-->

Agustus 15, 2018

Resensi Buku Konflik Pertambangan Di Tanah Papua


IDENTITAS BUKU
Judul Buku                : Konflik Pertambangan Di Tanah Papua
Penulis                        : Krinus Kum,S.IP, M.Si
Penerbit                      : Mitra Wacana Media Jakarta
Tahun Terbit             : 2015
Jumlah Halaman       : 348 halaman
Bidang Kajian           : Sosial EkonomiLingkungan

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara yang sangat kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh penjuru tanah air. Salah satu sumber daya alam yang menjadi andalan Indonesia adalah hasil tambang. Sumber daya alam yang melimpah dibidang pertambangan telah mendorong para investor asing untuk mengeskploirasi dan mengeksploitasi alam Indonesia dengan cara menanamkan modal atau berinvestasi di Indonesia.
Pulau Papua atau Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang dianugerahi sumber daya alam terutama hasil bumi dibidang pertambangan yang sangat melimpah. Kekayaan hasil bumi Papua mendorong pemerintah dan pihak pemilik modal untuk memanfaatkan hasil bumi tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat dan pembangunan ekonomi. Papua menjadi surga bagi para pemilik modal untuk berinvestasi di bidang pertambangan. Salah satu perusahaan yang sangat terkenal akan kegiatan pertambangannya di tanah Papua ialah PT.Freeport Indonesia. Perusahaan ini merupakan milik salah seorang pengusaha asal Amerika.
Kehadiran sebuah perusahaan termasuk PT. Freeport Indonesia di tanah Papua tidak selamanya membawa dampak yang positif bagikehidupan masyarakat di sekitarnya. Sebaliknya malah kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan. Dambaan akan kesejahteraan dan kemakmuran yang didengungkannyatanya hingga hari ini tidak terwujud, sementara hasil alamPapua semakin hari semakin terkuras habis.Kehidupan masyarakat Papua yang masih tradisional secara terus menerus digusur dengan munculnya perubahan-perubahan dalamkehidupan masyarakat. Perubahan tersebut terutama disebabkan oleh munculnya perusahaan pertambangan.perubahan yang terjadinyatanya tidak selaluberdampakpositif bagi kehidupan masyarakat Papua. Akibat kehadiran perusahaan, kerapterjadi konflikberkepanjangan yang hingga hari ini belum berujung.
Berkaitan dengan sering terjadinya konflik pertambangan di Papua, Siti Maimunah menjelaskan bahwa ibarat gunung es yang mulai memuntahkan lavanya, intensitas kasus-kasus pertambangan meningkat dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun kuantitas. Konflik tersebut telah terakumulasi sejak masa orde baru.
Buku ini terdiri dari 12 BAB yang menjelaskan tentang konflik pertambangan di tanah Papua. Akan tetapi, oleh karena topik yang dibahas dalam buku ini sangat luas, maka kami memilih topik-topik tertentu yang menurut kami menarik untuk dikaji, yakni bab 2,4,5,9 dan 11. Masing-masing bab tersebut memiliki kaitan pokok permasalahan yaitu membahas tentang konflik pertambangan yang terjadi di areal PT. Freeport Indonesia.

Pembahasan
Pembahasan kami awali dari BAB 2 yang mana bab ini mengkaji tentang teori yang digunakan penulis dalam menganalisa permasalahan yang dikemukakan. Untuk mengkaji permasalahan yang dikemukakan dalam buku ini, penulis menggunakan teori konflik sosial yang dikemukakan oleh beberapa tokoh sosiologi seperti Karl Mar, Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuat tidak berdaya. Tidak ada satupun masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik baik antar anggota atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Dalam menganalisis konflik yang terjadi di Papua, penulis menggunakan analisis konflik secara sosiologis, yang mana teori-teori yang digunakan penulis terdiri dari beberap tokoh sosiologi seperti Karl Marx, Ralf Dahrendrof dan Lewis A. Coser.

