirinya. Derajat
konsisten yang paling tinggi justru ada pada anak-anak yang mengganggap dirinya
tidak penting. Mereka merasa dirinya adalah orang buruk, kotor dan seterusnya.
Hal yang sama juga pada anak-anak yang merasa dirinya penting, ,mereka juga
merasa dirinya baik, bersih, lembut, dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan yang
bersifat substansiil, dengan anak-anak yang tergolong buruk yang menggambarkan
dirinya dalam identitas yang sangat konsisten.
CONTOH DUA
|
Di dalam eksperimen, sejumlah mahasiswa diajak untuk mengikuti
suatu studi terhadap kepribadian. Kepada mereka dibagikan daftar isian,
mengenai penilaian pribadi terhadap inteligensinya, kecakapanya, dan
seterusnya. Kemudian masing-masing mahasiswa menyusun jenjang-jenjang tersebut,
sesuai dengan pendapat masing-masing mengenai cirri-ciri yang paling penting
bagi dirinya. Dengan demikian, maka jenjang cirri-ciri tersebut, merupakan
suatu indicator mengenai derajat relevansi cirri-ciri tersebut. Sesudah
menyusun jenjang tersebut, maka mahasiswa memeriksa kembali daftar tersebut.
Dengan demikian, maka tersusunlah suatu daftar yang boleh dikatakan merupakan hasil dari suatu
consensus.
Setelah mengisi daftar tersebut, mereka menemui seseorang psikologi
yang akan menerapkan suatu test kepribadian terhadap mereka. Tanpa diketahui
oleh mahasiswa, hasil test tersebut merupakan sesuatu yang dengan sengaja diberi
penyimpangan-penyimpangan, sehingga bukan merupakan hasil tes yang
sesungguhnya. Penentuan hasil tes dengan sengaja dikonstruksikan sedemikian
rupa sehingga hamper bersamaan dengan jenjang yang dirumuskan oleh para
mahasiswa, tanpa mempertimbangkan hasil tes kepribadian yang telah diterapkan
oleh psikolog tersebut di sana-sini memang diadakan perubahan-perubahan pada
sistematikanya,misalnya,ada cirri-ciri yang dianggap penting dimasukkan ke
dalam kategori kurang penting, dan sebaliknya, demikian pula halnya dengan
cirri-ciri yang didasarkan pada konsensus yang tinggi dan yang rendah.
Tujuan utama dari eksperimen tersebut adalah, sampai sejauh manakah
penentuan dari psikolog terhadap cirri-ciri tersebut, akan mempengaruhi
konsepsi diri para mahasiswa. Untuk menjawab masalah tersebut, maka kepada para
mahasiswa dimintakan lagi kesediaan mereka untuk menyusun jenjang ciri-ciri
tersebut yang bersifat final. Hasilnya cenderung merupakan suatu kompromi.
Ternyata bahwa para mahasiswa menyusun jenjang ciri-ciri sesuai dengan arah
yang diasumsikan oleh psikolog yang mengadakan test kepribadian tersebut. Namun
demikian ternyata, bahwa mengubah ciri-ciri dengan konsensus yang rendah,
ternyata lebih tinggi, apabila dibandingkan pada perubahan ciri-ciri atas dasar
konsensus yang tinggi derajatnya. Dengan demikian ada kecenderungan yang sangat
kuat, bahwa ciri-ciri konsensusnya tinggi yang didukung oleh lain pihak, sulit
untuk dirubah.
Self image yang dibentuk dalam proses ini sebenarnya sangat
berpengaruh pada interaksi kita dengan orang lain, baik itu dengan orang
terdekat, teman, kelompok maupun masyarakat. Yang menjadi masalah adalah suatu
situasi dimana ada perbedaaan pandangan tentang self image antara orang yang
bersangkutan dengan orang-orang disekitarnya. Misalnya saja, A memiliki self
image bahwa dia adalah siswa yang aktif dan pintar di kelas hingga memunculkan
tindakan dimana dia sering bertanya kepada guru. Baginya tingkah laku itu
mengukuhkan bahwa dia adalah siswa yang aktif dan pintar, namun menurut teman-temannya
ternyata justru tingkah yang menyebalkan.
