Sejarah Terbentuknya Masyarakat Perkebunan
Terbentuknya
Masyarakat Perkebunan
Pada sekitar pertengahan abad yang lalu
terjadi perubahan dalam kebijakan kolonial di Hindia-Belanda. Pemerintah kian
mengurangi campurtangan langsung dalam prosuksi ekonomi dan merasa cukup hanya
menciptakan berbagai fasilitas untuk mendorong inisiatif swasta UU Agraria
tahun 1870 yang dalam arti formal menandai berakhirnya Sistem Tanam Paksa di
Jawa dan beralihnya sistem itu ke zaman liberalisme yang lebih bebas, segera
menunjukkan arah politik baru ini: membuka sumberdaya alam negeri kepulauan itu
bagi kepentingan modal negeri induk.
Di
Jawa langkah itu menyebabkan kian meluasnya perkebunan besar. Perkebunan di
Jawa mulai dibuka di bawah Sistem Tanam Paksa pada paruh pertama abad ke-19 dan
perkebunan itu terus diperluas dengan lahan yang ada sehingga merugikan
produksi para petani. Dibandingkan dengan di Jawa, eksploitasi kekayaan alam di
daerah luar Jawa yang berpenduduk sedikit waktu
itu bau berada pada tahap awal. Konsensi untuk penambangan mineral baru
akan dikeluarkan pada dasawarsa berikutnya. Betapapun pentingnya peran
pertambangan itu dalam jangka panjang kelak, arti jauh lebih penting dan
langsung bagi ekonomi kolonial ialah terbentuknya masyarakat perkebunan di
Sumatra Timur.
Orang pertama yang perlu disebut dalam hubungan ini
ialah J. Nien Buys La Tixla di Deli pada 1863 dengan niat khusus untuk menetap
sebagai pengusaha di daerah yang waktu itu hampir tak dikenal oleh orang
Belanda. Dialah peletak dasar budaya tembakau yang dikemudian hari akan memasyhurkan
pesisir Timur Sumatera ke seluruh dunia.
Perusahaan
yang didirikannya kelak tumbuh menjadi salah satu perusahaan perkebunan
kolonial terbesar. Menurut mitos tentang petualangannya dalam buku-buku
peringatan waktu didatangi perintis ini daerah tersebut nyaris kosong. Boleh
dikata dengan tangannya sendiri ia megubah rimba raya yang mengelilinginya
menjadi kebun tembakau yang serba rapi yang menggambarkan seperti itu tentulah
berlebihan. Sudah lama dikedua sisi selat Malaka berdiri kerajaan-kerajaan kecil
itu saling berusaha dan meluaskan pengaruh ke daerah pedalaman yang dihuni oleh
orang Batak. Dengan begitu akhirnya lahir suatu hirearki politik. Di situ
penguasa terkemuka di negeri-negeri yang lebih dulu terbentuk menjadikan kepala
negeri-negeri yang kebih kecil sebagai bawahannya.
Van
Langenberg menilai bahwa struktur kemasyarakatan yang terbentuk itu tersusun
lebih banyak menurut garis keluarga daripada garis teritorial. Dipuncak hirearki piramidal yang tergambar
dengan jelas adalah sultan, pemimpin ustama, yang kedudukannya didasarkan pada
penjelmaan identitas politik dan sosio-budaya kerajaan dalam dirinya. Di
bawahnya terdapat hirearki kaum aristokrat – para anggota keluarga sultan,
pejabat istana, para pemimpin daerah – yang menyandang gelar turun-temurun
seperti raja, tengku, datuk dan orang kaya. Kemudian ada kelas orang biasa yang
kaya yang kaya dan punya kekuasaan- biasanya pedagang dan pemimpin senior
seperti ulama, kiai atau imam. Di dasar struktur feodal itu terdapat komunitas
petani dan nelayan yang merupakan mayoritas terbesar penduduk (Van Langenberg
1977, 1:82)Massa rakyat merupakan istilah yangg relatif, sebab di dalam
kesatuan politik yang kecil dengan batas-batas yang tidak jelas hanya terdapat
beberapa puluh ribu penduduk yang umumnya berdagang. Karena selalu terjadi
pergantian junjungan dan pengelompokan ulang dalam bersekutu dalam kebanyakan
kerajaan Melayu yang kecil-kecil dan berstruktur longgar itu sangat rentan lalu
lintas dan perdagangan di sepanjang Selat Malaka, juga dengan daerah pedalaman
menjadi landasan ekonomi kerajaan pesisir yang biasanya terletak dekat dengan
muara sungai. Namun sejumlah laporan dari awal abad ke-19 menunjukkan di sana
sini sudah terdapat pertanian yang menetap dan bahkan budi daya bermacam-macam
tanaman komersial.
