KELUARGA SEBAGAI AGEN PERUBAHAN
Sudah menjadi suatu fakta dewasa ini, perilaku (behavior) manusia sudah di luar kebiasaan sosial. Terorisme, menebar kebencian (stigma, prejudice, dan streotype) sudah menjadi sarapan pagi dalam berita lokal, nasional, bahkan media internet sekalipun. Tingkah laku menyimpang (destruktive) sudah sangat menjadi hal biasa kita temukan.
Serang-menyerang, hakim-menghakimi, membenci kebenaran yang hakiki dan menyerang hukum. Menganggap dirinya selalu benar dan cerdik dalam menilai kelemahhan orang lain. Individu yang sekarang sudah menjadi manusia satu dimensi (mengikuti apa saja yang fenomenal), bahkan di luar dugaan sikap tolong-menolong (pro social) sangat minim temukan kehidupan yang berdampingan sekarang ini. Dengan penuh pengamatan, bahwa dunia maya menjadi lebih muncul ke permukaan daripada kehidupan nyata.
Proposisi Herbet Spencer yang menyebutkan, “Who is strong is, he who survives” menjadi kenyataan bahwa yang lemah akan selalu tertindas, dan yang kuat akan merajalela. Paling menghebohkan lagi keadaan itu sepertinya tidak punya solusi lagi dan kepercayaan terhadap pemegang kendali (stake holder) hilang. Kepercayaan tersebut hilang punya sebab, karena tugas yang diamanahkan tidak dikerjakan sesuai visi dan misi yang sudah dijanjikan yang menjadi kewajiban yang tertulis. Pengaruh meleburkan agama dengan politik, perilaku korupsi, apatisme yang merajalela, budaya permisif tanpa saringan menjadi tantangan terberat bagi para pemimpin negara.
Banyak solusi yang muncul dipermukaan untuk mengatasi masalah sosial yang ada sekarang ini. Ketakutan akan menyebarnya konflik sosial mulai dipikirkan dengan matang. Sudah banyak agenda pemerintah yang sudah bisa kita lihat untuk mengantisipasi keadaan tersebut. Namun, melihat keefektifan lembaga sosial sekarang yang sarat dengan cobaan, bisa saja runtuh dan goyah.
Negara Indonesia adalah negara hukum, memiliki dasar negara, dan punya garis-garis besar yang harus diikuti sesuai dengan tujuan UUD 1945. Seluruh masyarakat Indonesia harus bisa menjadi “solution maker” dalam pergejolakan nasional bahkan internasional. Hingga amanat yang diberikan “founding father” kita tidak menjadi intuisi saja bagi banyak orang, namun menjadi tugas semua orang. Umpama orang Pakpak salah satu suku di Sumatera Utara mengakatan “Mela oda pande pemendeken, mencedai giam unang” yang artinya “Jika tidak bisa membangun (memperbaiki), jangan merusak”. Harapan dari umpama itu adalah semua orang menjadi agen perubahan (agent of change) bagi kemajuan bangsa bukan menjadi perusak.
Keluarga sebagai Solution Maker
Tentunya dalam setiap kritik harus diikuti dengan solusi. Solusi menurut penulis di sini adalah berdasarkan pengalaman empiris dalam kehidupan sehari-hari. Agen perubahan yang paling jelas adalah keluarga. Keluarga menjadi aktor penting dalam perubahan, sebagai kelompok sosial yang terkecil, memiliki tujuan, ikatan dan tempat menanamkan nilai dan norma bagi setiap anggotanya. Jika dimulai dari keluarga dan melebur menjadi masyarakat, tentunya nilai dan norma yang sudah ditanamkan di dalam keluarga akan menjadi sebuah bukti dalam maysarakat.
Namun, banyak yang gagal fokus atas prinsip berinteraksi dalam hidup berdampingan dan bernaneka ragam. Kebanyakan ingin membangun, berinteraksi, dimulai dari negara - ke lingkungan - ke keluarga baru ke dirinya sendiri. Sebuah kesalahan yang besar, karena yang terpenting sekarang alurnya adalah membangun hal yang kecil menuju yang besar. Ekperimen yang didasari dengan hal yang kecil menuju yang besar akan memiliki fondasi yang kuat saat ada goncangan.
Buku yang sangat terkenal tentang keluarga dari berjudul Tujuh Kebiasaan Keluarga yang Sangat Efektif karangan Stephen R. Covey yang ingin membangun perilaku baik dari budaya harmonis di dunia yang tengah bergejolak. Adapun menjadi kebiasaan itu adalah bersikap proaktif; memulai dengan memikirkan tujuan; mendahulukan hal-hal yang utama; berpikiran untuk menang-menang; berusaha untuk memahami dahulu, baru dipahami, bersinergi dan mengasah gergajinya. Ketujuh kebiasaan ini menjadi jika dilakukan akan besar pengaruhnya terhadap lingkungan kita sendiri bahkan akan modal pembangunan manusia yang akan berpengaruh besar bagi negara.
Bukan tanpa alasan, jika di dalam keluarga yang tidak harmonis akan melahirkan anggota masyarakat yang tidak harmonis juga. Melampiaskan kegagalan keluarga ke masyarakat. Kehidupan yang tertekan dalam keluarga bisa saja menjadi penyebab mencari kebebasan dalam masyarakat. Karena anggota keluarga yang tidak terpeniuhi fungsinya, maka akan menjadi disfungsi dalam masyarakat.
Dengan menciptakan hidup berdasarkan sebuah pernyataan misi, keluarga menjadi mampu membangun keputusan moral, menyangkal paham radikalisme, dan mengeluarkan energi positif untuk kemajuan bangsa. Prof. Dr. Ing. Bacharudin Jusuf Habibie menyampaikan bahwa untuk menjadi pemimpin dimulai dari keluarga, organisasi, kelurahan, gubernur sampai ke presiden. Memulai pembangunan dari akarnya, memiliki mentalitas baja, demi perubahan Indonesia yang lebih baik.
*Tulisan ini sudah diterbitkan di koran Analisa Medan
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009