Lalu bagaimana
seharusnya? Membentuk self image yang baik memerlukan kecermatan, intuisi
bahkan kecerdasan emosi yang baik, dan strategi yang rumit. Tidak asal terjang.
Ada yang memilih aman dengan sifat-sifat down to earth. Tentunya yang dimaksud
dengan kesuksesan menjalankan teori ini adalah saat interaksi sosial kita
berlangsung mulus. Semua dipadukan hingga akhirnya self image yang terbentuk
selaras yang artinya mendapatkan tanggapan positif baik itu dari diri kita
sendiri maupun dari orang lain. Self image bisa kita rubah dan stel sesuai
dengan kebutuhan kita dengan menyesuikan dengan tempat, norma dan budaya yang
ada.
CONTOH
TIGA
|
TEORI LOOKING GLASS ATAU SELF IMAGE[2]
Teori ini dilontarkan oleh sosiolog bernama ‘Charles Harton Cooley’.
Looking Glass Sels adalah teori yang menerangkan bahwa masyarakat memiliki apa
yang disebut dengan ‘cermin’ yang merefleksikan siapa diri kita ini. Kita ini
ternyata membentuk image diri (self image) dari bagaimana kita memikirkan cara
pandang orang lain terhadap kita. Ada tiga hal utama yang menjadi kata kunci
pembahasan teori ini pertama adalah bayangan tentang penampilan kita dihadapan
orang lain, bayangan tentang penilaian orang lain terhadap penampilan kita dan
perasaan-perasaan yang mengikutinya seperti malu, bangga, gengsi, dll.
Self image yang dibentuk dalam proses ini sebenarnya sangat
berpengaruh pada interaksi kita dengan orang lain, baik itu dengan orang
terdekat, teman, kelompok maupun masyarakat. Yang menjadi masalah adalah suatu
situasi dimana ada perbedaaan pandangan tentang self image antara orang yang
bersangkutan dengan orang-orang disekitarnya. Misalnya saja, A memiliki self
image bahwa dia adalah siswa yang aktif dan pintar di kelas hingga memunculkan
tindakan dimana dia sering bertanya kepada guru. Baginya tingkah laku itu
mengukuhkan bahwa dia adalah siswa yang aktif dan pintar, namun menurut
teman-temannya ternyata justru tingkah yang menyebalkan.
Lalu bagaimana
seharusnya? Membentuk self image yang baik memerlukan kecermatan, intuisi
bahkan kecerdasan emosi yang baik, dan strategi yang rumit. Tidak asal terjang.
Ada yang memilih aman dengan sifat-sifat down to earth. Tentunya yang dimaksud
dengan kesuksesan menjalankan teori ini adalah saat interaksi sosial kita
berlangsung mulus. Semua dipadukan hingga akhirnya self image yang terbentuk
selaras yang artinya mendapatkan tanggapan positif baik itu dari diri kita
sendiri maupun dari orang lain. Self image bisa kita rubah dan stel sesuai
dengan kebutuhan kita dengan menyesuikan dengan tempat, norma dan budaya yang
ada.
Seperti yang saya bilang tadi, membentuk self image dan bermain
dengan mirror sama dengan bermain seni. Kita tak jarang harus mempertimbangkan
nilai, norma dan budaya tempat kita berinteraksi sosial. Kalau dikontraskan
dengan Agnez ya mungkin Anggung C Sasmi. Dia tidak heboh (hiperaktif) namun
tahu-tahu terdengar kabar dia menjadi artis di Eropa. Orang Indonesia khususnya
Jawa lebih cocok dengan manuver Anggun yang rendah hati, menjadi diri sendiri
dan yang pasti tetap memiliki identitas yang konsisten dengan budayanya.
Didunia maya mungkin bisa
kita terapkan pada bagaimana kita mencoba merepresentasikan self-image kita di
sosial media melalui postingan yang kita buat. Misalnya saja, seseorang
membentuk self image sebagai orang yang sukses dengan memposting setiap
kegiatan yang dia ikuti hampir setiap 5 menit sekali. Maka tidak selalu
demikian pandangan followernya karena aka nada yang beranggapan bahwa dia
sombong, lebay, kurang kerjaan dan lain sebagainya.
