Makalah Sosiologi: Doktrin Agama
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seperti makhluk-makhluk lainnya, manusia adalah
ciptaan Tuhan. Dimana manusia tersebut mempunyai dua fungsi yaitu individu dan
sosial. Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk
memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kebahagiaan, dan
sebagainya, sedangkan secara sosial manusia memerankan fungsinya sebagai
makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat.
Manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu
yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dibenaknya. Segala keingintahuan
itu akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan
timbulnya tindakan irrasionalitas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda
merupakan bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut
terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya. Rasa takut tersebut menjadikan
manusia beragama.
Manusia
diberi akal dan fikiran untuk bertindak sesuai dengan etika dan nilai-nilai
moral yang berlaku sesuai dengan kehendaknya, lingkungan, dan ajaran agama yang
dianutnya. Oleh karena itu, nilai-nilai memberikan arah dan makna bagi manusia
dalam bertindak.
Dengan adanya agama, manusia diberi pemahaman terhadap
adanya kepercayaan-kepercayaan yang akan membuka cakrawala berfikir oleh para
pemeluknya sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tingkah lakunya pula.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimanakah doktrin-doktrin agama mempengaruhi pola
berfikir dan pola berperilaku manusia (dalam perspektif Max Weber) ?
1.3
Tujuan
Untuk
mengetahui doktrin-doktrin agama dalam mempengaruhi pola berfikir dan pola
berperilaku manusia (dalam perspektif Max Weber).
BAB II
ISI
2.1 Istilah Dogma atau Doktrin Agama
Doktrin adalah kepercayaan yang dipegang oleh sebuah
institusi. Doktrin agama berarti kepercayaan yang dipegang oleh sebuah agama.
Doktrin
keagamaan, yang dipikirkan secara matang didasarkan pada bukti-bukti selain
doktrin itu sendiri dan akhirnya kepada iman.
Doktrin banyak ditemukan dalam banyak agama, dimana mereka dianggap
sebagai prinsip utama yag harus dijunjung oleh semua umat agama tersebut.
Istilah
doktrin diberikan kepada ajaran-ajaran teologi yang dianggap telah terbukti
baik, sedemikian rupa hingga usul batahan atau revisinya berarti bahwa orang
itu tidak lagi menerima agama tersebut sebagai agamanya sendiri, atau ia
mengalami keraguan-keraguan pribadi.
Lebih
rinci, doktrin mampu diistilahkan sebagai suatu bentuk tindakan yang
mengharuskan atau memaksakan bahwa suatu kasus harus diyakini dan dibenarkan
seperti apa yang disampaikan.
Doktrin
agama dalam perspektif sosiologi:
lebih
menekankan pada unsur pengaruh yang ditimbulkan oleh doktrin-doktrin keagamaan
dalam merekonstruksi perilaku sosial yang ada di masyarakat. Bagaimana dengan
pemahaman dan kepercayaan-kepercayaan yang ditujukan kepada pemeluknya tersebut
dapat mempengaruhi pola berfikir dan pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
2.2
Konsep Rasionalisasi Max Weber
Pada esensinya, sosiologi
agama Weber bercirikan rasionalisasi yang progresif khas masyarakat Barat.
Artinya:
Ø Sistematisasi
yang mungkin tumbuh dari ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan.
Contoh: dulu di Eropa
segala macam dewa untuk segala benda. Sistematisasi sekarang: monoteisme[1].
Ø Pertumbuhan
rasionalitas yang etis dan kemunduran yang progresif dari unsur-unsur magis.
Ø Weber
adalah seorang pemikir evolusionis, karena dia memberikan perhatian kepada
hancurnya kebudayaan Eropa yang tradisional kemudian munculnya sains modern dan
kapitalisme modern yang berhubungan dengan industri kemudian kepada makin
tumbuhnya birokrasi dan kepada sentralisasi politik.
Ø Weber
menolak definisi agama. Dia mengatakan bahwa agama merupakan kepercayaan
mengenai yang gaib dan agama merupakan kepercayaan universal karena terdapat
disetiap masyarakat.