a.      Teori Konflik Karl Marx
Marx mengatakan bahwa kenyataan sosial adalah konflik. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan asset-aset yang bernilai. Bentuk konflik yang paling menonjol menurut Marx adalah konflik yang disebabkan oleh produksi barang-barang material. Dalam proses produksi, terdapat dua kelompok yakni kapitalis yang disebut sebagai borjuis, yang mana mereka adalah para pemilik modal dan yang menguasai sarana-sarana produksi. Jumlah kelompok proletar sedikit dan mereka menjual hasil-hasil produksi dengan harga-harga yang jauh lebih besar sehingga mereka mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.Kelompok yang kedua ialah proletar atau kaum buruh, yang mana mereka menyerahkan tenaga untuk menjalankan alat produksi dan sebagai imbalannya, mereka mendapatkan upah dan bukannya barang yang mereka hasilkan. Dalam sistem produksi, pekerja atau kaum proletar mengalami alienasi atau keterasingan dan terjadi konflik yang terelakkan antara pemilik modal dan buruh. Pemilik modal berusaha untuk menekan upah buruh serendah-rendahnya untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan para kaum buruh juga berusaha  mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Oleh karena keuntungan dan upah berasal dari sumber yang sama maka konflik menjadi tidak terhindarkan. Menurut Marx, konflik tidak akan berakhir kecuali kalua ada perubahan dalam sistem produksi.

b.      TeoriKonflik Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa masyarakat bersisi ganda, memiliki symbol konflik dan sisi kerjasama. Jika Marx berpendapat bahwa pemilikan modal dan kontrol sarana produksi berada dalam satu individu yang sama. Menurut Dahrendorf, tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad ke 19. Menurut Dahrendorf, terdapat tiga asumsi yang mendasari penolakan tersebut yaitu : Dekomposisi modal, yang mana timbulnya korporasi-korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, di mana tak seorang pun memiliki kontrol penuh. Dekomposisi tenaga kerja, yang mana dalam era spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seseorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikannya. Timbulnya kelas menangah baru di mana muncul kelas pekerja dengan susunan yang jelas,yang mana para buruh terampil berada dijenjang atas sedangkan buruh biasa berada di bawah.
Dahrendorf menerima ide Marx mengenai pertentangan kelas sebagai suatu bentuk konfikdan perubahan sosial. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas. Menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsure baru bagi kelahiran kelas.
Menurut Dahrendorf,terdapat dua kelas sosialyaitu mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan.

c.       Teori Konflik Lewis Coser
Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok lain. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan,yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup penyelamat ialah suatu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatf saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

1.      Sumber Daya Energi Dan Potensi Manusia Dipulau Papua
            Pulau Papua merupakan wilayah yang memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa. Dengan alasan itulah banyak oknum-oknum tertentu datang untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan animo yang tinggi dalam rangka mendapatkan keuntungan yang besar maka mereka datang ke Papua, kemudian saling baur membaur dan mempengaruhi untuk mendapatkan keuntungan yang besar untuk  mendapat sesuatu yang mereka ingin mengejar apa yang menjadi obsesi dan impian mereka,setelah mereka mendapat keuntungan itu maka mereka akan tetap mempertahankan posisi itu. Sementara itu ada orang yang ingin meningkatkan dan maju secara ekonomi. Jadi antara yang mempertahankan dengan yang ingin meningkatkan menyebabkan adanya konflik. Karl Marx menyebutnya  kelas borjuis dan kelas proletar.

a.      Potensi Sumber Daya Energi Baru
            Sumber energy yang tersedia melalui satu unit diesel tidak cukup untuk menyuplai listrik kepada 262.202 jiwa. Energi listrik yang tersedia di Kabupaten Tolikara bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
1.      Energi Air
Air merupakan sumber energi baru terbarukan di Kabupaten Tolikara yang tersedia dalam dua skala yaitu makrohidro/PLTA dan Mikrohidro/PLTMH
2.      Energi Surya
3.      Energi Angin
4.      Bahan Bakar Nabati, Biothanol, Biodiesel, dan Biogas

b.      Anak-anak Papua Mempunyai Potensi Yang Luar Biasa
            Anak-anak Papua itu terlahir dengan kemampuan dan potensi tersendiri terkait dengan ilmu pengetahuan terutama sekolah tentang mata pelajaran fisika,kimia, dan lain-lain. Contohnya, Yupinus asal Sorong Papua Barat tahun 2004 pernah juara olimpiade fisika ditingkat internasional, Albertina Beanal dan Yikwa tahun 2011 pernah  membuat robot untuk “mendeteksi Tsunami” ini upaya binaan dan bimbingan dari Prof.Yohanes Surya. Berkaitan dengan hal ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan PT. Freeport Indonesia  bekerjasama untuk menjaring potensi anak-anak Papua melalui kompetisi bertajuk menambang Sumber Daya Manusia Papua. 