Informasi yang lengkap dapat diperoleh
dari laporan perjalanan. J. Anderson yang mendapat tugas dari pemerintahan
Iggris di Penang untuk pergi ke seberang selat pada 1823. Petikan di bawah ini
(termuat dalam Schadee 1918:29-37) dikutip dari sumber tersebut: tentang
penguasa di Serdang Anderson menyatakan, “perniagaan dan pertanian berkembang
di bawah pemerintahannya yang bijak”. Penduduk kawasan itu terdiri atas 3000
orang Melayu dan 800 orang Batak. Data dari daerah hulu dibawa ke hilir melalu
sungai jumlah penduduk Langkat ditaksir 7000 orang Melayu dan 13.000 orang
Batak. “Budi daya lada masih terus diperluas, mutunya sangat baik. Barang
ekspor lain adalah rotan, lilin, polong-polongan, gambir, emas, tembakau dan
beras impor. Yang diimpor adalah garam, madat, kain linen (asal Eropa dan
India), barang-barang besi dan baja, perkakas dan lain-lain.
Bandar terbesar di pesisir itu berpenduduk
tak kurang dari 10.000 orang “mendiami rumah yang dibangun dengan gaya Eropa
yang dilengkapi dengan kursi, meja dan tempat tidur. Syahbandar ini berasal
dari Deli, ia sudah banyak melakukan perjalanan dan berkunjung ke Batavia dan ia terbiasa dengan adat dan kebiasaan
orang Eropa.
Hasil utama dari Asahan adalah beras dan prosuksinya sangat melimpah hingga Asahan
pun bisa menyediakan bahan pangan ini untuk kerajaan-kerajaan tetangga. Juga
lada ditanam di sana. Akhirnya kawasan Deli, yang dikemudian hari dalam
percakapan sehari-hari namanya sering dipakai untuk seluruh pesisir Timur,
memberikan kesan yang cukup makmur, terutama karena budi daya lada yang digarap
dengan skala yang sangat besar. Ekspor lada pada 1822 mencapai lebih dari
26.000 pikul. Juga tembakau ditanam untuk diekspor. Padi, jagung, tebu, aneka
jenis kacang, kapas dan sebagainya hanya ditanam untuk kebutuhan sendiri. Di
kampung-kampung terdapat rumah yang besar yang kuat dikelilingi rumpun bambu
dan pohon buah-buahan. Tampak banyak ayam, kambing dan sebagainya. Orang Batak
yang mendiami kawasan hulu sangat banyak.
Yang dilukiskan itu adalah daerah-daerah
kantung yang relatif maju yang sebagian di antaranya kembali merosot menjelang
pertengahan abad ke-19. Pada waktu Niehuys datang penghasilan Sultan Deli pasti
tak lebih dari 1000 dolar per tahun (Sumatera
Post, 5 Mei 1993). Tetapi gambara tentang sudut terpencil Hindia yang
katanya masih belantara dan untuk pertama kali dibuka oleh kaum perintis
Belanda, perlu ditinjau kembali. Tetapi gambaran tentang sudut terpencil
Hindia, yang katanya masih belantara dan untuk pertama kali dibuka oleh kaum perintis
Belanda, perlu ditinjau kembali.
