Sejarah Masalah Kuli, Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan Perkebunan di Sumatera Timur
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkebunan di
Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur
merupakan daerah perkebunan Tembakau, Karet, Kelapa Sawit). Daerah Sumatera
Timur merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J.
Nienhuys membuka perkebunan Tembakau disana, tahun 1864. Tembakau Deli yang
menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa. Perkebunan
di Sumatera Timur yang begitu luas membuat kekurangan tenaga kerja.
Perkebunan besar (onderneming) di
Sumatra Timur yang dirintis oleh Nienhuys, membawa tanaman Tembakau dan
menanamnya di lahan Sumatra Timur melalui kontrak tanah dengan Sultan Deli pada
tahun 1863 selama 75 tahun. Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan
keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha
perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor
agrobisnis Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah Tembakau
yang sangat terkenal di pasaran Tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan
kelapa sawit.
Berkembangnya
perkebunan besar di Sumatera Timur pada pertengahan abad XIX telah menarik
penguasaha-penguasa prkebunana untuk menanamkan modalnya disana. Orang-orang
kulit putih datang kesana untuk membuka dan menjadi penguasaha perkebunan, orang
Cina, Jawa india datang sebagai buruh dan orang minagkabau dan Mandailing
merantau untuk berdagang. Hidup mereka tergantung pada imbalan yang diterima
dari hasil kerja yang hanya pas-pasan. Semua gaji yang diterima habis untuk
kebutuhan mereka sehari-hari. Digambarkan bahwa upah yang diterima oleh
buruh sebanyak 35 sen sehari sementara kerjaan mereka terus menerus
di tambah. Hal tersebut ternyata memicu konflik yang di akibatkan oleh
ordonansi kuli.
Pada makalah ini kami akan membahas mengenai bab 6 pada referensi yang di berikan yaitu mengenai “Masalah Kuli, Mengungkap Skandal dan Membuka Kedok Kebijakan”
BAB II PEMBAHASAN
Publisitas dan
Pembentukan Pendapat Umum
Brosur yang di
umumkan Van Den Brand pada 1902 segera mengundang pembicaraan hebat
dimana-mana. Reaksi paling keras tentu reaksi yang timbul di Sumatera Timur dan
semua itu reaksi negatif. Dengan segera penulis yang di cela orang dimana-mana
itupun mengatakan tak akan menanggapi pers setempat yang telah melancarkan caci
maki dan fitnah terhadapnya. Karena para pengusaha di Medan memasang iklan
berisi pernyataan bahwa mereka tak ingin lagi berhubungan dengan Van Den Brand.
Pers yang
propemerintah di Belanda pun hampir sama saja sikapnya yaitu bermusuhan. Banyak
mantan tuan kebun dan pensiunan pejabat pemerintah mengangkat pena dan
berceramah untuk menyatakan bahwa mereka tak bersalah dan mengungkapkan
kemarahakn terhadap ftnah yang di lontarkan oleh Van Den Brand. Tidak ada
masalah apa-apa selama ceramah dilakukan di hadapan pendengar yang jelas
berjiwa kolonial dan sejak semula tak mau tahu tentang segi negatif dalam
mengembangkan Sumatera Timur.
Banyak tajuk
rencana surat kabar menyatakan Van Den Brand terlalu membesar-besarkan dan ia
tidak memiliki cukup bukti tetang kejelekan yang di bicarakannya. Sebaliknya,
harian dan mingguan oposisi yang dekat dengan SDAP menunjukkan sikap yang jauh
lebih kritis. Dalam kongres kedokteran di Paris, Dokter Tschudnowsky yang baru
saja pulang ke eropa menceritakan bahwa di Deli peradaban diajarkan kepada
orang pribumi dan orang cina lewat pukulan tongkat, alkohol, dan sifilis
(Tschudnowsky 1899:19) majalah Frankfruter Zeitung menyiarkan cerita bersambung
yang menguraikan cara-cara tuan kebun Belanda bertindak sebagai algojo yang
brutal (De Indische Gids 1903. 1:108-12). Sementara itu dibawah tekanan pers
yang sejak lama sudah memusuhi kelompok tuan kebun di Sumatera Timur, para
pejabat Tinggi Inggris di Malaka mengancam mencabut izin mengerahkan kuli cina
ke Deli (W.1905:90-1).
