Makalah: Sosiologi Agama
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama merupakan sebuah sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang
suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya. Adapun fungsionalisme merupakan teori yang menekankan
bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling
bergantung dan menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau ajaran yang
menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional.
Istilah suatu fungsi menunjuk pada
sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk
mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan
terus-menerus. Perhatian kita adalah peranan yang telah dan masih dimainkan
oleh agama dalm rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat.
Dalam menganalisis fungsi-fungsi
sosial dari tingkah laku keagamaan, kita harus membedakan antara yang ingin
dicapai oleh anggota-anggota suatu kelompok tertentu dan akibat yang tidak
dikehendaki dari tingkah laku mereka dalam kehidupan masyarakat. Seandainya
kita harus bertanya kepada seorang Tibet yang saleh, mengapa dia berulang-ulang
memutar roda sembahyangnya dan menyanyi “Om padme Om”, atau bertanya kepada
seorang beragama Kristen Metodis yang “bersorak-sorai” mengapa dia begitu
bersemangat, maka jawaban mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka
mempunyai maksud-maksud tertentu berkaitan dengan masyarakat. Tujuan yang
diharapkan orang Tibet dengan perbuatannya itu adalah untuk meningkatkan kesempatannya
mencapai kebahagiaan Nirwana sedangkan bagi orang Metodis perbuatannya itu
adalah untuk menyalurkan kebahagiaan karena yakin bahwa dia diselamatkan karena
rahmat Tuhan dari dosa-dosanya. Mereka dan semua pemeluk agama lain, sangat
mendambakan tercapainya harapan sampai batas-batas tertentu. [1]
Berdasarkan penelusuran tentang
fungsi dan peran agama di atas maka kami mencoba mengkaji lebih luas dalam
teori-teori fungsional mengenai agama.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
mengkaji bagaimana teori-teori fungsional mengenai agama?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini yaitu:
Ø Memenuhi
tugas mata kuliah Sosiologi Agama
Ø Mengetahui
teori-teori fungsional mengenai agama.
1.4
Manfaat
Penulisan
Dengan dibuatnya makalah tentang
teori-teori fungsional diharapkan agar:
Ø Menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca
Ø Mengetahui
teori fungsional agama
Ø Mampu
menganalisis fungsi dan peranan agama dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Agama
Agama menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latinreligio
dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang
suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas,
kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada
sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu
berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada
bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut
sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige,
dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk
mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
F menerima segala kepastian yang
menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
F menaati segenap ketetapan, aturan,
hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan
yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam
pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
2.2 Definisi Fungsional
Teori fungsionalisme disebut juga
teori strukturalisme fungsional. Fungsionalisme merupakan teori yang menekankan
bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling
bergantung dan menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau ajaran yang
menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional.
Istilah “fungsi” disini
menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama atau lembaga sosial yang
lain untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif
dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan
yang telah, sedang dan masih dimainkan oleh aliran keagamaan dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat-masyarakat tersebut.
Emile Durkheim (1858-1917), sosiolog
Perancis yang pikirannya sangat dipengaruhi oleh Auguste Comte, merupakan
sosiolog yang sangat mendambakan pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena
sosial. Teorinya berawal dari pemahaman bahwa kelompok manusia memiliki sifat
yang lebih dari atau sama dengan jumlah dari sifat-sifat individual yang
menyusun kelompok tersebut. Dari sini ia menerangkan banyak hal, bahwa sistem
sosial seimbang oleh karena adanya nilai-nilai yang dianut bersama oleh
individu, seperti nilai moral dan agama. Inilah yang mengikat individu dalam
kelompok masyarakat. Rusaknya nilai-nilai ini berarti rusaknyakesetimbangan
sosial; melalui ketidaknyamanan pada individu-individu masyarakatnya. Contohnya
yang terkenal adalah kasus bunuh diri. Menurutnya, orang bunuh diri karena
hilangnya rasa memiliki dan dimiliki orang tersebut dalam masyarakat.
Secara ekstrim, fungsionalis
berfikir bahwa masyarakat pada awalnya disusun oleh individu yang ingin
memenuhi kebutuhan biologisnya secara bersama, namun pada akhirnya berkembang
menjadi kebutuhan-kebutuhan sosial. Kelanggengan kolektif ini membentuk nilai
masyarakat, dan nilai inilah yang membuat masyarakat tetap seimbang.
