Kultur BerGawai Terhadap Ruang Sosial
Percaya atau tidak gawai menjadi alat yang
paling banyak digunakan oleh manusia sekarang ini. Gawai seperti telepon
genggam telah menguasai segala interaksi manusia sekarang. Tidak memandang usia
gawai mampu mempengaruhi setiap unsur aktifitas baik tua dan muda. Bahkan
gawai telah menjadi candu bagaikan narkoba. Tidak bisa dipungkiri lagi gawai
telah mengakibatkan permasalahan besar bagi manusia, bahkan anak - anak sudah
menjadi korban.
Sering kita temukan fakta di kehidupan sehari - hari, eksperimen sendiri
saat naik angkutan umum, di ruang sosial, bincang - bincang, dan bahkan ke aktifitas normal sekalipun gawai tetap menjadi momok perhatian.
Fenomena seperti ini sudah diprediksi oleh seorang pemikir Sosiologi Herbert Marcuse dalam bukunya Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global yang mengatakan ke depannya akan ada alat yang membuat manusia menjadi satu dimensi. Jelas karya tersebut telah hadir di tengah - tengah kita saat ini. Manusia satu dimensi selalu mengangkungkan kehidupan serba otomatisasi dan teknologisasi.
Fenomena seperti ini sudah diprediksi oleh seorang pemikir Sosiologi Herbert Marcuse dalam bukunya Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global yang mengatakan ke depannya akan ada alat yang membuat manusia menjadi satu dimensi. Jelas karya tersebut telah hadir di tengah - tengah kita saat ini. Manusia satu dimensi selalu mengangkungkan kehidupan serba otomatisasi dan teknologisasi.
Kecemasan besar telah menebar aspek sosio-kultural, sengit, kejam, dan
sudah berakar dalam setiap individu. Yang disentuh saat ini adalah urat nadi
dan jantung kehidupan manusia. Manusia telah ‘sakit’ dibuat oleh gawai, sebut
saja merebaknya cyberbullyng,
compulsive online - shopping, cybersuciade, internet - gaming disorder, dan
paling dekat adalah mengurangi simpati seseorang. Keadaan chaos itu jika tidak
segera dikritisi dan dicari solusinya bisa saja menjadi masalah terbesar bagi
bangsa, bahkan bagi masyarakat global.
Kita sudah sampai pada tahap seperti apa yang disampaikan pemikir
terkenal Martin Heidegger menyebut bahwa kehadiran gawai memaksa manusia
berpikir kalkultif “tidak berpikir’ dan bahkan “menghindar dari berpikir”.
Padahal secara spiritual keberadaan benda yang merupakan hasil cipta dan karsa
manusia seharusnya mampu menguasai dan mengendalikan ciptaannya sendiri.
Filosofi manusia sudah tidak mampu menguasai ciptaannya dan menyebabkan masalah
sendiri. Manusia mulai tersingkir dan disingkirkan, terasing dan diasingkan
oleh gawai. Manusia berlebihan terpesona terhadap gawai sehingga tak ada lagi
rasa takut akan kehilangan jati diri.
Telepon genggam mampu merubah kehidupan sosial, ia mampu menggantikan
peran orangtua, sahabat, guru, dosen, pemilik usaha, yang paling tragis mampu
mengisi kekosongan jiwa seseorang. Tanpa telepon genggam manusia akan terasa
aneh sendiri dengan sekitarnya. Karena dalam telepon genggam mampu menjalin
komunikasi, data, isi pikiran, dan bahkan nilai estetika seseorang mampu
dilihat dari gawai. Kondisi seperti apapun kita tetap mengutamakan gawai
sebagai teman hidup.
Jangankan kehidupan yang bersifat privasi, suasana politik Indonesia
yang menganut sistem demokrasi pun sangat tidak mungkin dipisahkan dari telepon
genggam. Sudah menjadi suatu fakta dewasa ini, perilaku (behavior) perpolitikan
lebis eksis dan efisien dengan menggunakan gawai. Menebar kebencian (stigma, prejudice, dan stereotype), hoaks, tingkah laku
menyimpang (destruktive) sudah
menjadi sarapan media mana pun di pagi hari. Pelaku politik menggunakan gawai
sebagai alat menguji elektabilitas dan popularitas, menyudutkan pihak lawan,
alat menyampaikan ujaran kebencian, dan alat menyampaikan aspirasi. Gawai
menguasai dan melegitimasi filosofi, ontologis, dan rasional untuk menindas
pihak lawan.