Dalam debat
kritis yang kemudian terjadi, Menteri menyatakan bahwa ia pun mengharapkan agar
pada masa mendatang tidak ada lagi ordinasi kuli (Handeling Tweede Kamer,
24-11-1903: 458). Rhemrev tidak menyebutkan kapan ia mengakhiri penyelidikannya
dan berapa lama ia berada di Sumatera Timur. Pendek kata, ia kembali ke Batavia
sebelum akhir tahun, dan pada awal 1904 ia merampungkan laporannya sebelum
mulai membicarakan bagaimana laporannya itu di sambut dan dibicarakan orang di
Belanda dan Hindia-Belanda, serta diskusi di kalangan pemegang kebijakan
mengenai konsekuensi yang bisa timbul dari penemuan itu, terlebih dahulu saya
akan membahas kerja Rhemrev dalam melaksanakan tugasnya.
Pemeriksaan
Administrative dan Kehakiman di Sumatera Utara
Mula-mula Rhemrev mengkaji apa apa yang
menjadi tugasnya .Begitu ia tiba ,van den brand ,yang ketika itu masih di medan
,menyampaikan padanya rincian lebih lanjut tentang penganiayaan oleh para tuan
kebun lengkap dengan nama-namanya yang sering kali tidak dituntut sebagaimana
mestinya .
Tugas Rhemrev yang jauh lebih rumit adalah
menyelididki apakah van den brand tidak melebih –lebihkan tuduhannya terhadapa
para tuan kebun ,antara lain merampas kemerdekaan kuli secar tidak sah dan
menganiaya rupa hingga kadang –kadang berubah menjadi kekejaman di luar batas
perikemanusiaan.Rhemrev mengakui ,jurang antara dirinya dan para informasi tak
dapat dijembatani,sekalipun kini hidup bebas,pekerja itu sudahberpengalaman
untuk tidak mempercayai orang eropa .maklum ,kuli-kuli itu tidak berdaya
menghadapi para majikannya ,sedangkan para pejabat pemerintah tak mau
mendengarkan keluhan mereka .sebaliknya ,keluhan mereka tidak disukai pejabat.
Rhemrev pun memilih menggunakan mata-mata
yaitu orang kepercayaan yang harus mengumpulkan keterangan yang diperlukannya
untuk itu ia memperkerjakan beberapa orang yang sudah lama berdinas dan oleh
residen diperbantukan kepadanya ,satu orang cina yang dapat berbicara dalam
bahasa-indonesia pribumi dan sudah pernah melakukan pekerjaan seperti itu serta
beberapa pekerja bebas(seorang palayan kandang) dan seorang tukang daging ,yag
pernah menjadi kuli kontrak ,mereka diberi petunjuk bagaimana mereka harus
bekerja.
Mata –mata itu tidak boleh menyebutkan
identitasnya kepada siapapun .Tugasnya adalah mewawancarai kuli-kuli
diperkebunan ,baik selagi berada di kedai dan lading selagi beristirahat,maupun
pada malam hari ditempat-tempat berkumpul yang umum.Mereka juga harus mengorek
keterangan dari orang-orang yang dahulu bekerja sebagai kuli kontrak (rhemrev
1904:1334).
Rhemrev yakin
bahwa cara yang ditempuhnya sudah benar.Ia tidak ragu ,bahwa dengan menggunakan
mata-mata kebenaran dapat diungkapkan .Namun demikian ,ia merasa perlu
memeriksa kembali cara kerjanya secara drastic. Alasan pertama untuk itu adalah
,jumlah kejahatan yang diketahuinya menjadi sangat banyak higga mustahil ia
dapat menanganinya sendiri waktu yang harus digun,mungkin juga bertahun-tahun
,lagi pula ia tak akan dapat meneruskan pemerksaan administrative yang
merupakan alasan pokoknya..Rhemrev
memberi perhatian khusus pada pertayaan apakah para pejabat kehakiman melanggar
pelaksanaan ordonasi kuli. Dalam hal ini tuduhan van den brand ternyata juga
benar.Satu keluhan tertulis dariseorang majikan sudah cukup untuk menghadapi
hukuman.
Pemerintah Hindia Lamban
Pada 18 januari
1904 laporan yang dibuat oleh Rhemrev di berikan kepada
Gubernur Jendral Roose boom, lalu pada 31 januari laporan sampai
kepada Mentri Daerah Jajahan (ARA,Vb.28-1-1905,No.6). Banyak lampiran antara
lain proses verbal hasil pemeriksa jasa itu di tinggal di Batavia. Dari
dokumen-dokumen yang ada, tidak dapat di simpulkan apakah lampiran tersebut
pernah di teruskan atau pernah diminta oleh Kementrian Daerah Jajahan. Dalam
surat pengantarnya Gubernur Jendral tidak memberi komentar beliau hanya
menyebutkan beberapa saran konkret dari Rhemrev dan melaporkan tindakan yang
diambil. Rekomendasi yang di kutipnya dari laporan itu adala
1. Penunjukan pejabat khusus
yang bertugas mengawasi pelaksanaan ordonasi kuli.
