Makalah: Pemikiran Daniel Bell dalam Sosiologi
1) Biografi
Daniel Bell
Lahir : 10 Mei 1919, New York, Amerika
Orang
tua : Benjamin Bolotsky, dan Anna
Bolotsky
Pendidikan : Universitas Columbia (1960), City College
of New York (1938), Stuyvesant High School
Istri : Pearl Kazin (1960–2011)
Anak : David A. Bell, Jordy Bell
2. Riwayat Hidup Daniel Bell
Daniel Bell
lahir sebagai anak dari pasangan miskin pekerja pabrik garmen di tepi Timur
Manhattan, New York, tgl 10 Mei 1919, Daniel Bell adalah sosok yang,
berdasarkan pengakuannya sendiri, mungkin memang sudah ditakdirkan untuk
menjadi sosiolog. Di masa remaja ia hidup dalam kepapaan ekonomis ketika dunia
sedang menyaksikan sebuah era paling mencekam dengan naiknya Hitler. Ia sudah
bergelut dengan problem-problem sosial bahkan sejak masih muda belia. Tahun
1932, pada umur 13 tahun, misalnya, ia bergabung dengan Liga Pemuda Sosialis (Young People’s Socilist League), yang
secara luas dikenal sebagai Yipsel, divisi pemuda Partai Sosialis. Tentang masa
kecilnya itu Bell antara lain menulis:
…Saya
tumbuh di kawasan kumuh New York. Sejauh yang saya ingat, ibu bekerja di pabrik
garmen; sedangkan ayah sudah wafat ketika saya masih bayi. Di sekeliling saya
melihat “Hoovervilles”, gubug-gubug reyot dekat pelabuhan East River tempat
para pengangguran hidup dalam rumah-rumah darurat dan mengais-ngais tumpukan
sampah mencari makanan. Di malam hari aku pergi bersama sekelompok anak-anak
laki-laki lain ke pasar sayur-mayur di West Side, mencuri kentang atau tomat
busuk di jalan, lantas dimakan sambil mengelilingi api unggun kecil yang kami
buat di jalan dari bekas kotak-kotak kemasan di pasar. Aku hanya ingin tahu
mengapa harus seperti itu. Tampaknya memang tidak terelakan bahwa aku akan
menjadi seorang sosiolog.”
Seperti
banyak tokoh penting dalam sejarah dunia lahir dari latar belakang yang suram,
kemiskinan mungkin menjadi salah satu pendorong minatnya pada teori-teori
sosial termasuk teori-teori berhaluan kiri. Ia banyak menghabiskan masa
remajanya di perpustakaan New York cabang Ottendorfer . Di sana ia melahap
karya-karya John Dewey, Albert Hunter, atau karya babon Principles of Sociology tulisan Herbert Spencer. Pada akhir pekan
ia biasa pergi ke Sekolah Minggu Sosialis, dan belajar karya Fred Henderson, Case for Socialism, dan karya Algernoon
Less, The Essential Marx. Dua kali
seminggu, sore hari, ia pergi ke Rand School
of Social Science di kawasan Fifteenth Street untuk mengikuti sebuah
kelompok membaca.
Selama
kursus itu Bell belajar banyak tentang karya-karya Marx seperti Kapital, atau bahkan tentang
Materialisme Dialektis. Di situ ia diajari membedakan antara materialisme
sederhana yang hanya melihat peristiwa-peristiwa dalam kerangka sebab-akibat
yang simplistis, dengan materialisme dialektis yang melihat sebab-sebab sebuah
peristiwa secara lebih mendalam pada konteks sosialnya. Ia mengenang peristiwa
itu dalam kalimat-kalimat berikut:
…Dalam
kursus itu saya belajar bahwa materialisme biasa melihat kejadian-kejadian
dalam terminologi sebab-akibat sederhana, seperti sebuah batu yang jatuh dari
langkah dan menimpa kepala seseorang, sementara materialisme dialektis mencari
sebab-sebab kejadian itu dalam konteks alamiah dan sosial yang lebih luas,
sehingga orang akan mengerti bahwa batu itu jatuh karena telah terjadi erosi
tanah, dan erosi terjadi karena eksploitasi tanah. Saya sangat terkesan. Saya
berumur tiga belas tahun.”
Lazimnya
banyak anak muda miskin waktu itu, Bell terpikat oleh gerakan Komunis.
