-->

September 26, 2020

Petani: Antara Moral dan Rasional

Tinjauan tetang petani dapat dilihat dalam beberapa pendekatan. Scott (1989:62) melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola subsisten dan enggan berisiko. Redfield (1985:88) melukiskannya sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilai-nilai petani yang berlaku. Dalam pandangan petani, prinsip itu mempunyai kekuatan moral yang merupakan ukuran bagi penilaian petani terhadap mekanisme yang ada. Dalam teori ekonomi dualismenya, Boeke (1953) yang melakukan pengamatan tentang petani di Jawa menilai bahwa nilai dan sikap “limited needs” merupakan prinsip moral yang berlaku umum di kalangan petani Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tetapi sekedar untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari. Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip mendahulukan selamat (safety first), merupakan indicator bahwa orientasi subsistensi sangat mendasari pola hidup petani. Pada hakikatnya, persoalan keuntungan yang diperoleh dari investasi di setiap lahan maupun produktivitas tenaga kerja, bagi petani, bukan merupakan prioritas karena kegiatan mencari keuntungan itu justru dianggap mengacaukan rutinitas subsistensi yang terbukti memadai dalam menjamin kesejahteraan petani. Menurut Wolf (1995:8), ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya berproduksi begitu kebutuhan subsistensinya terpenuhi.

              Sebaliknya, Popkin (1986) lebih mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah “Homo Oekonomicos” yang akan terus berusaha memedulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Petani cenderung mempekerjakan tetangganya atas dasar tolong-menolong daripada mengambil tenaga kerja dari luar sekalipun dengan biaya yang murah. Dari beberapa pandangan tersebut terlihat bahewa sebuah keluarga tani bias tetap survive dan solidaritas komunitas tetap kuat, mereka mengandalkan sikap kepatuhan terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama. Oleh karena itu, pada masyarakat petani ada kecenderungan kesamaan bagi semua anggota dengan memberlakukan control social terhadap anggota yang kaya supaya membagi kekayaannya kepada yang miskin. Sementara itu, system ekonomi kelembagaan petani merupakan dasar tinjauan Hayami dam Kikuchi (1987) tentang petani. Keduanya mengakui adanya ekonomi moral “Scott” maupun ekonomi rasional “Popkin” pada masyarakat petani.

              Pandangan Redfield terhadap petani cenderung dikotomis yakni melihat petani sebagai part culture. Merujuk pada konsistensi perbedaan pendekatan dan tinjauan para ahli tentang petani dan melihat kondisi serta kebijakan yang ada di Indonesia, petani dengan pola hidup subsisten cenderung mendekati kenyataan yang bias dilihat pada masyarakat petani di Indonesia. Ada tiga indikator yang dipakai untuk memahami pola subsistensi petani. Pertama adalah sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yakni tanah dan sumber daya agraria. Kedua adalah besar kecilnya skala usaha petani. Dan Ketiga adalah jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam kenyataan situasi petani di Indonesia sekarang ini, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang subsisten mutlak. Di Indonesia, data empiris mikro menunjukkan bahwa petani sudah cukup lama meninggalkan pemikiran dan cara-cara tradisional kea rah cara-cara modern yang berorientasi self sufficient.

              Konsep tentang petani subsisten merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan konflik agraria di Indonesia. Persoalan besar kecilnya skala usaha, sikap petani, dan pemilihan komoditas yang diproduksi akan menjadi kerangka pokok yang seterusnya digunakan dalam menganalisis persoalan konflik agraria tersebut. Asumsi sementara yang akan menjadi alat analisis memahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah, khususnya di Jawa, yang semakin tajam dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin tajam tersebut ditunjukkan dengan perubahan secara lanjut yakni semakin menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya jumlah tunakisma. Dengan demikian, kecilnya skala usaha yang dimiliki sebagian besar petani menunjukkan pola hidup petani Indonesia yang tergolong subsisten. Dikatakan demikian karena keterbatasan kemampuan berproduksi disebabkan kecilnya skala usaha yang dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa ketimpangan perngusahaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bias diakses petani untuk berproduksi. Walaupun demikian, menurut Wiradi (1990), persoalan skala usaha dan satuan luas sampai sekarang ini sebenarnya masih menjadi perdebatan akademis yang panjang. Menurut Nasikun, seperti dikutip Wiradi (1990:2), yang menjadi persoalan adalah mengapa ketika berhadapan dengan semakin gencarnya intervensi kapitalisme agrarian, petani kecil masih bisa bertahan (persistence) utamnya dengan modal keterbatasannya itu.

