-->

Maret 07, 2016

MAKALAH: PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN DI DESA JARING HALUS KABUPATEN LANGKAT



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latarbelakang Masalah
Meningkatnya kebutuhan dan aktivitas manusia yang sangat kompleks menyebabkan adanya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam untuk kegiatan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan telah mampu menaikkan taraf hidup masyarakat. Akan tetapi, kegiatan pembangunan tersebut bisa membawa dampak yang merugikan bagi kelestarian lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan.
Dalam dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut di antaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami. Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove.
Irwanto (2007) menjelaskan bahwa hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Menurut data dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, pada tahun 2012 sekitar 1,8 juta hektare (58 persen) dari 3,1 juta hektare hutan mangrove di Indonesia telah mengalami kerusakan (sumber : Koran Tempo).
Tuntutan pembangunan ekonomi yang mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik seperti pengembangan pemukiman, pembangunan tambak dan lain-lain menyebabkan terjadinya pengalihfungsian hutan mangrove yang tidak sesuai dan melampaui daya dukung yang berujung pada kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan.
Menyadari akan pentingnya kebutuhan hidup dan tingginya ketergantungan terhadap sumberdaya alam seperti mangrove, diperlukan suatu jalan keluar guna memadukan aspek ekologis, ekonomis dan sosial budaya supaya dapat berkesinambungan sehingga mendukung program pembangunan berkelanjutan. Aspek ekologis dari pemanfataan lahan mangrove harus tetap mempertahankan fungsi lahan mangrove sebagai suatu ekosistem pesisir. Aspek sosial budaya dan ekonomi, harus memperhatikan kesinambungan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya terhadap ekosistem pantai seperti mangrove.
Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat. Pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan sosial ekonomi.
Masyarakat Desa Jaring Halus menyadari bahwa pemanfaatan hasil alam harus diimbangi dengan upaya pelestarian sehingga tidak menimbulkan masalah yang akhirnya merugikan kehidupan. Prinsip ini merupakan kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan oleh masyarakat Desa Jaring Halus. Salah satu cara yang dilakukan masyarakat untuk mengelola lingkungan hidup adalah dengan membuat kawasan konservasi hutan mangrove.
Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumberdaya alam khususnya mangrove, upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan terhadap keberadaan hutan mangrove harus selalu dilakukan. Beradasarkan latarbelakang masalah tersebut di atas, maka kami tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengelolaan hutan mangrove berbasis kearifan lokal (local wisdom) untuk pembangunan berkelanjutan.

1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana pengelolaan hutan mangrove berbasis kearifan lokal di Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilalukannya penelitian ini ialah untuk mengetahui pengelolaan hutan mangrove di Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat.
1.4.Manfaat Penelitian
a.     Manfaat teoritis yakni terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat menambah wawasan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal (local wisdom).
b.     Manfaat praktis yaitu dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait dengan perencanaan dan pengembangan wilayah serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan bagi masyarakat luas diharapkan dapat memberikan inspirasi terkait pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat.


BAB II
METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana pengelolaan hutan mangrove di Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposif atau bertujuan, di mana penentuan informan dilakukan dengan sengaja dan direncanakan sejak awal penelitian dengan catatan bahwa informan tersebut representatif atau dianggap mewakili populasi dan dapat memberikan informasi yang akurat terkait dengan permasalahan penelitian.

a.     Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara peneliti dengan informan. Wawancara merupakan metode yang paling utama dalam proses pengumpulan data dalam penelitian ini. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur di mana draft pertanyaan telah peneliti siapkan untuk mempermudah peneliti ketika sedang mewawancarai informan. Wawancara dilakukan pada informan yang dianggap mempunyai kapasitas dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Adapun yang menjadi informan kunci ialah Kepala Desa Jaring Halus, ketua adat (pawang desa), kepala dusun, serta informan tambahan yakni masyarakat yang dijumpai di lokasi penelitian.
b.     Observasi
Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung dilapangan. Teknik observasi digunakan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dengan mengamati kegiatan masyarakat yang sedang melakukan pemeliharaan bibit mangrove di kawasan konservasi mangrove.
c.     Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokomen-dokumen baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Metode dokumentasi digunakan untuk mendukung hasil wawancara dan observasi yang dilakukan. Data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi ialah berupa foto terkait dengan kondisi lokasi penelitian dan aktivitas masyarakat di lokasi penelitian.

