Tantangan Moral Bangsa Indonesia
Tatanan moral bangsa kita tampaknya
semakin hari semakin terkoyak-koyak oleh berbagai peristiwa kekerasan dan dehumanisasi yang tidak ada akhirnya. Drama
demi drama kekeraasan, pembunuhan, perilaku menyimpang berlalu silih berganti,
tanpa pernah mengusik nurani bangsa ini.
Belum kering air mata kepedihan tentang
kasus pembunuhan di Pulomas sampai pembunuhan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran (STIP), Dimas Dikita Handoko (19) di sebuah rumah kontrakan di Jalan
Kebon Baru Blok R Gang II Nomor 29 RT 17 RW 12 Kelurahan Semper Barat,
Cilincing, Jakarta, dan banyak lagi kekerasan yang terjadi di beberapa daerah
di Indonesia. Kekerasan seakan-akan seperti sebuah serial sinetron yang tidak
pernah selesai, dan yang terakhir adalah kericuhan antara FPI (Front Pembela
Islam) dan GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) yang membuat nilai dan
norma bangsa ini semakin diragukan.
Inilah sebuah bangsa yang sedang “sakit”
kata Amien Rais. Bangsa yang memiliki permasalahan hubungan antar kelompok. Pernyataan
tersebut bukanlah berlebihan adanya. Bangsa Indonesia sesungguhnya kini tengah
tenggelam ke dalam lembah teror, dendam kesumat, kebencian horor dan histeria
tanpa terkendali. Masyarakat sekarang tengah terjerumus ke dalam permasalahan
sosial yang sangat tinggi yaitu jurang immoralitas
yang paling rendah. Antara benar/salah, baik/jahat, moral/amoral menjadi kabur
dan simpang-siur. Perilaku saling melaporkan, saling menuduh dan saling
menyalahkan menjadi santapan berita sehari-hari.
Melihat kaburnya batas-batas moral di
dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, maka kini tidak dapat lagi kita lihat
dari kacamata moralitas yang biasa. Apa yang kini berkembang di dalam
masyarakat Indonesia sekarang ini terbukti seperti apa yang disebut George
Battaille, di dalam bukunya Literature
and Evil (1990), sebagai “hiper-moralitas” yaitu suatu kondisi di mana
ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi, oleh karena situasi yang
berkembang telah melampau batas yang ada.
Masyarakat Indonesia bergerak ke arah
sebuah “krisis legitimasi” seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh Sosiologi yang
mengembangkan teori kontemporer yaitu Jurgen Habermas di dalam Legitimation Crisis (1998), yaitu tidak
didengarnya lagi imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa),
bertindak atas kemauan sendiri atau kelompok.
Perilaku antisosial
Permasalahan yang paling menjamur adalah
sifat antisosial. Antisosial adalah kepribadian seseorang yang menunjukkan
keacuhan, ketidakpedulian dan permusuhan yang seronok kepada orang lain atau
kelompok, terutama yang berkaitan dengan norma sosial dan budaya yang sudah
ditanamkan sejak dahulu. Kelompok antisosial sudah banyak yang merajalela
sekarang ini. Orang atau kelompok yang antisosial biasanya blak-blakan dan
tidak memperdulikan hak orang lain. Hingga antisosial pun tidak bisa dihindari,
entah sampai kapan muncul berbagai hujatan dan prasangka buruk dari berbagai
kelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
Apakah masyarakat kita telah memasuki
wacana kejahatan yang melampaui batas realitas, sebagaimana yang disinyalir
oleh Jean Baudrillard di dalam The
Perfect Crime (1997), di mana kejahatan dan kriminalitas telah berkembang
sedemikian rupa, sehingga mencapai tingkatnya yang sempurna dan tak terelakkan
lagi.
Membangun
imajinasi kolektif bangsa
Sudah saatnya bangsa ini
belajar dari pengalaman yang lalu. Founding
father bangsa ini telah bersusah payah untuk membentuk dasar-dasar negara
Indonesia tercinta ini. Sudah banyak energi kolektif bangsa yang dihabiskan
untuk menghadapi berbagai persoalan dan kepentingan kelompok, golongan, partai,
suku, daerah dan permasalahan agama. Apa
yang berkembang di atas tubuh bangsa ini adalah semacam sikap yang, di satu
pihak, merayakan ego sendiri (ego sentrisme),
mendewakan diri dan kelompok dan yang lain menafikan keberadaan keberagaman.
Ironisnya, imajinasi memecah belah bangsa ini tumbuh subur di masyarakat
akhir-akhir ini, imajinasi yang meruntuhkan fondasi tubuh bangsa Indonesia.
Perlu adanya imajinasi
posititif untuk membentuk tingkat norma dan sosial yang sesuai dengan cita-cita.
Bangsa ini perlu menciptakan imajinasi positif demi masa depan kita sendiri.
Karena pada sesungguhnya, ruang tumbuh-suburnya hasrat, angan-angan, dan
imajinasi positif itulah yang sesungguhnya harus dibangun di atas tubuh bangsa
ini.
Imajinasi ini
harus diwujudkan bersama dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Solusi ini dapat
dimulai dari bawah (down-up), dari
anggota komunitas atau dari atas ke bawah (top-down).
Hingga semua pihak bisa menjadi sumber kedamaian. Mantan Presiden Indonesia Gus
Dur (Abdurahrahman Wahid) berpesan “tak penting apa agama dan sukumu. Kalau
kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah
tanya apa agamamu”.
Sebagai seorang
presiden, tampaknya beliau menjadi imajinasi masa depan cukup tajam, dan perlu
untuk dipahami masyarakat Indonesia. Perubahan sosial hanya dapat berlangsung
bila imajinasi itu bersifat kolektif dan dilakukan oleh seluruh agen perubahan.
Semoga imanjinasi positif segera tercipta dan terlaksana di bangsa ini, hingga
cinta terhadap sesama dan cita-cita bangsa Indonesia bisa terwujudkan.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009