2. Pembentukan Pengadilan Tinggi dan
Medan,
3. Perbaikan upah kuli perempuan,
dan
4. Peningkatan kekuatan kepolisian
Pembahasan yang
paling mendalam adalah pembahasan mengenai masalah yang pertama, yaitu
Pembentukan Inspeksi Perburuhan tersendiri. Gubernur Jendral menambahkan satu
momerendum yang ditulis oleh kepala Departemen Kehakiman tertanggal 3 juni
1902, dalam momerendum itu kepala Deparetemen Kehakiman mengusulkan pembentukan
suatu kantor di bawah Departemen Kehakiman untuk mengawasi pelaksanaan ordonasi
kuli (ARA,Vb.14-3-1904,No.8). Menurutnya, kepala kantor yang akan diangkat
perlu memiliki pangkat yang sederajat dengan presiden, yaitu pejabat tertinggi
di suatu daerah. Menurut pendapatnya yang paling tepat adalah para pejabat
urusuan Cina di berbagai daerah yang memang sudah berada di bewah kekuasaan
Departemen Kehakiman.
Memorandum yang tidak menyebutkan orang yang
ia pilih namun sudah ada dibayangkannya jelas bahwa orang yang dimaksudnya yang
tidak lain adalah Hoetink. Dewan Hindia jelas sangat setuju usul itu bahkan
menyebutkan dalam advisnya bahwa sejak berlakunya ordonansi kuli pada 1880,
paling tidak telah dihimpun uang sejumlah satu setengah juta gulden untuk
ongkos registrasi yang dibayar oleh para kuli sendiri tanpa imbalan sedikit pun
untuk mereka. Dengan alasan itu pula Dewan menyatakan setuju sekali bahwa
inspektorat itu diletakkan di bawah Kekuasaan Departemen Kehakiman. Ia pun
mendukung Hoetink sebagai calon inspektu rkepala. Kebetulan ia
memang pernah melaksanakan tugas-tugas itu dan hasilnya sangat memuaskan.
Sesudah menerima rekomendasi tersebut Gubernur
Jendral menyatakan bersedia mengangkat Hoetink, sekali pun dengan pangkat yang
lebih rendah, di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri (surat kepada kepala
Departemen Kehakiman 12-11-1902, No. 4004). Pada maret 1903 Hoetink menyatakan
bahwa ia tidak berminat pangkat dari kepala departemen kehakiman. Para pejabat
kementrian di Den Haag jengkel karena sampai dua kali Dewan Hindia menghalangi
ditetapkannya ordonansi yang baru padahal kepala Departemen Pemerintahan Dalam
Negeri sudah menerima tanda setuju dari sekretariat umum pemerintah Hindia-Belanda
(ARA,Vb.14-3-1904,No.8/766).
Pada waktu itu bukan lagi mempersoalkan
pembentukan inspeksi perburuhan, melainkan bidang kegiatannya (di seluruh
Hindia atau untuk permulaan hanya di Sumatera Timur), dan terutama statusnya di
dalam aparat kolinial (tersendiri atau sebagai bagian dari Pemerintahan Dalam
Negeri). Peristiwa ini menggambarkan kelemahan Gubernur Jendral, yaitu bahwa ia
tak dapat mewujudkan pendiriannya. Roose boom menulis surat kepada Residen
Sumatera Timur bahwa Residen akan mendapat seorang pejabat khusus.
Dalam surat kedua yang di kirimkan pada 24
Juli 1904 (No.1664/3 dalam 8-1-1905, No.6) Gubernur Jendral menyampaikan kepada
Mentri Daerah jajahan langkah-langkah yang telah diambilnya pada bulan-bulan
itu. Sebagai tindakan sementara telah dibentuk Inspeksi Perburuhan di bawah
pimpinan Hoetink. Hoetink sendiri selama berada di daerah Belanda telah
mendengarkan dari Kementrian Derah Jajahan bahwa pemerintah Hindia akan
menjelaskan untuk merancang ordonansi kuli yang baru untuk daerah Jawa. Keadaan
telah memaksa Gubernur Jendral untuk mengalah pada sejumlah syarat yang di
ajukan oleh Hoetink. Hoetink di desak agar menduduki posisi di bawah residen dengan
janji bahwa dalam menjaga tugasnya ia akan mendapat kebebasan yang luas, namun
ia tidak menunjukkan minatnya.
