-->

Agustus 16, 2020

Sejarah Masalah Kuli, Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan Perkebunan di Sumatera Timur

BAB I PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur merupakan daerah perkebunan Tembakau, Karet, Kelapa Sawit). Daerah Sumatera Timur merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J. Nienhuys membuka perkebunan Tembakau disana, tahun 1864. Tembakau Deli yang menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa. Perkebunan di Sumatera Timur yang begitu luas membuat kekurangan tenaga kerja.


Perkebunan besar (onderneming) di Sumatra Timur yang dirintis oleh Nienhuys, membawa tanaman Tembakau dan menanamnya di lahan Sumatra Timur melalui kontrak tanah dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun. Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah Tembakau yang sangat terkenal di pasaran Tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.

Berkembangnya perkebunan besar di Sumatera Timur pada pertengahan abad XIX telah menarik penguasaha-penguasa prkebunana untuk menanamkan modalnya disana. Orang-orang kulit putih datang kesana untuk membuka dan menjadi penguasaha perkebunan, orang Cina, Jawa india datang sebagai buruh dan orang minagkabau dan Mandailing merantau untuk berdagang. Hidup mereka tergantung pada imbalan yang diterima dari hasil kerja yang hanya pas-pasan. Semua gaji yang diterima habis untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Digambarkan bahwa upah yang diterima oleh buruh sebanyak 35 sen sehari sementara  kerjaan mereka terus menerus di tambah. Hal tersebut ternyata memicu konflik yang di akibatkan oleh ordonansi kuli.

Pada makalah ini kami akan membahas mengenai bab 6 pada referensi yang di berikan yaitu mengenai “Masalah Kuli, Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan”

BAB II PEMBAHASAN

 

Publisitas dan Pembentukan Pendapat Umum

Brosur yang di umumkan Van Den Brand pada 1902 segera mengundang pembicaraan hebat dimana-mana. Reaksi paling keras tentu reaksi yang timbul di Sumatera Timur dan semua itu reaksi negatif. Dengan segera penulis yang di cela orang dimana-mana itupun mengatakan tak akan menanggapi pers setempat yang telah melancarkan caci maki dan fitnah terhadapnya. Karena para pengusaha di Medan memasang iklan berisi pernyataan bahwa mereka tak ingin lagi berhubungan dengan Van Den Brand.

Pers yang propemerintah di Belanda pun hampir sama saja sikapnya yaitu bermusuhan. Banyak mantan tuan kebun dan pensiunan pejabat pemerintah mengangkat pena dan berceramah untuk menyatakan bahwa mereka tak bersalah dan mengungkapkan kemarahakn terhadap ftnah yang di lontarkan oleh Van Den Brand. Tidak ada masalah apa-apa selama ceramah dilakukan di hadapan pendengar yang jelas berjiwa kolonial dan sejak semula tak mau tahu tentang segi negatif dalam mengembangkan Sumatera Timur.

Banyak tajuk rencana surat kabar menyatakan Van Den Brand terlalu membesar-besarkan dan ia tidak memiliki cukup bukti tetang kejelekan yang di bicarakannya. Sebaliknya, harian dan mingguan oposisi yang dekat dengan SDAP menunjukkan sikap yang jauh lebih kritis. Dalam kongres kedokteran di Paris, Dokter Tschudnowsky yang baru saja pulang ke eropa menceritakan bahwa di Deli peradaban diajarkan kepada orang pribumi dan orang cina lewat pukulan tongkat, alkohol, dan sifilis (Tschudnowsky 1899:19) majalah Frankfruter Zeitung menyiarkan cerita bersambung yang menguraikan cara-cara tuan kebun Belanda bertindak sebagai algojo yang brutal (De Indische Gids 1903. 1:108-12). Sementara itu dibawah tekanan pers yang sejak lama sudah memusuhi kelompok tuan kebun di Sumatera Timur, para pejabat Tinggi Inggris di Malaka mengancam mencabut izin mengerahkan kuli cina ke Deli (W.1905:90-1).

Dalam debat kritis yang kemudian terjadi, Menteri menyatakan bahwa ia pun mengharapkan agar pada masa mendatang tidak ada lagi ordinasi kuli (Handeling Tweede Kamer, 24-11-1903: 458). Rhemrev tidak menyebutkan kapan ia mengakhiri penyelidikannya dan berapa lama ia berada di Sumatera Timur. Pendek kata, ia kembali ke Batavia sebelum akhir tahun, dan pada awal 1904 ia merampungkan laporannya sebelum mulai membicarakan bagaimana laporannya itu di sambut dan dibicarakan orang di Belanda dan Hindia-Belanda, serta diskusi di kalangan pemegang kebijakan mengenai konsekuensi yang bisa timbul dari penemuan itu, terlebih dahulu saya akan membahas kerja Rhemrev dalam melaksanakan tugasnya.

