KONFLIK AGRARIA PADA MASA PRAKEMERDEKAAN
Hubungan Agraris Penguasa versus Rakyat
Periode prakolonial
Pembahasan
tentang hubungan-hubungan agraris tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
tentang awal mula penguasaan tanah, karena dasar hubungan agraris akan selalu
berkaitan dengan pola-pola penguasaan tanah yang ada. Menurut van setten van
der meer, hak menguasai tanah pada awalnya bersumber dari kerja seseorang membuka
hutan atau tanah-tanah yang semula tak tergarap.
Dilihat
dari pola hubungan produksi, Burger (1960) menyatakan bahwa masyarakat jawa pra
kolonial sampai tahun 1800-an terbagi menjadi dua kondisi. Pertama di desa-desa
terdapat kehidupan ekonomi sederhana (subsistence). Penduduk desa hanya
memproduksi sesuai dengan kebutuhannya untuk kepentingan terbatas. Dalam
konteks sumber daya agraria yang masih mencukupi penduduk desa, penguasaan
tenaga kerja menjadi sangat penting. Hubungan-hubungan agraris yang tercipta
lebih berdasarkan hubungan tolong-menolong dalam mengelola sumber daya agraris
tersebut.
Kedua,
kehidupan masyarakat yang terikat pada hubungan-hubungan kekuasaan dan ketaatan
pada kekuasaan raja-raja, bupati-bupati dan kepala-kepala yang berada di atas
kekuasaan desa (feodal). Dalam kehidupan masyarakat seperti seperti ini
kehidupan ekonomi yang bersandar pada kekuasaan feodal menjadi cukup dominan.
Tauchid
(1952) lebih menekankan pada pola agraris di Indonesia mengikuti pola hubungan
feodal di kerajaan, yaitu tanah dan bahkan rakyat adalah milik raja. Seperti daerah Yogyakarta dan Surakarta dan
sekitarnya, tanah diklaim sebagai milik sultan dan sunan. Rakyat hanyalah
penggarap tanah dan hanya berhak meminjam. Begitu pula di daerah kerajaan lain
di seluruh Indonesia, di tempat raja berkuasa dan memerintah segala isi negeri
terutama tanah mutlak dianggap kepunyaan raja. Dengan demikian rakyat sebagai
penggarap tanah harus menyerahkan tenaganya kepada raja.
Walaupun
pola hubungan vertikal dalam penguasaan tanah relatif sama dengan raja sebagai
pemilik dan raktay sebagai penggarap, mekanisme pengaturanya sedikit berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Dalam
sistem feodal, ada tiga pihak yang masing-masing berkepentingan dalam sistem
penguasaan tanah yaitu raja, priyayi, dan rakyat atau petani. Kekuasaan raja
sebagai pusat pemerintahan kerajaan sangat dominan karena kedudukannya yang
hampir setara denga tuhan. Karena itu kekuasaan atas tanah sepenuhnya juga
berada ditangan raja. Secara politis sistem kerajaan menganggap kepentingan
kemakmuran untuk rakyat bukanyang utama karena kemakmuran lebih diarahkan untuk
kerajaan. Rakyat dimanfaatkan semata-mata untuk kepentingan kerajaan.
Akibatnya,
konflik-konflik agraria yang terjadi pada masa itu berhubungan dengan
diambilnya tanah-tanah yang semula dikuasakan oleh petani.implikasi dari
konflik-konflik yang sering terjadi di beberapa bagian kerajaan memyebabkan
timbulnya ketidakstabilan sistem polotik.latar
belakang ketidakstabilan ini dilihat dari luasnya wilayah sebuah kerajaan
melalui penakhlukan-penakhlukan
kerajaan-kerajaan kecil.
