Petani: Antara Moral dan Rasional
Tinjauan tetang petani dapat dilihat dalam beberapa pendekatan.
Scott (1989:62) melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola subsisten
dan enggan berisiko. Redfield (1985:88) melukiskannya sebagai suatu “kehidupan
yang baik” dari nilai-nilai petani yang berlaku. Dalam pandangan petani,
prinsip itu mempunyai kekuatan moral yang merupakan ukuran bagi penilaian
petani terhadap mekanisme yang ada. Dalam teori ekonomi dualismenya, Boeke
(1953) yang melakukan pengamatan tentang petani di Jawa menilai bahwa nilai dan
sikap “limited needs” merupakan prinsip moral yang berlaku umum di kalangan
petani Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi untuk
mencari keuntungan tetapi sekedar untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari.
Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip mendahulukan selamat
(safety first), merupakan indicator bahwa orientasi subsistensi sangat
mendasari pola hidup petani. Pada hakikatnya, persoalan keuntungan yang
diperoleh dari investasi di setiap lahan maupun produktivitas tenaga kerja,
bagi petani, bukan merupakan prioritas karena kegiatan mencari keuntungan itu
justru dianggap mengacaukan rutinitas subsistensi yang terbukti memadai dalam
menjamin kesejahteraan petani. Menurut Wolf (1995:8), ada kecenderungan petani
akan menghentikan usahanya berproduksi begitu kebutuhan subsistensinya
terpenuhi.
Sebaliknya, Popkin (1986) lebih
mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah “Homo Oekonomicos” yang akan
terus berusaha memedulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Petani
cenderung mempekerjakan tetangganya atas dasar tolong-menolong daripada
mengambil tenaga kerja dari luar sekalipun dengan biaya yang murah. Dari
beberapa pandangan tersebut terlihat bahewa sebuah keluarga tani bias tetap
survive dan solidaritas komunitas tetap kuat, mereka mengandalkan sikap
kepatuhan terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama. Oleh karena itu, pada
masyarakat petani ada kecenderungan kesamaan bagi semua anggota dengan
memberlakukan control social terhadap anggota yang kaya supaya membagi
kekayaannya kepada yang miskin. Sementara itu, system ekonomi kelembagaan
petani merupakan dasar tinjauan Hayami dam Kikuchi (1987) tentang petani.
Keduanya mengakui adanya ekonomi moral “Scott” maupun ekonomi rasional “Popkin”
pada masyarakat petani.
Pandangan Redfield terhadap petani
cenderung dikotomis yakni melihat petani sebagai part culture. Merujuk pada
konsistensi perbedaan pendekatan dan tinjauan para ahli tentang petani dan
melihat kondisi serta kebijakan yang ada di Indonesia, petani dengan pola hidup
subsisten cenderung mendekati kenyataan yang bias dilihat pada masyarakat
petani di Indonesia. Ada tiga indikator yang dipakai untuk memahami pola
subsistensi petani. Pertama adalah sikap atau cara petani memperlakukan
faktor-faktor produksi yakni tanah dan sumber daya agraria. Kedua adalah besar
kecilnya skala usaha petani. Dan Ketiga adalah jenis komoditas yang
dibudidayakan petani. Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam
kenyataan situasi petani di Indonesia sekarang ini, dapat dikatakan bahwa
hampir tidak ada petani di Indonesia yang subsisten mutlak. Di Indonesia, data
empiris mikro menunjukkan bahwa petani sudah cukup lama meninggalkan pemikiran
dan cara-cara tradisional kea rah cara-cara modern yang berorientasi self sufficient.
Konsep tentang petani subsisten
merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan konflik agraria di
Indonesia. Persoalan besar kecilnya skala usaha, sikap petani, dan pemilihan
komoditas yang diproduksi akan menjadi kerangka pokok yang seterusnya digunakan
dalam menganalisis persoalan konflik agraria tersebut. Asumsi sementara yang
akan menjadi alat analisis memahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah
realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah, khususnya di
Jawa, yang semakin tajam dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur
penguasaan tanah yang semakin tajam tersebut ditunjukkan dengan perubahan
secara lanjut yakni semakin menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya
jumlah tunakisma. Dengan demikian, kecilnya skala usaha yang dimiliki sebagian
besar petani menunjukkan pola hidup petani Indonesia yang tergolong subsisten.