Pemeriksaan Administrative dan Kehakiman di Sumatera Utara

Mula-mula Rhemrev mengkaji apa apa yang menjadi tugasnya .Begitu ia tiba ,van den brand ,yang ketika itu masih di medan ,menyampaikan padanya rincian lebih lanjut tentang penganiayaan oleh para tuan kebun lengkap dengan nama-namanya yang sering kali tidak dituntut sebagaimana mestinya .

Tugas Rhemrev yang jauh lebih rumit adalah menyelididki apakah van den brand tidak melebih –lebihkan tuduhannya terhadapa para tuan kebun ,antara lain merampas kemerdekaan kuli secar tidak sah dan menganiaya rupa hingga kadang –kadang berubah menjadi kekejaman di luar batas perikemanusiaan.Rhemrev mengakui ,jurang antara dirinya dan para informasi tak dapat dijembatani,sekalipun kini hidup bebas,pekerja itu sudahberpengalaman untuk tidak mempercayai orang eropa .maklum ,kuli-kuli itu tidak berdaya menghadapi para majikannya ,sedangkan para pejabat pemerintah tak mau mendengarkan keluhan mereka .sebaliknya ,keluhan mereka tidak disukai pejabat.

Rhemrev pun memilih menggunakan mata-mata yaitu orang kepercayaan yang harus mengumpulkan keterangan yang diperlukannya untuk itu ia memperkerjakan beberapa orang yang sudah lama berdinas dan oleh residen diperbantukan kepadanya ,satu orang cina yang dapat berbicara dalam bahasa-indonesia pribumi dan sudah pernah melakukan pekerjaan seperti itu serta beberapa pekerja bebas(seorang palayan kandang) dan seorang tukang daging ,yag pernah menjadi kuli kontrak ,mereka diberi petunjuk bagaimana mereka harus bekerja.

Mata –mata itu tidak boleh menyebutkan identitasnya kepada siapapun .Tugasnya adalah mewawancarai kuli-kuli diperkebunan ,baik selagi berada di kedai dan lading selagi beristirahat,maupun pada malam hari ditempat-tempat berkumpul yang umum.Mereka juga harus mengorek keterangan dari orang-orang yang dahulu bekerja sebagai kuli kontrak (rhemrev 1904:1334).

Rhemrev yakin bahwa cara yang ditempuhnya sudah benar.Ia tidak ragu ,bahwa dengan menggunakan mata-mata kebenaran dapat diungkapkan .Namun demikian ,ia merasa perlu memeriksa kembali cara kerjanya secara drastic. Alasan pertama untuk itu adalah ,jumlah kejahatan yang diketahuinya menjadi sangat banyak higga mustahil ia dapat menanganinya sendiri waktu yang harus digun,mungkin juga bertahun-tahun ,lagi pula ia tak akan dapat meneruskan pemerksaan administrative yang merupakan alasan pokoknya..Rhemrev memberi perhatian khusus pada pertayaan apakah para pejabat kehakiman melanggar pelaksanaan ordonasi kuli. Dalam hal ini tuduhan van den brand ternyata juga benar.Satu keluhan tertulis dariseorang majikan sudah cukup untuk menghadapi hukuman. 

 

Pemerintah Hindia Lamban

Pada 18 januari 1904 laporan yang dibuat oleh Rhemrev di berikan kepada Gubernur  Jendral Roose boom, lalu pada 31 januari laporan sampai kepada Mentri Daerah Jajahan (ARA,Vb.28-1-1905,No.6). Banyak lampiran antara lain proses verbal hasil pemeriksa jasa itu di tinggal di Batavia. Dari dokumen-dokumen yang ada, tidak dapat di simpulkan apakah lampiran tersebut pernah di teruskan atau pernah diminta oleh Kementrian Daerah Jajahan. Dalam surat pengantarnya Gubernur Jendral tidak memberi komentar beliau hanya menyebutkan beberapa saran konkret dari Rhemrev dan melaporkan tindakan yang diambil. Rekomendasi yang di kutipnya dari laporan itu adala 