Hoetink pun menegaskan bahwa niat untuk
mengangkatnya sebagai satu-satunya petugas inspeksi perburuhan merupakan batu
ujian. Untuk mengawasi kegiatan di 170 perkebunan dengan jumlah tenaga kerja
seluruhnya sekitar 100.000 orang. Satuhal yang khas dalam formalism birokrasi,
bahwa surat-menyurat di antara para kepala Departemen waktu itu banyak
menyinggung masalah pengeluaran yang amatinya boleh dituntut oleh calon
inspektur perburuhan itu dan tentang pakaian seragam resmi yang akan
dikenakannya.
Dalam surat berikutnya, lebih jelas lagi ia
berbicara. Inspektur perburuhan yang baru akan diangkat kemudian itu tidak akan
disukai orang di Sumatera Timur. Tuan-tuan kebun akan mengutuknya sebagai
tukangintai. Ia berada di sumatera timur antara 1880-1889, dan kemudian
beberapa kali ia datang lagi kedaerah itu. Bukankah Michielsen yang kini
menjadi ketua Dewan Hindia pernah menilainya baik sekali pada tahun 1892 ketika
ia masih menjadi Residen Sumatera Timur? Kalau tuntutannya sedikit saja
dikurangi, itukan merugikan martabat jabatan yang ia duduki (Hoetink
kepada kepala departemen kehakiman 6-7-1904).
Inspektorat yang
baru harus puas dengan gambaran tugas yang ringkas tersebut. Atas advis para
penasihatnya, Gubernur Jendral tidak merumuskan dan mengumumkan instruksi kerja
yang resmi. Ini jelas dimaksud agar para majikan tidak tersinggung oleh uraian
mengenai tugas yang rinci dengan garis-garis tuntunan yang kaku. Delegasi dari
DPV menghadap Gubernur Jendral untuk menyampaikan bahwa majikan sangat perlu
memiliki wewenang kepolisian. Yang perlu di singgung disini adalah jawaban yang
diterima Gubernur Jendral ketika ia menanyakan besarnya upah kuli. Residen Sumatera
Timur menjawab bahwa upah kuli memang masih sangat memalukan rendahnya, bahkan
menyebutnya “upah penahan lapar” tidak adanya wewenang untuk bertindak maka tak
dapat berbuat apa-apa.Tak ada reaksi
apa pun terhadap sikap terkenal dan dikemukakan dengan jelas itu.
Mengenai pertanyaan apakah para pejabat yang
terbukti bersalah melakukan perbuatan tercela dalam menerapkan hukum tidak
perlu dituntut, kepala Pemerintah Daerah itu mengakui bahwa apa yang di
simpulkan Rhemrev tepat. Tetapi demikian, ia menyatakan penyimpangan dari
peraturan hukum sudah menjadi kebiasaan. Yang dapat dilakukan oleh para pejabat
kehakiman hanyalah mengukum kuli kontrak yang mendapat tuduhan. Kalau para
memagistrat menjatuhkan hukuman tanpa terlebih dahulu mendengarkan saksi-saksi,
itu mereka lakukan untuk mencegah petaka yang lebih besar, yaitu kerusuhan
kuli.
Menurut Residen, kesalahan para pendahulu dia
adalah tidak pernah meminta agar peraturan itu diubah. Dengan membela para
bawahan seperti pejabat tertinggi di Sumatera Timur mengakui pelaksanaan
ordonansi kuli itu semu belaka. Penyimpangan-penyimpangan itu memang tidak
dapat dibenarkan , tetapi melihat keadaan yang berlaku, hal itu dapat
dimengerti tindakan apa-apa. Pegawai-pegawai tinggi yang bertanggungjawab sudah
tak lagi memegang jabatan, karena itu bagi bawahan merekan berlaku
kebijaksanaan yang umum ditempuh, yaitu dimaafkan (surat-surat kepada
Depaertemen Pemerintahan Dalam Negeri dan sekretaris pemerintah 27-1-1905),
18/A da 23-2-1905, No.109, ARA, Vb .19-1-1907, No.19.
Diskusi Politik Di
Belanda
Di Belanda hasil
penyelidikan Rhamrev dimatikan orang dengan penuh rasa ingin tahu. Perhatian
umum pada masalah itu terus berlanjut akibat reaksi dari para pejabat
pemerintah dan para tuan kebun yang pulang ke tanah air terhadap brosur Van Den
Brand dari. Yang menarik adalah surat pribadi Deen, wartawan Deli Courtant pada
akhir aptil 1904 dari Amsterdam kepada direktur salah satu perusahaan
perkebunana terbesar. “Laporan Rhemrev itu kurang baik, bahkan seorang pejabat
yang cukup tinggi mengatakan kepada saya, laporan itu tak dapat dibahas atau
dipublikasikan.” Selanjutnyaia mengatakan bahwa jika penyelidikan diteruskan
ada kemungkinan akan jauh lebih banyak soal-soal mengerikan yang akan
terbongkar. Yang tidak tertulis di dalam laporan mungkin justru yang paling
buruk. “sangat menyedihkan”.