Petani dan Kapitalisme Agraria (Perkembangan Mode Produksi dan Konflik Agraria)

              Perkembangan mode produksi dipakai sebagai alat untuk menjelaskan dan meninjau kembali faktor-faktor yang mendorong munculnya konflik agraria. Perkembangan mode produksi sebagai sistem ekonomi secara keseluruhan melibatkan sekaligus aktor-aktor yang berperan dalam konfik agraria sejak masa prakapitalis atau feodal, masa kolonial, dan pascakolonial. Untuk menjelaskan mode produksi, hal yang paling penting adalah pemahaman mengenai cara sistem dan proses produksi dilakukan.

              Tanah mempunyai arti yang sangat penting karena tidak hanya dipandang sebagai faktor produksi tetapi juga merupakan aset penting bagi aktivitas manusia.

              Pada masa feodalisme atau prakapitalis, raja menganggap tanah sebagai simbol otoritas. Tanah dipinjamkan raja kepada para bangsawan yang kemudian diserahi tugas menyediakan pasukan perang dan menjaga keamanan di wilayah kekuasaan masing-masing. Sistem feodalisme mengutamakan hubungan erat antara raja dan tuan-tuan tanah dalam mengurus negara. Di Indonesia, sistem feodalisme muncul pada zaman Hindu dengan munculnya pusat-pusat kerajaan yang kekuasaannya bertahan rata-rata seratus tahun. Hal ini disebabkan karena penguasaan tanah tidak begitu menentukan sebagai dasar hubungan antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih didasarkan pada jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan gusti sehingga dalam struktur masyarakat terlihat pengelompokan menurut kelas tertentu.

              Status tanah di Pulau Jawa, menurut Kano seperti dikutip Kasryno (1984 : 47-48), pada awalnya secara umum menggambarkan pola penguasaan tanah secara adat, berupa tanah yasan, gogolan, titisara, dan bengkok. Perbedaan hak atas tanah secara adat menjadi penentu bagi kedudukan seseorang dalam lapisan sosial di masyarakat. Kondisi ini menunjukkan adanya penguasaan individual maupun kolektif atas tanah pada masa-masa feodal. Raja merupakan penguasa tanah melalui penguasaan rakyat (cacah) yang pada prinsipnya berperan sebagai penggarap tanah untuk kepentingan kerajaan.

              Secara teoritis, penguasa kerajaan berhak menguasai, menjual, dan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang diusahakan rakyat berikut pengawasannya untuk kepentingan penumpukan kekayaan feodal. Akibatnya, unsur eksploitasi dan pemerasan oleh pihak kerajaan terhadap rakyat yang menggarap tanah menjadi mode produksi yang berkembang pada masa feodal.

               Menurut Boserup, seperti dikutip Evers dan Schiel (1992 : 192), tekanan kebutuhan akan tenaga kerja telah berakibat jangka panjang terhadap perkembangan agraris dan efek perluasan fakto-faktor produksi. Dalam sistem feodal, tuntutan raja terhadap tenaga kerja yang semakin meningkat untuk pembangunan kerajaan, turut pula meningkatkan sumbangan pajak atau upeti rakyat kepada raja. Karena itu, raja akan semakin banyak membentuk sikep baru yang ditunjuk menjadi penguasa tanah dengan beberapa ikatan kewajiban tertentu terhadap raja. Sumber-sumber ekonomi secara politis dikuasai feodal dan petani hanya menjadi sebagai penggarap dengan berbagai kewajiban kepada raja yang sifatnya mengikat. Akibatnya sering terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat yang menggarap tanah hasil pemberian raja.