Sekitar abad
pertengahan ketika bangsa Eropa
mulai memasuki masa imprialisme dengan di temukannya benua-benua baru
mengalirlah berbagai bangsa untuk berjualan rempah-rempah di Asia Tenggara termasuk indonesia. Masa
imperialisme diawali dengan ketertarikan bangsa Eropa untuk mencari sumber
rempah-rempah yang sudah sejak lama menjadi mata dagangan dunia. Dari sinilah
dimulai berbagai konflik yang muncul akibat perebutan pasaran sumber daya
rempah-rempah. Portugis mulai meluaskan monopoli perdagangan rempah-rempah khususnya
ke wilayah nusantara bagian timur seperti Ternate, Tidore, Ambon dan wilayah lainya.
Kerajaan-kerajaan sempat terdepak dari kekuasaan mereka.
Kondisi
kian meburuk saat Belanda
datang ke Indonesia
pada akhir abad ke 16 melalui VOC mereka melakukan monopoli juga. Sistem
monopoli ini dilakukan agar mereka mendapat jaminan tersedianya barang dagangan
yaitu rempah-rempah demi kelancaran perdagangan mereka.
Periode Kolonial
Periode ini merupakan babak baru
dalam pola hubungan agraris masyarakat Indonesia, karena tahun 1800 an
merupakan awal munculnya kebijakan agraria secara formal yang dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial babak baru ini dimulai pada zaman Raffles yang merupakan
sistem sewa tanah, kemudian massa kekuasaan Van Den Bosch dengan sistem tanam
paksanya sampai saat dikeluarkannya undang-undang agraria pada tahun 1870.
Masa Sewa Tanah
(1800-1830)
Periode
ini diawali dengan kekuasaan gubernur jendral Herman Willem Daendels
(1808-1830) kebijakan Daendles lebih ditekankan pada upaya meneruskan penanman
wajib yang telah dilakukan pada zaman kompeni,terutama kopi .peraturan yang
dikeluarkan daendles adalah peraturan penghapusan tanah-tanah milik raja dan
wajib kerja bagi pemegang hak tanah, pajak dalm bentuk mengambil seperlima
bagian dari hasil bumi rakyat, dan kewajiban kerja rodi dalam pembuatan jalan
dari Anyer di Jawa Barat ke Penarukan di Jawa Timur untuk kepentingan militer .
Pada tahun 1811-1816, Indonesia
dikuasai Inggris dibawah pemerintahan Letnen gubernur Thomas Stamford Raffles.
Rafles mencoba menerapkan sistem liberal yang memberikan kebebasan kepada
petani dan memberikan kepastian hukum ada tiga prinsip yang dijalankan pada
masa kekuasaan Raffles. Pertama segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun
pekerjaan rodi dihapuskan. Kedua peranan para bupati dalam memungut pajak
dihapuskan. Ketiga berdasarkan pemikiran bahwa pemerintahan kolonial adalah
pemilik tanah, petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa .
Sejak diberlakukannya kebijakan
tersebut, mulailah masa sistem sewa tanah di Indonesia. Perubahan yang sangat
mendasar dalam sistem ekonomi liberal ini sangat mempengaruhi sistem kehidupan
kemasyarakatan secara keseluruhan sampai ke daerah pedesaan.
Pada prinsipnya, sistem sewa tanah
yang dijalankan Raffles dimaksudkan untuk melepaskan ikatan feodal dan
menggantinya dengan sistem pemerintahan kolonial, pemberian pajak atas tanah, dan
peningkatan produksi untuk ekspor. Upaya pelepasan sistem feodal dianggap
sebagai penghinaan terhadap bupati-bupati yang sebelumnya berkuasa. Hal ini
menimbulkan ketakutan para bupati karena mereka akan kehilangan kehormatan dan
kekuasaannya.
Sejak masa sewa tanah
diberlakukan, peredaran uang telah menyebabkan semakin diperbesarnya produksi
hasil-hasil pertanian dengan cara memperluas areal penanaman .sistem pertanian
kontrak ternyata telah berkembang pada masa ini .