Dalam hal ini ditegaskan bahwa
menurut teori fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem struktur yang terdiri
dari banyak lembaga, dimana masing-masing lembaga memilki fungsi
sendiri-sendiri, contoh lembaga keagamaan berfungsi membimbing pemeluknya
menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh pengabdian untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat, serta sadar akan kesinambungan berbagai macan
aliran keagamaan. Namun jika tidak maka prediksi yang sangat jelas sesuai
dengan teori fungsional bahwa aliran keagamaan nantinya akan ditinggalkan oleh
para pengikutnya dan bukan dipandang sebagai sebuah stabilitas masyarakat.
2.3 Teori Fungsional
Teori
fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam
keseimbangan; yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang
dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri.
Lembaga-lembaga yang kompleks ini secara keseluruhan merupakan sistem sosial
yang sedemikian rupa di mana setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan
itu) saling tergantung dengan semua bagian lain, sehingga perubahan salah satu
bagian akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi
sistem keseluruhan. Dalam pengertian ini, agama merupakan salah satu bentuk
perilaku manusia yang telah terlembaga.
Aksioma
teori fungsional ialah segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan
sendirinya. Karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, jelas bahwa
agama mempunyai fungsi, atau bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Teori
fungsional memandang sumbangan agama terhadap masyarakat dan kebudayaan
berdasarkan atas karakteristik pentingnya, yakni transedensi pengalaman
sehari-harinya dalam lingkungan alam. Teori fungsional memandang kebutuhan
demikian itu sebagai hasil dari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia.
Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian, hal yang sangat penting
bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada di luar jangkauannya. Dengan
kata lain, eksistensi manusia ditandai oleh ketidakpastian. Kedua, kesanggupan
manusia untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi kondisi hidupnya, walaupun
kesanggupan tersebut kian meningkat, pada dasarnya terbatas. Pada titik dasar
tertentu kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan
lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup
bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dari
berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Jadi seorang fungsional memandang
agama sebagai pembantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan ketiga fakta ini,
ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Menurut teori fungsional
inilah karakteristik esensial kondisi manusia, karena itu sampai tingkat
tertentu tetap ada disemua masyarakat. Agama dalam artian ini dipandang sebagai
“mekanisme” penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur yang
mengecewakan dan menjatuhkan.
Ketidakpastian
dan ketidakberdayaan, pengalaman manusia dalam konteks ketidakpastian dan
ketidakmungkinan itu, membawa manusia ke luar dari situasi perilaku sosial dan batasan
kultural dari tujuan dan norma sehari-hari. Ketidakpastian dan ketidakberdayaan
yang membawa manusia yang berhadapan langsung dengan berbagai situasi di mana
berbagai teknik yang telah mapan serta resep-resep sosial, ternyata tidak
memiliki kelengkapan total sebagai penyedia “mekanisme” penyesuaian.
Menghadapkan manusia pada “titik kritis” dengan lingkungan perilaku sehari-hari
yang berstruktur. Pada “titik kritis” ini apa yang dinamakan Max Weber sebagai
“masalah makna” tampil dalam bentuk yang paling mendesak dan pasrah.
Teori
fungsional menumbuhkan perhatian kita pada sumbangan fungsional agama yang
diberikan terhadap sistem sosial. Agama dengan kedekatannya pada sesuatu yang
berada di luar jangkauan dan keyakinannya bahwa manusia berkepentingan pada
sesuatu yang luar jangkauan itu telah memberikan suatu pandangan realitas
supra-empiris menyeluruh yang lebih luas. Aspek penting dari dari sebagian
besar agama yaitu menawarkan ritus dan liturgi, yang memungkinkan manusia
memasuki memasuki hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau kekuatan-kekuatan suci
lainnya, dan yang memungkinkan mereka bertindak memberikan tanggapan dan
merasakan keterlibatannya dalam hubungan-hubungan tersebut.
Teori
fungsional memberi kemungkinan untuk memahami fenomena lain yang hampir
universal, yaitu magis[2]. Magis sebagai seperangkat
kepercayaan dan praktek dalam berbagai bentuk yang merupakan karakteristik
masyarakat manusia. Agama dan magis memiliki kebersamaan konsepsi tentang dunia
luar atau sesuatu yang di luar jangkauan – yakni ide aspek realitas
supra-empiris. Bersama dengan agama, magis juga memiliki gagasan bahwa manusia
sanggup membentuk beberapa jenis hubungan dengan realitas supra-empiris yang
demikian.