Kemenangan Hitler, dan kehancuran gerakan Sosial Demokrat yang begitu cepat,
memberi orang sebuah perasaan bahwa itu merupakan konflik terakhir, dan bahwa
setiap orang harus berpihak kepada Komunis. Banyak rekan-rekan Daniel Bell yang
memang lantas bergabung dengan Liga Komunis Muda, sedangkan sebagian yang
lainnya, yang lebih pintar, menjadi apa yang oleh Bell disebut kaum
Trotskyites. Bell sendiri terbelah di antara dua kubu ini. Sambil bekerja
mendorong gerobak pakaian melintasi jalan-jalan, ia sering membagi-bagikan
leaflet untuk Persatuan Perempuan Pekerja Garmen Internasional (International Ladies garment Workers Union).
Waktu senggangnya sering juga dihabiskan untuk bertemu dengan beberapa tokoh
pergerakan kiri dan kaum Anarkhis yang berpengaruh di New York waktu itu. Dari
mereka Bell makin jauh berkenalan dengan ide-ide terpenting yang banyak menjadi
inspirasi beberapa gerakan sosial di Eropa sebelum pecah Perang Dunia II.
Dedikasi untuk Masa Depan Kapitalisme
Sosok
Daniel Bell dewasa pada dasarnya hidup dalam dua lingkungan utama: dunia
jurnalistik ketika ia menjadi wartawan dan/atau editor untuk beberapa publikasi
seperti The New Leader, Common Sense,
bahkan majalah terkemuka Fortune; dan
dunia akademik tempat ia mendedikasikan seluruh kapasitas intelektualnya untuk
mengajar di beberapa perguruan tinggi terkenal mulai dari universitas Chicago,
universitas Colombia, sampai universitas Harvard. Tidaklah mengherankan jika
dua latarbelakang tersebut terlihat begitu terang pengaruhnya pada hampir semua
karya yang dihasilkannya.
Beberapa
karyanya yang paling banyak didiskusikan bisa dilihat sebagai sebuah paduan
terbaik dari dua bakat terkuatnya: seorang wartawan yang sanggup bergelut
dengan beragam isu sosial paling mutakhir, dan seorang akademisi yang terbiasa
mengerjakan detail, berdialog dengan khasanah kepustakaan yang demikian luas,
dan memproduksi teori. Karena itu pula, gaya bahasanya merupakan kombinasi
antara cara deskripsi yang demikian deras mengalir seperti dalam bahasa
jurnalisme, tapi sekaligus penuh ambisi teoritis yang justru sering
mengakibatkannya terjebak ke dalam obskurantisme yang lazim dialami oleh para
ilmuwan sosial dengan minat yang begitu banyak seperti dirinya.
Lepas dari
kenangan masa kanak-kanak dan remaja di bawah utopia sosialisme bahkan
komunisme, Daniel Bell dewasa adalah sosok yang mendedikasikan sebagian besar
karirnya untuk masa depan kapitalisme. Esainya Twelve Modes of Forecasting dalam publikasi jurnal Daedalus awal 1964, menegaskan
pergeseran keberpihakan ideologisnya dari sosialisme menjadi pendukung
kapitalisme sepenuhnya. Jurnal Daedalus sendiri
diterbitkan oleh sebuah lembaga prestisius di Amerika Serikat, yakni The American Academy for Arts and Sciences.
Lembaga inilah yang lantas menunjuknya sebagai ketua Commission on the Year 2000, yang antara lain bertugas merancang
strategi masa depan Amerika menghadapi pergantian milenium pada abad 21 ini.
Keterlibatannya
dalam lembaga yang ditugaskan untuk memprediksikan nasib masa depan masyarakat
kapitalis, pengalamannya sebagai wartawan majalah ekonomi kapitalis terkemuka
sekelas Fortune, dan keping biografis
masa kecilnya di tengah para penganut Anarkhisme dan Komunisme, berikut
kekecewaannya pada beberapa gerakan dan dogma Sosialisme, itu membantu kita
memahami pretensi-pretensi spesifik dari karya-karya teoritis yang telah
dipublikasikannya. Diakui atau tidak, tulisan-tulisan terpentingnya memang merefleksikan
sebuah pilihan sikap yang dibentuk oleh pertemuannya dengan sejarah Amerika
yang begitu penuh guncangan.
Pemikiran
Daniel Bell
Intensi Teoritis, dan Tiga Fase Pemikiran
Intensi teoritis Daniel
Bell terlihat dari bagaimana ia menganalisa realitas sosial masyarakat
kontemporer dalam cara yang berbeda dengan perspektif dominan pada zamannya.