              Pola hubungan vertikal dalam sistem penguasaan tanah pada masa feodal menyebabkan bentuk konflik yang muncul bersifat horizontal dan vertikal, yakni implikasi dari adanya penguasa tunggal atas tanah. Mode produksi yang berkembang pada masa feodal cenderung memihak ke atas yakni penguasaan faktor produksi di tangan raja sebagai penguasa tunggal dan rakyat hanya berhak menggarap. Pada masa feodal, berkembang subur suatu metode produksi yang tidak memihak kepada rakyat, yakni sistem pemerasan sumber-sumber ekonomi rakyat melalui rutinitas penyerahan upeti dan tenaga untuk kekayaan raja.

              Bagi petani, tanah dianggap sebagai tanah pusaka dan tidak sekedar simbol apalagi mata dagangan. oleh karena itu, petani menolak cara hidup yang menjauhkan mereka dari tanah sebagai faktor produksi karena petani menganggap kegiatan pertanian merupakan usaha menjalin keharmonisan hubungan dan kerjasama saling menguntungkan.

              Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat produksi untuk mencapai surplus maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada faktor produksi yakni tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk produksi menurut perhitungan yang serasional dan efisiensi untuk keuntungan sebesar-besarnya. Sistem ini disebut sebagai kapitalisme.

              Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi terpisah satu sama lain. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja bukan semata-mata sebagai asset melainkan alat produksi melalui mekanisme upah. kapitalisme mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya dan akumulasi modal untuk investasi. Kapitalisme terdiri atas dua jenis, yakni kapitalisme modal swasta dan kapitalisme negara. Kapitalisme modal swasta yakni kapitalisme yang berkembang atas dasar suasana kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan persaingan melalui kekuatan mekanisme pasar. Sedangkan kapitalisme negara adalah pemilikan capital terbesar di tangan negara dan rakyat menjadi buruh dari negara tanpa imbalan apa pun.

              Di Indonesia, kapitalisme dan penjajahan modern dimulai dengan peristiwa kedatangan kapal-kapal asing untuk berdagang pada awal abad enam belas.

              Pada masa tanam paksa, perkembangan mode produksi kapitalis pada dasarnya semakin tidak menempatkan kedudukan petani penggarap menjadi lebih baik, bahkan justru cenderung lebih buruk. Posisi tanah sebagai faktor produksi dan rakyat sebagai tenaga kerja diperas habis-habisan untuk kepentingan akumulasi capital pihak kolonial khususnya dari sektor perkebunan.

              Pada masa kolonial, perkembangan mode produksi kapitalis mencapai puncaknya pada masa liberal atau penanaman bebas. Terambilnya faktor produksi tanah dari penguasaan rakyat kepada pemodal merupakan gejala penguasaan faktor produksi, yaitu tanah dan tenaga kerja oleh pemodal. Implikasinya adalah menjadikan rakyat sebagai buruh di lahannya. Petani terjerat sebagai buruh upahan di sektor perkebunan yang menjadi satu-satunya pemasok utama kekayaan pemerintah kolonial melalui mekanisme mode produksi capital pada masa liberal.

              Dalam sistem kapitalis, hubungan produksi antara petani dan tanah menjadi sangat jauh. Akibatnya, konflik agrarian kerap mewarnai sistem pertanian dan perkebunan pada masa kolonial.

              Perubahan politik yang terjadi dengan berakhirnya masa kolonial di Indonesia turut serta mengubah mode produksi agrarian dari mode produksi kapitalis kolonial ke mode produksi agrarian populis. Mode agrarian populis menempatkan tanah, tenaga kerja, pengambilan keputusan mengenai proses produksi , akumulasi dan investasi capital di tangan keluarga petani. Dalam mode produksi populis, pengakuan hak individu atas tanah sangat jelas tanpa mengabaikan fungsi tanah secara sosial. Untuk itu negara mengatur supaya tanah dipergunakan untuk kesejahteraan bersama melalui sistem desentralisasi kekuasaan politik yang memberi kebebasan kepada petani untuk menyuarakan aspirasinya melalui organisasi.

