-->

Oktober 29, 2019

Kultur BerGawai Terhadap Ruang Sosial

Percaya atau tidak gawai menjadi alat yang paling ba­nyak digunakan oleh manusia sekarang ini. Gawai seperti te­le­pon genggam telah menguasai segala interaksi manusia sekarang. Tidak memandang usia gawai mampu mem­pe­nga­ruhi setiap unsur aktifitas baik tua dan muda. Bahkan gawai telah menjadi candu bagaikan narkoba. Tidak bisa dipungkiri lagi gawai telah mengakibatkan permasalahan besar bagi manu­sia, bahkan anak - anak sudah menjadi korban.

Sering kita temukan fakta di kehidupan sehari - hari, eks­peri­men sendiri saat naik angkutan umum, di ruang sosial, bincang - bincang, dan bahkan ke aktifitas normal sekalipun gawai tetap menjadi momok perhatian.
 Fenomena seperti ini sudah diprediksi oleh seorang pemi­kir Sosiologi Herbert Marcuse dalam bukunya Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global yang mengatakan ke depannya akan ada alat yang membuat manusia menjadi satu dimensi. Jelas karya tersebut telah hadir di tengah - tengah kita saat ini. Manusia satu dimensi selalu mengangkungkan kehidupan serba otomatisasi dan teknologisasi.
Kecemasan besar telah menebar aspek sosio-kultural, se­ngit, kejam, dan sudah berakar dalam setiap individu. Yang disentuh saat ini adalah urat nadi dan jantung kehidupan manusia. Manusia telah ‘sakit’ dibuat oleh gawai, sebut saja merebaknya cyberbullyng, compulsive online - shopping, cyber­suciade, internet - gaming disorder, dan paling dekat adalah mengurangi simpati sese­orang. Keadaan chaos itu jika ti­dak se­gera dikritisi dan dicari solusinya bisa saja menjadi ma­salah terbesar bagi bangsa, bahkan bagi masyarakat global.
Kita sudah sampai pada tahap seperti apa yang disampaikan pemikir terkenal Martin Heidegger menyebut bahwa keha­dir­an gawai memaksa manusia berpikir kalkultif “tidak berpikir’ dan bahkan “menghindar dari berpikir”. Padahal se­cara spiritual keberadaan benda yang merupakan hasil cipta dan karsa manusia seharusnya mampu menguasai dan mengendalikan ciptaannya sendiri. Filosofi manusia sudah tidak mampu menguasai ciptaannya dan menyebabkan masalah sendiri. Manusia mulai ter­singkir dan disingkirkan, terasing dan diasingkan oleh gawai. Manusia berlebihan terpesona terhadap gawai sehingga tak ada lagi rasa takut akan kehilangan jati diri.
Telepon genggam mampu merubah kehidupan sosial, ia mam­pu menggantikan peran orangtua, sahabat, guru, do­sen, pemilik usaha, yang paling tragis mampu mengisi kekosongan jiwa seseorang. Tanpa telepon genggam manusia akan terasa aneh sendiri dengan sekitar­nya. Karena dalam telepon genggam mampu menjalin komunikasi, data, isi pikiran, dan bah­kan nilai estetika seseorang mampu dilihat dari gawai. Kon­disi seperti apapun kita tetap mengutamakan gawai sebagai teman hidup.
Jangankan kehidupan yang bersifat privasi, suasana politik Indonesia yang menganut sistem demokrasi pun sangat tidak mungkin dipisahkan dari telepon genggam. Sudah menjadi suatu fakta dewasa ini, perilaku (behavior) perpolitikan lebis eksis dan efisien dengan menggunakan gawai. Menebar ke­ben­cian (stigma, prejudice, dan stereotype)hoaks, tingkah la­ku menyimpang (destruktive) sudah menjadi sarapan media mana pun di pagi hari. Pelaku politik menggunakan gawai sebagai alat me­nguji elektabilitas dan popularitas, menyu­dutkan pihak lawan, alat menyampaikan ujaran kebencian, dan alat me­nyampaikan aspirasi. Gawai menguasai dan mele­gi­timasi filosofi, ontologis, dan rasional untuk menindas pihak lawan.