Secara spesifik, dalam beberapa karya utamanya, ia memang mengalamatkan
karyanya sekaligus sebagai sebuah kritik pada Marxisme dan Fungsionalisme.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa di luar perbedaan mendasar yang paling
sering dibahas, dua paradigma besar ini sama-sama melihat masyarakat sebagai
sebuah sistem yang utuh (relasi produksi dalam Marxisme, dan nilai dominan
dalam fungsionalisme Parsonian), dan dilandasi oleh sebuah prinsip utama yang
akan mereproduksi dirinya melalui institusi-institusi dominan.
Sambil melontarkan
kritik pada basis-basis asumsi dua paradigma tersebut, dalam dua karya
terpentingnya, The Coming of
Post-Industrial Society, dan The
Cultural Contradictions of Capitalism, secara konsisten Bell mengasumsikan
masyarakat kontemporer bukan sebagai sebuah kesatuan yang utuh, melainkan
meliputi tiga wilayah yang disjungtif dengan prinsip aksial yang sama sekali
berlainan bahkan bertolak belakang satu dengan lainnya. Ketiganya adalah
wilayah politik yang dilandasi prinsip aksial berupa persamaan dan legitimasi,
wilayah struktur sosial tekno-ekonomik dengan prinsip aksial rasionalitas
fungsional, dan wilayah budaya yang berbasis prinsip aksial kebebasan ekspresi
dan realisasi diri (self-realization)
atau pemuasan diri (self gratification).
Di lain pihak, meskipun
masih bisa diperdebatkan, tapi secara garis besar, didasarkan pada
pretensi-pretensi dalam karya-karya utamanya, pemikiran Daniel Bell bisa
dipilah menjadi tiga periode yang, mungkin sebuah kebetulan, terwakili oleh
tiga karyanya yang paling penting. Untuk kepentingan karangan ini, saya akan
menyebut fase-fase pemikiran Daniel Bell tersebut masing-masing dengan sebutan
“fase ideologis”, “fase optimisme”, dan fase titik balik “pesimisme” terhadap
dinamik masyarakat kapitalis.
Pemikiran Daniel Bell tentang Ideologis
Fase ideologis berlangsung ketika Daniel Bell mencurahkan pikirannya
pada upaya-upaya yang bisa dikaitkan dengan semangat anti-Komunisme di Amerika
sejak Perang Dunia Kedua berakhir. Dengan kalimat lain, pada fase ini energi
intelektualnya dikerahkan bukan saja untuk menghadapi Marxisme sebagai gagasan
intelektual/akademis, melainkan dan terutama sebagai sebuah ideologi politik vis à vis liberalisme. Sebagai bagian
dari kelompok liberal Amerika yang terkemuka pada dekade 1950an, Daniel Bell
dipengaruhi oleh identifikasi kelompok tersebut dengan semangat New Deal dan penerimaannya atas politik
anti-Komunis dalam tahun-tahun perang dingin. Bersama-sama Richard Hofstadter,
dan Seymour Martin Lipset, untuk menyebut contoh termudah, ia menjadi
kontributor The New American Right
yang mencoba mempromosikan argumen-argumen rasional tentang pertumbuhan negara
sekular modern.
Salah satu
ciri pemikiran kelompok ini adalah penolakan mereka pada protes-protes berbasis
massa yang dianggapnya irasional, dan mendorong mereka untuk makin percaya pada
kelompok-kelompok kepentingan politik, pada birokrasi-birokrasi publik dan
privat, dan pada elit berpendidikan yang mengatur keduanya. Pada
institusi-institusi inilah mereka berharap masyarakat Amerika bisa menemukan
perlindungan dari bahaya gerakan massa. Tonggak periode ini adalah karyanya
yang sekarang sudah menjadi klasik, yakni sebuah kumpulan esai yang diberi
tajuk, The End of Ideology, On the
Exhaustion of Political Ideas in the Fifties, yang terbit pertama
kali tahun 1960.
Terlepas dari kekuatan argumen-argumen yang dibangun dalam The End of Ideology, satu kepentingan
ideologis tetap tersembunyi di baliknya: bahwa sosialisme dan komunisme sudah
tidak lagi relevan dibandingkan dengan liberalisme. Hal ini tergambar jelas
dari usahanya untuk meyakinkan bagaimana tesa-tesa Marxian terbukti tidak
akurat menjelaskan perkembangan mutakhir dalam masyarakat kontemporer. Dari
telaahnya atas kegagalan sosialisme di Amerika Serikat sampai deskripsinya yang
sangat hidup tentang beban psikologis yang diderita rata-rata kaum pekerja
Amerika, Bell percaya bahwa masa bagi solusi-solusi ideologis telah berakhir.