Dalam hubungan ini, yang menggelitik ialah
ungkapan agak tersamar dalam literatur tentang zaman perintis bahwa Nienhuys
terdampar di Deli bukan karena kebetulan melainkan karena diundang Penguasa
Melayu di handscap itu rupanya
mengutus seorang Arab ke Jawa untuk menarik minat perusahaan-perusahaan dagang
terhadap sebagai peluang ekonomi yang dapat ditawarkan oleh kawasan itu (Lanscap adalah sebutan pemerintah
kolonial untuk daerah-daerah kerajaan di Sumatera). Agen itu ditugaskan mencari
pembeli 30.000 pikul tembakau bermutu sangat baik, yang menurut diproduksi
penduduk Deli setiap tahun. Ia mengatakan bahwa orang yang menugaskanya
bersedia memberi upah kepada siapa saja yang berminat menanam tembakau. Tetapi,
Said Abdullah sendiri, si perintis yang sebenarnya, sebaiknya tidak bernasib
baik. Ia ditangka karena melakukan pencurian dan penipuan (Broersma 1919.
28:9). Sebaliknya prestasi Nienhuys malah bertambah kemilau dengan
ditonjolkannya suasana kumuh kawasan tempat ia membukan perkebunan. Di tengah
daerah rawa yang tidak sehat terletaklah kampung Labuan yang kumuh, yang waktu
itu ibu kota daerah Deli.
Hanya beberapa rumah dari kayu di kampung
itu, kebanyakan dari bambu dan nibung, dan berdiri di atas tiangsetinggi tiang
tiga kaki dari tanah. Di kolong pondok-pondok kecil itu menumpuk segala macam
kotoran. Cara orang berpakaian jorok. Di ujung kampung berdiri istana sultan,
sebuah rumah kayu besar yang dibangun di atas tiang setinggi delapan kaki dari
tanah (Broersma 1919:30).
Tidak disebutkan bahwa jumlah penduduk
kampung itu sekitar 2.000 orang, diantaranya 20-an orang Cina dan 100-an orang
India (Pelzer 1978:33). Laporan lain menulis, golongan minoritas pedagang dan
pengaruh ketatanegaraan dari Asia sudah ada berabad-abad sebelumnya (Sinar
1978:178:33).
Orang Eropa pertama yang menetap sebagai
tuan kebun terpaksa hidup tanpa perlindungan dari pemerintahan kolonial.daerah-daerah
di Sumatera Timur pada kurun sejarah sebelumnya secara longgar wajib membayar
upeti kepada Aceh, mulai pertengahan abad yang lalu menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan-kekuasaan Siak yang letaknya agak di Selatan. Siak adalah sebagian
dari kerajaan Johor di Malaka yang pada 1747n menyearahkan kedaulatannya atas
Siak kepada VOC. VOC kemudian mendirikan pos di sebuah pulau di kuala sungai
Siak, tapi tak lama kemudian ternyata pedagang kurang diuntungkan sehingga
pemukiman di sana tidak dapat dipertahankan.
Baru pada pertengahan abad ke-19 Belanda
mulai lagi melakukan persiapan untuk meberlakukan persiapan untuk memperlakukan
haknya dibagian kepulauan itu. Sebelum dibuka, daerah luar Jawa tersebut harus
lebih dulu dikuasai. Perluasan kekuasaan Belanda di Sumatera berlangsung dengan
cara berangsur-angsur dan hati-hati, merayap dari bagian selatan dan barat
pulau itu, karena pemerintahan Inggris di Malaka pun menaruh minat yang besar
pada Sumatera Timur. Siak, yang pada tahun 1858 sekali lagi secara resmi
mengakui kedaulatan Belanda dan bersekutu dengan Minangkabau, pada masa ini
jelas sedang merosot. Petunjuknya ialah bahwa raja-raja negeri kecil di sebelah
Utara tidak terlalu peduli lagi bahwa mereka adalah bawahan Siak. Sebagai
bawahan Siak, seharusnya secara periodik mereka mengirimkan sebagian rakyatnya
ke Siak untuk melakukan kerja rodi (Broersma 1919:25). Sebaliknya, ternyata
sultan Siak pun sama sekali tak tahu lagi siapa yang bertindak sebagai wakilnya
di kawasan tempat ia memperlakukan haknya. Iapun tak dapat mengukuhkan haknya
dengan bukti apapun, karena semua “dokumen kerajaan” telaj hilang.
