-->

Agustus 04, 2018

Tantangan Moral Bangsa Indonesia


Tatanan moral bangsa kita tampaknya semakin hari semakin terkoyak-koyak oleh berbagai peristiwa kekerasan dan dehumanisasi yang tidak ada akhirnya. Drama demi drama kekeraasan, pembunuhan, perilaku menyimpang berlalu silih berganti, tanpa pernah mengusik nurani bangsa ini.
Belum kering air mata kepedihan tentang kasus pembunuhan di Pulomas sampai pembunuhan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Dimas Dikita Handoko (19) di sebuah rumah kontrakan di Jalan Kebon Baru Blok R Gang II Nomor 29 RT 17 RW 12 Kelurahan Semper Barat, Cilincing, Jakarta, dan banyak lagi kekerasan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kekerasan seakan-akan seperti sebuah serial sinetron yang tidak pernah selesai, dan yang terakhir adalah kericuhan antara FPI (Front Pembela Islam) dan GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) yang membuat nilai dan norma bangsa ini semakin diragukan.

Inilah sebuah bangsa yang sedang “sakit” kata Amien Rais. Bangsa yang memiliki permasalahan hubungan antar kelompok. Pernyataan tersebut bukanlah berlebihan adanya. Bangsa Indonesia sesungguhnya kini tengah tenggelam ke dalam lembah teror, dendam kesumat, kebencian horor dan histeria tanpa terkendali. Masyarakat sekarang tengah terjerumus ke dalam permasalahan sosial yang sangat tinggi yaitu jurang immoralitas yang paling rendah. Antara benar/salah, baik/jahat, moral/amoral menjadi kabur dan simpang-siur. Perilaku saling melaporkan, saling menuduh dan saling menyalahkan menjadi santapan berita sehari-hari.


Melihat kaburnya batas-batas moral di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, maka kini tidak dapat lagi kita lihat dari kacamata moralitas yang biasa. Apa yang kini berkembang di dalam masyarakat Indonesia sekarang ini terbukti seperti apa yang disebut George Battaille, di dalam bukunya Literature and Evil (1990), sebagai “hiper-moralitas” yaitu suatu kondisi di mana ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi, oleh karena situasi yang berkembang telah melampau batas yang ada.

Masyarakat Indonesia bergerak ke arah sebuah “krisis legitimasi” seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh Sosiologi yang mengembangkan teori kontemporer yaitu Jurgen Habermas di dalam Legitimation Crisis (1998), yaitu tidak didengarnya lagi imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa), bertindak atas kemauan sendiri atau kelompok.

Perilaku antisosial

Permasalahan yang paling menjamur adalah sifat antisosial. Antisosial adalah kepribadian seseorang yang menunjukkan keacuhan, ketidakpedulian dan permusuhan yang seronok kepada orang lain atau kelompok, terutama yang berkaitan dengan norma sosial dan budaya yang sudah ditanamkan sejak dahulu. Kelompok antisosial sudah banyak yang merajalela sekarang ini. Orang atau kelompok yang antisosial biasanya blak-blakan dan tidak memperdulikan hak orang lain. Hingga antisosial pun tidak bisa dihindari, entah sampai kapan muncul berbagai hujatan dan prasangka buruk dari berbagai kelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
Apakah masyarakat kita telah memasuki wacana kejahatan yang melampaui batas realitas, sebagaimana yang disinyalir oleh Jean Baudrillard di dalam The Perfect Crime (1997), di mana kejahatan dan kriminalitas telah berkembang sedemikian rupa, sehingga mencapai tingkatnya yang sempurna dan tak terelakkan lagi.

Membangun imajinasi kolektif bangsa
Sudah saatnya bangsa ini belajar dari pengalaman yang lalu. Founding father bangsa ini telah bersusah payah untuk membentuk dasar-dasar negara Indonesia tercinta ini. Sudah banyak energi kolektif bangsa yang dihabiskan untuk menghadapi berbagai persoalan dan kepentingan kelompok, golongan, partai, suku, daerah  dan permasalahan agama. Apa yang berkembang di atas tubuh bangsa ini adalah semacam sikap yang, di satu pihak, merayakan ego sendiri (ego sentrisme), mendewakan diri dan kelompok dan yang lain menafikan keberadaan keberagaman. Ironisnya, imajinasi memecah belah bangsa ini tumbuh subur di masyarakat akhir-akhir ini, imajinasi yang meruntuhkan fondasi tubuh bangsa Indonesia.
Perlu adanya imajinasi posititif untuk membentuk tingkat norma dan sosial yang sesuai dengan cita-cita. Bangsa ini perlu menciptakan imajinasi positif demi masa depan kita sendiri. Karena pada sesungguhnya, ruang tumbuh-suburnya hasrat, angan-angan, dan imajinasi positif itulah yang sesungguhnya harus dibangun di atas tubuh bangsa ini.
Imajinasi ini harus diwujudkan bersama dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Solusi ini dapat dimulai dari bawah (down-up), dari anggota komunitas atau dari atas ke bawah (top-down). Hingga semua pihak bisa menjadi sumber kedamaian. Mantan Presiden Indonesia Gus Dur (Abdurahrahman Wahid) berpesan “tak penting apa agama dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.
Sebagai seorang presiden, tampaknya beliau menjadi imajinasi masa depan cukup tajam, dan perlu untuk dipahami masyarakat Indonesia. Perubahan sosial hanya dapat berlangsung bila imajinasi itu bersifat kolektif dan dilakukan oleh seluruh agen perubahan. Semoga imanjinasi positif segera tercipta dan terlaksana di bangsa ini, hingga cinta terhadap sesama dan cita-cita bangsa Indonesia bisa terwujudkan.

Tags :

bonarsitumorang