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan beberapa tahapan seperti tergambar pada skema berikut :
Pengumpulan Data
Reduksi Data
 
                                                                                         
Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
 







(Sumber : Nasution, 1996)
Langkah-langkah analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.     Pengumpulan data
Data-data yang diperoleh di lapangan dicatat atau direkam dalam bentuk naratif, yaitu uraian data yang diperoleh dari lapangan apa adanya tanpa adanya komentar peneliti yang berbentuk catatan kecil. Dari catatan deskriptif ini, kemudian dibuat catatan refleksi yaitu catatan yang berisi komentar, pendapat atau penafsiran peneliti atas fenomena yang ditemui dilapangan.

b.     Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi data dilakukan terus menerus selama penelitian dilaksanakan. Reduksi data merupakan wujud analisis yang menajamkan, mengklarifikasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak berkaitan dengan pokok persoalan. Selanjutnya dibuat ringkasan, pengkodean, membuat catatan kecil yang dirasakan penting pada kejadian seketika yang dipandang penting berkaitan dengan pokok persoalan.
c.     Penyajian data
Pada tahapan ini disajikan data hasil temuan di lapangan dalam bentuk teks deskriptif naratif.           
d.     Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan upaya memaknai data yang disajikan dengan mencermati pola-pola keteraturan, penjelasan, konfigurasi, dan hubungan sebab akibat. Dalam melakukan penarikan kesimpulan dan verifikasi selalu dilakukan peninjauan terhadap penyajian data dan catatan di lapangan melalui diskusi tim peneliti.

BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
3.1. Gambaran Desa Jaring Halus
Desa Jaring Halus merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir lautan lepas (dikelilingi oleh lautan). Desa ini merupakan desa pesisir yang berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah Utara dan Timur, sebelah Selatan dengan Desa Selotong, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tapal Kuda. Desa ini mempunyai luas 2.554 ha. Jumlah penduduk Desa Jaring Halus sebanyak 4.788 orang (1.288 KK) yang terdiri dari 2.288 laki-laki dan 2.500 perempuan (Sumber : Kantor Kepala Desa Jaring Halus).
Desa ini merupakan desa pesisir yang penduduknya mayoritas etnis Melayu yang konon katanya berasal dari negeri Malaysia yang disebabkan oleh suatu hal mereka bermigrasi ke desa ini. Selain etnis Melayu, terdapat juga  etnis lain seperti Banjar, Mandailing, dan Jawa (Sumber : Kantor Kepala Desa Jaring Halus).
Sekitar 90% masyarakat Desa Jaring Halus mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan sisanya adalah pengusaha ikan, pedagang, dan pegawai negeri sipil. Pada umumnya mereka masih dikenal sebagai nelayan dengan alat tangkap tradisional seperti jaring selapis, ambai, cicang rebung dan lain-lain. Jenis alat yang digunakan adalah pukat, jaring, ambai, keramba, dan sebagainya dan jenis hasil tangkapan yang dihasilkan diantaranya adalah ikan gembung, koli, kerapuh, jenahar, udang, kerang, kepiting, dan sebagainya. Hampir semua kebutuhan masyarakat di desa ini diperoleh dengan cara membeli untuk kebutuhan dasar seperti air dan beras.
Sebagai desa yang terletak di tengah-tengah perairan, lokasi ini terkesan terisolir karena akses menuju lokasi tersebut sangat sulit. Hal ini menyebabkan mobilitas masyarakatnya tergolong rendah. Masyarakat Desa Jaring Halus juga mempunyai tingkat pendidikan dan perekonomian yang rendah karena sulitnya akses untuk mendapatkan layanan pendidikan. Di desa ini hanya terdapat sekolah setingkat SD dan SMP sehingga untuk melanjutkan sekolah ketingkat SMA maupun perguruan tinggi harus ke luar daerah seperti Langkat dan Secanggang.