Dikatakan demikian karena keterbatasan kemampuan berproduksi disebabkan
kecilnya skala usaha yang dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa ketimpangan
perngusahaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang
bias diakses petani untuk berproduksi. Walaupun demikian, menurut Wiradi
(1990), persoalan skala usaha dan satuan luas sampai sekarang ini sebenarnya
masih menjadi perdebatan akademis yang panjang. Menurut Nasikun, seperti
dikutip Wiradi (1990:2), yang menjadi persoalan adalah mengapa ketika
berhadapan dengan semakin gencarnya intervensi kapitalisme agrarian, petani
kecil masih bisa bertahan (persistence) utamnya dengan modal keterbatasannya
itu.
Petani dan Kapitalisme Agraria (Perkembangan Mode
Produksi dan Konflik Agraria)
Perkembangan mode produksi dipakai
sebagai alat untuk menjelaskan dan meninjau kembali faktor-faktor yang
mendorong munculnya konflik agraria. Perkembangan mode produksi sebagai sistem
ekonomi secara keseluruhan melibatkan sekaligus aktor-aktor yang berperan dalam
konfik agraria sejak masa prakapitalis atau feodal, masa kolonial, dan
pascakolonial. Untuk menjelaskan mode produksi, hal yang paling penting adalah
pemahaman mengenai cara sistem dan proses produksi dilakukan.
Tanah mempunyai arti yang sangat
penting karena tidak hanya dipandang sebagai faktor produksi tetapi juga
merupakan aset penting bagi aktivitas manusia.
Pada masa feodalisme atau
prakapitalis, raja menganggap tanah sebagai simbol otoritas. Tanah dipinjamkan
raja kepada para bangsawan yang kemudian diserahi tugas menyediakan pasukan
perang dan menjaga keamanan di wilayah kekuasaan masing-masing. Sistem feodalisme
mengutamakan hubungan erat antara raja dan tuan-tuan tanah dalam mengurus
negara. Di Indonesia, sistem feodalisme muncul pada zaman Hindu dengan
munculnya pusat-pusat kerajaan yang kekuasaannya bertahan rata-rata seratus
tahun. Hal ini disebabkan karena penguasaan tanah tidak begitu menentukan
sebagai dasar hubungan antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih
didasarkan pada jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan
gusti sehingga dalam struktur masyarakat terlihat pengelompokan menurut kelas
tertentu.
Status tanah di Pulau Jawa,
menurut Kano seperti dikutip Kasryno (1984 : 47-48), pada awalnya secara umum
menggambarkan pola penguasaan tanah secara adat, berupa tanah yasan, gogolan,
titisara, dan bengkok. Perbedaan hak atas tanah secara adat menjadi penentu
bagi kedudukan seseorang dalam lapisan sosial di masyarakat. Kondisi ini
menunjukkan adanya penguasaan individual maupun kolektif atas tanah pada
masa-masa feodal. Raja merupakan penguasa tanah melalui penguasaan rakyat
(cacah) yang pada prinsipnya berperan sebagai penggarap tanah untuk kepentingan
kerajaan.
Secara teoritis, penguasa kerajaan
berhak menguasai, menjual, dan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang
diusahakan rakyat berikut pengawasannya untuk kepentingan penumpukan kekayaan
feodal. Akibatnya, unsur eksploitasi dan pemerasan oleh pihak kerajaan terhadap
rakyat yang menggarap tanah menjadi mode produksi yang berkembang pada masa
feodal.
Menurut Boserup, seperti dikutip Evers dan
Schiel (1992 : 192), tekanan kebutuhan akan tenaga kerja telah berakibat jangka
panjang terhadap perkembangan agraris dan efek perluasan fakto-faktor produksi.
Dalam sistem feodal, tuntutan raja
terhadap tenaga kerja yang semakin meningkat untuk pembangunan kerajaan, turut
pula meningkatkan sumbangan pajak atau upeti rakyat kepada raja. Karena itu,
raja akan semakin banyak membentuk sikep baru yang ditunjuk menjadi penguasa
tanah dengan beberapa ikatan kewajiban tertentu terhadap raja. Sumber-sumber
ekonomi secara politis dikuasai feodal dan petani hanya menjadi sebagai
penggarap dengan berbagai kewajiban kepada raja yang sifatnya mengikat.