Masa Tanam Paksa
(1830-1870)
Sistem
sewa tanah yang berlangsung hampir dua puluh tahun (1810-1830) dengan segala
pembaharuannya ternyata tidak menghasilkan kemakmuran sedikit pun di Jawa, walaupun
sebelumnya Raffles pernah berpendapat bahwa jawa adalah gudang beras, sementara
itu sejak kekuasaan kolonial kembali ketangan belanda, anggaran pmerintahan Belanda
merosot tajam, untuk menolong keuangan belanda yang semakin memburuk, pada tahun
1830, pemerintahan kolonial dibawah Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa
.sistem ini merupakan pemulihan eksploitasi seperti halnya
penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dilakukan VOC. Apabila sistem sewa
tanah kekuasaan para bupati dihilangkan dan ikatan-ikatan feodal dihapuskan,
sebaliknya dalam sistem tanam paksa, Van Den Bosch justru memanfaatkan adanya
ikatan feodal untuk memaksakan kebijakan ini melalui pengaruh para bupati
.perubahan ini berupaya memperbesar kekuasaan bupati dengan cara memberi
apanage (pelunggu) berupa tanah yang bisa diwariskan .
Kebutuhan yang besar akan tanah
tanah pertanian menjadi dorongan kuat bagi organisasi desa untuk menguasain
tanah dan tenaga kerjanya .pada masa ini posisi hak milik perseorangan sangat
lemah .sistem tanam paksa sangat merugikan kepentingan petani karena membatasi
pembukaan tanah-tanah baru sementara pertanian yang sudah ada terus
dibagi-bagi.
Zaman Liberal
Sistem tanam paksa yang
dilaksanakan sejak tahun 1830 telah memberikan keuntungan yang sangat besar
bagi pemerintahan Belanda. Hal ini mendorong berbagai gugatan dari kelompok
liberal untuk ikut serta dalam mengelolah tanah jajahan. Periode ini disebut
juga periode liberal. Pada masa ini bukan hanya tanah kosong yang disewakan
melainkan kan juga tanah sawah, mata pencaharian petani terancam hilang
.semakin berkembangnya jumlah perusahaan swasta memerlukan pembukaan
tanah-tanah baru .untuk itu pemerintah menerapkan peraturan tentang pengakuan
terhadap milik perseorangan si pembuka tanah .
Melalui undang-undang agraria, penanaman
wajib yang semula menjadi kebijakan sistem tanam paksa mulai digantikan dengan
sistem penanaman bebas. Oleh karena itu, penyerahan tanah dan tenaga kerja
dihapuskan seluruhnya dan digantikan dengan sewa tanah dan perjanjian kerja
sukarela melalui sistem upah kerja
antara rakyat dan perusahaan swasta Belanda
.
Sistem penanaman bebas telah
memberikan kekuasaan bagi terjadinya proses komersialisasi pertanian di
pedesaan, sistem ini menitikberatkan pada penguasaan faktor produksi yakni
tanah dan tenaga kerja, perkebunan baru dibuka
dengan cara menyewa tanah yang seharusnya diguakan untuk tanaman pangan
.
Penerapan UU Agraria 1870 telah
memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing, sehingga jumlah perkebunan
swasta pun meningkat pesat, meningkatnya permintaan ekspor sata itu menyebabkan
tanah tanah perkebunan luas dipulau Jawa, Sumatera membutuhkan banyak tenaga
kerja .
Konflik-Konflik
Struktural
Setiap periode menunjukkan konflik
yang berbeda dan sangat tergantung kepada kondisi hubungan agraris yang ada,
serta sistem dan kebijakan yang berlaku. pada kurun waktu tersebut. Sejalan
dengan hal itu, perjuangan massa petani
dalam konpleksivitas konflik – konflik agrarian bukan lagi merupakan
gejala baru. Pada masa prakolonial, bentuk konflik yang muncul dipengaruhi oleh
pola-pola hubungan kekuasaan dalam masyarakat, yaiti feodal. Dalam hubungan
seperti itu terdapat tiga pihak yang berkepentingan terhadap penguasaan tanah yaitu
raja, priayi, dan petani (wong cilik).