3.2.Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal
Desa Jaring halus mempunyai potensi alam yang sangat besar. Desa ini memiliki hutan mangrove sekitar 40 hektare yang menyimpan banyak spesies mangrove diantaranya, Api-api (Aviceana marina), Dadap (Sonneratia casedoris), Lenggadai (Brugueira Parviflora), Bakau (Rhizophora Apiculata), Nipah (Nypa Fructicans), Nyirih (Xylocarpus Granatum) dan Buta-buta (Exoecaria Agallocha). Di dalam hutan mangrove juga masih banyak ditemukan satwa lokal seperti berbagai jenis yakni burung bangau tuntong, raja udang sungai, kuntul kerbau maupun calak merah serta kera berbulu abu-abu yang sering bergerombol di pucuk pohon bakau. Ada juga beberapa jenis elang yang sering nampak sedang hinggap di dahan pohon bakau (Nuriza Doral, 2006).
Selain hutan mangrove, Desa Jaring Halus juga dikenal sebagai penghasil ikan kerapu kelas ekspor. Selain kerapu, desa ini juga menjadi sentra produksi perikanan tangkap dan budidaya, seperti udang, nila laut, kepiting, dan lain sebagainya.
Potensi alam yang besar ini didukung oleh budaya masyarakat Jaring halus yang masih menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungannya dengan kearifan lokal (local wisdom). Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan (fungsi ekonomi) dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi pemukiman (fungsi fisik dan ekologi).
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Desa Jaring Halus biasa memanfaatkan kayu-kayu dari hutan mangrove desa untuk berbagai keperluan seperti galah ambai, tiang tambatan perahu, kayu bakar untuk pesta perkawinan dan kematian, serta kayu untuk pembuatan balai dan pentas jika ada pesta perkawinan. Meski demikian, masyarakat menyadari bahwa pemanfaatan hutan mangrove desa tersebut harus diimbangi dengan upaya pelestarian. Terkait dengan hal ini, Desa Jaring Halus sudah mempunyai peraturan tidak tertulis yang sudah melembaga di masyarakat yang mengatur pemanfaatan atau pengelolaan hutan mangrove.
Adapun aturan-aturan dalam pemanfaatan atau pengelolaan hutan mangrove yang ada di Desa Jaring Halus, diantaranya:
1.     Batang dan ranting kayu yang sudah mati boleh dimanfaatkan untuk kayu bakar atau keperluan lainnya.
2.     Pengambilan atau penebangan kayu untuk perlengkapan nelayan, pacak tiang rumah, pembuatan balai, pentas, dan kayu bakar jika ada pesta perkawinan atau kematian harus mendapat ijin dari pemerintah desa dan pawang desa.
3.     Penebangan atau pengambilan kayu mangrove untuk tujuan komersial atau untuk dijual tidak diperbolehkan dan akan dikenakan sanksi atau denda mulai peringatan keras sampai denda yang nilainya mencapai jutaan rupiah jika melakukannya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sampai saat ini belum pernah ada masyarakat yang dikenakan denda berupa uang akibat melanggar peraturan tersebut.