Akibatnya sering terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat yang
menggarap tanah hasil pemberian raja.
Pola hubungan vertikal dalam
sistem penguasaan tanah pada masa feodal menyebabkan bentuk konflik yang muncul
bersifat horizontal dan vertikal, yakni implikasi dari adanya penguasa tunggal
atas tanah. Mode produksi yang berkembang pada masa feodal cenderung memihak ke
atas yakni penguasaan faktor produksi di tangan raja sebagai penguasa tunggal
dan rakyat hanya berhak menggarap. Pada masa feodal, berkembang subur suatu
metode produksi yang tidak memihak kepada rakyat, yakni sistem pemerasan
sumber-sumber ekonomi rakyat melalui rutinitas penyerahan upeti dan tenaga
untuk kekayaan raja.
Bagi petani, tanah dianggap
sebagai tanah pusaka dan tidak sekedar simbol apalagi mata dagangan. oleh
karena itu, petani menolak cara hidup yang menjauhkan mereka dari tanah sebagai
faktor produksi karena petani menganggap kegiatan pertanian merupakan usaha
menjalin keharmonisan hubungan dan kerjasama saling menguntungkan.
Perubahan fungsi tanah dari alat
produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat produksi untuk mencapai
surplus maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada faktor produksi
yakni tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini terlihat melalui proses perkembangan
mode produksi dari kepentingan subsisten untuk memenuhi kebutuhan hidup ke
bentuk produksi menurut perhitungan yang serasional dan efisiensi untuk
keuntungan sebesar-besarnya. Sistem ini disebut sebagai kapitalisme.
Ciri khas kapitalisme adalah
penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai
faktor produksi terpisah satu sama lain. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja
bukan semata-mata sebagai asset melainkan alat produksi melalui mekanisme upah.
kapitalisme mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya dan akumulasi modal
untuk investasi. Kapitalisme terdiri atas dua jenis, yakni kapitalisme modal
swasta dan kapitalisme negara. Kapitalisme modal swasta yakni kapitalisme yang
berkembang atas dasar suasana kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan
persaingan melalui kekuatan mekanisme pasar. Sedangkan kapitalisme negara
adalah pemilikan capital terbesar di tangan negara dan rakyat menjadi buruh
dari negara tanpa imbalan apa pun.
Di Indonesia, kapitalisme dan
penjajahan modern dimulai dengan peristiwa kedatangan kapal-kapal asing untuk
berdagang pada awal abad enam belas.
Pada masa tanam paksa, perkembangan
mode produksi kapitalis pada dasarnya semakin tidak menempatkan kedudukan
petani penggarap menjadi lebih baik, bahkan justru cenderung lebih buruk.
Posisi tanah sebagai faktor produksi dan rakyat sebagai tenaga kerja diperas
habis-habisan untuk kepentingan akumulasi capital pihak kolonial khususnya dari
sektor perkebunan.
Pada masa kolonial, perkembangan
mode produksi kapitalis mencapai puncaknya pada masa liberal atau penanaman
bebas. Terambilnya faktor produksi tanah dari penguasaan rakyat kepada pemodal
merupakan gejala penguasaan faktor produksi, yaitu tanah dan tenaga kerja oleh
pemodal. Implikasinya adalah menjadikan rakyat sebagai buruh di lahannya.
Petani terjerat sebagai buruh upahan di sektor perkebunan yang menjadi
satu-satunya pemasok utama kekayaan pemerintah kolonial melalui mekanisme mode
produksi capital pada masa liberal.
Dalam sistem kapitalis, hubungan
produksi antara petani dan tanah menjadi sangat jauh. Akibatnya, konflik
agrarian kerap mewarnai sistem pertanian dan perkebunan pada masa kolonial.
Perubahan politik yang terjadi
dengan berakhirnya masa kolonial di Indonesia turut serta mengubah mode
produksi agrarian dari mode produksi kapitalis kolonial ke mode produksi
agrarian populis. Mode agrarian populis menempatkan tanah, tenaga kerja,
pengambilan keputusan mengenai proses produksi , akumulasi dan investasi
capital di tangan keluarga petani. Dalam mode produksi populis, pengakuan hak
individu atas tanah sangat jelas tanpa mengabaikan fungsi tanah secara sosial.