Para siswa yang berhasil meraih posisi terbaik ditingkat provinsi akan mengikuti lomba  serupa ditingkat nasional. Tentunya untuk tetap mengembangkan potensi mereka baiknya melalui pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas , mereka harus dibentuk dibina, dibentuk,dan dibimbing kemudian mereka juga harus belajar dengan nyaman  dan aman dilingkungan sekolah, namun dibeberapa daerah Papua yang selama ini seringkali terjadi konflik baik itu konflik sosial,ekonomi, dan konflik kekuasaan politik. Seperti,konflik pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibeberapa wilayah yang mengakibatkan menelan korban jiwa yang cukup banyak. Tidak hanya memakan korban jiwa namun korban kerusakan barang-barang seperti kebakaran bangunan. Sehingga menyebabkan kesulitan untuk mengakses sekolah seperti Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Puncak Papua.

2.      Analisis Konflik dan Potensi Sumber Daya Ekonomi
            Terkait dengan kekayaan alam yang ada di Papua ini yang berpotensi dan menguntungkan bagi masyarakat itu sendiri. Jika pemerintah daerah Papua mempunyai komitmen yang besar untuk sumber daya Papua maka 20 tahun kedepan akan dikuasai oleh orang lain. Karena kehidupan Papua hingga saat ini masih tidak hidup damai, aman,harmonis, dan lain sebagainya. Kemudian yang terjadi yaitu konflik, konflik antarelit, antarsuku, antarpribadi, antarkelompok bahkan horizontal, maupun vertikal yang menyebabkan Papua tidak nyaman hingga saat ini.
            Konflik memang tidak bisa dihindari dari kehidupan manusia baik dari masalah konflik keluarga, kelompok, komunitas, masyarakat bahkan bangsa dan Negara ditingkat nasional maupun internasional. Konflik dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan budaya (UU RI No.7 tahun 2012). Sumber konflik muncul akibat pertarungan kepentingan politik, ekonomi maupun sosial budaya . Papua menjadi tantangan masa depan Indonesia, apabila masalah-masalah krusial  tersebut dibiarkan dan tidak ditangani secara baik dan tuntas makaakan menyebabkan konflik secara terus menerus. Salah satu faktor munculnya konflik Papua adalah motif ekonomi. Penguasaan sumber daya ekonomi termasuk sumber daya alam oleh kelompok tertentu atau kelompok pemodal tertentu yang menyebabkan hak masyarakat adat terabaikan dari kehidupan ekonominya dan hidup menderita diatas kelimpahan sumber daya alam yang bernilai ekonomi adalah merupakan potensi konflik, disparitas pengelolaan sumber daya ekonomi yang didominasi oleh waarga luar Papua menyebabkan orang asli Papua sulit bersaing dan terpinggirkan posisinya dari persaingan ekonomi modern. Hal ini sering menjadi pemicu konflik yang bisa mengarah pada diskriminasi ekonomi. Isu politisasi ekonomi tersebut semakin kuat ketika hasil eksploitasi sumber daya alam yang bersumber dari pertambangan mineral, gas, bumi,  kehutanan, dan perikanan belum memberikan signifikan terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua.
            Konflik tidak ada keuntungan sama sekali bagi masyarakat terutama masyarakat Papua,karena masa ke masa konflik berpanjangan belum ada titik temu atau sangat sulit untuk menyelesaikan. Mempertahankan status quo egoismenya masing-masing sehingga sangat mudah sekali mendatangkan konflik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sebenarnya potensi anak-anak  Papua sangat hebat dan luar biasa, namun kini lingkungan tersebut sudah dihancurkan dan dirusak oleh masyarakat itu sendiri, anak-anak mau mengembangkan dan memperlancar potensinya, tapi semangat anak-anaknya menurun dan berhenti sekolah sampai berbulan-bulan karena gedung sekolah dibakar tragis dan dirusak oleh masyarakat yang berkonflik.

