-->

Desember 10, 2020

MERAWAT EKSISTENSI PENDIDIKAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Dunia masih sakit. Pandemi Covid-19 belum berlalu. Angka-angka yang terkomfirmasi reaktif semakin meningkat. Angka kematian akibat Covid-19 sudah tak bisa dibendung. Strategi demi strategi sudah disusun pemerintah untuk dilaksanakan. Setiap elemen bangsa sudah berbuat maksimal untuk mengurangi dampak buruk akibat pandemi. Secara global sampai tanggal 09 Desember 2020 jumlah kasus konfirmasi corona sudah mencapai 67.780.361 jiwa dengan tingkat kematian 1.551.214 jiwa (WHO, 2020). Secara nasional, tanggal 09 Desember 2020 di Indonesia angka terkonfirmasi reaktif 592.900 jiwa dengan kasus meninggal 18.171 jiwa (covid19.kemkes.go.id).  Indonesia menjadi peringkat 20 sebagai negara terbanyak kasus terkomfirmasi dan meninggal dunia karena Covid-19 (WHO, 2020).

Segala sektor sudah merasakan dampak dari pembunuh yang tak kelihatan ini. Ekonomi resesi, kebijakan untuk antisipasi resesi sudah menjurus ke segala elemen masyarakat. Krisis sosial semakin terlihat, pertemuan yang biasa dilakukan di ruang sosial diganti dengan virtual. Sektor kesehatan sedang menghadapi sejarah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai garda terdepan masa depan bangsa. Sektor yang yang tak kalah hangat dibicarakan saat ini adalah pendidikan. Cita-cita besar Indonesia Maju dengan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul sekaligus menjadi targetan pemerintah saat ini. Pendidikan merupakan salah satu cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun, faktanya pendidikan berada pada masa yang sangat sulit saat ini.

Putar Haluan Kebijakan Pendidikan

Sekolah yang dipercayakan sebagai wadah  transfer pendidikan sedang ditutup. Alasan manusiawi mengutamakan keselamatan para peserta didik dan tenaga pendidik. Baru-baru ini konsep “Merdeka Belajar” menjadi amunisi Menteri Pendidikan (Nadiem Makarim) untuk memajukan pendidikan Indonesia. Ada empat poin yang menjadi fokus dari program “Merdeka Belajar” ini diiantaranya USBN diganti dengan ujian asesmen, tahun 2021 UN akan diganti, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dipersingkat, dan zonasi PPBD lebih fleksibel. Apakah empat poin ini sudah berjalan selama pandemi? Tentu tidak. Putar haluan kebijakan sudah dilakukan sejak angka pertama terpapar Covid-19 ditemukan pada bulan Maret lalu.

Lembaga internasional seperti UNICEF, WHO, dan IFRC dalam Covid-19 Prevention and Control in School (Maret, 2020) untuk meminimalisir persebaran virus maka sekolah harus ditutup dan proses pendidikan tetap belajar dilakukan secara  daring. Sekitar 1,5 miliar siswa di dunia saat ini sedang mengalami gangguan pendidikan. Ini juga dirasakan oleh negara dengan jumlah 17.500 pulau yaitu Indonesia. Pagebluk corona ini membuat pemerintah Indonesia mengambil tindakan. Sejak 24 Maret 2020 lalu,  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19. Intinya adalah pelaksanaan pendidikan dilakukan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan difokuskan kepada pendidikan kecapakapan hidup.

Gangguan pendidikan 44 juta siswa pada setiap setiap jenjang pendidikan. Sekitar 25 juta lebih siswa tingkat SD, 9 juta tingkat SMP, 9 juta tingkat SMA/SMK (BPS, 2020). Angka ini akan menjadi satu generasi masa depan bangsa. Jika tidak dipersiapkan sejak sekarang niscaya akan ada satu generasi yang terdampak negatif kepada masa depan bangsa. Bahaya laten Covid-19 bukan saja kesehatan. Seperti perasaan cemas, khawatir, gelisah, takut, panik, dan sampai ke perilaku destruktif dan dampak jangka panjang terhadap kualitas manuisa sebagai modal bangsa dalam pembangunan. Sekolah yang tadinya menjadi tempat belajar paling dipercaya dan wadah membantu perkembangan psikologi anak, faktanya sekolah tidak bisa menjamin itu lagi. Beban pendidikan itu semua dilakukan di rumah.

Covid-19 setidaknya menyadarkan kita kepada empat hal (Luthra & Mackenzie, 2020), pertama pendidikan di dunia semakin terhubung (educating citizens in an interconnected world), pendefenisian ulang pengertian pendidikan (redefining the role of the educator), mengajarkan pentingnya keterampilan hidup dimasa yang akan datang (teaching life skills needed for the future), dan membuka lebih luas peran teknologi  dalam menunjang pendidikan (unlocking technology to deliver education). Kesadaran inilah yang akan dijadikan sebagai salah satu modal untuk memikirkan cara mengambil kebijakan dan cara bertindak ke depannya.