Vakum kekuasaan ino oleh Aceh dimanfaatkan
untuk kembali mengukuhkan jangkauan pengaruhnya di pesisir Timur (Reid
1969:16). Deli pernah takluk kepada Aceh pada abad ke-17 dan pada 1854
peristiwa itu kembali terulang. Sedang pun menjadi kawasan yang diperebutkan.
Permukiman Melayu di sepanjanh pesisir itu tak dapat
berkembang pesat karena wilayahnya terbatas pada jalur sempit di daerah
pesisir. Sementara itu, tak henti-hentinya mereka bertarung diantara
sesamanya. Masing-masing raja berusaha sedapat mungkin memperluas wilayah
dengan merugikan tetangga atu menarik kegiatan niaga dari bandar-bandar
tetangga ke bandarnya sendiri. Jumlah penduduk kawasan yang mandiri waktu itu
hanya beberapa ribu, kadang-kadang bahkan hanya beberapa ratus orang.
Kekuatan raja-rajanya terlalu kecil dan kurang dapat bertahan terhadap
penjarahan yang silih berganti dilakukan oleh pihak Siak dan Aceh di
sepanjang pesisit Timur. Tujuan penjarahan itu tiada lain adalah mencari
barang rampasan dan mewajibkan negeri-negeri kecil.penduduk yang tetap bukan menjadi tujuan. Kukuasaan hanya
dilakukan untukdapat menarik pajak atau mengambil keuntungan-keuntungan lain.
|
Agaknya masuk akal kalau dalam keadaan
seperti itu para pemimpin lokal mencari kesempatan memperbesar kekuasaan dan status mereka
sendiri yang tentunya menyebabkan keadaan politik di wilayah tersebut semakin
kacau. Penguasa tanah Deli secara khusus berupaya memperluas kekuasaan atas
daerah sekeliling (termasuk kawasan Serdang dan Langkat). Suku Melayu yang
semual berpusat di sepanjag pesisir, berangsur-angsur mendesak lebih jauh ke
pedalaman Batak. Kehadiran kekuatan asing sangat berguna bagi penguasa lokal
untuk memperluas kekuasaan,bahkan membantu upaya melepaskan diri dari
ketergantungan pada para tetangga yang lebih kuat yang lebih kuat Aceh maupun
Siak. Sebagai lanjutan dari taktat tahun 1858, asisten residen yang diangkat
untul Siak pada tahun 1862 mengadakan perjalanan inspeksi dengan sejumlah kapal
angkat menyusuri daerah-daerah di pesisir Timur yang diakui sebagai kekuatan Siak.
Tujuannya adalah agar kekuatan agar kedaulatan Belanda dapat juga ditegakkan di
situ. Tetapi, tidak di semua tempat sambutan terhadapnya bersahabat. Disejumlah
bandar sudah berkibar berkibar bendera Ingris dan kadang-kadang bendera itu
dinaikkan kembali setelah rombongan asisten residen berlalu. Ini menunjukkan
betapa kuatnya ikatan komersial daerah itu dengan Pedang di mana pedagang Cina
memainkan peranan yang menonjol. Kekhawatiran akan semakin meluasnya pengaruh
Inggris lewat pedagang Cina itulah yang menjadi alasan menentukan mengapa
Belanda menduduki pesisir timur Sumatera.
Beberapa penguasa kerajaan kecil di
sepanjang pesisir dengan segara dan sukareka lalu mengadakan perjanjian politik
yang mengakui kedaulatan Belanda. Beberapa kerajaan lagi baru melakukannya
setelah berulang kali Belanda mengadakan pameran kekuatan militer, dengan
syarat-syarat perjanjian yang akhirnya tidak begitu menguntungkan negeri-negeri
itu. Karena kedudukannya tak begitu berarti, sultan Deli lebih cepat bersedia
takluk pada kekuasaan Belanda. Karena itu, statusnya terhadap Siak tak ada lagi
sebagai bawahan melainkan setaraf dan tuntutannya yang sangat longgar terhadap
“daerah taklukan” yang berbatasan dengannya pun diakui.