1.      Penunjukan pejabat khusus yang bertugas mengawasi pelaksanaan ordonasi kuli.

2.      Pembentukan Pengadilan Tinggi dan Medan,

3.      Perbaikan upah kuli perempuan, dan

4.      Peningkatan kekuatan kepolisian

Pembahasan yang paling mendalam adalah pembahasan mengenai masalah yang pertama, yaitu Pembentukan Inspeksi Perburuhan tersendiri. Gubernur Jendral menambahkan satu momerendum yang ditulis oleh kepala Departemen Kehakiman tertanggal 3 juni 1902, dalam momerendum itu kepala Deparetemen Kehakiman mengusulkan pembentukan suatu kantor di bawah Departemen Kehakiman untuk mengawasi pelaksanaan ordonasi kuli (ARA,Vb.14-3-1904,No.8). Menurutnya, kepala kantor yang akan diangkat perlu memiliki pangkat yang sederajat dengan presiden, yaitu pejabat tertinggi di suatu daerah. Menurut pendapatnya yang paling tepat adalah para pejabat urusuan Cina di berbagai daerah yang memang sudah berada di bewah kekuasaan Departemen Kehakiman.

Memorandum yang tidak menyebutkan orang yang ia pilih namun sudah ada dibayangkannya jelas bahwa orang yang dimaksudnya yang tidak lain adalah Hoetink. Dewan Hindia jelas sangat setuju usul itu bahkan menyebutkan dalam advisnya bahwa sejak berlakunya ordonansi kuli pada 1880, paling tidak telah dihimpun uang sejumlah satu setengah juta gulden untuk ongkos registrasi yang dibayar oleh para kuli sendiri tanpa imbalan sedikit pun untuk mereka. Dengan alasan itu pula Dewan menyatakan setuju sekali bahwa inspektorat itu diletakkan di bawah Kekuasaan Departemen Kehakiman. Ia pun mendukung Hoetink  sebagai calon inspektu rkepala. Kebetulan ia memang pernah melaksanakan tugas-tugas itu dan hasilnya sangat memuaskan.

Sesudah menerima rekomendasi tersebut Gubernur Jendral menyatakan bersedia mengangkat Hoetink, sekali pun dengan pangkat yang lebih rendah, di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri (surat kepada kepala Departemen Kehakiman 12-11-1902, No. 4004). Pada maret 1903 Hoetink menyatakan bahwa ia tidak berminat pangkat dari kepala departemen kehakiman. Para pejabat kementrian di Den Haag jengkel karena sampai dua kali Dewan Hindia menghalangi ditetapkannya ordonansi yang baru padahal kepala Departemen Pemerintahan Dalam Negeri sudah menerima tanda setuju dari sekretariat umum pemerintah Hindia-Belanda (ARA,Vb.14-3-1904,No.8/766).

Pada waktu itu bukan lagi mempersoalkan pembentukan inspeksi perburuhan, melainkan bidang kegiatannya (di seluruh Hindia atau untuk permulaan hanya di Sumatera Timur), dan terutama statusnya di dalam aparat kolinial (tersendiri atau sebagai bagian dari Pemerintahan Dalam Negeri). Peristiwa ini menggambarkan kelemahan Gubernur Jendral, yaitu bahwa ia tak dapat mewujudkan pendiriannya. Roose boom menulis surat kepada Residen Sumatera Timur bahwa Residen akan mendapat seorang pejabat khusus.

Dalam surat kedua yang di kirimkan pada 24 Juli 1904 (No.1664/3 dalam 8-1-1905, No.6) Gubernur Jendral menyampaikan kepada Mentri Daerah jajahan langkah-langkah yang telah diambilnya pada bulan-bulan itu. Sebagai tindakan sementara telah dibentuk Inspeksi Perburuhan di bawah pimpinan Hoetink. Hoetink sendiri selama berada di daerah Belanda telah mendengarkan dari Kementrian Derah Jajahan bahwa pemerintah Hindia akan menjelaskan untuk merancang ordonansi kuli yang baru untuk daerah Jawa. Keadaan telah memaksa Gubernur Jendral untuk mengalah pada sejumlah syarat yang di ajukan oleh Hoetink. Hoetink di desak agar menduduki posisi di bawah residen dengan janji bahwa dalam menjaga tugasnya ia akan mendapat kebebasan yang luas, namun ia tidak menunjukkan minatnya.