Bell menerangkan masyarakat Amerika Serikat dengan mencoba ke luar
dari kerangka pemikiran yang biasa dipakai untuk menjelaskan masyarakat Eropa.
Menurutnya, realitas Amerika menjadi kabur karena upaya-upaya untuk memahaminya
dilakukan atas dasar-dasar pemahaman ilmuwan sosial tentang masyarakat lama di
Eropa. Perbedaan prinsipil antara masyarakat lama Eropa dengan masyarakat baru
Amerika di mata Daniel Bell terletak pada sikap masing-masing masyarakat yang
sangat berbeda terhadap perubahan sosial. Amerika Serikat mungkin bisa dianggap
merupakan masyarakat pertama yang secara “built-in”
memiliki prinsip perubahan sosial yang berjalan konstan, sementara pada
masyarakat lama Eropa perubahan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
eksternal dan koersif yang terjadi pada insititusi-institusi yang diasumsikan
permanen. Dalam kerangka itu pula Bell secara tegas menolak model-model
penjelasan Marxisme yang sepenuhnya didasarkan pada analisa tentang masyarakat
lama di Eropa.
Argumen
Bell tentang bangkrutnya ideologi ditopang oleh fakta bahwa, paling tidak sejak
akhir dekade 1950an, berbeda dari dekade-dekade sebelumnya, masyarakat AS
ditandai oleh runtuhnya harapan atau disilusi pada gerakan massa yang terjadi
pada dekade awal abad 20, yakni pada revolusi Bolshevik dengan utopia
masyarakat sosialis tanpa kelas yang diproyeksikan oleh Marxisme. Makin
turunnya jumlah anggota serikat pekerja, meningkatnya otomasi pekerjaan, dan
munculnya komunikasi massa elektronik, mendorong berlangsugnya fragmentasi
sosial yang terus, diversifikasi dan konlik-konflik baru.
Apa yang bisa disebut “kaum progresif” perkotaan, yang pernah
mendorong beberapa perubahan di AS, itu telah lenyap, dan mengakibatkan jalan
ke luar melalui garis politik tradisional jadi tidak realistik.
Marxisme-Leninisme yang menjadi tumpuan ideologi telah mengalami kemunduran.
Karena konflik kelas dan problema sistemik yang lebih luas telah berhasil
dipecahkan, analisa-analisa sosial yang didasarkan pada relasi kelas sosial
tidak lagi memiliki landasan objektif. Secara keseluruhan, Bell melihat bahwa
pada masyarakat kontemporer orang terbukti semakin enggan menerima seruan
utopis a la Komunisme.
Tesis tentang berakhirnya ideologi juga perlu dilihat dalam
konteks dinamik perkembangan kapitalisme yang terus bergerak meninggalkan pola
dan prinsip-prinsip kapitalisme klasik. Kalau Marxisme bisa menjelaskan secara
cukup memuaskan potensi-potensi struktural bagi kehancuran kapitalisme klasik
yang dominan sampai awal abad 20, terdapat kesangsian tentang apakah penjelasan
yang sama masih bisa dipakai untuk konteks kapitalisme paska Perang Dunia kedua
yang sukses memutasikan dirinya menjadi sebuah sistem yang responsif terhadap
perubahan masyarakat. Sebagian ilmuwan sosial di Amerika cenderung
memperlakukan keberhasilan tersebut menjadi sesuatu yang hampir menjadi mitos
baru. Mitos bahwa konsep semacam negara kesejahteraan (welfare state), misalnya, dikembangkan dengan mengakomodasi gagasan
sosialisme ke dalam sistem pemerintahan negara-negara industri kapitalis.
