PROPOSISI TEORI KONFLIK
Proposisi
artinya adalah istilah yang digunakan untuk kalimat pernyataan yang memiliki
penuh dan utuh. Hal ini berarti suatu kalimat harus dapat dipercaya,
disangsikan, disangkal atau dibuktikan. Konflik merupakan gejala sosial yang
serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya
konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, di mana saja dan
kapan saja. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satupun manusia yang
memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan,
kehendak, tujuan, dan sebagainya.
Ralf Dahrendrof:
masyarakat terbagi menjadi dua kelas atas dasar kepemilikan kewenangan, yaitu
kelas yang memiliki kewenangan dan kelas yang tidak memliki kewenangan.
Menurutnya, masyarakat terintegrasi karena ada kelmpok kepentingan dominan yang
menguasai masayarakat banyak.
Jonathan Tunner:
proses terjadinya konflik dalam sebuah sistem sosial atau masayarakat. Pada
akhirnya konflik yang terbuka antara kelompok yang bertikai sangat tegantung
kepada kemampuan masing-masing.
Lewis Cooser:
pentingya konflik untuk mempertahankan kepentingan kelompok.
Istilah “konflik” secara etimologis
berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “figere” yang berarti
benturan atau tabrakan. Dengan demikian
“konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan,
pendapat dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
Di dalam Internasional Encilopedia of The Social Sciences Vol. 3 (hal.
236-241) diuraikan mengenai pengertian dari aspek antropologi, yakni
ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak, di
mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan,
satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi
tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa atau satu pemeluk agama
tertentu.
B. BEBERAPA PROPOSISI TEORI
KONFLIK
Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di
dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan
integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat
merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk
memperebutkan “power” dan mengontrol bakan melakukan penekanan dan juga melihat
hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk
menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok
lainnya
Menurut Wallase dan Alison, teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang
saling berhubungan
1. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha
untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.
2. “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak merata,
sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat
memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang lainnya tidak
memperolehnya sama sekali.
3. Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh
berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka
masing-masing.
Apabila diruntut secara histories, elemen-elemen dasarnya berakar pada
pemikiran perbedaan pendapat dan saling memperdebatkan pokok-pokok pikiranya,
akan tetapi keduanya sama-sama menaruh perhatian terhadap dua hal utama, yakni
(1) the way social positions bestow more or less power on their incumbents, (2)
the rule of ideas in creating or undermining the legitimaly of social position.
PROPOSISI PERTAMA
Proposisi ini secara langsung
mengikuti asumsi Marx bahwa, “didalam semua struktur sosial, distribusi
kekuasaan yang tak merata pasti akan menimbulkan konflik kepentongan antara
mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki
kekuasaan”.(Tuner, 1978.131). Menurut Marx kesadaran akan konflik kepentingan
dapat menyebabkan mereka lemah mulai mempertanyakan keabsahan pola-pola
distribusi sumber-sumber yang ada sekarang.
Proposisi ini menerangkan
dengan jelas tentang adanya kesadaran segmen-segmen yang lebih lemah akan
kepentingan-kepentingan kolektif mereka, sehingga semakin besar kemungkinannya
mereka mempertanyakan keabsahan distribusi-distribusi yang tidak merata dengan
cara terang-terangan terhadap segmen-segmen dominan suatu sistem.
Subordinate semakin sadar dan memulai
konflik secara terang-terangan terhadap dominan. Prposisi ini dipecah menjadi
tiga anak proposisi sebagai berikut ; (1) subordinate mengorganisir diri dan
memulai konflik, (2) subordinate mengorganisir dan mencetuskan konflik, (3)
subordinate mengorganisir diri dan memprakarsai konflik.
PROPOSISI KEEMPAT
Pada proposisi ini segmen-segmen
dominan dan segmen-segmen subordinate semakin terpolarisasi. Semakin keras
suatu konflik maka akan semakin besar perubahan struktural suatu sistem dan
redistribusi sumber-sumber.