Hoetink pun menegaskan bahwa niat untuk mengangkatnya sebagai satu-satunya petugas inspeksi perburuhan merupakan batu ujian. Untuk mengawasi kegiatan di 170 perkebunan dengan jumlah tenaga kerja seluruhnya sekitar 100.000 orang. Satuhal yang khas dalam formalism birokrasi, bahwa surat-menyurat di antara para kepala Departemen waktu itu banyak menyinggung masalah pengeluaran yang amatinya boleh dituntut oleh calon inspektur perburuhan itu dan tentang pakaian seragam resmi yang akan dikenakannya. 

Dalam surat berikutnya, lebih jelas lagi ia berbicara. Inspektur perburuhan yang baru akan diangkat kemudian itu tidak akan disukai orang di Sumatera Timur. Tuan-tuan kebun akan mengutuknya sebagai tukangintai. Ia berada di sumatera timur antara 1880-1889, dan kemudian beberapa kali ia datang lagi kedaerah itu. Bukankah Michielsen yang kini menjadi ketua Dewan Hindia pernah menilainya baik sekali pada tahun 1892 ketika ia masih menjadi Residen Sumatera Timur? Kalau tuntutannya sedikit saja dikurangi, itukan merugikan martabat jabatan  yang ia duduki (Hoetink kepada kepala departemen kehakiman 6-7-1904).

Inspektorat yang baru harus puas dengan gambaran tugas yang ringkas tersebut. Atas advis para penasihatnya, Gubernur Jendral tidak merumuskan dan mengumumkan instruksi kerja yang resmi. Ini jelas dimaksud agar para majikan tidak tersinggung oleh uraian mengenai tugas yang rinci dengan garis-garis tuntunan yang kaku. Delegasi dari DPV menghadap Gubernur Jendral untuk menyampaikan bahwa majikan sangat perlu memiliki wewenang kepolisian. Yang perlu di singgung disini adalah jawaban yang diterima Gubernur Jendral ketika ia menanyakan besarnya upah kuli. Residen Sumatera Timur menjawab bahwa upah kuli memang masih sangat memalukan rendahnya, bahkan menyebutnya “upah penahan lapar” tidak adanya wewenang untuk bertindak maka tak dapat berbuat apa-apa.Tak ada reaksi apa pun terhadap sikap terkenal dan dikemukakan dengan jelas itu. 

Mengenai pertanyaan apakah para pejabat yang terbukti bersalah melakukan perbuatan tercela dalam menerapkan hukum tidak perlu dituntut, kepala Pemerintah Daerah itu mengakui bahwa apa yang di simpulkan Rhemrev tepat. Tetapi demikian, ia menyatakan penyimpangan dari peraturan hukum sudah menjadi kebiasaan. Yang dapat dilakukan oleh para pejabat kehakiman hanyalah mengukum kuli kontrak yang mendapat tuduhan. Kalau para memagistrat menjatuhkan hukuman tanpa terlebih dahulu mendengarkan saksi-saksi, itu mereka lakukan untuk mencegah petaka yang lebih besar, yaitu kerusuhan kuli.

Menurut Residen, kesalahan para pendahulu dia adalah tidak pernah meminta agar peraturan itu diubah. Dengan membela para bawahan seperti pejabat tertinggi di Sumatera Timur mengakui pelaksanaan ordonansi kuli itu semu belaka. Penyimpangan-penyimpangan itu memang tidak dapat dibenarkan , tetapi melihat keadaan yang berlaku, hal itu dapat dimengerti tindakan apa-apa. Pegawai-pegawai tinggi yang bertanggungjawab sudah tak lagi memegang jabatan, karena itu bagi bawahan merekan berlaku kebijaksanaan yang umum ditempuh, yaitu dimaafkan (surat-surat kepada Depaertemen Pemerintahan Dalam Negeri dan sekretaris pemerintah 27-1-1905), 18/A da 23-2-1905, No.109, ARA, Vb .19-1-1907, No.19.

 

Diskusi Politik Di Belanda

Di Belanda hasil penyelidikan Rhamrev dimatikan orang dengan penuh rasa ingin tahu. Perhatian umum pada masalah itu terus berlanjut akibat reaksi dari para pejabat pemerintah dan para tuan kebun yang pulang ke tanah air terhadap brosur Van Den Brand dari. Yang menarik adalah surat pribadi Deen, wartawan Deli Courtant pada akhir aptil 1904 dari Amsterdam kepada direktur salah satu perusahaan perkebunana terbesar. “Laporan Rhemrev itu kurang baik, bahkan seorang pejabat yang cukup tinggi mengatakan kepada saya, laporan itu tak dapat dibahas atau dipublikasikan.” Selanjutnyaia mengatakan bahwa jika penyelidikan diteruskan ada kemungkinan akan jauh lebih banyak soal-soal mengerikan yang akan terbongkar. Yang tidak tertulis di dalam laporan mungkin justru yang paling buruk. “sangat menyedihkan”.