Kebangkitan Deli ini merugikan penguasa
Serdang dan Asahan yang lebih mandiri sikapnya. Pada mulanya mereka cenderung
memihak Aceh dan baru setelah berkali-kali mendapat kunjungan dan intimidasi
militer mereka mau mengubah haluan. Dengan demikian, sultan Aceh menjadi pihak
yang kalah. Sia-sia ia menghalanginya untuk masuk kerajaan-kerajaan di pesisir
Timur Sumatera itu ke dalam lingkup kekuasaan kolonial yang lebih besar.
Belakangan pihak Belanda cukup menyesal juga, karena sedikit pun tak
memperhitungkan kenyataan bahwa pada masa itu kawasan tersebut memang
benar-benar masuk ke dalam lingkup pengaruh Aceh. Itulah yang kelak menjadi
salah satu sebab perang berkepanjangan dengan kerajaan itu yang untuk pertama
kali meletus pada 1873. Keberadaan pemerintahan tetap yang mantap
menyebabkan berakhirnya pemerintahan Inggris di Sumatera Timur, kendali hal itu
mendapat.
Ikatan Kerja
Dalam masyarakat perkebunan penyerahan wewenang dari pengusaha local kepada tuan kebun tidak hanya berlaku untuk tanah melainkan juga untuk hak menguasai tenaga kerja. Kenyataannya tenaga kerja itu lebih sulit diperoleh daripada tanah, sehingga dalam masyarakat perkebunan, tenaga kerja itu didatangkan dari tempat lain. Dalam suku adat melayu, memberikan kesempatan kepadatan kebun untuk memastikan agar kuli menempati kewajibannya, dan tuan kebun bisa menghukum bila kuli bermaksud mengelakkan kewajibannya (Veth 1887:168). Dalam hal ini kuli yang ingin memutuskan hubungan kerja dengan tuan kebun, dianggap melakukan pelanggaran. Tuan kebun berpegang pada anggapan bahwa menurut perjanjian 1862 kekuasAan hukum dan kepolisian berada di tangan Sultan Deli. Tuan kebun selalu mengandalkan alasan bahwa semakin rendahnya mutu para pekerja untuk menegakkan disiplin para kuli. Ada juga anggapan bawa tenaga kerja itu adalah “sampah masyarakat bangsa Cina”. Pada tahun 1873, di Deli yang sementara dibawah Siak, mendapat seorang asisten residen yang semula berkedudukan di Labuhan, tapi sejak 1879 pindah ke Medan. Residen ini memiliki kekuasaan hukum atas penduduk yang berasal dari tempat lain. Dalam hal ini Sultan Deli menerima 85.000 gulden/tahun, dan para pembesar kerajaan menerima hampir setengah dari total tersebut, sedangkan penguasa pribumi harus puas dengan jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi imbalan yang mereka terima berlimpah dibandingkan dengan gaji asisten residen dan kontrolir yang bertugas di daerah itu.
Ikatan Kerja
Dalam masyarakat perkebunan penyerahan wewenang dari pengusaha local kepada tuan kebun tidak hanya berlaku untuk tanah melainkan juga untuk hak menguasai tenaga kerja. Kenyataannya tenaga kerja itu lebih sulit diperoleh daripada tanah, sehingga dalam masyarakat perkebunan, tenaga kerja itu didatangkan dari tempat lain. Dalam suku adat melayu, memberikan kesempatan kepadatan kebun untuk memastikan agar kuli menempati kewajibannya, dan tuan kebun bisa menghukum bila kuli bermaksud mengelakkan kewajibannya (Veth 1887:168). Dalam hal ini kuli yang ingin memutuskan hubungan kerja dengan tuan kebun, dianggap melakukan pelanggaran. Tuan kebun berpegang pada anggapan bahwa menurut perjanjian 1862 kekuasAan hukum dan kepolisian berada di tangan Sultan Deli. Tuan kebun selalu mengandalkan alasan bahwa semakin rendahnya mutu para pekerja untuk menegakkan disiplin para kuli. Ada juga anggapan bawa tenaga kerja itu adalah “sampah masyarakat bangsa Cina”. Pada tahun 1873, di Deli yang sementara dibawah Siak, mendapat seorang asisten residen yang semula berkedudukan di Labuhan, tapi sejak 1879 pindah ke Medan. Residen ini memiliki kekuasaan hukum atas penduduk yang berasal dari tempat lain. Dalam hal ini Sultan Deli menerima 85.000 gulden/tahun, dan para pembesar kerajaan menerima hampir setengah dari total tersebut, sedangkan penguasa pribumi harus puas dengan jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi imbalan yang mereka terima berlimpah dibandingkan dengan gaji asisten residen dan kontrolir yang bertugas di daerah itu.