Gawai Sebagai Kebutuhan
Sekarang Amerika Serikat telah me­nyambut jaringan 5G. Di 30 kota di negara Paman Sam ini sudah menggunakan 5G. Tentu langkah ini akan secepat mungkin menjalar ke penjuru dunia. Dunia teknologi selalu haus dengan perubahan dan tidak akan pernah hilang pernyataan internet of things (IOT). Sungguh aneh bin ajaib bahwa alat paling mudah meng­akses internet of things ini adalah gawai.
Sekarang gawai sebagai kebutuhan primer. Nalar pelajar tidak akan jalan jika tidak memiliki gawai. Anak muda akan kehi­langan konsentrasinya dan kinerja­nya jika gawainya secara tidak sengaja tinggal di rumah. Orangtua tidak akan eksis dalam wahana interaksinya jika tidak ada gawai. Inilah yang disebut gawai sebagai kebutuhan. Jarang sekali jaman sekarang anak didik menangis karena tidak memiliki buku, lebih baik ada alat ini dibandingkan buku. Ketika citra dan nilai sudah dikondisikan de­ngan gawai maka sarana tersebut akan me­nguasai seluruh hidup manusia. Semakin pintar tele­pon itu, maka semakin sulit menggunakan pikiran rasional kita. Memang di era cociety information (ma­sya­rakat infor­masi), gawai menjadi alat komunikasi yang paling efisien dan akan te­tap menjadi imanen (selalu hadir) da­lam kehidupan manusia.
Selain itu alat ini menjadi sebuah kebutuhan palsu. Menurut tokoh pemikir Jerman Rofl Wiggershaus dalam bukunya yang berjudul Die Frankfurter Shule mendefenisikan kebutuhan palsu adalah suatu keperluan yang dibebankan oleh aneka kepentingan sosial tertentu kepada semua individu dengan maksud me­nindas dan menggerogoti diri sendiri. Kalau Karl Marx tokoh pemikir komunis mengatakan manusia teralienasi oleh pekerjaan, sekarang alienasi itu bukan dari sektor kerja lagi, paling hebat ada­lah alienasi telepon genggam. Duduklah dalam sebuah tempat makan, cobalah menyapa sesamamu saat di angkutan umum, berbicaralah saat kamu berada di halte, maka pada saat itu juga kamu akan terasing sendiri. Karena orang akan merasa ‘aneh’ jika saat makan, saat berada di ang­kut­an umum, saat berada di halte dan mencoba membangun komunikasi langsung. Inilah menjadi salah satu realitas kebu­tuhan palsu.
Belajar Lebih Humanis
Perlu merenung dan mengambil keputusan. Humanis ada­lah stempel hidup manusia untuk mendambakan dan mem­perjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas prikemanusiaan, pengabdi kepen­tingan sesama manusia. Gawai harus menjadi alat menghu­bungkan kita dengan quasi ilahi. Kesadaran religius bahwa segala karsa harus mampu memberikan kebaikan.
Sebagai mahkluk yang imajiner, kita harus tetap membe­rikan celah dan ruang gerak pro-sosial (saling mem­bantu), meningkatkan simpati setiap interaksi terhadap adanya perkembangan teknologi. Kita harus berdalih ke dalam kehi­dupan yang hakiki yang mengutamakan peluang hidup bebas. Kita jangan lagi diperhamba oleh peranti tersebut.
Jangan sampai seni hidup yang kita miliki hilang dan mata kita buta. Cukup sudah kita berdramaturgi, manusia harus menunjukkan panggung depan dengan menjadikan gawai di bawah nalar kita. Ketika kita memahami (inherent) kebe­ra­da­annya, maka gawai tak akan pernah merusak jati diri. Kita tetap menjadi manusia humanis tanpa batas waktu.

Tulisan ini sudah diterbitkan di koran Analisa Medan



Tags :

bonarsitumorang