              Perkembangan mode produksi populis dalam strategi agrarian yang membagi penguasaan tanah dan sarana produksi ke sebagian besar keluarga petani menyebabkan terjadinya pengambilalihan tanah secara besar-besaran dari pemilik tanah berlahan luas kepada petani kecil dan tak bertanah melalui kebijakan negara. Konflik-konflik tanah yang sifatnya internal dan bentuknya horizontal muncul mewarnai perkembangan mode produksi populis yakni antara para buruh tani dan petani-petani kecil melawan tuan-tuan tanah, petani kaya, dan penguasa-penguasa perkebunan.

              Perubahan kekuasaan daro Orde Lama ke Orde Baru secaraa mendadak membawa dampak pada terjadinya perubahan sistem politik. Salah satunya adalah perubahan strategi agrarian populis menjadi strategi agrarian kapitalis melalui ideology pembangunan yang terkait erat dengan sistem kapitalisme dunia.

              Perubahan mode produksi ke proses akumulasi capital menimbulkan rentetan konflik tanah sepanjang Orde Baru yang bersumber dari kegiatan pengambilalihan tanah-tanah rakyat oleh pemodal dan atau negara. Konflik tanah yang timbul akibat mekanisme mode produksi capital di masa Orde Baru terlihat sangat bervariasi yang melibatkan kelompok petani kecil sampai kelompok petani besar.

              Pada masa Orde Baru, mode produksi kapital menempatkan tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi semata untuk kepentingan hampir semua sektor yang dianggap potensial mendukung pertumbuhan ekonomi. Eksploitasi terhadap rakyat dan tanah merupakan sumber kekayaan yang melimpah bagi golongan tertentu yang memiliki kekuatan ekonomi dan kekuasaan, sementara rakyat menderita karena sumber-sumber daya agrarian banyak diambil alih oleh pemodal dan atau negara untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi.

              Pada masa Orde Baru terdapat dua pihak yang terlibat dalam mode produksi capital. Pihak pertama adalah petani dengan penguasaan tanah sempit atas daerah-daerah eks perkebunan atau sebagian dari hasil program land form. Pihak kedua ialah pemilik modal dalam negeri dan asing yang didukung negara untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

              Motivasi yang mendorong petani melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuatan modal pada masa kolonial maupun pada masa Orde Baru sangat erat kaitannya dengan faktor kepentingan petani atas tanah-tanah tersebut. Pada masa kolonial, kerusuhan-kerusuhan dan pemberontakan timbul karena petani ingin kembali menggunakan tanah-tanah yang pernah digarap dari tangan penjajah atau dalam konteks yang lebih besar, petani mendambakan kemerdekaan tanah airnya dan lepas dari perbudakan asing. Oleh karena itu, motivasi utama pemberontakan petani terutama berasal dari pengaruh dan pimpinan para penguasa kerajaan atau bekas penguasa kerajaan yang kehilangan legitimasi kekuasaan atas rakyat yang oleh pihak kolonial telah dijadikan alat eksploitasi.

              Pada masa Orde Baru, perlawanan dan kerusuhan petani timbul lebih sebagai upaya petani dalam mempertahankan diri dari ancaman kehilangan  lahan yang hendak diambil para pemodal daripada aksi untuk memperoleh bagian tanah yang lebih besar dari yang sudah dimiliki. Kalaupun ada tuntutan terhadap tanah-tanah yang sudah diklaim oleh pihak swasta atau negara, tuntutan itu lebih kea rah menuntut hak dan penghargaan yang layak atas ganti rugi tanah-tanah yang tergusur.

Kondisi Petani akibat Merasuknya Kapitalisme Agraria Di Pedesaan

              Dominasi negara dan capital dalam mengelola sumber daya agraria dan tata produksi petani melalui mekanisme usaha mencapai swasembada beras rupanya menyebabkan kondisi baru sektor pertanian yang tidak menggembirakan. Terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin melebar, menurunnya income opportunities petani tunakisma dan petani kecil, maupun gejala konsolidasi lahan yang semakin meningkat oleh penduduk yang justru tidak bekerja di sektor pertanian merupakan beberapa contoh dari semakin merasuknya sistem komersialisasi di pedesaan. Dampak pengaruh kapitalisme kepada masyarakat pedesaan yang sangat jelas terlihat dari proses hilangnya kemandirian petani dalam mengusahakan sistem produksinya. Semua sarana produksi telah disediakan (bibit, pupuk, dan obat) dengan penggunaan yang diatur sedemikian rupa dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas produksi. Tujuan dan orientasi yang jelas adalah merasionalkan semua kegiatan petani agar mampu menghasilkan keuntungan (profit) yakni dengan berbagai inovasi baru di bidang pertanian.