Begitu pula kehadiran VOC di
Indonesia sangat mempengaruhi bentuk konflik. Konflik yang terjadi masa itu
lebih berhubungan dengan persoalan perebutan komoditas perdagangan yang
kemudian berhasil dimonopoli VOC. Dapat dikatakan bahwa kehadiran kekuasaan VOC
dan campur tangannya dalam mengatur pemerintahan pada masa itu, menjadi sebab
munculnya persoalan – persoalan politik agraria. Demikian pula pada masa sewa
tanah dan dan tanam paksa. Pada masa ini konflik banyak muncul dalam kaitan
dengan pola hubungan produksi, komoditas ekspor, seperti lada, nila, dan gula.
Konflik tersebut muncul ketika rakyat yang diharuskan menananam komoditas
ekspor kehilangan sebagian besar waktunya
dan kehilangan kesempatan untuk menanam komoditas subsisten untuk
kepentingan keluarganya.
Setelah berakhirnya sistem paksa,
dan memasuki masa penanaman bebas, permasalahan dan konflik – konflik agrarian
semakin sering terjadi. Sampai dengan sebelum perang dunia ke II (1942)
,konflik- konflik agrarian dan protes – protes petani cenderung bersifat
structural yang melibatkan pemilik modal yang secara mutlak berperan sebagai penguasa tanah dengan petani sebagai pihak yang memiliki tanah tetapi
tidak dapat menguasainya.
Scott (1993:49) melihat bahwa di
daerah komersialisasi, protes dan kekerasan sebagai manifestasi dan
ketidakpuasan petani akibat hubungan eksploitatif yang dirasakan tidak adil
berawal dari lemahnya posisi petani dibandingkan penyewa atau pemodal.
Komersialisasi sangat mengancam kehidupan masyarakat petani yang berorientasi
pada pemenuhan kehidupan subsisten, sehingga benturan diakibatkan oleh
perbedaan itu mendorong terjadinya konflik structural antara pemodal yang menguasai
faktor produksi dan masyarakat petani yang tereksploitasi.
Pada masa prakolonial dan kolonial
, konflik agrarian yang muncul bersifat vertical dan sangat tergantung dari
berlakunya sistem dan mekanisme aturan yang ada. Jauh sebelum masa
kolonialisme, konflik agrarian yang terjadi berdampingan erat dengan aturan
feodal yang mengikat bahwa tanah adalah milik raja sehingga hampir semua
konflik agrarian bermuara pada kepentingan vertical antara raja dan rakyat.
Dalam masa prakolonial, yang terlibat dalam konflik adalah semua lapisan
masyarakat, yang memiliki kepentingan sama dalam menentang struktur feodal
yakni melawan kelas pemilik tanah feodal.
Walaupun demikian, situasi itu
tidak berlangsunglama ketika terjadi perubahan pihak-pihak yang berkonflik.
Aliansi antar lapisan hanya bersifat sementra karena yang terjadi kemudian
adalah pengisapan modal kapitalis terhadap petani miskin yang menimbulkan
pertentangan tajam antara keduanya. Sementara itu, peraturan dan kebijakan
agrarian yang diterapkan pemerintah menyebabkan konflik-konflik agrarian
anatara pemerintah kolonial yang lebih sering bersekongkol dengan raja melawan
kaum elit pedesaan yang bersatu dengan massa rakyat yang semuanya bermuara pada
persoalan siapa yang lebih berkuasa terhadap tanah.
Kolonialisme telah menandai
masuknya kapitalisme perdesaan, dan gerakan petani timbul manakala terjadi
penguasaan tanah oleh dominasi asing. Kolonialisme ternyata semakin mempertajam
konflik antar golongan yang terjadi di dalam masyarakat feodal. Akibatnya, konflik
antar golongan terjadi karena masing – masing pihak menganut norma dan nilai
yang bertentangan. Konflik agrarian yang muncul akibat peratura ini sangat
jelas terjadi di kesultanan Banten, yang anggota kerabat dan kesultanannya
sangat diuntungkan oleh sistem yang lama, sehingga berusaha mempertahankan hak-
hak mereka.