Dalam rapat komisi untuk mempersiapkan pembahasan umum atas anggaran belanja Hindia di majelis rendah pada 1904, Menteri segera diminta mengumumkan laporan itu (handelingen tweede kamer 29-11-1904:303). Dalam jawabannya, menteri juga mengemukakan kesimpulan-kesimpulan terpenting yang dibuat oleh Rhemrev:

1.      Bahwa keadaan di sejumlah perkebunan di Sumatera Timur masih banyak kekurangannya, khususnya mengenai hubungan antara majikan dan kuli kontrak. Pemukulan dengan tangan atau tongkat selama pemeriksaan masih dilakukan di sebagian besar perkebunan.

2.      Bahwa penganiayaan berat masih terjadi di sejumlah perkebunan hingga menjelang berlangsungnya pemeriksaan.

3.      Bahwa penahanan di luar hukum sering terjadi, baik disertai siksaan badan maupun tidak, sampai menjelang kedatangan Rhemrev di Sumatera Utara.

4.      Bahwa pemukulan sampai mati oleh orang Eropa memang terjadi, tetapi tergolong jarang. Sebegitu jauh belum pernah terjadi pembunuhan oleh orang Eropa di perkebunan; jumlah pemukulan sampai mati dan pembunuhan oleh orang pribumi dan Timur Asing atas dasar senerginya besar sekali.

5.      Bahwa hubungan antara majikan dan kuli kontrak sudah sedemikian rupa hingga majikan selalu merasa sebagai tuan rumah kuli, sedangkan kuli selalu merasa tergantung sepenuhnya pada majikan.

Ikhtisar ini, betapapun singkatnya, memberikan cukup bahan kepada juru bicara  berbagai partai untuk melakukan perdebatan luas, yang dilangsungkan pada tanggal 29 dan 30 november 1904 di majelis rendah. Pembicaraan di dalam majelis rendah bertmabah marak karena beberapa pembicara terlibat langsung dengan masalah itu. Van kol dalam hal ini mendapat tempat terhormat yang memang layak diterimanya pada 2889 ia menjadi orang pertama yang meminta perhatian majelis rendah mengenai skandal kuli, dan ia tak puas dengan jawaban kosng atau mengelak yang diterimanya, juga Van den Brand mendapat pujian dari berbagai pihak. Namun, tepat rupanya nada yang diperdengarkan menteri di majelis rendah, hingga para pendengar dapat menerima argumentasinya dengan itu menuntut penghapusan poenale sanctie dalam ordonansi kuli. Bagi mayoritas di majelis rendah, paket kebijakan itu sudah mencukupi.

Dalam sebuah mosi yang bernada ramah mereka mengucapkan terimaksih kepada menteri atas informasinyakepada mereka, dan kemudian mereka menganjurkan agara menteri terus melanjutkan jalan yang sudah ditempuhnya, partai sosialis yang beroposisi akhirnya menurut saja pada keputusan itu dan menarik kembali mosinya sendiri yang lebih keras. Dengan itu majelis rendah menyetujui pendapat menteri dan bersedia mengikuti keinginannya mempertahankan ordonasi kuli beserta poenale sanctie dan segala perbaikannya yang tidak seberapa.

 

Urusan di Departemen

Laporan Rhemrev yang sampai di Den Haag pada awalmaret 1904 (ARA, Vb.14-3-1904, No. 8) membuat para ahli pengendali pemerintahan colonial menanggung malu. “sejarah yang menyedihkan tentang penderitaan dan ketidakadilan”, demikin catatan menteri lengkap dengan parafnya yang saya temukan di halaman pertama laporan itu. Karena tahu bahwa akan ada desakan untuk mempublikasikannya maka kelihatannya telah dipertimbangkan untuk menyiarkan ikhtisar umum yang terdapat di akhir dokumen itu. 

Tentu saja bukan dalam bentuk aslinya, karena akan sangat memalukan, tetapi dalam bentuk yang sudah diolah. Namun akhirnya Idenburg tidak berani mengumumkan bagian penutup ini, sekalipun sudah dalam versi yang diperlunak. Seperti kita ketahui dalam jawaban atas permohonan komisi pelapor yang mendesak di dalam surat tertanggal 21 november, ia hanya menyebutkan bebrap akesimpulan pokok yang dibuat oleh Rhemrev. Apakah itu dilakukan dengan cermat tanpa menyembunyikan sesuatu, seperti dinyatakan oleh Idenburg di majelis rendah? Tentu tidak, dan ini dapat disimpulkan dari surat kepada menteri yang ditulis hari itu juga oleh A.E. Elias, sekretaris jenderal departemen.