Untuk itu negara mengatur supaya tanah dipergunakan untuk kesejahteraan bersama
melalui sistem desentralisasi kekuasaan politik yang memberi kebebasan kepada
petani untuk menyuarakan aspirasinya melalui organisasi.
Perkembangan mode produksi populis
dalam strategi agrarian yang membagi penguasaan tanah dan sarana produksi ke
sebagian besar keluarga petani menyebabkan terjadinya pengambilalihan tanah
secara besar-besaran dari pemilik tanah berlahan luas kepada petani kecil dan
tak bertanah melalui kebijakan negara. Konflik-konflik tanah yang sifatnya
internal dan bentuknya horizontal muncul mewarnai perkembangan mode produksi
populis yakni antara para buruh tani dan petani-petani kecil melawan tuan-tuan
tanah, petani kaya, dan penguasa-penguasa perkebunan.
Perubahan kekuasaan daro Orde Lama
ke Orde Baru secaraa mendadak membawa dampak pada terjadinya perubahan sistem
politik. Salah satunya adalah perubahan strategi agrarian populis menjadi
strategi agrarian kapitalis melalui ideology pembangunan yang terkait erat
dengan sistem kapitalisme dunia.
Perubahan mode produksi ke proses
akumulasi capital menimbulkan rentetan konflik tanah sepanjang Orde Baru yang
bersumber dari kegiatan pengambilalihan tanah-tanah rakyat oleh pemodal dan
atau negara. Konflik tanah yang timbul akibat mekanisme mode produksi capital
di masa Orde Baru terlihat sangat bervariasi yang melibatkan kelompok petani
kecil sampai kelompok petani besar.
Pada masa Orde Baru, mode produksi
kapital menempatkan tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi semata untuk
kepentingan hampir semua sektor yang dianggap potensial mendukung pertumbuhan
ekonomi. Eksploitasi terhadap rakyat dan tanah merupakan sumber kekayaan yang
melimpah bagi golongan tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi dan kekuasaan,
sementara rakyat menderita karena sumber-sumber daya agrarian banyak diambil
alih oleh pemodal dan atau negara untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi.
Pada masa Orde Baru terdapat dua
pihak yang terlibat dalam mode produksi capital. Pihak pertama adalah petani
dengan penguasaan tanah sempit atas daerah-daerah eks perkebunan atau sebagian
dari hasil program land form. Pihak kedua ialah pemilik modal dalam negeri dan
asing yang didukung negara untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.
Motivasi yang mendorong petani
melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuatan modal pada masa
kolonial maupun pada masa Orde Baru sangat erat kaitannya dengan faktor
kepentingan petani atas tanah-tanah tersebut. Pada masa kolonial,
kerusuhan-kerusuhan dan pemberontakan timbul karena petani ingin kembali
menggunakan tanah-tanah yang pernah digarap dari tangan penjajah atau dalam
konteks yang lebih besar, petani mendambakan kemerdekaan tanah airnya dan lepas
dari perbudakan asing. Oleh karena itu, motivasi utama pemberontakan petani
terutama berasal dari pengaruh dan pimpinan para penguasa kerajaan atau bekas
penguasa kerajaan yang kehilangan legitimasi kekuasaan atas rakyat yang oleh
pihak kolonial telah dijadikan alat eksploitasi.
Pada masa Orde Baru, perlawanan
dan kerusuhan petani timbul lebih sebagai upaya petani dalam mempertahankan
diri dari ancaman kehilangan lahan yang
hendak diambil para pemodal daripada aksi untuk memperoleh bagian tanah yang
lebih besar dari yang sudah dimiliki. Kalaupun ada tuntutan terhadap
tanah-tanah yang sudah diklaim oleh pihak swasta atau negara, tuntutan itu
lebih kea rah menuntut hak dan penghargaan yang layak atas ganti rugi
tanah-tanah yang tergusur.
Kondisi Petani akibat Merasuknya
Kapitalisme Agraria Di Pedesaan
Dominasi negara dan capital dalam mengelola
sumber daya agraria dan tata produksi petani melalui mekanisme usaha mencapai
swasembada beras rupanya menyebabkan kondisi baru sektor pertanian yang tidak
menggembirakan. Terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin
melebar, menurunnya income opportunities petani tunakisma dan petani kecil,
maupun gejala konsolidasi lahan yang semakin meningkat oleh penduduk yang
justru tidak bekerja di sektor pertanian merupakan beberapa contoh dari semakin
merasuknya sistem komersialisasi di pedesaan. Dampak pengaruh kapitalisme
kepada masyarakat pedesaan yang sangat jelas terlihat dari proses hilangnya
kemandirian petani dalam mengusahakan sistem produksinya. Semua sarana produksi
telah disediakan (bibit, pupuk, dan obat) dengan penggunaan yang diatur
sedemikian rupa dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas produksi. Tujuan
dan orientasi yang jelas adalah merasionalkan semua kegiatan petani agar mampu
menghasilkan keuntungan (profit) yakni dengan berbagai inovasi baru di bidang
pertanian.