Dalam rapat
komisi untuk mempersiapkan pembahasan umum atas anggaran belanja Hindia di
majelis rendah pada 1904, Menteri segera diminta mengumumkan laporan itu
(handelingen tweede kamer 29-11-1904:303). Dalam jawabannya, menteri juga
mengemukakan kesimpulan-kesimpulan terpenting yang dibuat oleh Rhemrev:
1. Bahwa keadaan
di sejumlah perkebunan di Sumatera Timur masih banyak kekurangannya, khususnya
mengenai hubungan antara majikan dan kuli kontrak. Pemukulan dengan tangan atau
tongkat selama pemeriksaan masih dilakukan di sebagian besar perkebunan.
2. Bahwa
penganiayaan berat masih terjadi di sejumlah perkebunan hingga menjelang
berlangsungnya pemeriksaan.
3. Bahwa
penahanan di luar hukum sering terjadi, baik disertai siksaan badan maupun
tidak, sampai menjelang kedatangan Rhemrev di Sumatera Utara.
4. Bahwa
pemukulan sampai mati oleh orang Eropa memang terjadi, tetapi tergolong jarang.
Sebegitu jauh belum pernah terjadi pembunuhan oleh orang Eropa di perkebunan;
jumlah pemukulan sampai mati dan pembunuhan oleh orang pribumi dan Timur Asing
atas dasar senerginya besar sekali.
5. Bahwa
hubungan antara majikan dan kuli kontrak sudah sedemikian rupa hingga majikan
selalu merasa sebagai tuan rumah kuli, sedangkan kuli selalu merasa tergantung
sepenuhnya pada majikan.
Ikhtisar ini,
betapapun singkatnya, memberikan cukup bahan kepada juru bicara berbagai
partai untuk melakukan perdebatan luas, yang dilangsungkan pada tanggal 29 dan
30 november 1904 di majelis rendah. Pembicaraan di dalam majelis rendah
bertmabah marak karena beberapa pembicara terlibat langsung dengan masalah itu.
Van kol dalam hal ini mendapat tempat terhormat yang memang layak diterimanya
pada 2889 ia menjadi orang pertama yang meminta perhatian majelis rendah
mengenai skandal kuli, dan ia tak puas dengan jawaban kosng atau mengelak yang
diterimanya, juga Van den Brand mendapat pujian dari berbagai pihak. Namun,
tepat rupanya nada yang diperdengarkan menteri di majelis rendah, hingga para
pendengar dapat menerima argumentasinya dengan itu menuntut penghapusan poenale
sanctie dalam ordonansi kuli. Bagi mayoritas di majelis rendah, paket kebijakan
itu sudah mencukupi.
Dalam sebuah mosi
yang bernada ramah mereka mengucapkan terimaksih kepada menteri atas
informasinyakepada mereka, dan kemudian mereka menganjurkan agara menteri terus
melanjutkan jalan yang sudah ditempuhnya, partai sosialis yang beroposisi
akhirnya menurut saja pada keputusan itu dan menarik kembali mosinya sendiri
yang lebih keras. Dengan itu majelis rendah menyetujui pendapat menteri dan
bersedia mengikuti keinginannya mempertahankan ordonasi kuli beserta poenale sanctie
dan segala perbaikannya yang tidak seberapa.
Urusan di Departemen
Laporan Rhemrev yang sampai di Den Haag pada
awalmaret 1904 (ARA, Vb.14-3-1904, No. 8) membuat para ahli pengendali
pemerintahan colonial menanggung malu. “sejarah yang menyedihkan tentang
penderitaan dan ketidakadilan”, demikin catatan menteri lengkap dengan parafnya
yang saya temukan di halaman pertama laporan itu. Karena tahu bahwa akan ada
desakan untuk mempublikasikannya maka kelihatannya telah dipertimbangkan untuk
menyiarkan ikhtisar umum yang terdapat di akhir dokumen itu.
Tentu saja bukan dalam bentuk aslinya, karena
akan sangat memalukan, tetapi dalam bentuk yang sudah diolah. Namun akhirnya
Idenburg tidak berani mengumumkan bagian penutup ini, sekalipun sudah dalam versi
yang diperlunak. Seperti kita ketahui dalam jawaban atas permohonan komisi
pelapor yang mendesak di dalam surat tertanggal 21 november, ia hanya
menyebutkan bebrap akesimpulan pokok yang dibuat oleh Rhemrev. Apakah itu
dilakukan dengan cermat tanpa menyembunyikan sesuatu, seperti dinyatakan oleh
Idenburg di majelis rendah? Tentu tidak, dan ini dapat disimpulkan dari surat
kepada menteri yang ditulis hari itu juga oleh A.E. Elias, sekretaris jenderal
departemen.