Menteri membutuhkan paraf pada koreksian itu dan mengambil alihnya. Yang lebih membukakan mata adalah catatan pinggir buatan pejabat pembuat nota yang dipergunakan oleh menteri untuk menjawab berbagai pertanyaan dalam debat di majelis rendah mengenai inti argumen Rhemrev. “tentang ordonansi kuli, penyusun menganggap lebih baik kita berdiam diri. Kalau dilihat halaman (531) dan (532) laporan itu, ada kesan bahwa Mr. Rhemrev menganggap ordonansi itu sebagai sumber segala kesengsaraan”. 

Di parlemen pun Idenburg sama sekali tidak berbicara tentang persoalan yang pernah disinggung oleh mantan residen Van der Steenstraten dalam surat pribadinya kepada menteri, yaitu tentang pemerintah hindia yang terus-menerus menolak menetapkan upah minimum bagi kuli kontrak (surat Van der Steenstraten kepada menteri, 11-12-1904; ARA, Vb 28-1-1905, No. 6). Masalah ini sudah dipersoalkan oleh Rhemrev dalam laporannya. Di dalam surat pengantarnya kepada menteri, Gubernur jenderal pun sudah meminta perhatian Menteri terhadap rekomendasi khusus itu. Idenburg juga tidak memanfaatkan catatan anggota stafnya sendiri mengenai mosi yang diajukan oleh Troelstra. Inti mosi itu ialah bahwa pembentukan pengadilan tinggi di Medan takkan dapat menghapuskan ketidaksamaan hokum antara majikan dan buruh.

Ketika membela sistem tersebut di Majelis Rendah, Idenburg menyatakan bahwa di Straits Settlements pun berlaku aturan kerja seperti yang berlaku di Deli. Ini ia ketahui dari dokumen yang dikirimkan Cremer kepadanya secara pribadi pada awal 1904, menteri tentu saja tidak menyebutkan sumbernya dan ia berusaha agar tidak terlihat dekat dengan Cremer di mata umum. Ia pun tidak merasa perlu menunjukkan bahwa dibandingkan dengan ordonansi di Deli, maka dalam hal hak dan perlindungan terhadap kuli kontrak, ordonansi yang digunakan di Straits Settlements jelas lebih baik. Ia pun merasa lebih baik tidak membacakan komentar orang yang telah mengumpulkan bahan di singapura atas perintah inspektur kepala Deli Maatschappij. Orang itu berkomentar, “rakyat yang demikian bodoh itu [maksudnya parakuli] tidak cocok untuk kerja merdeka sebagai pilihan sendiri” (surat dari Romenij kepada H.C. van den Honert, 2-10-1902).

Sesudah awal uraian yang banyak menjanjikan itu, pembuatan nota terhenti beberapa waktu, boleh jadi akibat beban kerja yang berat selama berlangsungnya pembicaraan tentang anggaran belanja hindia di parlemen yang sebagian besar tercurah pada masalah kuli. Baru pada tanggal 24 januari 1905 Loudon melanjutkan pekerjaannya. Tetapi kini sikapnya lain sekali dan dia memberikan penjelasan yang menarik seperti berikut.

Dalam pada itu, menjadi jelas kearah mana menteri akan melangkah sekalipun bukan arahnya, Loudon menyesuaikan diri dengan patuh sebagai mana layaknya seorang pejabat yang baik. Ia tidak dapat lagi menerima asas itu sebagai titik tolaknya, yaitu asas bahwa kerja ada nilainya dan bahwa menjadi tugas penyusunun dang-undang untuk menjaga agar mereka yang lemah ekonominya tidak terjepit. Tidak dalam pemikiran yang baru, kepentingan industri merupakan hal terpenting. Masalahnya adalah melindungi kepentingan itu dengan sarana-sarana pembantu, seperti ordonansi kuli tadi. Bersamaan dengan itu, hubungan antara majikan dan buruh harus dibuat seselaras mungkin. Sebagai kesimpulan, Loudon mendalilkan bahwa:ordonansi kuli tidak boleh tidak harus ada, peraturan itu secara hukum dapat di pertahankan, dan cara pelaksanaannya harus diuraikan secara rinci.