Dari
sudut teori fungsional agama telah dibatasi sebagai “pendayagunaan sarana non-empiris atau supra-empiris untuk maksud-maksud
non empris atau supra-empiris; sedang magis adalah pendayagunaan sarana
non-empiris atau supra-empiris untuk maksud-maksud empiris.
2.4 Arti Penting Teori Fungsional
Teori
fungsional memandang agama dalam kaitan dengan aspek pengalaman yang
mentrasendensikan sejumlah peristiwa eksisttensi sehari-hari, yakni melibatkan
kepercayaan dan tanggapan kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia.
Oleh karena itu, secara sosiologis agama menjadi penting dalam kehidupan
manusia di mana pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana
adaptasi atau mekanisme penyesuaian yang dibutuhkan. Dari sudut pandang teori
fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman
manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan
yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia.
Menurut
teori fungsional, agama mengindentifikasikan individu dengan kelompok, menolong
individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya
dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur
identitas. Sumbangan agama kepada masyarakat bisa bersifat positif atau
negatif. Ia mungkin mendukung kesinambungan eksistensi masyarakat, atau
berperan menghancurkannya.
Seperti
halnya teori sosiologi tentang agama, teori fungsional juga berusaha membangun
suatu sikap bebas nilai. Teori ini tidak menilai kebenaran tertinggi atau
kepalsuan kepercayaan beragama. Salah satu sumbangan yang paling berharga dari
teori fungsional ialah ia telah mengarahkan perhatian kita pada karakteristik
agama yang menawarkan sudut pandang lain dari mana kita memulai studi sosiologi
terhadap agama.
2.5 Fungsi dan Peranan Agama Bagi Manusia
Durkheim
mengartikan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan sesuatu yang suci (sacred),
yang mempersatukan pemeluknya menjadi satu komunitas moral yang tunggal. Durkheim
mengemukakan 7 macam ciri dari yang “ suci “ itu :
Ø Diakui
sebagai suatu kekuasaan atau kekuatan
Ø Ambigius
: fisik-moral, human-cosmic, positif-negatif, menarik-menjijikkan,
membantu-membahayakan
Ø Tidak
utilitarian
Ø Tidak
empirik
Ø Tidak
melibatkan pengetahuan
Ø Memperkuat
dan mendukung para pemuja
Ø Membuat
tuntutan moral bagi para pemujanya
Sedangkan
fungsi agama bagi para ahli sosiologi berbeda satu sama lain: sebagai pemujaan
masyarakat (Durkheim), sebagai Ideologi (Marx), dan sebagai sumber perubahan
sosial (Weber). Fungsi yang dikemukakan oleh Metta Spencer dan Alex Inkeles
yakni, fungsi dukungan, fungsi kependetaan, fungsi kontrol sosial, fungsi
kenabian, dan fungsi identitas.
Menurut
E.K. Nottingham bahwa secara empiris, agama dapat berfungsi didalam masyarakat
antara lain sebagai :
¥
Faktor yang mengintegrasikan masyarakat
¥
Faktor yang mendisintegrasikan masyarakat
¥
Faktor yang bisa melestarikan nilai-nilai
sosial
¥
Faktor yang bisa memainkan peran yang
bersifat kreatif, inovatif, dan bahkan bersifat revolusioner.
Fungsi
agama ditinjau dari kajian sosiologis ada 2 yakni: fungsi manifest, dan yang
kedua fungsi latent. Fungsi manifest adalah fungsi yang disadari dan biasanya
merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku – pelaku ajaran agama.
Sedangkan fungsi latent adalah fungsi yang tersembunyi, yang kurang disadari
oleh pelaku – pelaku ajaran agama. Kalau toh mereka mengetahui, fungsi itu
dianggap tidak sebagai tujuan utama, tetapi hanya sekedar akibat sampingan.
Fungsi laten itulah yang menjadi fokus penelitian sosiologi agama.
Masih
dalam kaitan fungsi agama bagi kehidupan masyarakat, Nottingham membagi
masyarakat menjadi dua tipe. Pembagian ini dilakukan dengan melakukan
pendekatan sosiologi agama. Tipe pertama adalah masyarakat terbelakang dan
memiliki nilai – nilai sakral. Kedua, adalah masyarakat praindustri yang sedang
berkembang, dan ketiga adalah, masyarakat industri sekuler.