Disinilah permasalahan agrarian
muncul, yakni ketika seluruh tanah milik pemegang apanage telah diambil alih
kolonial. Kedudukan mereka menjadi seperti pemegang apanage di area yang disewa
dari raja. Geerz (seperti dikutip onghokham, 1984:25:152) bahkan melihat ada
hubungan yang langsung antara sistem tanam paksa ini dengan terjadinya involusi
agrarian dan shared poverty di Jawa, yang mengakibatkan sistuasi ekonomi
masyarakat pedesaan menjadi sangat buruk. Disamping itu, penderitaan petani
semakin diperburuk oleh pemaksaan melakukan pekerjaanlain diluar tanpa dibayar,
seperti pembuatan jalan ,pembentukan irigasi, pembangunan pabrik.
Konflik-Konflik
Berlevel Lokal
Dilihat dari pola umum, konflik
yang terjadi bersifat lokal dan cenderung mewakili reaksi – rekasi lokal
terhadap keresahan – keresahan khusus. Ini dibuktikan dengan fenomena munculnya
reaksi yang sama dalam wilayah tertentu dalam waktu yang singkat tetapi dengan
frekuensi aksi pemberontakan petani yang tinggi pada setiap massanya.
Kartodirjo menemukan bahwa dilihat dari fenomena sejarahnya, frekuensi
meletusnya pemberontakan petani di seliruh Jawa terhitung sanagat tinggi dan
terjadi hampir setiap tahun.
Walaupun demikian, dampak
pemberontakan itu tidaklah begitu besar karena, pada umumnya bagian terbesar
dari pemberontakan petani bersifat lokal dan tidak berhubungan dengan
pemberontakan lain, bahkan petani tidak mengetahui secara pasti untuk apa
mereka memberontak dan tidak menyadari bahwa nereka sedang terlibat dalam
sebuah gerakan sosial yang revolusioner.
Rakyat Versus Raja,
Bangsawan, dan Kolonial
Dalam struktur masyarakat feodal,
paling tidak ada tiga aktor yang mempunyai kepentingan terhadap tanah, yaitu
raja, kelas, bangsawan, dan rakyat. Pada masyarakat ini dilihat dari sisi pihak
yang terlibat , konflik dapat diklasifikasikan menjadi konflik structural dan
horizontal. Konflik structural terjadi antara masyarakat dan pihak kerajaan
sebagai akibat penerapan berbagai kewajiban, sementara konflik horizontal banyak berkaitan dengan konflik yang terjadi antara sikap akibat
kebijakan kerajaan dalam hal pancasan . Walaupun demikian, dari beberapa sumber
diperoleh keterangan bahwa konflik
structural lebih dominan daripada horizontal.
Konflik tidak hanya terjadi dalam
satu struktur kekuasaan feodal. tetapi
juga terjadi dalam suatu pertentangan antara kekuasaan feodal yang masih
berlaku dalam masyarakat dan kekuasaan pemerintah kolonial yang bercorak
kapitalisme. Dalam satu kasus, konflik bisa terjadi dalam konteks feodalisme, misalnya antara
rakyat dan kekuasaan feodal.
Setelah dikeluarkannya, Undang
Undang Agaria 1870, actor yang terlibat konflik mulai bergeser dengan hadirnya
pemilik modal perkebunan. Banyaknya tanah yang dikuasai , terlebih lagi
terjadinya pengambilan tanah- tanah penduduk untuk kemudian digunakan sebagai perkebunan serta adanya
perkebunan di sekitar atau ditengah perkampungan penduduk, menyebabkan banyak
konflik antara rakyat dan pihak perkebunan.
Peradilan Agraria
Kolonial
“Untuk
sejengkal tanah, tak gampang orang disuruh berdamai. Tak mudah orang disuruh
menyerah dan mengalah” (M.
Tauchid 1952:17).