2.3
Doktrin-Doktrin Agama Dalam Hubungannya
Dengan Perspekif Max Weber
2.3.1
Etika
Protestan dan Semangat Kapitalisme
Weber
mengadakan penelitian mengenai peranan agama dan mengenai pengaruh agama atas
etika ekonomi. Weber melihat reformasi Protestan menyebabkan perusahaan ekonomi
yang merupakan gejala unik didalam sejarah manusia. Dikatakan unik karena
tenaga pendorongnya adalah karena jiwa pengabdian dan tanggung jawab atas
pekerjaannya.
Menurutnya,
pengikut aliran protestan mempunyai suatu etika kerja yang luar biasa, sehingga
Weber mendalilkan adanya suatu hubungan antara etika Protestan dengan jiwa
kapitalisme.
Etika Protestan tumbuh subur di Eropa yang
dikembangkan seseorang yang bernama Calvin. Penganut kaum protestan itu disebut
sebagai Protestan Calvinisme[2]
yang pada saat itu muncul ajaran yang menyatakan:
“ seseorang pada
intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui
apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya
didunia.
Jika seseorang
berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan menjadi penghuni
surga, namun kalau didunia selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan
seseorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka”.
Khas Protestan
adalah:
Kecenderungan
kepada pekerjaan sering kali merupakan panggilan (beruf = calling), yaitu
pekerjaan itu merupakan tugas yang diciptakan Tuhan. Jadi, karena pekerjaan
merupakan panggilan Tuhan, pekerjaan itu mesti dilaksanakan secara etis.
Golongan Protestan terkenal sebagai pedagang yang jujur dalam transaksi mereka.
Jujur merupakan kualitas yang tinggi.[3]
Weber
tertarik dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada orang-orang yang
menyetujuinya. Weber meramalkan bahwasannya dengan doktrin-doktrin yang
mengatasnamakan Tuhan, pada akhirnya akan menimbulkan pola fikir dimana
konsekuensinya dapat berupa diantaranya:
-
mereka berada di dalam aktivitas yang
tiada henti-hentinya
-
dalam disiplin peribadi
yang kuat
-
dalam meraih
tujuan-tujuan mereka secara metodik
-
ditambah keyakinan bahwa
mereka benar-benar termasuk diantara orang-
orang yang dipilih Tuhan untuk
diselamatkan.
Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat
mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti
itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi
kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan dari pada memikirkan kepentingan dan
kebutuhan kolektif.
Namun, berbeda dengan protestan
Puritanisme dan Lutheranisme:
-
Puritanisme[4]:
mereka menganggap perasaan berpuas diri dianggap sebagai dosa besar, mereka
adalah kelompok keagamaan yang memperjuangkan “kemurnian” doktrin (misalnya,
kaum protestan ini menuntut agar kembali kepada ajaran alkitab saja, tanpa
terlalu bermegah-megah. Tidak mempergunakan uang itu untuk berpuas diri.
-
Lutheranisme[5]:
ajaran khasnya adalah bahwasannya keselamatan manusia hanya diperoleh karena
imannya kepada karya anugerah Tuhan, bukan hasil usaha manusia, bukan hasil
usaha pekerjaan manusia, sehingga jangan ada orang yang memegahkan diri.
2.3.2
Katholik
(Menurut Weber):
“Katolik yang lebih menekankan kehidupan kolektif,
berorientasi komunitas yang menghasilkan sikap solider. Weber mengutip temuan
pakar lain tentang orientasi nilai katolik “Orang Katolik lebih tenang, kurang
serakah”.
2.3.3
Agama
Di India: Kajian Sosiologi Pada Agama Hindu Dan Budha.
(The
Religion Of Hindia: The Sociology Of Hinduism And Buddhism).
·
Agama
Hindu:
Agama
Hindu ditentukan oleh sistem kasta (jati) dan golongan (warna). Setiap kasta
dari golongan menjadi terkenal karena perbedaannya dari kasta dan golongan lain
karena norma-normanya sendiri. Dalam agama hindu tidak terdapat etika yang
universal, setiap kasta memiliki Dharma (norma moral) tersendiri.