Menteri
membutuhkan paraf pada koreksian itu dan mengambil alihnya. Yang lebih
membukakan mata adalah catatan pinggir buatan pejabat pembuat nota yang
dipergunakan oleh menteri untuk menjawab berbagai pertanyaan dalam debat di
majelis rendah mengenai inti argumen Rhemrev. “tentang ordonansi kuli, penyusun
menganggap lebih baik kita berdiam diri. Kalau dilihat halaman (531) dan (532)
laporan itu, ada kesan bahwa Mr. Rhemrev menganggap ordonansi itu sebagai
sumber segala kesengsaraan”.
Di parlemen pun
Idenburg sama sekali tidak berbicara tentang persoalan yang pernah disinggung
oleh mantan residen Van der Steenstraten dalam surat pribadinya kepada menteri,
yaitu tentang pemerintah hindia yang terus-menerus menolak menetapkan upah
minimum bagi kuli kontrak (surat Van der Steenstraten kepada menteri, 11-12-1904;
ARA, Vb 28-1-1905, No. 6). Masalah ini sudah dipersoalkan oleh Rhemrev dalam
laporannya. Di dalam surat pengantarnya kepada menteri, Gubernur jenderal pun
sudah meminta perhatian Menteri terhadap rekomendasi khusus itu. Idenburg juga
tidak memanfaatkan catatan anggota stafnya sendiri mengenai mosi yang diajukan
oleh Troelstra. Inti mosi itu ialah bahwa pembentukan pengadilan tinggi di
Medan takkan dapat menghapuskan ketidaksamaan hokum antara majikan dan buruh.
Ketika membela
sistem tersebut di Majelis Rendah, Idenburg menyatakan bahwa di Straits
Settlements pun berlaku aturan kerja seperti yang berlaku di Deli. Ini ia
ketahui dari dokumen yang dikirimkan Cremer kepadanya secara pribadi pada awal
1904, menteri tentu saja tidak menyebutkan sumbernya dan ia berusaha agar tidak
terlihat dekat dengan Cremer di mata umum. Ia pun tidak merasa perlu
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan ordonansi di Deli, maka dalam hal hak dan
perlindungan terhadap kuli kontrak, ordonansi yang digunakan di Straits Settlements
jelas lebih baik. Ia pun merasa lebih baik tidak membacakan komentar orang yang
telah mengumpulkan bahan di singapura atas perintah inspektur kepala Deli
Maatschappij. Orang itu berkomentar, “rakyat yang demikian bodoh itu [maksudnya
parakuli] tidak cocok untuk kerja merdeka sebagai pilihan sendiri” (surat dari
Romenij kepada H.C. van den Honert, 2-10-1902).
Sesudah awal
uraian yang banyak menjanjikan itu, pembuatan nota terhenti beberapa waktu,
boleh jadi akibat beban kerja yang berat selama berlangsungnya pembicaraan
tentang anggaran belanja hindia di parlemen yang sebagian besar tercurah pada
masalah kuli. Baru pada tanggal 24 januari 1905 Loudon melanjutkan
pekerjaannya. Tetapi kini sikapnya lain sekali dan dia memberikan penjelasan
yang menarik seperti berikut.
Dalam pada itu,
menjadi jelas kearah mana menteri akan melangkah sekalipun bukan arahnya,
Loudon menyesuaikan diri dengan patuh sebagai mana layaknya seorang pejabat
yang baik. Ia tidak dapat lagi menerima asas itu sebagai titik tolaknya, yaitu
asas bahwa kerja ada nilainya dan bahwa menjadi tugas penyusunun dang-undang
untuk menjaga agar mereka yang lemah ekonominya tidak terjepit. Tidak dalam
pemikiran yang baru, kepentingan industri merupakan hal terpenting. Masalahnya
adalah melindungi kepentingan itu dengan sarana-sarana pembantu, seperti
ordonansi kuli tadi. Bersamaan dengan itu, hubungan antara majikan dan buruh
harus dibuat seselaras mungkin. Sebagai kesimpulan, Loudon mendalilkan bahwa:ordonansi kuli tidak boleh tidak harus ada,
peraturan itu secara hukum dapat di pertahankan, dan
cara pelaksanaannya harus diuraikan secara rinci.