Fakta Penerapan Pembelajaran Jarak Jauh di Daerah

Kebijakan yang solutif dan konkrit diharapkan dapat menjadi kabar baik bagi pendidikan di seluruh penjuru tanah air. Namun faktanya, Pembelajaran Jarak Jauh  bukanlah sebuah kebijakan solutif untuk daerah-daerah terpencil di Indonesia. Tantangan melaksanakan PJJ cukup beragam. Metode pembelajaran seperti ini tentu  tidak akan tercapai apabila di suatu daerah tidak memiliki akses digital seperti hanphone, komputer, jaringan internet, dan paket internet. Ketersediaan infrastruktur teknologi juga masih menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah. Belum lagi berhadapan dengan kompetensi yang dimiliki guru untuk memfasilitasi Pembejaran Jarak Jauh yang masih terbatas. Orangtua siswa yang diminta untuk melakukan pendampingan belajar si anak juga turut menjadi perhatian. Tidak semua orangtua bisa mendampingi anaknya belajar, keterbatasan waktu dan belum terbiasa mengoperasikan alat-alat teknologi.

Sebelum Covid-19 kesenjangan pendidikan di daerah dan di perkotaan masih tinggi. Apalagi ketika pandemi hadir, tanpa ampun pendidikan di daerah semakin di titik terendah. Padahal wajah pendidikan Indonesia bukan hanya dilihat dari kota-kota besar. Kebijakan seharusnya mampu mewakili multi konteksnya bangsa kita.

Paulo Preire dalam bukunya “pedagogy of the oppressed” mengatakan perlu ada kesadaran (consciousness) para pemangku kebijakan untuk menetapkan keputusan yang benar-benar bisa hadir untuk konteks Indonesia yang belum merata. Pendidikan hadap masalah (problem-posing education) menjadi salah satu metode yang tepat untuk dilakukan saat ini.  Cara berpikir fokus kepada potensi (ased based thinking) menjadi pilihan yang tepat saat ini. Mengeluh terkait pendidikan karena Covid-19 akan menjadi toksin mematikan dan memperburuk imun tubuh. Apalagi mempersiapkan kualitas sumber daya manusia ke depan.

Ambil Peran untuk Pendidikan di Daerah

Untuk pendidikan di masa pandemi ini, apa yang bisa kita lakukan bersama? Mari kita kembali kepada salah pandangan pendidikan yang disampaikan Bapak Pendidikan Nasional Indonesia terdahulu yaitu Ki Hajar Dewantara yang mengatakan, “semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah.” Pandangan ini tentu sangat relevan dengan kondisi yang dihadapi Indonesia sekarang. Pendidikan bukan tentang gedungnya saja, tetapi tentang apa yang bisa dilakukan. Jika semua orang berperan sebagai guru saat ini, tentu ini akan menjadi sebuah kultur baru untuk kemajuan bangsa. Pemangku kepentingan, kepala sekolah, guru, orangtua, pemuda sudah saatnya menjadi pelaku aktif pendidikan. Sudah saatnya sekarang keluar dari zona nyaman, sekolah bukanlah tempat abadi untuk belajar. Buktinya sejak Maret sampai Semptember ini, pendidikan dilakukan di luar sekolah. Gedung bukanlah jaminan tempat belajar. Tenaga pendidik hadir di sekolah bukanlah jawaban yang tepat pada saat pandemi ini. Sudah saatnya pendidikan itu menjadi tanggungjawab bersama.

Gotong-royong pendidikan pada masa pandemi ini sekaligus menjadi budaya baru yang layak diperjuangkan.  Jika ini menjadi gerakan sosial baru, tentu kita sedang mempersiapkan satu generasi untuk masa depan bangsa.  Pengalaman penulis sebagai relawan penggerak pendidikan di Kalimantan Selatan selama satu tahun dan menyaksikan ketimpangan akses pendidikan di daerah dengan perkotaan terutama saat kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh diberlakukan. Tetap begitu banyak ruang potensi yang dapat dilakukan bersama. Potensi itu juga menjadi sebuah modal besar yang dapat di kelola saat kondisi seperti ini.

          Pertama, melakukan komunikasi dengan pemangku kepentingan di tingkat desa atau tingkat kecamatan.Setiap daerah di Indonesia memiliki perbedaan kondisi Covid-19. Otomatis seluruh daerah di Indonesia yang terdampak kebijakan pusat untuk menutup sekolah. Namun, secara fakta daerah tersebut belum siap melakukan Pembelajaran Jarak Jauh. Dengan duduk bersama dan bahas pendidikan oleh setiap pemangku kepentingan daerah, terutama tingkat kecamatn dan desa maka akan ditemukan kebijakan lokal atas jawaban terhadap kondisi daerah yang berbeda. Kedua, kolaborasi. Bekerja sendirian bukanlah strategi yang manjur dewasa ini. Dipelrukan kolaborasi pendidikan dari seluruh aktor pendidikan. Misalnya dengan menghadirkan Taman Baca di tingkat  desa, meningkatkan literasi, serta belajar dengan memanfaatkan sumber daya terdekat dan bisa dijangkau, sebab siapa pun sebenarnya bisa ambil bagian untuk pendidikan.

Ketiga, lakukan protokol kesehatan. Inisiasi gerakan pendidikan yang dilakukan local champion tentu akan mengurangi penyebaran virus corona di daerah. Anjuran untuk menerapkan 3M (mencuci tangan dengan masker, memakai masker, dan menjaga jarak) merupakan langkah yang paling baik saat ini.

Kita tidak akan tahu kapan pandemi menghilang. Waktu tetap berjalan, pendidikan untuk setiap generasi bangsa ini menjadi sebuah tanggung jawab bersama. Gerakan sosial untuk pendidikan merupakan aksi untuk mempersiapkan generasi bangsa.

Tags :

bonarsitumorang