MUSIM POLITIK, SEGERALAH BERLALU
Awal tahun ini kehidupan sosial
kita dipenuhi dengan iklan. Ada ribuan sosok yang menawarkan berapa kelebihan tanpa kelemahan. Pagi,
siang, malam, selalu menawarkan diri untuk dipilih. Aduh, kadang aku bosan
dengan situasi seperti ini. Harapku keadaan ini segera berganti. Ditambah dengan
kurangnya kepercayaanku kepada sosok yang kerap menggaungkan kelebihan diri.
Musim ini kusebut musim politik. Di
mana – mana akan tertempel sosok yang senyum dan jargon – jargon yang indah, menurutku banyak ambigu dan menyinggung. Membuat
hijaunya daun – daun pohon kian layu. Pohon yang rimbun dipaku dan dijadikan alat untuk
menebar politik. Wajah – wajah itu tertempel dengan sumringah seakan tanpa ada
dosa. Mereka mengatakan cinta ini dan cinta itu, akan ini dan akan itu, dan dalam
kegiatan seremonial, mereka pun yang mencintai lingkungan sekalipun, tapi menyalibkan
diri di batang – batang pohon yang sudah dirawat berpuluh – puluh tahun, skala
tertentu, wajah dan kata – kata mereka seakan menutupi betapa sakitnya dirasakan
pohon yang sudah ditancapkan paku tajam ambisius.
![]() |
Ilustrasi |
Ini tanpa henti. Hari demi hari seakan
menjadi semakin banyak warna wajah yang tertempel. Mungkin inilah cara dianggap
mampu meningkatkan popularitas. Ruang publik pun sudah dipenuhi dengan bincang –
bincang politik. Parlemen warung kopi dan pinggir jalan, seakan tahu daftar dosa para calon.
Seakan analisisis mereka sudah menjadi contoh dalam buku “The Death of Expertise”
karangan Tom Nichols. Panggung ini menunjukkan matinya kepakaran, menghidupkan apriori,
dan menyebar dalam ruang lingkup sosial yang lebih luas. Selain parlemen warung
kopi, kritis mengkritisi, berita bohong, dan saling mencaci paling menyeramkan berada di media sosial. Terutama dinding
– dinding berbagi informasi daring. Wah, ini bagaikan jamur di musim
penghujan. Tiada henti menyebar dan tumbuh bersama tanaman politik. Masuk ke ruang publik kelas atas, menengah,
bahkan ke daerah yang terisolir sekalipun. Namanya juga masyarakat informasi.
Jika tidak disaring segala informasi seakan benar ditambah dengan matinya panutan kebenaran di republik ini.
Bagaikan ikan kekeringan, akupun sulit
memaknai esensi daripada politik yang demokratis. Semakin risau dengan
demokrasi seakan tiada yang memayungi. Karena hujan hasut – menghasut dan hoaks sudah
sarapan setiap pagi, bacaan siang, dan doa malam hari. Layaknya sebuah aksi
sinetron, ada antagonis, protagonis, dan banyak yang memilih menjadi tokoh
figuran. Politik kini kehilangan makna untuk mensejahterakan rakyat. Karena sudah
dibajak dengan politik ambisius. Entah mengapa untuk saat ini pilihan politikku
semakin banyak pertimbangan, antara memilih si x atau si y atau tidak memilih. Dulu,
alam pikiranku masih awam akan perpolitikan. Sekarang aku harus dipaksa untuk tahu,
sebab segala sudut dan ruang sudah menyediakan informasi ini.
Citra politik sudah dibentuk di
berbagai ruang. Bahkan sekarang untuk menunjukkan jaripun dalam eksisnya kehidupan
sudah dianggap lawan. Bahkan ayam yang memiliki kaki DUA pun sudah dianggap
politik. Batasan politik memang sudah hilang. Bahkan ritual keagamaan pun tampaknya berafiliasi
dengan pilihan politik. Aku muak dengan keadaan ini. Kubaca media cetak dan
elektronik isinya adalah politik, kulihat TV isinya perdebatan antara surga dan neraka, kudengarkan informasi ruang publik seakan semua menjadi ahli politik.
Para pencari suara sudah lupa ada rakyat yang tak makan, ada rakyat yang
menjerit kesakitan, ada rakyat yang menangis akibat bencana alam menerpa keluarganya, ada rakyat yang sulit mencari
kerja, ada rakyat yang sulit mendapatkan akses negera. Dalam renungku, mungkin
ini sebentar karena mereka masih dimabukkan dengan tuak politik.
Imajinasiku citra pelaku politik
sudah disuntik dengan kekuatan segala bidang. Modal, tenaga, dan pikiran. Untuk
saat ini mereka akan sibuk untuk mengerjakan lahan politik. Jangan heran untuk melewatkan musim ini, kita akan dilupakan. Lahan yang dibeli
suatu saat akan dibayarkan dengan panen anggaran. Hingga kepercayaan terhadap mereKa semuanya akan menjadi
jenu dalam air. Tak ada yang perlu dibantah.
Intelektual pun seakan sudah
hilang. Sulit menemukan siapa yang menjadi panutan. Karena tidak ada yang
mengalah dan meminta maaf. Seakan semua pekerjaan mereka adalah benar. Intelektual
seharusnya mampu melahirkan kesahihan sebuah situasi. Bukan lempar batu
sembunyi tangan. Kesesakan hati semakin hari bertambah. Sulitnya mencari
kebenaran. Aku lebih memilih menjadi lebih apatis akan perpolitikan, karena
bisa terbawa kepada sistem sosialku, pertemanan, karir, dan cara pandangku. Tentu
ini beralasan, hematku situasi ini akan berakhir beberapa bulan ke depan. Lewat
bulan depan, semua akan normal. Penguasa memperlebar kekuasaan, sibuk
menghamburkan uang, dan aku akan tetap berada di bawah kekuasaan. Miris bukan?
Jangan salah, belum atau sudah
pernah, pandangan politik akan menngalir kepada sistem sosial yang sangat kompleks.
Misalnya, coba saja menyebar sebuah pilihan politik. Akan sangat banyak menjadi
lawan politikmu. Ini akan terinternalisasikan dalam capaian karir dan bidang sosial ekonomi lainnya. Ku dengar – dengar segala cara sudah dibuat oleh pelaku
politik untuk mendapatkan suara. Dari skala tertentu, nikmatilah musim ini akan
segera berakhir.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009