3.      Faktor Penyebab Konflik

        Salah satu faktor munculnya konflik di Papua adalah motif ekonomi. Penguasaan sumber daya ekonomi termasuk sumber daya alam oleh kelompok tetentu yang menyebabkan hak masyarakat adat terabaikan dari kehidupan ekonominya dan hidup menderita di atas kelimpahan sumber daya alam. Disparitas pengelolaan sumber daya ekonomi yang didominasi oleh warga luar Papua menyebabkan orang asli Papua sulit bersaing dan terpinggirkan posisinya dari persaingan modern. Realita menunjukkan orang Papua hanya mampu bertahan pada ekonomi subsisten dengan mengandalkan pada produksi lokal yang bersifat tradisional. Sementara produk ekonomi pasar sudah dikuasai oleh pemilik modal dari luar Papua sehingga tercipta jurang pemisah ekonomi yang mendalam. Kenyataan ini sering membuat pemicu konflik yang bisa mengarah pada isu diskriminasi ekonomi, dan kemudian berimplikasi pada politisasi isu rasial di mana orang Papua secara sistematis dimiskinkan di atas tanahnya sendiri.
Isu ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua berperan sangat besar dalam konflik. Negara dianggap kerap memberi konsesi kepada perusahaan pengelola sumber daya alam dengan mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi. Sementara pasukan militer dan polisi yang menjaga konsesi-konsesi tersebut seringkali melakukan pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terhadap orang sipil.

4.      Pihak Yang Terlibat Konflik
a.      Perusahaan atau pemilik modal
Dalam proses pengoperasian setiap perusahaan yang ada di pulau Papua tidak mengatur secara baik dalam pengelolaan atau pembuangan tailing itu. Tapi pembuangan tailingnya melalui sungai, laut maupun buang lewat hutan yang mengakibatkan sungai berubah warna dari jernih menjadi kabur; tanaman dan kebun masyarakat mati; ikan, udang, kepiting, siput, yang ada di laut berubah warna kekuningan dan meracuni; kawasan hutan lindung perusakan; melubangi tanah hingga ribuan meter ke dalam tanah yang berpotensi longsor dan banjir. Untuk keperluan analisis konflik, perusahaan-perusahaan yang ada di papua, sudah jelas sebagai aktor konflik atau mengundang konflik sekaligus biangnya. Karena perlakuan-perlakuan negatif atau ketidakpedulian terhadap masyarakat sebagai pemilik ulayat. Kemudian dari dimensi perilaku yang menyumbang konflik.

b.      Militer/aparat keamanan
Militer maupun aparat keamanan yang ditempatkan di setiap perusahaa-perusahaan yang ada di tanah papua, itu bukan merupakan pelindung masyarakat tetapi pelindung perusahaan, disamping menjalankan bisnis-bisnisnya terutama areal pertambangan di PT.Freeport Indonesia Kabupaten Mimika. Aparat keamanan yang ada di areal pertambangan seakan-akan melindungi untuk perusahaan saja.  Padahal dalam aturan uu fungsi mereka adalah untuk melindungi dan mengayomi masyarakat kemudian juga menertibkan keamanan masyarakat. Tetapi khususnya mereka yang bertugas di areal pertambangan tidak menggunakan fungsi tersebut justru melalaikan kemudian yang terjadi adalah bermusuhan dengan masyarakat sehingga terjadilah konflik.

c.       Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pusat
Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten sebagai pihak yang berkonflik, karena pemerintah punya otoritas tinggi untuk mengawasi masuk keluarnya setiap perusahaan yang beroperasi di seluruh papua. Konflik kewenangan juga terjadi antara antara pemerintah provinsi dengan kabupaten.  Hampir semua tempat areal pertambangan pasti terjadi konflik tidak terkecuali, sehingga masyarakat sebagai pemilik ulayat, lembaga masyarakat, maupun intelektual selalu melakukan desakan kepada pemerintah, hanya diminta untuk hentikan/tutup bahkan melakukan demonstrasi di kantor pemerintahan daerah.  Namun, pemerintah daerah seakan-akan tidak serius mendengar seruan masyarakat.
d.      Masyarakat
Setiap areal pertambangan di pulau Papua, masyarakat sebagai pemilik hak tetap diposisikan sebagai korban. Akibat pembuangan limbah dari aktivitas penambangan, seperti; perusahaan PT.Freeport Indonesia melakukan pembuangan limbah atau tailing melalui sungai Agawomon/Ajkwa. Beberapa areal pertambangan lainnya juga sudah terjadi perusakan, melubangi tanah hingga ratusan meter kedalamannya. Akibat pembuangan tailing atau limbah tersebut, satu-satunya sungai jernih yang dikonsumsi, namun kini sudah kabur tidak bisa mengonsumsi lagi. Masyarakat melakukan tuntutan, berkaitan dengan penambang-penambang yang datang di papua dan perusakan lingkungan dan juga terjadi kekerasan, sehingga masyarakat tidak bisa hidup nyaman. Sehingga masyarakat pemilik ulayat , lembaga masyarakat maupun intelektual kepada pemerintah daerah untuk dihentikan.  Upaya yang mereka lakukan adalah melalui demonstrasi, mengirimkan surat terrtulis, lewat media, sampaikan langsung secara lisan, dsb.