Loudon mengakui
pendapat para ahli di Hindia sudah tentu harus di pertimbangkan, tetapi ia
mengingatkan bahwa dari pihak itu tentunya besar sekali tekanan untuk
melanjutkan apa yang sudah ada. Nota itu mula-mula disampaikan untuk diberi
komentar kepada Viehoff kepala departemen pemerintahan dalam negeri dan
pekerjaan umum yang memang berwenang membahas masalah itu. Viehoff menentang
keras pandangan koleganya dan ia berharap.
Pada tanggal 25
mei 1905 Gubernur Jenderal mengabarkan kepada Menteri bahwa baik kepala
Departemen pemerintahan dalam negeri maupun dewan Hindia menyetujui saran
Inspektur perburuhan sementara (Hoetink) dan kalangan pengusaha di Sumatera Timur
(Planters Comite maupun Planters Bond), yakni bahwa ketentuan mengenai paksaan
di dalam ordonansi kuli tidak boleh tidak harus ada. Mencoretnya berarti
pukulan maut bagi industry yang sedang berkembang. Adapun kelanjutan jalannya
peristiwa pada abad ke 20 tidak lagi masuk dalam lingkup penelitian ini. Disini
saya membatasi hanya sampai pada efeknya yang langsung, yaitu apa akibat
konkret dari skandal kuli di Deli itu. Akibat itu sedikit sekali. Apakah tak
ada perubahan sama sekali? Saya kira ada, saya kira tidak benar kalau dikatakan
bahwa sesudah ini orang hanya menghendaki diteruskannya ordonansi yang ada.
Dampaknya
Rhemerv yang
sebagai pejabat kehakiman telah menjalankan tugasnya yang berat dengan seksama,
yaitu membenarkan apa-apa yang justru tak hendak di dengar oleh para pejabat
kolonial, untuk seterusnya tak berurusan lagi dengan perkara itu, dan tentang
dirinya pun tanyak banyak yang diceritakan. Dijkstra orang sama sekali tak
menyenangi rhemer, tetapi pernah bergaul akrab dengannya beberapa waktu
sebelumnya. Pada 1905, sebagai komisaris pemerintah Rhemerv menyelidiki
ketidakberesan yang di duga terjadi di daerah lampung, sumatera selatan. Yang
memasukan pengaduan adalah Dijkstra, seorang tuan kebun yang dari tulisannya
sendiri memberi kesan sebagai seorang pengacau.
Rhemrev mendapat tugas menangani perkara yang
tak akan mendatangakan kehormatan baginya. Adapun orangyang ditakutinya, yaitu
cremer, selanjutnya menempuh karier yang gemilang. Memang sesudah persoalan
kuli itu ia tak bersedia lagi duduk di kursi majelis Rendah, tapi kemudian ai
kembali ke dunia politik dengan menjadi anggota Majelis Tinggi. Tahun 1907 ia
diangkat menjadi presiden Nederlandsche Handel-Maatschappij, dari tahun 1918
sampai 1920 menjadi duta besar belanda untuk washington.
Dan apa yang bisa
diceritakan tentang hoetink ? ia diangkat sebagai inspektur perburuhan berkat
penerbitan Van Den brand dan laporan Rhemrev, padahal isi kedua bahan itu ia
tentang. Menurut Dewan Hindia, tak ada orang lain selain dia yang mampu membereskan
skandal kuli itu dengan bantuan peraturan yang direncanakan dengan baik. Di
cina ia membantu mengatur pengerahan tenaga kuli, suatu tugas yang ia laksakan
dengan penuh semangat dan pengabdia. Para tuan kebun begitu puas dengan cara
hoetink melayani kepentingan mereka, hingga DPV mengusulkan agar ia diangkat
menjadi konsul0jendral. Dari laporan-laporan yang dituliskannya tentang
berbagai perjalanan inspeksi di daerah luar Jawa abad ini, ia tampak benar
sebagai orang yang berprasangka terhadap sikap kuli yang enggan bekerja, tak
dapat dipercaya, bahkan suka berbohong; jadi sikapnya ini sama dengan sikap
para majikan.
Yang jauh lebih
sulit “digarap” lewat jalur birokrasi adalah Van den Brand. Dia adalah actor
utama yang menyingkapkan drama kuli. Terdorong oleh hati nurani kristennya, ia
langsung mencari dukungan public untuk melawan system perburuhan di sematera
timur. Dengan terus terang ia mengakui bahwa pada awal kehadiran nya – ketika
bekerja sebagai redaktur Sumatera post – ia pun sejalan dengan pendapat yang
umum berlaku di kalangan eropa. Lefebre, penentangnya dalm debat terbuka pada
29 maret di medan, mengatakan delama kesempatan lain bahwa beberapa tahun
sebelum itu Van den Brand masih membela para tuan kebun dan sudah biasa
mengambarkan para kuli sebagai sampah masyarakat cina dan jawa.