Masyarakat
tipe pertama, setiap anggotanya menganut agama yang sama, oleh karena itu
keanggotaan dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama
menyusup kedalam kelompok aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat
ekonomis, politik, kekeluargaan, maupun rekreatif. Sedangkan dalam masyarakat
praindustri yang sedang berkembang, organisasi keagamaan merupakan organisasi
formal yang mempunyai tenaga professional tersendiri. Walaupun agama masih
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam kehidupan masyarakat,
namun pada saat yang sama lingkungan yang saklar dan sekuler masih dapat
dibedakan. Agama sudah tidak sepenuhnya menyusup kedalam aktivitas kehidupan
masyarakat, walaupun masih ada anggapan bahwa agama dapat diaplikasikan secara
universal dan lebih tinggi dari norma – norma kehidupan sosial sehari – hari
pada umumnya.
Nilai
– nilai keagamaan dalam masyarakat tipe ini menempatkan fokus utamanya pada
pengintegrasian tingkah laku perorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Nottingham berpendapat, bahwa walaupun tidak sekental masyarakat tipe pertama,
maka pada masyarakat tipe kedua ini agama ternyata masih difungsikan dala
kehidupan masyarakat. Namun, terlihat ada kecenderungan peran agama kian
bergeser ke pembentukan sikap individu.
Kemudian
masyarakat industri sekuler, organisasi keagamaan terpecah-pecah dan bersifat
majemuk. Ia melihat dimasyarakat modern yang kompleks ini, ikatan antar
organisasi keagamaan dan pemerintahan
duniawi tidak sama sekali. Karena itu agama cenderung dinilai sebagai bagian
dari kehidupan manusia yang berkaitan
dengan persoalan akhirat, sednagkan pemerintahan berhubungan dengan duniawi.
Masalah
agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena
agama itu sendiri diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya
fungsi agama dalam masyarakat adalah :
1)
Fungsi edukatif, berpendapat bahwa ajaran
agama berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai
latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan
terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing – masing.
2)
Fungsi penyelamat, keselamatan yang
diberikan agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam
yakni : dunia dan akhirat.
3)
Fungsi sebagai pendamaian, melalui agama
seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui
tuntunan agama.
4)
Fungsi sebagai kontrol sosial, ajaran
agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma. Sehingga dalam hal ini agma
dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok.
5)
Fungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas,
para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan
dalam satu kesatuan : iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa
solidaritas dalam kelompok maupun perorangan.
6)
Fungsi transformative, ajaran agama dapat
mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya
melalui ajaran agama kadangkala mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau
norma kehidupan yang dianutnya sebelumnya.
7)
Fungsi kreatif, ajaran agama mengajak dan
mendorong para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan
diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain.
8)
Fungsi sublimatif, ajaran agama
menguduskan segala usaha manusia. Selama usaha manusia tidak bertentangan
dengan norma – norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus merupakan
ibadah.
BAB III
PENUTUP
3.
1 Kesimpulan
Beberapa hal yang
dapat disimpulkan dari teori dan penjelasan diatas antara lain:
1. Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang
suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya. Sedangkan fungsionalisme merupakan teori yang menekankan
bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling bergantung
dan menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau ajaran yang menekankan
manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional.
2. Teori
fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai hasil dari tiga
karakteristik dasar eksistensi manusia. Pertama, manusia hidup dalam kondisi
ketidakpastian, hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia
berada di luar jangkauannya. Dengan kata lain, eksistensi manusia ditandai oleh
ketidakpastian. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan untuk
mempengaruhi kondisi hidupnya, walaupun kesanggupan tersebut kian meningkat,
pada dasarnya terbatas. Pada titik dasar tertentu kondisi manusia dalam kaitan
konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaan.
Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu
alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
3. Dari
sudut pandang teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan
unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental
kondisi manusia.
4. Fungsi
agama dapat kita lihat dari sudut pandang empiris, praktik, dan sosiologis.
3.
2 Saran
Teori
fungsi agama dapat kita jadikan alat untuk mengkaji bagaimana perkembangan
agama dalam masyarakat secara sosiologis sehingga diharapkan kehadiran agama
dapat membentuk integrasi masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Nottinghan, Elizabeth K. 1985. AGAMA DAN
MASYARAKAT: Suatu Pengantar Sosiologi
Agama. Jakarta: CV Rajawali
F.O’ Dea, Thomas. 1996. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: CV
Rajawali
Sumber - sumber internet:
id.wikipedia.org
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009