Pengelolaan hutan mangrove dilakukan secara sukarela dan bersama-sama (gotong royong) oleh masyarakat Desa Jaring Halus. Terdapat kesadaran dari masyarakat untuk menanam kembali hutan mangrove desa yang mengalami kerusakan dengan mengambil buah atau biji mangrove dan menyemaikannya secara swadaya kemudian ditanam lagi di hutan mangrove desa. Penyemaian bibit, perawatan hingga pengawasan dilakukan secara swadaya dan secara bergilir. Masyarakat tidak pernah meminta imbalan atas jasa mereka dalam memelihara hutan mangrove karena keberadaan hutan mangrove tersebut untuk kepentingan bersama seluruh warga. Upaya pengamanan hutan mangrove juga tidak dilakukan oleh petugas khusus tapi dilakukan secara sukarela.
Adanya konformitas yang tinggi terhadap peraturan tidak tertulis terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove serta tingkat gotoroyong yang tinggi dalam masyarakat membuat Kepala Desa Jaring Halus optimis terhadap kelestarian dan keberlangsungan ekosistem hutan mangrove. Meski demikian, ancaman terhadap kelestarian hutan mangrove Desa Jaring Halus tetap ada berupa adanya kegiatan pencurian kayu mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di luar desa yang memanfaatkan kayu mangrove untuk membuat arang. Berdasarkan pernyataan informan, pencuri yang berasal dari luar desa yang terbukti mencuri pohon mangrove diberi peringatan untuk tidak mengulangi perbuatannya dan perahu serta hasil penebangannya disita.
Seacar umum, manfaat dari keberadaan hutan mangrove untuk kehidupan masyarakat Desa Jaring Halus dapat diidentifikasi dalam beberapa aspek, yakni sebagai berikut:
a.     Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :
·       Sebagai protektor atau pelindung pemukiman dari abrasi atau erosi, gelombang atau angin kencang. Dengan sistem perakaran yang  kokoh, ekosistem hutan mangrove mempunyai  kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.
·       Sebagai tempat berkembang biak dan berlindung  biota perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta mamalia.
·       Pencegahan dan pengendalian  intrusi air laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut.
·       Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang
·       Pembangun lahan melalui proses sedimentasi  
·       Penyerap karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen (O2)
·       Penghasil sejumlah besar detritus (hara) bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut
·       Habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptil (biawak, ular), dan mamalia (monyet)
b.     Manfaat sosial  dan ekonomis yang berkaitan dengan proses pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu sebagai sumber mata pencaharian penduduk melalui proses pemanfaatan hasil hutan mangrove seperti pembuatan arang, kayu bakar, bahan-bahan bangunan, lokasi pertambakan ikan, dan lain sebagainya. Selain itu, keberadaan hutan mangrove juga mampu mempererat silaturahmi dan gotongroyong sesama warga. Melalui sistem pengelolaan yang berbasis kemasyarakatan, masyarakat dapat saling bekerjasama untuk menjaga dan mengelola keberadaan hutan mangrove demi kepentingan bersama. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat luar, keberadaan hutan mangrove di Desa Jaring Halus juga berfungsi sebagai sarana rekreasi atau wisata alam dan menjadi objek penelitian dan pendidikan.