5.      Konflik Pembangunan Di Areal Pertambangan Freeport
Pembangunan infrastruktur yang dibangunoleh PT Freeport saatinimasihberjalanbaikhinggasaatini.Pembangunan dilakukanditiga desa yaitu, Desa Waa, Arwanop, danTsinga.Adapunproyekinfastruktur yang mulaidibangunoleh Freeport di Papua, adalah : Pengembanganpelabuhan Amamapare, dimanakonsentratemasdantembaga di eksportataunantinyadiantarpulaukan.  Pembangunan sebuahkotabaru. Pembangunan saranapembangkittenagalistrikbagitambangemasdantembaga yang baru. Pembangunan BandaraTimika.

1.      Resolusi Konflik Sosial Di Papua

Resolusi konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunakan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik bisa dikelompokkan menjadi pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik atau melalui intervensi pihak ketiga.
Resolusi konflik merupakan terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses yang terbuka dan membagi suatu proses yang terbuka dan membagi suatu proses penyelesaian konflik dalam beberapa saat sesuai dinamika siklus konflik.  Negara harus menjadi agen resolusi konflik itu. Dalam jangka panjang, Negara harus menciptakan pembangunan dengan tujuan pada perdamaian yang abadi. Lambang trijono dalam pembangunan sebagai perdamaian menyatakan bahwa Negara bisa membuat kebijakan pembangunan yang mencegah konflik dan mendorong perdamaian dengan strategi dan prioritas, sebagai berikut :
a.       Strategi dan prioritas untuk mencegah skenario terburuk berupa upaya  mencegah konflik.
b.      Strategi dan prioritas untuk mentransformasikan skenario moderat dengan upaya transformasi konflik.
c.       Strategi dan prioritas untuk mendorong terwujudnya skenario terbaik dengan upaya membangun perdamaian.
Model resolusi konflik ini mengidentifikasikan 5 gaya resolusi konflik, yaitu:
a.       Competitive style, lebih kepada gaya kompetitif, dimana individu cenderung agresif dan sulit untuk bekerja sama, menggunakan kekuasaan untuk melakukan konfrontasi secara langsung. 
b.      Collaborative style, lebih kepada sikap asertif dan perhatian terhadap orang lain.
c.       Compromise style, gaya kompromi lebih terbuka dibandingkan dengan avoidance, tetapi masalah yang terungkap tidak sebanyak gaya collaborative. 
d.      Avoidance style, ciri utama gaya ini adalah perilaku yang tidak asertif dan pasif. Biasanya mereka mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. 
e.       Accommodating style, ditandai dengan perilaku non asertif namun kooperatif. Individu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain.

2.      Analisa dan Pemetaan Konflik
            Analisa konflik perlu dilakukan untuk :
a.       Memahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini
b.      Mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, tidak hanya kelompok yang menonjol saja
c.       Untuk memahami pandangan semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana hubungannya satu sama lain
d.      Untuk mengidentifikasi factor-faktor dan  kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik
e.       Untuk belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.
Di bawah  ini adalah beberapa isu konflik pertambangan yang kerap terjadi pada tataran mikro seperti:
a)      Isu pelaksanaan corporate social responsibility (CSR). CSR saat ini sudah mulai dimasukkan sebagai integrasi aktivitas tambang.
b)      Akses terhadap kepemilikan sumber daya mineral. Kesempatan untuk mendayagunakan sumber daya mineral atau dapat  dikatakan perlombaan eksploitasi ini umumnya menimbulkan rasa ketidakadilan.
c)      Kesempatan dan persaingan kerja. Umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah.
d)      Hak ulayat dan hak individu. Tentunya konflik ini berakar dari ketidakpenerimaan masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat.
e)      Kerusakan lingkungan. Pastinya ini adalah konflik menerus yang dihadapi oleh pertambangan.
f)       Dampak PETI . PETI atau pertambangan tanpa izin adalah salah satu konflik multikompleks yang terjadi di pertambangan Indonesia.