MACAM-MACAM KONFLIK
Untuk memudahkan analisis
permasalahan ini, akan disajikan beberapa bentuk konflik sebagai salah satu
gejala sosial masyarakat Indonesia diaantaranya:
Konflik
gender
Istilah gender bukan
merujuk pada aspek perbedaan jenis kelamin di mana laki-laki ditunjukkan dengan
identitas diri dan di mana laki-laki memiliki alat kelamin yang berbeda dengan
perempuan, akan tetapi gender lebih berorientasi pada aspek sosialkultural. Misalnya,
dominasi kaum laki-laki yang mengisi jabatan wakil rakyat di parlemen, jabatan
kemiliteran, birokrasi dan disebut sebagainya dianggap sebagai bentuk
diskriminasi kaum perempuan.
Konflik
Rasial dan Antarsuku
Istilah ras sering kali
diidentikkan dengan perbedaan warna kulit manusia, di antaranya ada sebagian
kelompok manusia yang berkulit putih, sawo matang, dan hitam. Tampaknya ada apa
di balik warna kulit manusia. Itulah menjadi pertanyaan. Pada masa lalu
perasaan superior kaum kulit putih, di mana segala bentuk eksploitasi terhadap
kaum kulit hitam oleh kaum kulit putih telah memicu konflik rasial.
Konflik
Antar-Umat Agama
Agama
tidak cukup dipahami sebagai metode hubungan penyembahan manusia kepada Tuhan
serta seperangkat tata aturan kemanusian atas dasar tuntutan kitab suci. Akan
tetapi, perbedaan dan atribut-atribut justru berdampak pada segmentasi
kelompok-kelompk sosial yang berdiri sendiri. Secara sosiologis, agama selain
dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi juga bisa
memicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut agama yang meyakini
kebenaran agamanya, dan menganggap keyakinan agama lain sesat sehingga terjadi
konflik antar penganutnya.
Konflik
antara golongan
Diferensiasi
masyarakat dalam berbagai golongan yang sangat rawan dengan pergolakan sosial.
Pertikaian yang berujung pada kekerasan dan pertikaian. Konflik antar golongan
biasanya dipicu oleh satu golongan tertentu memaksakan kehendaknya kepada
kelompok lain untuk melakukan perbuatan yang dikehendaki oleh pembuat golongan
tersebut. Adapun di pihak lain, golongan merasa terampas kebebasannya hingga
melakukan perlawanan yang tidak pernah tercapai kesepakatan di antara golongan
tersebut.
Konflik
Kepentingan
Di
dalam dunia politik: “tiada lawan yang
abadi dan tiada pula kawan abadi, kecuali kepentinga abadi”. Dengan
demikian konflik kepentingan identik dengan konflik politik. Realitas politik
selalu diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan. Benturan tersebut dipicu oleh gejala satu pihak ini merebut
kekuasaan dan kewenangan di dalam masyarakat, di pihak lain terdapat kelompok
yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan dan kewenangan yang
sudah ada di tangan mereka.
Konflik
Antarpribadi
Konflik
antar-individu adalah konflik sosial yang melibatkan individu di dalam konflik
tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan antara
individu satu dengan yang lain. Sebagai contoh konflik pribadi yaitu remaja
yang berpacaran lalu kemudian tidak berpacaran lagi karena masing-masing
berkeras kepada pendapatnya sehingga menimbulkan konflik.
Konflik
Antarkelas Sosial
Konflik ini biasanya terjadi yang bersifat vertikal, yaitu konflik antar kelas sosial atas
dan kelas sosial bawah. Konflik ini terjadi karena kepentingan yang berbeda
antara dua golongan atau kelas sosial yang ada. Konflik antar kelas ini banyak
dipaparkan oleh teori Marxis dan Ralf Dahrendrof.
Konflik
Antarnegara
Konflik
antarnegara adalah konflik yang terjadi antar dua negara atau lebih. Mereka
memiliki perbedaan tujuan negara dan berupaya memaksakan kehendak negaranya
kepada negara lain. Perang dingin dahulu antar blok timur dan sekutunya, negara
Amerika dan sekutunya merupakan konflik antarnegara sebelum pecahnya negara Uni
Soviet. Perang dingin antar Pakistan dan India, Korea Utara dan Korea Selatan,
dll.
MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK
Para sosiolog berpendapat bahwa akar
dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang
akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan
kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang
tidak merata di masyarakat. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik
dibagi menjadi dua, yaitu:
Kemjemukan horizontal,
yang artinya struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku
bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan
dan profesi, seperti petani, buruh, pengusaha, pedagang, pegawai negeri,
militer, dll. Kemajemukan ini menyebabkan konflik yang masing-masing unsur
kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat
budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budaya tersebut.
Kemajemukan vertikal,
yang artinya struktur masyarakat yang berpolarisasi berdasarkan, kekayaan,
pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik
sosial karena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan
yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar pendidikan rendah, dan tidak
memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Perbedaan
antar-individu
Benturan
antara kepentingan yang baik secara ekonomi ataupun politik.
Pemberdayaan
kebudayaan
AKIBAT KONFLIK SOSIAL
Ada banyak akibat konflik, akan
tetapi para sosiolog sepakat menyimpulkan akibat dari konflik tersebut tersebut
ke dalam lima poin berikut ini:
Bertambah kuatnya rasa
solidaritas kelompok. Ketika pihak-pihak yang
memicu timbulnya antagonisme (pertentangan) di antara pihak yang bertikai.
Eksistensi antagonisme ini pada gilirannya akan memunculkan gejala in group dan out group di antara mereka.
Hancurnya kesatuan
kelompok. Jika konflik tidak berhasil diselesaikan
menimbulkan kekerasan atau perang, sudah barang tentu kesatuan kelompok
tersebut akan mengalami kehancuran. Contoh, lenyapnya Yugolosvia dari peta
dunia akibat konflik atar etnis di negeri ini dan menyebabkan negara Yugoslovia
terpecah dalam tiga negara dihuni oleh masing-masing etnis Bosnia, Serbia dan
Kroasia.
Adanya perubahan
kepribadian individu. Artinya di dalam suatu
kelompok yangg mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang
semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar, menjadi beringas, agresif, dan sudah mara, terlebih jika konflik itu berujung pada kekerasan, atau perang.
Hancurnya nilai-nilai
sosial yang ada. Antara nilai-nilai dan norma sosial
dengan konflik terdapat hubungan yang korelasional, artinya bisa saja terjadi
konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat konflik. Hilangnya
harta benda dan korban manusia.
TEORI
KONFLIK (KONFLICT TEORY)[1]
Para ilmuwan sosial pada abad kesembilan belas dan awal dua puluh menaruh minat pada konflik dalam masyarakat.
Namun, para fungsionalis pertengahan abad ke dua puluh menolak konsep demi
konsep unitary yang menekankan integrasi sosial dan efek harmoni nilai-nilai
bersama. Walaupun memerhatikan konflik, mereka menganggap konflik sebagai
patologis alih-alih sebagai keadaan organisme sosial.
Beberapa sosiologi pada era 1950-an
dan 1960-an berusaha membangkitkan apa yang mereka sebut ‘teori konflik’
melawan dominasi fungsionalisme dengan merujuk pada Karl Marx dan Simmel. Marx
memberikan model dikotomi konflik sosial yang mana keseluruhan masyarakat
dibagi atas dua kelas yang mewakili kepentingan modal dan tenaga kerja. Pada
akhirnya konflik akan mentransformasi masyarakat. Walaupun menekankan konflik, Simmel mengambil baik model dikotomi maupun asumsi bahwa konflik pada
akhirnya menghancurkan tatanan sosial yang ada. Ia percaya bahwa konflik
memiliki fungsi positif bagi stabilitas sosial yang membantu melestarikan
kelompok atau kolektivitas. L. Coser (1956, 1968) mengembangkan perspektif
Simmel untuk menunjukkan bahwa untuk menunjukkan bahwa konflik biasanya
bersifat fungsional dalam masyarakat kompleks yang majemuk. Ia berpendapat bahwa
konflik-konflik yang mana seseorang yang bersekutu dengan satu pihak merupakan
lawan pihak lain., mencegah konflik bergerak pada satu arah dan membagi
masyarakat dalam garis dikotomi. Masyarakat kompleks memiliki kemajemukan
kepentingan dan konflik yang menyediakan mekanisme penyeimbang yang mencegah
ketidakstabilan. R. Dahrendrorf (1959) juga menyimpulkan
bahwa konflik bersifat berpotongan dan bukan bertindihan.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009