Menurut Hayami dan Kikuchi (dalam
penelitiannya tentang petani dan kelembagaan Asia) menemukan bahwa stratifikasi
petani muncul akibat masuknya sistem kapitalis ke pedesaan. Perubahan struktur
agraris telah mengakibatkan terjadinya stratifikasi komunitas petani,
meningkatnya jumlah petani komersial dan jumlah petani tak bertanah, serta
melemahnya hubungan sosial yang berprinsip moral tradisional. Pola hubungan
pasar dianggap telah menggantikan posisi pola pemerataan pendapatan dan adat
tolong-menolong yang hidup di masyarakat petani. Contoh kasus (Clifford Geertz)
pada masyarakat petani Jawa yang sangat dekat dengan prinsip hidup
gotong-royong. Geertz menemukan bahwa startifikasi yang didasarkan pada
kepemilikan tanah di desa tidaklah mencerminkan ketidaksamaan pendapatan.
Terjadinya peralihan dari sistem bawon ke sistem tebasan akibat masuknya
teknologi baru menyebabkan petani komersil cenderung mengabaikan
kewajiban-kewajiban tradisional tentang pemerataan kerja dan pendapatan bagi
penduduk miskin di desa. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik asumsi
sementara bahwa apa pun strategi yang dipilih petani ternyata hampir semuanya
mengarah pada bentuk-bentuk hubungan mutualisme dan kompromistis yang
sebenarnya merupakan indicator dari prinsip moral pedesaan.
Meningkatnya kemiskinan di desa
telah memaksa petani untuk mencari perlindungan kepada warga yang bukan
kerabat. Kejadian itu menyumbangkan proses tumbuhnya kelas patron klen yang
bermula dari ketidakseimbangan penguasaan tanah yang menyebabkan luas tanah
yang sekian lama memberi otonomi kepada petani menjadi tidak memadai lagi untuk
subsistensi sehingga jumlah petani miskin desa semakin bertambah. Sistem sewa
tanah memberi bukti bahwa ternyata petani memilih hubungan patron-klien yang
dianggap saling menguntungkan itu.
Ancaman terhadap subsistensi
petani tidak hanya disebabkan semakin merasuknya kapitalisme ke pedesaan,
tetapi juga disebabkan tataran yang lebih besar yaitu berkembangnya kekuasaan
negara melalui kebijakan-kebijakannya yang mengakibatkan akses petani terhadap
sumber daya menjadi semakin terbatas. Kebijakan-kebijakan negara yang lebih
menekankan kepada peningkatan produksi dengan berbagai fasilitas kredit telah
menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial yang lebih meleba, walaupun belum
mengarah ke polarisasi. Hal ini diakibatkan fasilitas tersebut hanya dapat
dinikmati oleh kelompok petani berlahan luas. Dalam kapitalisme agrarian
terjadi suatu perubahan kepemilikan faktor produksi dari petani kepada kelas
pemilik modal. Tumbuhnya kapitalisme di Indonenesia didasarkan kepada akumulasi
dari sektor agrarian, tidak hanya di subsector agrobisnis, tetapi juga pada
eksploitasi hutan, tambang, laut, dan subsector-subsektor lainnya. Dalam
pengelolaan hutan, misalnya hutan yang semula dikuasai masyarakat lokal
pendukungnya, pada saat ini berubah menjadi miliki pemegang HPH.
Konflik Agraria Dan Reaksi Petani
Konflik agraria terjadi manakala pihak-pihak yang
berkonflik memiliki posisi dan motivasi yang berbeda atas penguasaan sumber
daya agraria, tetapi memiliki kepentingan yang sama untuk memiliki sumber daya
agraria seperti tanah dengan segala produk yang dihasilkannya. Konflik agraria
tidak hanya terbatas pada masalah tanah, tetapi juga konflik terhadap sumber
daya agraria yang sudah diusahakan oleh rakyat dan yang kelihatannya belum
diusahakan oleh rakyat tetapi sebenarnya sudah ada dalam penguasaan rakyat.