Suatu segi dari etika
Hindu bahwa setiap orang mengikut-sertakan setiap norma dalam setiap pekerjaan.
Misalnya:
Anggota kasta
ksatria (prajurit) tidak pernah memperoleh apa saja didalam bidang etika kalau
tidak patuh kepada standar kasta yang lain.
Menurut
weber:
- Sistem
kasta menggambarkan konfrontasi yang secara terus-menerus antara berbagai cara
hidup yang tidak sama. Cara hidup seseorang kadang-kadang lebih berarti cara
hidup orang lain.
- Bahwa
berbagai jalan keselamatan terdapat untuk orang awam dan orang biarawan. Namun
keselamatannya berbeda dan mempunyai kesucian pribadi. Misalnya prestasi orang
awam tidak pernah dapat dibandingkan dengan prestasi seorang birawan.
- Disamping
cara hidup yang berbeda, agama Hindu bercirikan massa rakyat dan elit keagamaan.
- Dalam
agama hindu terdapat etika bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan, karena itu orang
harus bekerja keras dan bagi diri harus hidup sesederhana mungkin.
Kasta tertinggi Brahmana, juga merupakan elit
ekonomi. Mereka mencapai posisi ekonomis yang begitu tinggi, karena mereka
menerima kompensasi untuk upacara ritual yang mereka laksanakan.
Menurut Weber, di India yang berkembang adalah
kapitalisme tradisional. Artinya, seorang karyawan pabrik di India
memperlihatkan ciri-ciri yang khas kapitalisme tradisional, yaitu karyawan itu
ingin menjadi kaya secepat mungkin. Karyawan itu tidak diberi semangat untuk
bekerja lebih baik dengan upah yang lebih tinggi.
Sikap disiplin (dalam artian Eropa Barat) adalah
konsep yang tidak dikenal oleh agama Hindu.
Industrialisasi modern dan
kapitalisme modern tidak terdapat atas dasar sistem agama Hindu, karena sistem
kasta ini melarang setiap perubahan. Setiap perubahan diancam dengan degredasi
ritual pada waktu inkarnasi.
Menurut weber, soal dasar struktur
kasta ialah bahwa anggota kasta yang halus dan anggota kasta yang kasar tidak
dapat saling menyentuh. Karena itu mereka tidak dapat bekerja sama. Menurut
weber, sistem kasta Hindu menentang setiap bentuk kerja sama.
·
Agama
Budha:
Menurut Weber,
tidak pernah menjadi dasar kapitalisme modern karena empat alasan:
a.
Melarikan diri dari
dunia.
b.
Agama Budha memiliki dua
sistem etika yaitu, etika untuk orag awam dan sistem etika untuk para biarawan.
c.
Agama Budha tidak
mempunyai etika tenaga ahli dengan panggilan (calling = beruf).
d.
Agama Budha tidak
mengenal asketisme yang rasional, yaitu yang dengan sengaja melayani Tuhan.
Karena empat alasan tersebut, maka agama Budha tidak
pernah menjadi dasar kapitalisme modern.
Sedikit membahas
mengenai agama Jaina (Jainisme):
Ketertarikan Weber kepada Jainisme[6]
karena Jainisme berasal dari lingkungan pedagang-pedagang. Pedagang Jainisme
terkenal karena kejujuran mereka. Penganutnya terkenal sebagai orang yang kaya
sekali.
Menurutnya, Jainisme bukan saja
menghubungkan kekayaan dengan kejujuran, tetapi juga menghubungkan dengan cara
hidup mereka yang sistematis. Penganut Jainisme ini menjauhkan diri dari zat
yang memabukkan, tidak makan daging, tidak minum madu, tidak berzina, tidak
melibatkan diri dalam praktik yang tidak bermoral dan menghindari rasa harga
diri. (mereka mirip dengan Protestan Puritan).
Namun, kapitalisme tidak terdapat
pada Jainisme karena masih terdapat pembatasan ritual, mereka dilarang masuk
industri. Menurut pandangan Weber, kapitalisme yang dianut mereka adalah
kapitalisme kuno.