3.      Penanganan Konflik Pertambangan
            Berkaitan dengan penanganan konflik di areal penambangan atau perusahaan, khususnya dari masyarakat sebagai pemilik hak ulayat menuntut hak mereka belum menunjukan kekerasan, tapi yang ada adalah melakukan demonstrasi, naikan gugatan, dsb. Akan tetapi kerap terjadi kekerasan dan pembunuhan adalah dari pihak perusahaan melalui kekuatan atau pelindungnya.  Kendala penanganan konflik karena factor-faktor structural. Konflik tidak hanya melibatkan pemain pada tingkat local tapi juga elit-elit nasional. Sebagai penanganan konflik kaitannya  dengan pengrusakan lingkungan di wilayah adat Amungsa, akibat pembuangan tailing melalui sungai ajkwa sehingga tumbuh-tumbuhan, hutan, tanaman, di sepanjang sungai ajkwa, dataran tinggi maupun dataran rendah rusak akibat pembuangan tailing tersebut. Upaya Freeport untuk penanganan konflik antara masyarakat pemilik ulayat dengan Freeport sendiri. Sehingga kemudian PT.Freeport Indonesia sudah membuat sebuah kebijakan untuk penanaman atau penghijajuan kembali, sepanjang sungai Ajkwa yang sudah rusak akibat pembuangan tailing. PTFI mempunyai komitmen untuk melakukan reklamasi maupun penghinjauan kembali lahan terganggu karena tidak lagi digunakan untuk kegiatan pertambangan.


4.      Menyelesaikan Konflik Pertambangan
            Secara umum, konflik pertambangan itu disebabkan pencemaran lingkungan, penolakan warga, konflik lahan dengan warga, ketenagakerjaan dan tumpang tindih lahan. Selain itu, kehadiran pertambangan justru menimbulkan persoalan baru. Misalnya semakin retaknya hubungan kekeluargaan, serta menyuburkan konflik sosial dan horizontal. Juga kehadiran pertambangan tidak mampu menghadirkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pihak yang diuntungkan dari aktivitas pertambangan ini hanyalah pengusaha dan pejabat. Realitas ini menunjukan adanya persoalan serius dalam dunia pertambnagan kita. Maraknya pemberian izin usaha pertambangan yang didasarkan atas kepentingan sesaat penguasa daerah tanpa melibatkan masyarakat luas, merupakan pintu gerbang konflik pertambangan. Persoalan konflik ini harus segera diselesaikan. Jika tidak, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Oleh sebab itu, segala perusahaan tambang yang bermasalah sudah saatnya dievaluasi. PT.Freeport Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan tambang yang bermasalah, melanggar pasal 33. Dari segi kepemilikan saham, lebih dari 90% saham perusahaan yang sudah mengeruk kekayaan bumi papua sejak 1967 ini dikausai oleh Freeport. Bila dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat, maka sungguh memprihatinkan dimana rakyat disekitar pertambangan tersebut menderita. Belum lagi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kehadiran perusahaan tambang ini. Penyelesaian permasalahan yang kerap terjadi terutama di areal atau lokasi pertambangan . untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tidak hanya satu pihak tetapi semua elemen masyarakat melibatkan. Baik itu pemerintah daerah setempat, tokoh, masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja, kepala-kepala suku.
Secara umum, buku ini disajikan dengan baik dan isu yang diangkat cukup faktual dan up date. Data-data pendukung dan asumsi yang digunakan juga akurat dan cukup relevan. Akan tetapi, dalam tata penulisan masih terdapat beberapa kesalahan seperti dalam penulisan tanda baca, pola pembentukan paragraph dan terdapat beberapa kata-kata yang tidak lengkap penulisannya.
Dalam mengkaji isu yang dibahas dalam buku ini, penulis menggunakan analisis secara  sosiologi dengan menggunakan teori konflik Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Akan tetapi porsi teori konflik yang digunakan penulis dalam menganalisis konflik pertambangan bersifat kabur atau abstrak. Tidak disebutkan ataupun sulit untuk melihat teori konflik mana yang lebih dominan digunakan oleh penulis.
Selain teori yang abstrak, penulis juga bersikap inkonsisten dalam menentukan sikap terkait isu yang dibahas. Pada beberapa bab awal buku, terlihat penulis sangat mendukung masyarakat dan sepertinya kontra terhadap perusahaan. Akan tetapi, pada bab selanjutnya, penulis bersifat mendukung perusahaan. Pada halaman 71 dan 59, juga terdapat kontradiksi terkait dengan latarbelakang munculnya konflik di pertambangan. Kadang penulis mengatakan bahwa sumber utama konflik adalah perusahaan, tetapi pada bagian lain dari buku, penulis mengatakan bahwa sumber utama konflik dipengaruhi oleh kebudayaan tradisional masyarakat.

Tags :

bonarsitumorang