3.3.Analisis Data
Secara umum, adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove disebabkan karena tingkat ketergantungan terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam diperlukan suatu sistem pengelolaan lingkungan yang mampu menjamin keseimbangan seluruh ekosistem. Hal ini diperkuat dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan. Desa Jaring Halus mempunyai peraturan tidak tertulis yang sudah melembaga di masyarakat yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yaitu hutan mangrove, masyarakat Desa Jaring Halus secara tidak langsung telah menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pendekatan yang terintegrasi atau terpadu terhadap pembangunan yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi (Siregar, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat 4 (empat) dimensi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jaring Halus terkait dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu sebagai berikut :
a.     Dimensi ekologis yakni  pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam hal ini hutan mangrove yang senantiasa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Keberadaan ekosistem mangrove dalam jumlah besar tidak lantas membuat masyarakat serakah untuk memanfaatkannya dalam jumlah besar untuk menghasilkan keuntungan. Penanaman (reproduksi) kembali dilakukan secara terus menerus sehingga ekosistem mangrove tetap seimbang.
b.     Dimensi ekonomi yakni pemanfaatan hasil mangrove untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari dilakukan secara arif dimana masyarakat mengambil hasil pohon mangrove hanya untuk keperluan secukupnya saja.
c.     Dimensi sosial dan budaya yakni bahwa dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove masyarakat saling terlibat dan bekerjasama (gotong royong). Kegiatan gotong royong tersebut mampu mengintegarsikan seluruh masyarakat sehingga nilai-nilai keharmonisan tetap terjaga. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sulit kita jumpai pada era sekarang ini mengingat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah menyebabkan masyarakat semakin individualis. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove tersebut juga dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat dan menjadi ciri khas yang sulit dihilangkan.
d.     Dimensi pariwisata yakni pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove dengan sistem kearifan lokal dan adanya nilai-nilai budaya warisan leluhur yang masih dipertahankan hingga sekarang merupakan daya tarik wisata yang potensial untuk dikembangkan.
Terkait dengan praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan sistem kearifan lokal, Michael Dove (dalam Swarsono, 1994) menyatakan bahwa nilai-nilai tradisional berperan penting dalam pengelolaan lingkungan hidup dan mendorong penggunaan sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan. Dalam mengelola lingkungan yang berkelanjutan, masyarakat memiliki kearifan lokal masing-masing yang harus dijaga dan didukung demi kelestarian lingkungan. Nilai-nilai tradisional tersebut tidak boleh dianggap sebagai penghambat pembangunan, akan tetapi justru nilai-nilai tersebut mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Menyadari tingginya ketergantungan manusia terhadap alam, diperlukan suatu jalan keluar guna memadukan aspek ekologis, ekonomis dan sosial budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sehingga dapat berjalan seimbang. Prinsip ini sejalan dengan program pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek kelestarian lingkungan, ekonomi dan sosial budaya dalam kegiatan pembangunan.
Masyarakat Desa Jaring Halus menyadari bahwa pemanfaatan hasil sumber daya alam yakni mangrove harus diimbangi dengan upaya pelestarian sehingga tidak menimbulkan masalah yang akhirnya merugikan kehidupan. Untuk tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian mangrove masyarakat memiliki peraturan tidak tertulis yang sudah melembaga di masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan mangrove sehingga setiap orang yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi. Pengelolaan hutan mangrove dilakukan secara sukarela dan gotong royong sedangkan pemanfaatannya harus sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati bersama oleh masyarakat. Prinsip ini merupakan bentuk kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan oleh masyarakat Desa Jaring Halus yang mecerminkan bahwa masyarakat telah menganut prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Keberadaan hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat Desa Jaring halus. Selain itu, terdapat 4 (empat) dimensi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yaitu dimensi ekologis, ekonomi, sosial budaya dan pariwisata. Oleh karena keberadaan hutan mangrove sangat berperan penting dalam menunjang keberlangsungan kehidupan dan pembangunan masyarakat Desa Jaring Halus maka hutan mangrove harus tetap dilestarikan.
Pemerintah dan segenap stakeholder harus terus mendukung program pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jaring Halus dengan memberikan bantuan baik materil maupun non materil, upaya perlindungan hukum dan pelatihan pada masyarakat supaya semakin kreatif dalam mengelola dan meamfaatkan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana.
Doral, Nuriza. 2006.  Jurnal Kerabat. Deskripsi tentang Desa Jaring Halus. Volume I Nomor 1 Maret 2006
Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku (Tesis). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Siregar, Doli D. 2004. Manajemen Aset Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Secara Nasional Dalam Konteks Kepala Daerah Sebagai CEO’s pada Era Globalisasi & Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suwarsono & Alvin Y. SO. 1994. Perubahan Sosial Dan Pembangunan. Jakarta : LP3ES.

Internet :
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/05/206439807/1-8-juta-hektare-hutan-mangrove-di-indonesia-rusak






Tags :

bonarsitumorang