              Menurut Hayami dan Kikuchi (dalam penelitiannya tentang petani dan kelembagaan Asia) menemukan bahwa stratifikasi petani muncul akibat masuknya sistem kapitalis ke pedesaan. Perubahan struktur agraris telah mengakibatkan terjadinya stratifikasi komunitas petani, meningkatnya jumlah petani komersial dan jumlah petani tak bertanah, serta melemahnya hubungan sosial yang berprinsip moral tradisional. Pola hubungan pasar dianggap telah menggantikan posisi pola pemerataan pendapatan dan adat tolong-menolong yang hidup di masyarakat petani. Contoh kasus (Clifford Geertz) pada masyarakat petani Jawa yang sangat dekat dengan prinsip hidup gotong-royong. Geertz menemukan bahwa startifikasi yang didasarkan pada kepemilikan tanah di desa tidaklah mencerminkan ketidaksamaan pendapatan. Terjadinya peralihan dari sistem bawon ke sistem tebasan akibat masuknya teknologi baru menyebabkan petani komersil cenderung mengabaikan kewajiban-kewajiban tradisional tentang pemerataan kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin di desa. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik asumsi sementara bahwa apa pun strategi yang dipilih petani ternyata hampir semuanya mengarah pada bentuk-bentuk hubungan mutualisme dan kompromistis yang sebenarnya merupakan indicator dari prinsip moral pedesaan.

              Meningkatnya kemiskinan di desa telah memaksa petani untuk mencari perlindungan kepada warga yang bukan kerabat. Kejadian itu menyumbangkan proses tumbuhnya kelas patron klen yang bermula dari ketidakseimbangan penguasaan tanah yang menyebabkan luas tanah yang sekian lama memberi otonomi kepada petani menjadi tidak memadai lagi untuk subsistensi sehingga jumlah petani miskin desa semakin bertambah. Sistem sewa tanah memberi bukti bahwa ternyata petani memilih hubungan patron-klien yang dianggap saling menguntungkan itu.

              Ancaman terhadap subsistensi petani tidak hanya disebabkan semakin merasuknya kapitalisme ke pedesaan, tetapi juga disebabkan tataran yang lebih besar yaitu berkembangnya kekuasaan negara melalui kebijakan-kebijakannya yang mengakibatkan akses petani terhadap sumber daya menjadi semakin terbatas. Kebijakan-kebijakan negara yang lebih menekankan kepada peningkatan produksi dengan berbagai fasilitas kredit telah menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial yang lebih meleba, walaupun belum mengarah ke polarisasi. Hal ini diakibatkan fasilitas tersebut hanya dapat dinikmati oleh kelompok petani berlahan luas. Dalam kapitalisme agrarian terjadi suatu perubahan kepemilikan faktor produksi dari petani kepada kelas pemilik modal. Tumbuhnya kapitalisme di Indonenesia didasarkan kepada akumulasi dari sektor agrarian, tidak hanya di subsector agrobisnis, tetapi juga pada eksploitasi hutan, tambang, laut, dan subsector-subsektor lainnya. Dalam pengelolaan hutan, misalnya hutan yang semula dikuasai masyarakat lokal pendukungnya, pada saat ini berubah menjadi miliki pemegang HPH.