Gawai Sebagai
Kebutuhan
Sekarang Amerika Serikat telah menyambut jaringan 5G. Di 30 kota di
negara Paman Sam ini sudah menggunakan 5G. Tentu langkah ini akan secepat
mungkin menjalar ke penjuru dunia. Dunia teknologi selalu haus dengan perubahan
dan tidak akan pernah hilang pernyataan internet
of things (IOT). Sungguh aneh bin ajaib bahwa alat paling
mudah mengakses internet
of things ini adalah gawai.
Sekarang gawai sebagai kebutuhan primer. Nalar pelajar tidak akan jalan
jika tidak memiliki gawai. Anak muda akan kehilangan konsentrasinya dan
kinerjanya jika gawainya secara tidak sengaja tinggal di rumah. Orangtua tidak
akan eksis dalam wahana interaksinya jika tidak ada gawai. Inilah yang disebut
gawai sebagai kebutuhan. Jarang sekali jaman sekarang anak didik menangis
karena tidak memiliki buku, lebih baik ada alat ini dibandingkan buku. Ketika
citra dan nilai sudah dikondisikan dengan gawai maka sarana tersebut akan menguasai
seluruh hidup manusia. Semakin pintar telepon itu, maka semakin sulit
menggunakan pikiran rasional kita. Memang di era cociety information (masyarakat
informasi), gawai menjadi alat komunikasi yang paling efisien dan akan tetap
menjadi imanen (selalu hadir) dalam kehidupan manusia.
Selain itu alat ini menjadi sebuah kebutuhan palsu. Menurut tokoh
pemikir Jerman Rofl
Wiggershaus dalam bukunya yang berjudul Die Frankfurter Shule mendefenisikan
kebutuhan palsu adalah suatu keperluan yang dibebankan oleh aneka kepentingan sosial
tertentu kepada semua individu dengan maksud menindas dan menggerogoti diri
sendiri. Kalau Karl Marx tokoh pemikir komunis mengatakan manusia teralienasi
oleh pekerjaan, sekarang alienasi itu bukan dari sektor kerja lagi, paling
hebat adalah alienasi telepon genggam. Duduklah dalam sebuah tempat makan,
cobalah menyapa sesamamu saat di angkutan umum, berbicaralah saat kamu berada
di halte, maka pada saat itu juga kamu akan terasing sendiri. Karena orang akan
merasa ‘aneh’ jika saat makan, saat berada di angkutan umum, saat berada di
halte dan mencoba membangun komunikasi langsung. Inilah menjadi salah satu
realitas kebutuhan palsu.
Belajar Lebih
Humanis
Perlu merenung dan mengambil keputusan. Humanis adalah stempel hidup
manusia untuk mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang
lebih baik, berdasarkan asas prikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama
manusia. Gawai harus menjadi alat menghubungkan kita dengan quasi ilahi. Kesadaran
religius bahwa segala karsa harus mampu memberikan kebaikan.


Sebagai mahkluk yang imajiner, kita harus tetap memberikan celah dan
ruang gerak pro-sosial (saling membantu), meningkatkan simpati setiap
interaksi terhadap adanya perkembangan teknologi. Kita harus berdalih ke dalam
kehidupan yang hakiki yang mengutamakan peluang hidup bebas. Kita jangan lagi
diperhamba oleh peranti tersebut.
Jangan sampai seni hidup yang kita miliki hilang dan mata kita buta.
Cukup sudah kita berdramaturgi, manusia harus menunjukkan panggung depan dengan
menjadikan gawai di bawah nalar kita. Ketika kita memahami (inherent) keberadaannya,
maka gawai tak akan pernah merusak jati diri. Kita tetap menjadi manusia
humanis tanpa batas waktu.
Tulisan ini sudah diterbitkan di koran Analisa Medan
Tulisan ini sudah diterbitkan di koran Analisa Medan
Tags : Jurnal Sosiologi