Potensi konflik kelas yang muncul dari ketidaksimetrisan relasi
produksi dalam industri kapitalis direduksi dengan bukan saja mengundang campur
tangan negara dalam kehidupan ekonomi, melainkan terutama melalui perbaikan
tingkat penghasilan kaum buruh sehingga kesejahteraan secara relatif lebih
merata. Kaum buruh, dengan demikian, nyaris tidak menemukan alasan ekonomis
untuk beramai-ramai memberontak atas ketidakadilan struktural yang menimpanya,
karena kapitalisme berhasil mengaburkan penderitaan mereka dengan iming-iming
pelbagi perbaikan standar kesejahteraan hidup. Penting dicatat di sini bahwa
itu semua tidak berarti ketidakadilan struktural dan eksploitasi buruh telah
lenyap dalam kapitalisme mutakhir, melainkan bahwa kapitalisme berhasil
melakukan surogat atas kesadaran kaum pekerja dengan mengaburkan ketidakadilan
tersebut.
Pemikiran Daniel Bell Pada Fase Optimis Post-Industrialisme
Periode
kedua adalah masa ketika ia begitu optimis melihat arah perkembangan masa depan
kapitalisme di negeri-negeri Barat, atau paling tidak di Amerika Serikat.
Melanjutkan serangannya terhadap Marxisme, pada fase ini Daniel Bell sampai
pada konklusi bahwa problem konflik kelas dalam masyarakat kapitalis sudah
berakhir sepenuhnya. Fase ini ditandai oleh terbitnya buku The Comming of Post-Industrial Society, A Venture in Social Forecasting,
yang terbit pertama kali tahun 1973.
Porkas
optimistik Daniel Bell tentang datangnya sebuah bentuk masyarakat baru,
masyarakat paska industrial, itu ditekankan pada pergeseran dimensi-dimensi
ekonomi dan struktur sosial masyarakat kapitalis mutakhir. Pada masyarakat baru
ini Bell melihat bahwa yang dominan dalam sistem produksi adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Fokus utamanya adalah sentralitas pengetahuan
teoritis di atas apa teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan stratifikasi
masyarakat dibentuk. Bentuk ekonomi telah bergeser dari ekonomi yang berbasis
pada barang menjadi ekonomi jasa. Aktor utamanya adalah insinyur dan ekonom,
dan satu prinsip yang menyatukan keduanya yakni efisiensi. Merujuk pada
Castells, secara garis besar, tesis dan prediksi teori postindustrialisme
bisa dirangkum sebagai berikut:
Pertama, sumber produktivitas dan pertumbuhan terletak pada upaya-upaya
untuk menghasilkan ilmu pengetahuan, yang diperluas ke dalam wilayah-wilayah
aktivitas ekonomi melalui pemrosesan informasi. Kedua, aktivitas ekonomi akan bergeser dari produksi barang-barang
menjadi pelayanan jasa. Merosotnya lapangan pekerjaan di lapangan pertanian
akan diikuti oleh menurunnya pekerjaan-pekerjaan manufaktur, sehingga
menguntungkan pekerjaan-pekerjaan layanan jasa yang pada akhirnya akan
membentuk proporsi lapangan kerja yang sangat besar. Semakin berkembang sebuah
ekonomi, semakin lapangan pekerjaan dan produksinya difokuskan pada layanan
jasa. Ketiga, aktivitas ekonomi akan bergeser dari produksi barang-barang
menjadi pelayanan jasa. Merosotnya lapangan pekerjaan di lapangan pertanian
akan diikuti oleh menurunnya pekerjaan-pekerjaan manufaktur, sehingga
menguntungkan pekerjaan-pekerjaan layanan jasa yang pada akhirnya akan
membentuk proporsi lapangan kerja yang sangat besar. Semakin berkembang sebuah
ekonomi, semakin lapangan pekerjaan dan produksinya difokuskan pada layanan
jasa.
Ditempatkan
pada konteks riwayat perkembangan pemikiran Daniel Bell, karya ini jelas
merupakan produk dari upaya panjangnya meletakkan dasar-dasar teoritis bagi
perkembangan masa depan kapitalisme, yang telah ia rintis sejak secara formal
diangkat menjadi ketua Komisi untuk Tahun 2000. Karya ini juga bisa dilihat
sebagai sebuah lintasan sinambung keyakinannya tentang telah habisnya potensi
ideologi untuk menyihir dan menyergap kesadaran orang banyak sehingga, paling
tidak sampai saat itu, Daniel Bell secara sangat optimistik percaya bahwa
potensi struktural kehancuran sistem ekonomi kapitalisme juga secara selamat sentausa
bisa dilampaui. Konsekwensinya, paling tidak menurut Daniel Bell, ketegangan
dalam masyarakat kontemporer berlangsung bukan antara kapitalisme dan
sosialisme (yang telah mati atau telah diinkorporasikan ke dalam mekanisme
industri kapitalis), melainkan antara apa yang ia sebut dengan istilah economizing dan socializing.