 

Konflik Agraria Dan Reaksi Petani

              Konflik agraria terjadi manakala pihak-pihak yang berkonflik memiliki posisi dan motivasi yang berbeda atas penguasaan sumber daya agraria, tetapi memiliki kepentingan yang sama untuk memiliki sumber daya agraria seperti tanah dengan segala produk yang dihasilkannya. Konflik agraria tidak hanya terbatas pada masalah tanah, tetapi juga konflik terhadap sumber daya agraria yang sudah diusahakan oleh rakyat dan yang kelihatannya belum diusahakan oleh rakyat tetapi sebenarnya sudah ada dalam penguasaan rakyat. Sumber daya agraria yang sudah diusahakan oleh rakyat seperti pengambilalihan tanah-tanah pertanian yang sedang ditanami komoditas pangan untuk kepentingan industri dan pariwisata. Konflik agraria yang terjadi karena perebutan sumber daya agraria yang kelihatannya belum diusahakan oleh rakyat tetapi ternyata sudah ada dalam penguasaan masyarakat seperti kasus pengambilan tanah adat untuk proyek pertambangan maupun proyek infrastruktur seperti waduk. Dikaitkan dengan sistem politik yang lebih luas permasalahan tersebut merupakan gambaran bagaimana ekspansi besar-besaran kapitalis ke masyarakat petani. Mekanisme kapitalisme telah menggantikan posisi tata produksi petani yang harmonis dan selama ini mampu menjamin keamanan pangan meskipun dalam masa rawan pangan sekalipun. Akibatnya adalah timbulnya ketegangan dan pemberontakan petani karena kapitalisme dianggap telah merusak kemapanan lembaga tradisional pedesaan yang selama ini dapat mengurangi risiko.

              Scott (1989:61) menulis bahwa akibat pertanian komersial dan pertumbuhan negara, kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai menurun dan petani tidak ada pilihan lain kecuali melawan. Perlawanan petani disebabkan karena sumbangan untuk kesejahteraan petani semakin kecil. Hubungan eksploitasi dalam sistem kapitalisme telah mengubah tanah dan tenaga kerja sebagai kekayaan (asset), petani menjadi komoditas pasar. Namun sistem kapitalis memandang bahwa petani adalah sumber tenaga kerja dan modal yang dapat menambah sumbangan bagi kekuasaannya sebagai sumber eksploitasi. Intervensi sistem kapitalisme ke pedesaan telah menimbulkan benturan dan begitu banyak perubahan dalam aspek kehidupan petani. Konflik, kesenjangan sosial dan munculnya reaksi atau gerakan petani merupakan indikator atau gejala terjadinya perubahan. Menurut Landsberger dan Alexandrov ada lima sebab munculnya gerakan petani. Pertama inkonsistensi status, kedua kemerosotan relatif, ketiga kemerosotan status masa lalu dan ancaman masa depan, keempat kesadaran bersama tentang nasib yang dialami, dan yang kelima reaksi kolektif terhadap kedudukan yang rendah. Sedangkan menurut Scott (1989) dorongan moral merupakan alasan utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral yang besar. Dengan kata lain, gerakan petani muncul karena terus berkembangnya kontradiksi baru dalam sektor pertanian yang semakin komersial dan kapitalistis.

              Konflik-konflik tanah memunculkan reaksi petani. Reaksi spontan petani mempertahankan diri dari kekuatan yang mendominasi disebut sebagai gerakan defensif. Gerakan yang bersifat reformatif atau bentuk aksi petani yang berupaya untuk merebut bagian yang lebih besar dan lebih adil dari keadaan minimal yang sudah diperolehnya. Reaksi defensif petani merupakan kecenderungan reaksi petani di Indonesia ketika lahan mereka diambil, aksi-aksi protes dan demontrasi menolak penggusuran merupakan aksi spontan petani dalam mempertahankan diri dari ancaman kehilangan sarana produksi yang secara ekonomi sangat berarti. Aksi protes dan demontrasi petani dalam menolak untuk menanam tanaman tertentu merupakan aksi spontan petani untuk mempertahankan diri dari ancaman kekacauan dalam kebiasaan tata produksi petani yang selama ini dapat menjamin dan mengamankan petani dari krisis pangan. Sengketa tanah yang diikuti dengan penolakan menanam tebu merupakan salah satu bentuk penolakan petani atas tata produksi baru yang dianggap merugikan dan cenderung tidak memihak kepada kepentingan mereka. Menurut hasil penelitian Siahaan (1996) di 17 desa di Jawa Timur, aksi pembangkangan petani tebu merupakan reaksi relasional untuk mengartikulasikan kepentingan mereka terhadap hegemoni birokrasi. Perlawanan, pembangkangan petani bukan aksi pemberontakan petani karena diikat oleh kesadaran kelas tetapi dipersatukan oleh kesadaran persamaan pengalaman terjadinya proses marginalisasi dalam sistem produksi TRI. Program TRI bertujuan menjadikan petani “tuan di atas tanahnya sendiri” telah gagal. Program TRI ternyata lebih sebagai usaha tani kontrak yang lebih banyak membawa kepentingan ekonomi-politik negara dalam mengejar swasembada gula secara nasional daripada pemihakan riil kepada nasib petani.