Loudon mengakui pendapat para ahli di Hindia sudah tentu harus di pertimbangkan, tetapi ia mengingatkan bahwa dari pihak itu tentunya besar sekali tekanan untuk melanjutkan apa yang sudah ada. Nota itu mula-mula disampaikan untuk diberi komentar kepada Viehoff kepala departemen pemerintahan dalam negeri dan pekerjaan umum yang memang berwenang membahas masalah itu. Viehoff menentang keras pandangan koleganya dan ia berharap.

Pada tanggal 25 mei 1905 Gubernur Jenderal mengabarkan kepada Menteri bahwa baik kepala Departemen pemerintahan dalam negeri maupun dewan Hindia menyetujui saran Inspektur perburuhan sementara (Hoetink) dan kalangan pengusaha di Sumatera Timur (Planters Comite maupun Planters Bond), yakni bahwa ketentuan mengenai paksaan di dalam ordonansi kuli tidak boleh tidak harus ada. Mencoretnya berarti pukulan maut bagi industry yang sedang berkembang. Adapun kelanjutan jalannya peristiwa pada abad ke 20 tidak lagi masuk dalam lingkup penelitian ini. Disini saya membatasi hanya sampai pada efeknya yang langsung, yaitu apa akibat konkret dari skandal kuli di Deli itu. Akibat itu sedikit sekali. Apakah tak ada perubahan sama sekali? Saya kira ada, saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sesudah ini orang hanya menghendaki diteruskannya ordonansi yang ada.

 

Dampaknya

Rhemerv yang sebagai pejabat kehakiman telah menjalankan tugasnya yang berat dengan seksama, yaitu membenarkan apa-apa yang justru tak hendak di dengar oleh para pejabat kolonial, untuk seterusnya tak berurusan lagi dengan perkara itu, dan tentang dirinya pun tanyak banyak yang diceritakan. Dijkstra orang sama sekali tak menyenangi rhemer, tetapi pernah bergaul akrab dengannya beberapa waktu sebelumnya. Pada 1905, sebagai komisaris pemerintah Rhemerv menyelidiki ketidakberesan yang di duga terjadi di daerah lampung, sumatera selatan. Yang memasukan pengaduan adalah Dijkstra, seorang tuan kebun yang dari tulisannya sendiri memberi kesan sebagai seorang pengacau.

Rhemrev mendapat tugas menangani perkara yang tak akan mendatangakan kehormatan baginya. Adapun orangyang ditakutinya, yaitu cremer, selanjutnya menempuh karier yang gemilang. Memang sesudah persoalan kuli itu ia tak bersedia lagi duduk di kursi majelis Rendah, tapi kemudian ai kembali ke dunia politik dengan menjadi anggota Majelis Tinggi. Tahun 1907 ia diangkat menjadi presiden Nederlandsche Handel-Maatschappij, dari tahun 1918 sampai 1920 menjadi duta besar belanda untuk washington.

Dan apa yang bisa diceritakan tentang hoetink ? ia diangkat sebagai inspektur perburuhan berkat penerbitan Van Den brand dan laporan Rhemrev, padahal isi kedua bahan itu ia tentang. Menurut Dewan Hindia, tak ada orang lain selain dia yang mampu membereskan skandal kuli itu dengan bantuan peraturan yang direncanakan dengan baik. Di cina ia membantu mengatur pengerahan tenaga kuli, suatu tugas yang ia laksakan dengan penuh semangat dan pengabdia. Para tuan kebun begitu puas dengan cara hoetink melayani kepentingan mereka, hingga DPV mengusulkan agar ia diangkat menjadi konsul0jendral. Dari laporan-laporan yang dituliskannya tentang berbagai perjalanan inspeksi di daerah luar Jawa abad ini, ia tampak benar sebagai orang yang berprasangka terhadap sikap kuli yang enggan bekerja, tak dapat dipercaya, bahkan suka berbohong; jadi sikapnya ini sama dengan sikap para majikan.

Yang jauh lebih sulit “digarap” lewat jalur birokrasi adalah Van den Brand. Dia adalah actor utama yang menyingkapkan drama kuli. Terdorong oleh hati nurani kristennya, ia langsung mencari dukungan public untuk melawan system perburuhan di sematera timur. Dengan terus terang ia mengakui bahwa pada awal kehadiran nya – ketika bekerja sebagai redaktur Sumatera post – ia pun sejalan dengan pendapat yang umum berlaku di kalangan eropa. Lefebre, penentangnya dalm debat terbuka pada 29 maret di medan, mengatakan delama kesempatan lain bahwa beberapa tahun sebelum itu Van den Brand masih membela para tuan kebun dan sudah biasa mengambarkan para kuli sebagai sampah masyarakat cina dan jawa.