Economizing lebih kurang bisa dipahami
sebagai sebuah moda pemikiran yang menghasilkan mekanisme tentang
alokasi-alokasi rasional yang bisa membuka peluang terbaik untuk meningkatkan produksi.
Di lain pihak, socializing bisa
dilihat sebagai politik penetapan pertimbangan nilai dan kriteria sosial yang
lebih luas ke dalam setiap perhitungan rasional tentang bukan hanya produksi
ekonomis melainkan kehidupan masyarakat secara lebih luas.
Dalam pengantar untuk
edisi cetakan tahun 1999, Daniel Bell mempertegas konsepnya dengan menjelaskan
bahwa post-industrial society menunjuk pada bentuk-bentuk masyarakat kita saat
ini, dalam apa orang bekerja pada bidang-bidang yang sama sekali tidak berhubungan
dengan menumbuhkan makanan atau membuat barang-barang. Dalam kerja sehari-hari
saat ini, manusia tidak lagi berhadapan dengan alam, melainkan sesama manusia.
Masyarakat post-industrial, dengan demikian, adalah sebuah permainan antar
orang. Terminologi realitas sekarang hanya mengacu terutama pada dunia sosial,
bukan alam atau benda, hanya manusia yang mengalaminya melalui kesadaran
imbal-balik antara dirinya dan orang lain.
Pemikiran Daniel Bell Pada Fase
Pesimisme
Kalau paduan antara perkembangan politik, dan struktur sosial
tekno-eknomik telah mengakibatkan ideologi sosialisme, dan ketimpangan relasi
produksi ekonomi tidak lagi bisa dianggap sebagai ancaman struktural yang bisa
menyebabkan krisis dan kejatuhan kapitalisme mutakhir, Daniel Bell melihat
wilayah budayalah yang menjadi satu-satunya ancaman serius bagi kelas sosial
penopang utama kapitalisme yakni kelas borjuis. Inilah titik balik sikapnya
dari optimisme yang begitu besar ketika ia melontarkan gagasan tentang
masyarakat post-industrial, menjadi cenderung pesimistik ketika ia menghadapi
perkembangan di wilayah kultural. Tonggak titik balik ini adalah publikasi
karyanya yang paling banyak dibaca, The
Cultural Contradictions of Capitalism, yang terbit pertama kali tahun 1976.
Dalam
karyanya ini, Bell secara sangat cerdas memperlihatkan bagaimana benturan
prinsip-prinsip aksial dari dua wilayah yang berbeda, dan bukan pertentangan
kelas sosial, mendorong munculnya krisis peradaban dalam masyarakat Barat
kontemporer. Kalau ketegangan kelas sosial masyarakat kapitalis (klasik) bisa
dianggap sebagai bentuk kontradiksi sosial, pertentangan antara prinsip-prinsip
aksial wilayah-wilayah kehidupan masyarakat kontemporer disebut Bell dengan
ungkapan kontradiksi-kontradiksi kultural kapitalisme (mutakhir). Ketegangan
berlangsung dalam dua bentuk. Pertama, antara wilayah politik yang secara
formal percaya pada persamaan dan partisipasi, dan wilayah struktur sosial
tekno-ekonomik yang cenderung bersifat hierarkis-birokratis. Dalam ketegangan
itulah, filsafat liberalisme yang menjadi sumber legitimasi kapitalisme dan
politik demokrasi liberal memperlihatkan paradoksnya.
Bentuk ketegangan
berikutnya, dan ini yang menjadi pusat perhatian Daniel Bell dalam The Cultural Contradicitions of Capitalism,
adalah kontradiksi antara struktur sosial tekno-ekonomik dengan wilayah budaya.
Kalau tatanan tekno-ekonomik dibangun di atas dasar kepercayaan pada
perhitungan-perhitungan rasional, budaya Barat modern menurut Bell justru
ditopang oleh logika-logika anti-rasio. Secara singkat bisa dikatakan bahwa
kalau fundamen ekonomi kapitalisme adalah Puritanisme dan asketisme, di wilayah
budaya fundamennya adalah hedonisme dan anti-nomianisme. Bagi Daniel Bell, yang
mencirikan masyarakat Barat kontemporer bukan lagi problem struktural
kontradiksi kelas sosial, melainkan kontradiksi antara fundamentalisme
kapitalisme dan tumbuhnya radikalisme kultural yang menganggu kemapanan tatanan
sosial ciptaan kelas borjuis kapitalis itu. Ketegangan inilah yang dipercaya
Bell membungkus bentuk-bentuk konflik laten dalam masyarakat modern yang secara
umum biasa dipahami dalam terma-terma ideologis sebagai problem alienasi,
depersonalisasi, atau ancaman terhadap otoritas.