Informasi
mengenai upaya penyelesaian konflik sangat terbatas. Terutama pada masa
prakolonial tidak diperoleh informasi yang pasti tentang bagaimana upaya
penyelesaian jika konflik terjadi. Moch. Tauchid (1952) menjelaskan bahwa pada
1817 di Yogyakarta ada semacam lembaga peradilan yang disebut Pasowan Mangu yang berkompetensi untuk
mengadili urusan pertanahan, baik perkara yang berhubungan dengan tanah apanage, perkara kabekelan, dan persewaan tanah. Selain itu, pengadilan ini pun
menangani kasus sengketa yang terjadi antara rakyat dan pihak onderneming dan juga antara rakyat dan
bangsawan. Kasus yang terjadi antara rakyat dan onderneming terutama muncul setelah banyak kaum pemodal asing
perkebunan datang ketika pemerintah kolonial Belanda menerapkan Agrarische Wet 1870. Banyak tanah
pengusaha onderneming berada di
tengah-tengah rakyat dan sebaliknya banyak perkampungan rakyat di tengah-tengah
onderneming. Banyaknya kasus yang
ditangani dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah kasus
sengketa pertanahan di Pasowan Mangu
Tahun |
jumlah perkara |
Tahun |
jumlah perkara |
1892 |
400 |
1910 |
450 |
1899 |
355 |
1911 |
510 |
1900 |
394 |
1912 |
368 |
1901 |
426 |
1913 |
284 |
1902 |
407 |
1914 |
281 |
1904 |
398 |
1915 |
244 |
1906 |
364 |
1916 |
240 |
1907 |
376 |
1917 |
139 |
1909 |
381 |
|
|
Sumber : Moch. Tauchid, 1952.
Apabila pemahaman tentang jumlah
perkara yang tercantum dalam Tabel 1 tersebut dikaitkan dengan jenis sengketa
tanah dan frekuensinya, yang tercantum dalam Tabel 2, terlihat bahwa penurunan
ataupun kenaikan jumlah perkara sangat ditentukan oleh jenis sengketa yang
berkembang.
Tabel
2. Jenis dan jumlah sengketa tanah di Pasowan Mangu
Jenis sengketa |
1889 |
1914 |
pajak
dan pancen |
60 |
- |
penebangan
kayu |
15 |
74 |
penglepasan
bekel |
54 |
16 |
perselisihan
ke-bekel-an |
51 |
24 |
kedudukan
kuli kenceng |
7 |
2 |
tanah
pertanian |
50 |
46 |
tanah
pekarangan |
55 |
54 |
Tanaman |
23 |
18 |
Air |
15 |
10 |
lain-lain |
16 |
37 |
Jumlah |
346 |
281 |
Sumber
: M. Tauchid, 1952.
Hal ini tentu tidak lepas dari
kebijakan agraria pemerintah (kolonial) pada masa itu. Penurunan frekuensi yang
mencolok dalam kurun waktu satu setengah dasawarsa (1889-1914) menunjukkan
gejala bahwa sengketa tanah yang terjadi bukan disebabkan persoalan hubungan
antara petani dan administrasi kepemilikan tanah dalam sistem feodal ataupun
disebabkan aktivitas dalam kegiatan pertanian, melainkan disebabkan munculnya
jenis sengketa baru akibat akumulasi faktor produksi dari penguasaan petani ke
pengusaha onderneming.
Dalam Tabel 2 diperlihatkan bahwa
jumlah kasus sengketa tanah yang diakibatkan penebangan kayu (hutan) dan jenis
sengketa lain menunjukkan peningkatan frekuensi yang cukup berarti. Hal ini
merupakan proses pembukaan hutan dan lahan-lahan pertanian baru bagi usah onderneming.
Sementara itu, penyelesaian
kasus-kasus sengketa perdata yang berhubungan dengan pertanahan banyak ditemui
di pengadilan-pengadilan pemerintah kolonial Belanda (Landraad). Soepomo (1982) melaporkan banyaknya kasus sengketa
perdata pertanahn yang terjadi di Jawa Barat, baik menyangkut masalah hak-hak
atas tanah maupun hubungan hukum penguasaan tanah.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009