Sumber daya agraria yang sudah diusahakan oleh rakyat seperti pengambilalihan
tanah-tanah pertanian yang sedang ditanami komoditas pangan untuk kepentingan
industri dan pariwisata. Konflik agraria yang terjadi karena perebutan sumber
daya agraria yang kelihatannya belum diusahakan oleh rakyat tetapi ternyata
sudah ada dalam penguasaan masyarakat seperti kasus pengambilan tanah adat
untuk proyek pertambangan maupun proyek infrastruktur seperti waduk. Dikaitkan
dengan sistem politik yang lebih luas permasalahan tersebut merupakan gambaran
bagaimana ekspansi besar-besaran kapitalis ke masyarakat petani. Mekanisme
kapitalisme telah menggantikan posisi tata produksi petani yang harmonis dan
selama ini mampu menjamin keamanan pangan meskipun dalam masa rawan pangan
sekalipun. Akibatnya adalah timbulnya ketegangan dan pemberontakan petani
karena kapitalisme dianggap telah merusak kemapanan lembaga tradisional
pedesaan yang selama ini dapat mengurangi risiko.
Scott (1989:61) menulis bahwa akibat pertanian
komersial dan pertumbuhan negara, kepercayaan petani akan jaminan subsistensi
mulai menurun dan petani tidak ada pilihan lain kecuali melawan. Perlawanan
petani disebabkan karena sumbangan untuk kesejahteraan petani semakin kecil.
Hubungan eksploitasi dalam sistem kapitalisme telah mengubah tanah dan tenaga
kerja sebagai kekayaan (asset), petani menjadi komoditas pasar. Namun sistem
kapitalis memandang bahwa petani adalah sumber tenaga kerja dan modal yang
dapat menambah sumbangan bagi kekuasaannya sebagai sumber eksploitasi.
Intervensi sistem kapitalisme ke pedesaan telah menimbulkan benturan dan begitu
banyak perubahan dalam aspek kehidupan petani. Konflik, kesenjangan sosial dan
munculnya reaksi atau gerakan petani merupakan indikator atau gejala terjadinya
perubahan. Menurut Landsberger dan Alexandrov ada lima sebab munculnya gerakan
petani. Pertama inkonsistensi status, kedua kemerosotan relatif, ketiga
kemerosotan status masa lalu dan ancaman masa depan, keempat kesadaran bersama
tentang nasib yang dialami, dan yang kelima reaksi kolektif terhadap kedudukan
yang rendah. Sedangkan menurut Scott (1989) dorongan moral merupakan alasan
utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral
yang besar. Dengan kata lain, gerakan petani muncul karena terus berkembangnya
kontradiksi baru dalam sektor pertanian yang semakin komersial dan
kapitalistis.
Konflik-konflik tanah memunculkan reaksi petani.
Reaksi spontan petani mempertahankan diri dari kekuatan yang mendominasi
disebut sebagai gerakan defensif. Gerakan yang bersifat reformatif atau bentuk
aksi petani yang berupaya untuk merebut bagian yang lebih besar dan lebih adil
dari keadaan minimal yang sudah diperolehnya. Reaksi defensif petani merupakan
kecenderungan reaksi petani di Indonesia ketika lahan mereka diambil, aksi-aksi
protes dan demontrasi menolak penggusuran merupakan aksi spontan petani dalam
mempertahankan diri dari ancaman kehilangan sarana produksi yang secara ekonomi
sangat berarti. Aksi protes dan demontrasi petani dalam menolak untuk menanam
tanaman tertentu merupakan aksi spontan petani untuk mempertahankan diri dari
ancaman kekacauan dalam kebiasaan tata produksi petani yang selama ini dapat
menjamin dan mengamankan petani dari krisis pangan. Sengketa tanah yang diikuti
dengan penolakan menanam tebu merupakan salah satu bentuk penolakan petani atas
tata produksi baru yang dianggap merugikan dan cenderung tidak memihak kepada
kepentingan mereka. Menurut hasil penelitian Siahaan (1996) di 17 desa di Jawa
Timur, aksi pembangkangan petani tebu merupakan reaksi relasional untuk
mengartikulasikan kepentingan mereka terhadap hegemoni birokrasi. Perlawanan,
pembangkangan petani bukan aksi pemberontakan petani karena diikat oleh
kesadaran kelas tetapi dipersatukan oleh kesadaran persamaan pengalaman
terjadinya proses marginalisasi dalam sistem produksi TRI. Program TRI
bertujuan menjadikan petani “tuan di atas tanahnya sendiri” telah gagal.