Van Den Bert ggalkan politik Kristen. Pada 1904 ia ke belanda, tentu dengan maksud meneruskan perjuangan menentang system kerja kontrak di perkebunan. Usahanya untuk melakukan hal itu di bidang politik gagal. Sebagai anggota ARP (Anti Revolutioner Partij, partai anti revolusioner) ia mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Rendah, tetapi ia tidak mendapat cukup dukungan. Pandangannya memang mencerminkan keyakinan kristenannya, tetapi terlampau kiri, hingga mendapat perhatian dari pemimpin partai.

Yang menyebabkan masalah kuli di sumatera timur menjadi skandal besar pada awal abad ini bukan hanya cara tuan kebun memperlakukan para kulinya, tetapi juga cara pihak yang berwenang dalam menangani kejadian itu. Peristiwa tersebut menjadi menarik bagi siapa saja yang ingin mengetahui cara aparat pemerintah menelurkan kebijakan yang berkenan dengan pengungkapan suatu skandal. Reaksi yang dapat diduga adalah sanggahan bercampur rasa tersinggung pada orang yang telah menyebabkan perkara itu dibicarakan orang. Dalam perkara kuli kontrak, hal ini juga yang terjadi. Hal pertama yang dilakukan pemerintah daerah atas terbitnya brosur De Millionen un Deli adalah bertanya kepada jaksa Agung di Batavia, apakah ada kemungkinan menuntut penulis brosur itu. Sikap it uterus bertahan sampai beberapa waktu kemudian, diperkeras oleh reaksi dari para tuan kebun dan mantan pejabat. Ketika lama-kelamaan ternyata bahwa membantah semata tidak meyakinkan, maka mereke mencari jalan lain.

Revisi atas peraturan perburuhan merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk membebaskan diri darituduhan bahwa peraturan itu diadakan hanya untuk kepentingan para majikan. Tetapi, mengambil jarak tidak berarti menetang sekutu lama dengan melaksanakan kebijakan untuk memperbaiki secara nyata posisi mereka tertindas , meskipun justru maksud itu yang menjadi pendorong utama pembentukan inspeksi perburuhan. Sejak semula tekanannya adalah melawan ekses, sedang system hubungan perburuhan yang ada tetap dipertahankan, termasuk ketentuan mengenai pemaksaan. Titik tolak kebijakan itu tidak berubah, yaitu asumsi bahwa menghapus ordonasi kuli dengan poenale sanctienya akan berarti mengakhiri system perkebunan di Sumatera Timur.

 

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur merupakan daerah perkebunan (Tembakau, Karet, Kelapa Sawit). Perkebunan di Sumatera Timur yang begitu luas membuat kekurangan tenaga kerja. Pada saat kebutuhan jumlah tenaga kerja terpenuhi ternyata terdapat konflik baru yang muncul yaitu mengenai ordonansi kuli. Dengan pekerjaan yang sangat berat dan upah kuli yang kecil, membuat para kuli selalu bersikap menantang para mandor dan tuan-tuan kebunnya.

Permasalahan kuli tersebut coba di publikasi oleh Van Den Brand dengan cara menyebarkan brosur-brosur yang cukup kontroversial yang mengakibatkan timbulnya celaan dimana-mana. Tujuannya untuk membuat pernyataan bahwasanya ada skandal terselubung di balik kebijakan-kebijakan yang di buat pemerintah terhadap kuli dan tuan-tuan kebun yang cenderung berpihak kepada tuan-tuan kebun. Rhemrev, merupakan orang yang menyelidiki skandal-skandal yang terjadi terhadap perkebunan di Sumatera Timur. Dia juga memperjuangkan hak-hak kuli supaya jangan ada lagi ordinasi kuli terjadi di perkebunan Sumatera Timur. Berdasarkan penyelidikan yang di lakukannya, ternyata pernyataan Van Den Brand di brosur-brosur tersebut adalah benar. Selama ini yang menyebabkan masalah kuli di Sumatera Timur menjadi besar bukan hanya perlakuan tuan tanah terhadap buruhnya. Tetapi, pihak pemerintah juga terkait dalam permasalahan kuli yang selama ini terjadi di Sumatera Timur.

 


Tags :

bonarsitumorang