Pusat
perhatian Bell kali ini adalah munculnya gerakan-gerakan kultural radikal yang
lebih dikenal sebagai modernisme, dan berlanjut dengan gerakan postmodernisme
sejak dekade 1960an. Penting dicatat bahwa, meskipun dalam beberapa hal
memiliki relasi yang cukup kuat tapi, modernisme dan postmodernisme dalam
konteks ini bukanlah sebuah sistem filsafat melainkan sebuah paradigma gerakan
kebudayaan. Pada level sosial, Bell melihat tujuan modernisme adalah untuk epater le bourgeoise, mengejutkan,
mengguncang kaum borjuis. Postmodernisme mengusung semangat ini ke tingkat yang
jauh lebih radikal, ketika batas antara seni dan kehidupan sudah dihapuskan
sepenuhnya. Meskipun pada awalnya ia hanya merupakan bentuk gerakan yang
menolak kemapanan selera estetik kelas borjuis yang dangkal, tapi konsekwensi
yang dihasilkannya terus melebar ke ranah-ranah kehidupan yang lain. Secara
termatik, modernisme bahkan bisa dipahami sebagai satu bentuk kegusaran
terhadap seluruh tatanan rasional yang merupakan puncak pencapaian masyarakat
borjuis.
Tesis Bell
ini juga menggaris bawahi kekeliruan asumsi tentang hegemoni kultural dalam
terminologi Gramscian. Kalau teori Gramscian tentang hegemoni kebudayaan
menunjuk budaya hegemonik merupakan budaya kelas dominan, realitas masyarakat
Amerika justru memperlihatkan hal yang bertolak belakang sama sekali. Budaya
dominan di Amerika bukanlah budaya kelas yang berkuasa atau borjuis, melainkan
justru satu bentuk budaya yang justru menjadi musuhnya, yakni modernisme dan
postmodernisme. Secara historis,
modernisme dan kapitalisme pada dasarnya adalah dua kekuatan yang bergerak
dalam derap yang sama dalam memajukan peradaban Barat modern. Keduanya
dihidupkan oleh individu-individu yang tegar dan bebas. Benturan terjadi ketika
prinsip-prinsip aksial dalam kerja ekonomi kapitalis dalam perkembangannya
menghasilkan seperangkat norma dan nilai yang tidak kompatibel dengan hasrat
kebebasan tanpa batas di wilayah kerja-kerja kultural. Sikap-sikap khas kaum
borjuis tentang kalkulasi dan kekangan metodis, itu berbenturan secara tajam
dengan pencarian-pencarian implusif atas sensasi dan kepuasan yang menjadi khas
dalam gerakan-gerakan seni mulai dari Romantisisme, terus merasuk ke dalam
modernisme, dan postmodernisme. Radikal dalam ekonomi, kaum borjuis menjadi
sangat konservatif dalam selera budayanya. Kekakuan memegang etika menghasilkan
selera estetika yang juga kaku dan dangkal. Sebaliknya, radikal dalam
ekspresi-ekspresi simbolik, para seniman modernis kemudian tumbuh dalam
kebencian yang sangat besar pada kehidupan dan selera kaum borjuis.
Kajian Daniel Bell
tentang dinamik masyarakat kapitalisme mutakhir ini menjadi menarik karena ia
secara cukup meyakinkan bisa menunjukkan bagaimana budaya tampil mengambil alih
politik dalam mendorong pelbagai perubahan sosial. Tentang bagaimana kontradiksi-kontradiksi
kultural itu berlangsung pada level yang sangat kompleks, sehingga intensi
teoritisnya untuk menolak tesis-tesis Fungsionalisme dan Marxisme tentang
masyarakat sebagai sebuah sistem yang utuh, itu mampu dikerjakannya dengan
baik. Analisanya tentang kontradiksi yang muncul di dalam wilayah stuktur
sosial tekno-eknomik, misalnya, memperlihatkan bagaimana impulsa-impulsa dari
wilayah budaya mendorong lahirnya beberapa perubahan radikal dalam cara
bagaimana pengusaha-pengusaha kapitalis borjuis, sambil tetap memelihara
kebenciannya pada para seniman modernis, secara besar-besaran memproduksi
barang dan jasa yang justru ditujukan untuk memenuhi hasrat akan kepuasan
serentak, dan gaya hidup hedonis yang dibencinya itu.