Program TRI ternyata lebih sebagai usaha tani kontrak yang lebih banyak membawa
kepentingan ekonomi-politik negara dalam mengejar swasembada gula secara
nasional daripada pemihakan riil kepada nasib petani.
Reaksi Petani :
Defensif Atau Reformatifkah ?
Pada masa feodal,intensitas
konlik-konflik tanah cukup tinggi dan terjadi dibanyak bagian wilayah kerjaan
dengan pola vertical, tetapi reaksi petani sebagai manifestasi dari
konflik-konflik tanah tersebut tidak sebagai upaya petani penggarap untuk
memperoleh tanah melainkan lebih sebagai manifestasi dari upaya pertahanan diri
dari upaya pengambilan sebagian atau seluruh tanah mereka oleh raja atau
melepaskan diri dari pemerasan dan kekejaman raja. Contoh yang paling jelas
adalah dalam peristiwa pengambilan tanah-tanah oleh raja dari sikep lama kepada
sikep baru.
Sementara itu, pada masa colonial,
intensitas konflik-konflik juga cukup tinggi, ini terlihat dari berbagai jenis
pola perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap colonial. Frekuensi perlawanan rakyat yang bersifat
terbuka, seperti perang Jawa maupun pemberontakan-pemberontakan petani, tidak
pernah suruh dari tahun ke tahun. frekuensi perlawanan rakyat yang lebih tertutup
dan tidak secara terang-terangan, berupa manifestasi secra tidak langsung
sebagai aksi protes atas penindasan colonial, seperti kecu (
perampokan ) maupun perbanditan, juga semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pola perlawanan petani pada masa
colonial tersebut berbeda dengan pola perlawanan petani yang terbentuk pada
masa pascakolonial. Kalau pada masa kolonial, upaya petani adalah untuk
mendapatkan kembali lahan-lahan yang dikuasai pemerintah kolonial,dan dengan
segala keterbatasannya berujung bahu membahu bersama dengan elite lokal desa
dan kelas menengah melawan kolonial,pada masa pasccakolonial upaya tersebut
secara politis memiliki bentuk lain yang lebih ekstrem.
Sementara itu, pada masa orde
baru, perlawanan
dan kerusuhan petani timbul lebih sebagai upaya petani mempertahankan diri dari
ancaman kehilangan lahan yang hendak diambil para pemodal daripada aksi
memperoleh tanah-tanah dengan bagian yang lebih besar dari yang sudah dimiliki
seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Dari sekilas perjalanan sejarah
tentang reaksi yang muncul ketika tanah-tanah petani diambil oleh suatu sistem
ekonomi dan politik tertentu, terlihat
bahwa sikap reformatif petani atas tanah-tanah ada pada masa kolonial dan pada
masa pascakolonial, sedangkan reaksi defensive patani cendrungan ditemukan pada
masa feodalisme dan Orde Baru.
Reaksi reformatif petani pada masa
kolonial dan pascakolonial terjadi dalam situasi posisi petani cukup kuat. Pada
masa kolonial, kuatnya
posisi petani terlihat dari kuatnya aliansi petani dengan elite desa dan kelas
menengah, dan
meliputi seluruh wilayah Indonesia, terlebih setelah pergerakkan nasional
berkembang pesat. Kuatnya posisi petani pada masa pascakolonial terlihat dari
dekatnya petani pada sistem politik melalui kebebasan berorganisasi dan aliansi
petani yang sangat jelas kepartai-partai politik. Sebaliknya, pada masa
kolonial dan Orde Baru, reaksi
petani cendrung defensive. Pada kedua masa ini, posisi petani tidak cukup kuat
sebagai pihak yang menguasai tanah. Pada masa kolonial, ketidakjelasan
penguasaan tanah terjadi karena raja yang berkuasa atas tanha dan petani harus
menyerahkannya jika sewaktu-waktu raja menghendaki.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009