-->

Maret 23, 2019

MUSIM POLITIK, SEGERALAH BERLALU

Awal tahun ini kehidupan sosial kita dipenuhi dengan iklan. Ada ribuan sosok yang menawarkan berapa kelebihan tanpa kelemahan. Pagi, siang, malam, selalu menawarkan diri untuk dipilih. Aduh, kadang aku bosan dengan situasi seperti ini. Harapku keadaan ini segera berganti. Ditambah dengan kurangnya kepercayaanku kepada sosok yang kerap menggaungkan kelebihan diri.



Musim ini kusebut musim politik. Di mana – mana akan tertempel sosok yang senyum dan jargon – jargon yang indah, menurutku banyak ambigu dan menyinggung. Membuat hijaunya daun – daun pohon kian layu. Pohon yang rimbun dipaku dan dijadikan alat untuk menebar politik. Wajah – wajah itu tertempel dengan sumringah seakan tanpa ada dosa. Mereka mengatakan cinta ini dan cinta itu, akan ini dan akan itu, dan dalam kegiatan seremonial, mereka pun yang mencintai lingkungan sekalipun, tapi menyalibkan diri di batang – batang pohon yang sudah dirawat berpuluh – puluh tahun, skala tertentu, wajah dan kata – kata mereka seakan menutupi betapa sakitnya dirasakan pohon yang sudah ditancapkan paku tajam ambisius. 
Ilustrasi

Ini tanpa henti. Hari demi hari seakan menjadi semakin banyak warna wajah yang tertempel. Mungkin inilah cara dianggap mampu meningkatkan popularitas. Ruang publik pun sudah dipenuhi dengan bincang – bincang politik. Parlemen warung kopi dan pinggir jalan, seakan tahu daftar dosa para calon. Seakan analisisis mereka sudah menjadi contoh dalam buku “The Death of Expertise” karangan Tom Nichols. Panggung ini menunjukkan matinya kepakaran, menghidupkan apriori, dan menyebar dalam ruang lingkup sosial yang lebih luas. Selain parlemen warung kopi, kritis mengkritisi, berita bohong, dan saling mencaci paling menyeramkan berada di media sosial. Terutama dinding – dinding berbagi informasi daring. Wah, ini bagaikan jamur di musim penghujan. Tiada henti menyebar dan tumbuh bersama tanaman politik. Masuk ke ruang publik kelas atas, menengah, bahkan ke daerah yang terisolir sekalipun. Namanya juga masyarakat informasi. Jika tidak disaring segala informasi seakan benar ditambah dengan matinya panutan kebenaran di republik ini.

Bagaikan ikan kekeringan, akupun sulit memaknai esensi daripada politik yang demokratis. Semakin risau dengan demokrasi seakan tiada yang memayungi. Karena hujan hasut – menghasut dan hoaks sudah sarapan setiap pagi, bacaan siang, dan doa malam hari. Layaknya sebuah aksi sinetron, ada antagonis, protagonis, dan banyak yang memilih menjadi tokoh figuran. Politik kini kehilangan makna untuk mensejahterakan rakyat. Karena sudah dibajak dengan politik ambisius. Entah mengapa untuk saat ini pilihan politikku semakin banyak pertimbangan, antara memilih si x atau si y atau tidak memilih. Dulu, alam pikiranku masih awam akan perpolitikan. Sekarang aku harus dipaksa untuk tahu, sebab segala sudut dan ruang sudah menyediakan informasi ini.

Citra politik sudah dibentuk di berbagai ruang. Bahkan sekarang untuk menunjukkan jaripun dalam eksisnya kehidupan sudah dianggap lawan. Bahkan ayam yang memiliki kaki DUA pun sudah dianggap politik. Batasan politik memang sudah hilang. Bahkan ritual keagamaan pun tampaknya berafiliasi dengan pilihan politik. Aku muak dengan keadaan ini. Kubaca media cetak dan elektronik isinya adalah politik, kulihat TV isinya perdebatan antara surga dan neraka, kudengarkan informasi ruang publik seakan semua menjadi ahli politik. Para pencari suara sudah lupa ada rakyat yang tak makan, ada rakyat yang menjerit kesakitan, ada rakyat yang menangis akibat bencana alam menerpa keluarganya, ada rakyat yang sulit mencari kerja, ada rakyat yang sulit mendapatkan akses negera. Dalam renungku, mungkin ini sebentar karena mereka masih dimabukkan dengan tuak politik.

Imajinasiku citra pelaku politik sudah disuntik dengan kekuatan segala bidang. Modal, tenaga, dan pikiran. Untuk saat ini mereka akan sibuk untuk mengerjakan lahan politik. Jangan heran untuk melewatkan musim ini, kita akan dilupakan. Lahan yang dibeli suatu saat akan dibayarkan dengan panen anggaran. Hingga kepercayaan terhadap mereKa semuanya akan menjadi jenu dalam air. Tak ada yang perlu dibantah. 



Intelektual pun seakan sudah hilang. Sulit menemukan siapa yang menjadi panutan. Karena tidak ada yang mengalah dan meminta maaf. Seakan semua pekerjaan mereka adalah benar. Intelektual seharusnya mampu melahirkan kesahihan sebuah situasi. Bukan lempar batu sembunyi tangan. Kesesakan hati semakin hari bertambah. Sulitnya mencari kebenaran. Aku lebih memilih menjadi lebih apatis akan perpolitikan, karena bisa terbawa kepada sistem sosialku, pertemanan, karir, dan cara pandangku. Tentu ini beralasan, hematku situasi ini akan berakhir beberapa bulan ke depan. Lewat bulan depan, semua akan normal. Penguasa memperlebar kekuasaan, sibuk menghamburkan uang, dan aku akan tetap berada di bawah kekuasaan. Miris bukan?

Jangan salah, belum atau sudah pernah, pandangan politik akan menngalir  kepada sistem sosial yang sangat kompleks. Misalnya, coba saja menyebar sebuah pilihan politik. Akan sangat banyak menjadi lawan politikmu. Ini akan terinternalisasikan dalam capaian karir dan bidang sosial ekonomi lainnya. Ku dengar – dengar segala cara sudah dibuat oleh pelaku politik untuk mendapatkan suara. Dari skala tertentu, nikmatilah musim ini akan segera berakhir.


Tags :

bonarsitumorang