 

Reaksi Petani : Defensif Atau Reformatifkah ?

              Pada masa feodal,intensitas konlik-konflik tanah cukup tinggi dan terjadi dibanyak bagian wilayah kerjaan dengan pola vertical, tetapi reaksi petani sebagai manifestasi dari konflik-konflik tanah tersebut tidak sebagai upaya petani penggarap untuk memperoleh tanah melainkan lebih sebagai manifestasi dari upaya pertahanan diri dari upaya pengambilan sebagian atau seluruh tanah mereka oleh raja atau melepaskan diri dari pemerasan dan kekejaman raja. Contoh yang paling jelas adalah dalam peristiwa pengambilan tanah-tanah oleh raja dari sikep lama kepada sikep baru.

              Sementara itu, pada masa colonial, intensitas konflik-konflik juga cukup tinggi, ini terlihat dari berbagai jenis pola perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap colonial.  Frekuensi perlawanan rakyat yang bersifat terbuka, seperti perang Jawa maupun pemberontakan-pemberontakan petani, tidak pernah suruh dari tahun ke tahun. frekuensi perlawanan rakyat yang lebih tertutup dan tidak secara terang-terangan, berupa manifestasi secra tidak langsung sebagai aksi protes atas penindasan colonial, seperti  kecu ( perampokan ) maupun perbanditan, juga semakin meningkat dari waktu ke waktu.

              Pola perlawanan petani pada masa colonial tersebut berbeda dengan pola perlawanan petani yang terbentuk pada masa pascakolonial. Kalau pada masa kolonial, upaya petani adalah untuk mendapatkan kembali lahan-lahan yang dikuasai pemerintah kolonial,dan dengan segala keterbatasannya berujung bahu membahu bersama dengan elite lokal desa dan kelas menengah melawan kolonial,pada masa pasccakolonial upaya tersebut secara politis memiliki bentuk lain yang lebih ekstrem.

              Sementara itu, pada masa orde baru, perlawanan dan kerusuhan petani timbul lebih sebagai upaya petani mempertahankan diri dari ancaman kehilangan lahan yang hendak diambil para pemodal daripada aksi memperoleh tanah-tanah dengan bagian yang lebih besar dari yang sudah dimiliki seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

              Dari sekilas perjalanan sejarah tentang reaksi yang muncul ketika tanah-tanah petani diambil oleh suatu sistem ekonomi dan politik tertentu, terlihat bahwa sikap reformatif petani atas tanah-tanah ada pada masa kolonial dan pada masa pascakolonial, sedangkan reaksi defensive patani cendrungan ditemukan pada masa feodalisme dan Orde Baru.

              Reaksi reformatif petani pada masa kolonial dan pascakolonial terjadi dalam situasi posisi petani cukup kuat. Pada masa kolonial, kuatnya posisi petani terlihat dari kuatnya aliansi petani dengan elite desa dan kelas menengah, dan meliputi seluruh wilayah Indonesia, terlebih setelah pergerakkan nasional berkembang pesat. Kuatnya posisi petani pada masa pascakolonial terlihat dari dekatnya petani pada sistem politik melalui kebebasan berorganisasi dan aliansi petani yang sangat jelas kepartai-partai politik. Sebaliknya, pada masa kolonial dan Orde Baru, reaksi petani cendrung defensive. Pada kedua masa ini, posisi petani tidak cukup kuat sebagai pihak yang menguasai tanah. Pada masa kolonial, ketidakjelasan penguasaan tanah terjadi karena raja yang berkuasa atas tanha dan petani harus menyerahkannya jika sewaktu-waktu raja menghendaki.

 

Tags :

bonarsitumorang