2.3.4
The
Religion of China: Confucianism Taoism
Menurut Weber, Cina dilambangkan oleh etika yang
dualis yaitu:
-
Suatu sistem etik untuk
rakyat. Etika itu disebut Taoisme yang berarti sistem etika yang khas rakyat
Cina.
Ajaran
pokok Taoisme adalah bahwa ada satu cara atau jalan alami yang dapat juga
diikuti oleh manusia, asalkan dia membatasi ketamakannya untuk diri sendiri,
persaingan dan sikap permusuhannya. Dia dapat melaksanakan sebaik-baiknya
dengan cara meninggalkan semua kegiatan yang mendatangkan godaan-godaan ini,
bukan dengan menilainya sebagai bagian dari jalan yang dapat memenuhi kehendak
Tuhan. Jadi, godaan, menjauhkan diri dari politik, kemandirian, bukan
ketamakan, sebagai tujuan ekonomik, bersumber dari pandangan Taoisme.
Penghalang
bagi kaum kapitalisme ini, diperkuat dengan kecenderungan untuk kembali kepada
magi (sihir) yang menurut weber itu dibenarkan dan bahkan didorong oleh Taoisme.
-
Suatu sistem keagamaan
Etika
elit[7] ini
disebut Konfusianisme. Adapun pemikiran terpeting Kofusius adalah penekanan
pada identifikasi etika dengan politik. Berdasarkan pemikiran ini, konfusius
berpedapat bahwa ilmu pemerintahan pertama-tama merupakan pertanggung-jawaban
yang sarat moral. Jadi sistem konfusianisme merupakan sistem elit yang
memerintah Cina.
Untuk
menjadi anggota elite, seseorang harus membuktikan bahwa dia telah memperdalam
dan lulus karya-karya klasik.
Dalam
mendalami karya-karya klasik itu seseorang Konfusius, menanamkan kapitalnya
dalam pendidikan, penambahan kekuatan karir. Mereka menggunakan kekayaannya
tidak untuk mendapatkan keuntungan, tetapi untuk mencapat status, yaitu cara
hidup yang bermartabat.
Ciri lain khas
sistem ini adalah kecurigaan kaum Konfusianis bahwa setiap pegawai (elit)
saling mencurigai. Kejujuran tidak terdapat didalamnya.
Menurut Weber, kecurigaan
itu mencampurkan semua transaksi yang ekonomis dengan unsur-unsur yang irasional.
Kesimpulan Weber
dalam hal ini adalah bahwa:
Etika
Konfusianisme bersifat skeptis sekali terhadap magi, sebaliknya dari Taoisme
yang menjadi kebanyakan rakyat Cina sangat percaya kepada perbuatan-perbuatan
magi.
Jadi, Weber
mengambil konklusi bahwa:
“Terdapat
pemisahan antara agama-agama di India dan agama-agama di China terdapat
pemisahan antara raja dan agama rakyat. Karena itu terdapat sistem etika yang
berbeda dalam masyarakat”.[8]
2.3.5
The
Religion Of Islam
-
menganjurkan manusia
untuk bekerja keras.
-
ayat yang menerankan
bahwa apabila kamu telah selesai dengan satu urusan segeralah bekerja untuk
urusan yang lain karena ada kebaikan dibaliknya.
-
Beribadahlah seakan kamu
mati besok dan bekerjalah seolah-olah akan hidup selamanya.
-
Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mengubahnya sendiri.
-
dalam sebuah ayat
disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk
bertebaran dimuka bumi ini dalam ranka mencari karunia Allah. Namun mekanisme
penyeimbangan yang digunakan untuk membatasii kepemilikan pribadi dengan
kewajiban membayar zakat, infaq, dan sedekah.
Oleh sebab itu, kapitalis tidak dikenal dalam islam
dan tidak mendewakannya pula. Karena dalam islam, setiap pekerjaan yang
dilakukan adalah untuk mengharap ridho Allah semata.
2.4
Weber dan Karisma
Karisma
adalah gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap
legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menentukan kebenaran karisma
adalah pengakuan pengikutnya.