Sepertinya teori ini juga terkait dengan Dramaturgi (Ervin Goffman)
yang menyatakan bahwa tindakan manusia memuliki dua sisi yaitu front stage dan
back stage. Self image bisa jadi adalah front stage yang ingin diperlihatkan
kepada orang lain. Mungkin juga terkait dengan teori psikoanalisis Sigmund
Freud tentang id, ego dan superego. Menarik kalau meneliti penggabungan teori
ini, ataupun penerapannya pada dimensi sosial yang selama ini belum banyak
diteliti seperti dalam interaksi di sosial media, bbm dll.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian “Looking Glass Self” yang berarti “cermin diri”, tidak
akan diterjemahkan, untuk mencegah kesalahpahaman. Pengertian tersebut
diintruksikan oleh Charles Horton Cooley, di dalam hasil karyanya yang berjudul
“Human Nature an the Social Order” (tahun 1962). Menurut Cooley, maka tingkah
laku orang seolah-olah merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu. Cooley
menyatakan, bahwa terdapat tiga elemen, yakni:



Dalam menggunakan “looking glass self’ sebagai perumpamaan, oleh
karena hal itu mencakup dan mencerminkan aspek dari formasi konsepsi pribadi.
Akan tetapi dia juga mengakui kekurangan yang ada. Cermin tersebut memberikan
suatu konotasi pada citra yang aktual dan tanpa penilaian. Padahal, Cooley
menganalisa suatu citra yang merupakan suatu
imputasi dan bersifat evalusi.
Sebagaimana halnya
dengan Mead, maka Cooely yang menaruh perhatian pada cara-cara konsepsi diri
pada anak-anak berkembang. Berdasarkan pelbagai pengamatan terhadap anak-anak
dia berkesimpulan, bahwa sejak usia muda sekali anak-anak menaruh perhatian
pada akibat-akibat yang ditimbulkan oleh mereka pada pihak-pihak lainnya.
Cooley menganggap bahwa anak-anak tersebut berusaha mempengaruhi orang-orang
yang ada di sekitarnya, terutama orang tuanya. Misalnya, anak-anak tadi menagis
atau menarik-narik baju orang tuanya, agar usaha mempengaruhi tersebut
berhasil.
Atau dengan kata lain interaksi simbolis yang disampaikan oleh
Cooley adalah Self image yang dibentuk dalam proses ini sebenarnya sangat
berpengaruh pada interaksi kita dengan orang lain, baik itu dengan orang
terdekat, teman, kelompok maupun masyarakat. Yang menjadi masalah adalah suatu
situasi dimana ada perbedaaan pandangan tentang self image antara orang yang
bersangkutan dengan orang-orang disekitarnya.
B.
Saran
Saran dari kami adalah setelah membaca dan memami mekalah ini.
Senantiasa melakukan tugas dan partisipasi dalam dunia masyarakat sesuai dengan
norma yang berlaku. Dengan meniru perilaku social yang tidak menyimpang bagi
masyarakat sekitarnya. Terutama dalam aktifitas kerja dan sehari-hari dapat
melakukan tujuan tanpa membuat kekacauan bagi masyarakat. Berpikir selalu yang
terbaik dan melakukan, sehingga orang lain dapat menerima terutama meniru
tingkah laku kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Soerjono, Soekanto. 1982. Teori
Sosiologi: Tentang Pribadi Dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta Timur.
Cetakan Pertama.
RItzer, George. 2014. Teori
Sosiologi Modern. Edisi Ketujuh. Kecana. Jakarta.
Zeitlin, Irving. 1995. Memahami
Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Sosiologi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sumber lain:
https://asrikoe.wordpress.com/2011/12/04/teori-interaksionisme-simbolik/ (diakses tanggal 21 Desember 2014)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi (diakses
tanggal 21 Desember 2014)
http://.blog.undip.ac.id/2013/09/30/-dalam-teori-looking-glass-self/ (diakses
tanggal 21 Desember 2014)
[1] Soerjono, Soekanto. Teori Sosiologi: Tentang Pribadi Dalam
Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta Timur. Cetakan Pertama. Hal.127-133.
[4]
https://asrikoe.wordpress.com/2011/12/04/teori-interaksionisme-simbolik/
Tags : Jurnal Sosiologi