Di Jawa, terdapat juga peraturan
hukum khusus yang sudah lebih dahulu diterapkan dibandingkan di Deli. Pada
tahun 1829, para pembantu rumah tangga di Surabaya bisa dituntut apabila mereka
meninggalkan majikan tanpa izin. Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh masyarakat
belanda mengharuskan penduduk daerah pertanian di Jawa melakukan pekerjaan
secara kolektif lewat kepala desa, artinya tidak perlu mereka dipaksa bekerja
secara perorangan. Akan tetapi peraturan ini ditentang oleh wakil-wakil sebuah
aliran politik baru yang beranggapan bahwa Negara harus menarik diri dari
kehidupan ekonomi dan tidak boleh mencampuri masalah hubungan antara majikan dan
buruh. Pada tahun 1872, untuk seluruh kepulauan ini mulai berlaku peraturan
kepolisian yang baru, yaitu bahwa buruh bisa dihukum apabila memutuskan kontrak
tanpa memperhatikan tenggang waktu yang pantas atau menolak bekerja (Koeli
1918:361).
Bila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar harus kembali kepada
majikan untuk menyelesaikan masa kerjanya sesudah ia menjalani hukuman. Dalam
hal ini pemerintah dan tuan kebun bekerjasama dan terlihat kerjasamanya dari
asisten residen ketiak pendapat pemerintah sama dengan pendapat tuan kebun dan
mendukung usul-usul tuan kebun. Kekuatan polisi afdeling Deli hanya terdiri atas seorang mandor dan 12 orang opas.
Sedangkan di daerah Langkat dan Serdang pada masa itu sama sekali tidak
mempunyai kepolisian untuk menjaga kebunnya. Keamanan dan disiplin dipercayakan
kepada kekuasaan Sultan sudah merosot menjadi keadaan tanpa hukum.
Sehingga
menyebabkan para kuli-kuli beraksi akibat tindakan semena-mena terhadap kuli
terjadilah dendam yang mengakibatkan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan
yang dilakukan oleh gerombolan kuli tersebut. Para golongan menengah yang
merupakan pemilik toko, pedagang Cina, pengelola rumah judi dan tempat madat
selalu menjadi korban dendam para kuli yang sudah dipecat oleh tuan kebunnya.
Tuan kebun melalukan pengamanan sendiri akibat tidak adanya perlindungan penuh
dari pihak yang berwajib dengan cara mengambil tindakan yang dikenal dengan
larangan untuk “Bergelandangan”, mendirikan pos-pos penjagaan dan membentuk
dinas patroli. Terdapat juga peraturan bahwa setiap penduduk yang menangkap
basah para kuli yang membuat tindakan perampokan dapat menangkap dan mengadukkanya
pada pihak yang berwajib. Akan tetapi tuan kebun jarang menyerahkan para pelaku
pelanggaran kepada pihak berwajib, tuan kebun menghukum sendiri para pelanggar
tersebut dengan sesuka hatinya saja demi mempertahankan keamanan usahanya.
Praktek seperti itu sudah dianggap wajar oleh publik.
Pada tahun 1873 terjadi ketidakberesan dan pemerintah
harus bertindak untuk menghindarkan kerusuhan di sebuah perkebunan (Broersma
1919:73). Pada Tahun 1876, seorang anggota pengadilan tinggi dari Batavia,
ditemani oleh seorang juru bahas Cina, dikirim ke Deli untuk menyelidiki
sejumlah pengaduan tentang penganiayaan atas para kuli oleh beberapa tuan
kebunnya. Pembelaan diri dari tuan kebun dengan cara mengatakan bahaw hal yang
terjadi hanya berupa ekses, maksudnya kejadian yang tidak bisa dielakkan,
karena pemerintah setempat tidak mempunyai saran untuk melakukan ketertiban.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009