Cukup
mengherankan bagaimana orang yang semula melihat Amerika Serikat sebagai
masyarakat pertama yang secara “bulit-in”
menganut prinsip perubahan sebagai keniscayaan, itu tiba-tiba berubah menjadi
cenderung menolak perubahan. Ungkapan terkenal “straight by day swinger by night”, dipakai Bell bukan saja untuk
menggambarkan inkonsistensi sikap para pengusaha borjuis terhadap desakan
perubahan dari wilayah budaya, melainkan juga dipakainya untuk menggambarkan
sesuatu yang lebih serius: terancamnya etos Puritanisme dan asketisme oleh hedonisme. Persis inilah pangkal kekecewaan sekaligus pesimisme Daniel Bell
atas prospek masa depan masyarakat kapitalis. Ketika sosialisme, paling tidak
di mata Bell sendiri, semakin kehilangan relevansi, masyarakat kapitalis
mutakhir menghadapi ancaman baru yang tidak kalah serius dibandingkan konflik
kelas, karena yang diguncang justru fundamen konstitutif terpenting peradaban
borjuis modern. Sikap dan posisi teoritis yang sama tetap ia pertahankan ketika
ia menghadapi fenomen postmodernisme, yang dianggapnya sebagai salah satu
puncak serangan terhadap keunggulan rasionalitas Barat.
Tapi dari
sisi yang berbeda, dan ini yang sama sekali tidak pernah disadari oleh Daniel
Bell, kenyataan seperti itu juga bisa dilihat sebagai bukti lain tentang
bagaimana kapitalisme bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan
stabilitasnya. Untuk alasan yang sama, para kapitalis fundamentalis bukan hanya
bisa memproduksi produk-produk untuk kesenangan hedonistis, melainkan bahkan
mengobarkan peperangan, dan membunuh ribuan manusia di seluruh dunia sambil
tetap berdalih mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia.
Salah satu
kelemahan mendasar pemikiran Daniel Bell adalah karena ia cenderung tidak
pernah menempatkan riwayat keberhasilan Amerika Serikat dalam konteks historis
dunia yang lebih luas. Penekanannya pada keunikan masyarakat AS, itu telah
mengakibatkan ia tidak memperhitungkan ongkos-ongkos kemiskinan yang harus
ditanggung oleh masyarakat-masyarakat di belahan dunia yang lain. Maka meskipun
ia memiliki pengetahuan yang luas tentang bentuk-bentuk ekspresi simbolik di
hampir seluruh benua di dunia, tapi ia tidak cukup memiliki kepedulian pada
keperihan eksistensial yang diderita oleh bangsa-bangsa di luar Amerika.
Di mata Daniel Bell, keberhasilan AS seolah sepenuhnya
bersumber dari keunikan sejarahnya sendiri, tanpa pernah dilihat sebagai salah
satu puncak dari, meminjam ungkapan Peter L. Berger, piramida kurban manusia di
seluruh dunia yang menyangganya terus-menerus. Karena itu pula setiap gagasan
yang memiliki potensi menggugat ke dalam, seperti postmodernisme, itu
senantiasa dihadapinya dengan penuh kecemasan, seperti para konservatif politik
AS sekarang begitu cemas menghadapi isu terorisme. Ratapannya tentang deklinasi
peradaban Barat modern akibat desakan budaya modernisme dan postmodernisme,
dengan demikian, benar-benar merupakan cermin dari keterikatannya yang begitu
kuat pada nostalgia kaum borjuis, sebuah kelas sosial yang sebenarnya tidak
selalu disukainya.
DAFTAR PUSTAKA
Castells, Manuel. 2000. The Rise of The
Network Society. Victoria, Australia: Blackwell Publishing.
Ritzer,
George & Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Waters, Malcolm. 1996. Daniel Bell (Key Sociologists),
New York: Routledge
Website
http://historiawildan.blogspot.com/2011/12/pandangan-daniel-bell-francis-fukuyama.html
http://interseksi.org/archive/publications/essays/articles/daniel_bell.html
http://mahmudsorokin.blogspot.com/2012/02/daniel-bell-masyarakat postindustri.html
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009