Van Den Bert
ggalkan politik Kristen. Pada 1904 ia ke belanda, tentu dengan maksud
meneruskan perjuangan menentang system kerja kontrak di perkebunan. Usahanya
untuk melakukan hal itu di bidang politik gagal. Sebagai anggota ARP (Anti
Revolutioner Partij, partai anti revolusioner) ia mencalonkan diri untuk
menjadi anggota Majelis Rendah, tetapi ia tidak mendapat cukup dukungan.
Pandangannya memang mencerminkan keyakinan kristenannya, tetapi terlampau kiri,
hingga mendapat perhatian dari pemimpin partai.
Yang menyebabkan
masalah kuli di sumatera timur menjadi skandal besar pada awal abad ini bukan
hanya cara tuan kebun memperlakukan para kulinya, tetapi juga cara pihak yang
berwenang dalam menangani kejadian itu. Peristiwa tersebut menjadi menarik bagi
siapa saja yang ingin mengetahui cara aparat pemerintah menelurkan kebijakan
yang berkenan dengan pengungkapan suatu skandal. Reaksi yang dapat diduga
adalah sanggahan bercampur rasa tersinggung pada orang yang telah menyebabkan
perkara itu dibicarakan orang. Dalam perkara kuli kontrak, hal ini juga yang
terjadi. Hal pertama yang dilakukan pemerintah daerah atas terbitnya brosur De
Millionen un Deli adalah bertanya kepada jaksa Agung di Batavia, apakah ada
kemungkinan menuntut penulis brosur itu. Sikap it uterus bertahan sampai
beberapa waktu kemudian, diperkeras oleh reaksi dari para tuan kebun dan mantan
pejabat. Ketika lama-kelamaan ternyata bahwa membantah semata tidak meyakinkan,
maka mereke mencari jalan lain.
Revisi atas
peraturan perburuhan merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk membebaskan
diri darituduhan bahwa peraturan itu diadakan hanya untuk kepentingan para
majikan. Tetapi, mengambil jarak tidak berarti menetang sekutu lama dengan
melaksanakan kebijakan untuk memperbaiki secara nyata posisi mereka tertindas ,
meskipun justru maksud itu yang menjadi pendorong utama pembentukan inspeksi
perburuhan. Sejak semula tekanannya adalah melawan ekses, sedang system
hubungan perburuhan yang ada tetap dipertahankan, termasuk ketentuan mengenai
pemaksaan. Titik tolak kebijakan itu tidak berubah, yaitu asumsi bahwa
menghapus ordonasi kuli dengan poenale sanctienya akan berarti mengakhiri
system perkebunan di Sumatera Timur.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Perkebunan di
Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur
merupakan daerah perkebunan (Tembakau, Karet, Kelapa Sawit). Perkebunan di Sumatera Timur yang
begitu luas membuat kekurangan tenaga kerja. Pada saat kebutuhan jumlah
tenaga kerja terpenuhi ternyata terdapat konflik baru yang muncul yaitu
mengenai ordonansi kuli. Dengan pekerjaan yang sangat berat dan upah kuli
yang kecil, membuat para kuli selalu bersikap menantang para mandor dan
tuan-tuan kebunnya.
Permasalahan kuli tersebut coba di publikasi
oleh Van Den Brand dengan cara menyebarkan brosur-brosur yang cukup
kontroversial yang mengakibatkan timbulnya celaan dimana-mana. Tujuannya untuk
membuat pernyataan bahwasanya ada skandal terselubung di balik kebijakan-kebijakan
yang di buat pemerintah terhadap kuli dan tuan-tuan kebun yang cenderung
berpihak kepada tuan-tuan kebun. Rhemrev, merupakan orang yang menyelidiki
skandal-skandal yang terjadi terhadap perkebunan di Sumatera Timur. Dia
juga memperjuangkan hak-hak kuli supaya jangan ada lagi ordinasi kuli terjadi
di perkebunan Sumatera Timur. Berdasarkan penyelidikan yang di lakukannya,
ternyata pernyataan Van Den Brand di brosur-brosur tersebut adalah benar.
Selama ini yang menyebabkan masalah kuli di Sumatera Timur menjadi besar bukan
hanya perlakuan tuan tanah terhadap buruhnya. Tetapi, pihak pemerintah juga
terkait dalam permasalahan kuli yang selama ini terjadi di Sumatera Timur.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009