“Weber
memandang karismatik
sebagai salah satu dari tiga landasan kekuasaan yang dimiliki seorang terhadap orang lain di bidang politik, militer, agama dan intelektual. Kekuasaan karismatik ditemukan dalam pribadi yang
penuh kreatif, inovatif yang diakui oleh pengikut atau orang yang ditundukkan”.
Pemimpin karismatik mengembangkan gaya tindakan dan ciri kepribadian unik yang membantu memperkuat citra mereka
sebagai utusan Tuhan, jelmaan nabi, pertanda sejarah, pemimpin rakyat, dan sebagainya.
“Mereka mengambil
jarak dari pengikut dan melakukan tindakan luar biasa untuk membuktikan
kekuatan khusus mereka. Mereka sangat dogmatis, sangat fanatic dan tidak
menolelir kritik. Sehingga menimbulkan fenomena Think and thank (menanamkan keyakinan tentang betapa sangat berkuasa, bijaksana, dan
adilnya pemimpin itu”.[9]
Mereka mengambil jarak dari pengikut dan melakukan tindakan luar biasa
untuk membuktikan kekuatan khusus mereka. Mereka sangat dogmatis, sangat fanatik dan tidak menolelir kritik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ü Doktrin
agama dalam perspektif sosiologi: lebih menekankan pada unsur pengaruh yang
ditimbulkan oleh doktrin-doktrin keagamaan dalam merekonstruksi perilaku sosial
yang ada di masyarakat.
ü Weber
menolak definisi agama. Dia mengatakan bahwa agama merupakan kepercayaan
mengenai yang gaib dan agama merupakan kepercayaan universal karena terdapat
disetiap masyarakat (salah satu konsep rasionalisasi).
ü Doktrin-Doktrin
Agama Dalam Hubungannya Dengan Perilaku Ekonomi Masyarakat, kajian Weber
mengenai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Calvinisme, Lutheranisme)
juga mengenai etika Katholik, agama di India: Hindu dan Budha, agama di Cina:
Confucianism Taoism, dan sedikit membahas mengenai doktrin-doktrin dalam agama
Islam.
ü Karisma
adalah gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap
legitimasi otoritas. Pemimpin karismatik
mengembangkan gaya tindakan dan ciri kepribadian unik yang membantu memperkuat citra mereka
sebagai utusan Tuhan, jelmaan nabi, pertanda sejarah, pemimpin rakyat, dan sebagainya.
3.2 Saran
Setiap pemeluk agama tentu menganggap
bahwa agama yang dianutnya adalah benar sehingga setiap doktrin yang
disampaikan diikuti dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam kaitannya dengan
ekonomi masyarakat, diharapkan jangan sampai oleh karena adanya doktrin-doktrin
tersebut membawa masyarakat menjadi tamak terhadap perekonomian karena terlalu
mengejar-ngejar duniawi sehingga ditakutkan akan membawa manusia kedalam individualisme,
hanya mementingkan peran personal dan tidak mementingkan peran sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Scharf
Betty R. 2004. Sosiologi Agama (Edisi
Kedua). Jakarta: Kencana.
Abdullah
Syamsuddin. 1997. Agama Dan Masyarakat:
Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sztompka,
Piotr.2011. Sosiologi Perubahan Sosial.
Jakarta: Prenada.
[1] Monoeisme adalah kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa.
[2] Protestan
Calvinisme merupakan suatu faham yang dikembangkan oleh seseorang yang bernama “Calvin”.
[3] Max Weber, The
Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, 1904.
[4] Puritanisme adalah
suatu faham kepercayaan yang di anut kaum puritan yang berasal dari Inggris
pada abad ke 16-17
[6] Jainisme merupakan sebuah agama Dharma dan Jaina bermakna penakhlukkan.
[7] Elite yaitu orang-orang yang terbaik atau pilihan disuatu kelompok.
[8] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi
Agama, ibid.,hlm. 38.
[9] Piotr Szompka, Sosiologi Perubahan Sosial, ibid., hlm. 318.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009