MAKALAH: SISTEM PERKEBUNAN DI INDONESIA MASA LALU DAN MASA DEPAN
Perkebunan
sebagai suatu subsistem dalam sistem pertanian di Indonesia. Karena, kurang
mendapat perhatian para ahli dan lebih memprioritaskan tanaman pangan, juga
karena perkebunan sebagai suatu sistem sudah dianggap mapan.
Ciri-ciri Sistem ekonomi perkebunan
Sistem
Perkebunan kebanyakan Lahir pada abad ke-19 dan perkembangannya yang pesat
terjadi dipertengahan abad serta banyak ditemukan di negara-negara tropik bekas
jajahan baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Sistem perkebunan erat
kaitannya dengan perkembangan kolonialisme serta tanah-tanah jajahannya. Ada
dua unsur pokok dari sistem perkebunan, yaitu:
a. Tanah
yang murah
b. Tenaga
kerja yang murah serta mudah diperoleh.
Di
Indonesia sistem perkebunan berkembang pesat sejak tahun 1870 melalui sistem
tanam paksa dan pada tahun ini diumumkannya undang-undang Agraria. Sehingga
melalui sistem perkebunan swasta besar-besaran ini orang Belanda dan Eropa
datang ke Indonesia, terutama Jawa. Melalui undang-undang inilah
pemilik-pemilik modal Belanda dapat menyewa tanah yang luas untuk membuka
perkebunan sampai 75 tahun untuk tanah-tanah pemerintah dan 5-20 tahun untuk
tanah-tanah rakyat. Kebanyakan tanah-tanah perkebunan swasta ini di Jawa
dibentuk persewaan tanah rakyat (terutama untuk gula) dan luar Jawa dalam
bentuk tanah-tanah konsesi.
Konsep
perkebunan tanah di Indonesia pada dasarnya dibagi dua, yaitu :
1. Perkebunan
besar-besaran dengan tanah-tanah konsesi terutama di Sumatera atau luar Jawa
2. Perkebunan
di Jawa dengan menggunakan tanah-tanah rakyat.
Oleh
karena hal tersebut, timbullah perkebunan-perkebuan besat milik asing yang
mendorong rakyat asli untuk mengusahakan tanaman yang sama di tanah mereka
seperti, karet, kopi lada dan lain-lain. Sehingga perkembangan inilah menjadi
perkebunan rakyat yang dibedakan dari perkebunan besar baik swasta maupun
perkebunan negara.
Perkebunan sebagai ‘pabrik’ pertanian
Perkebunan
sebagai pabrik pertanian hal tersebut dikarenakan proses memproduksi
komoditinya menyerupai suatu pabrik dengan produksi modern dan dikelola secara
ilmiah. Hal itu dikarenakan perkebunan sebelum pertambangan memang merupakan
satu-satunya investasi yang amat penting dan darisanalah diusahakannya
pencarian keuntungan besar-besaran dari modal yang ditanam.
Sebagai
suatu pabrik pengelola selalu mencari cara meningkatkan efisiensi usaha. Upaya
efisiensi usaha dilakukan dengan menekan biaya produksi karena komoditi yang
diminta di pasar Eropa itu diperoduksi dipusat-pusat perkebunan dibanyak daerah
jajahan dengan mutu yang tinggi dan harga yang rendah. Dengan tujuan efisiensi
inilah dikembangkan berbagai macam sistem penggunaan/persewaan tanah, penetapan
unit luas perkebunan yang “optimum” lamanya persewaan tanah sistem rotasi atau
pergiliran tanaman. Serta tenaga kerja yang di upah semurah-murahnya
Mengenai
peranan modal di Indonesia dikenal dua sistem hubungan yang khas antara negara jajahan lokasi
perkebunan dengan negara penjajahnya sebagai penyedia modal yaitu dengan sistem yang menonjol seperti,
1. sistem
“perkebunan” negara dalam tanam pakas
pemerintah
lebih banyak menggunakan otoritanya untuk membeli komoditi yang diperlukan,
tidak jarang dengan cara-cara pakas.
2. sistem
perkebunan swasta “liberal”
sesudah
tahun 1870 terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan
dengan pusat-pusat metropolitas dengan pasar modalnya.
Selanjutnya,
mengenai penggunaan tenaga kerja, cara paling murah bagi setiap perkebunan
adalah merekrut buruh dari petani atau penduduk setempat dan bahkan lebih murah
lagi apabila mereka tidak munjadi buruh tetap tetapi buruh musiman.
Sistem Perkebunan, Dualisme Ekonomi
dan Involusi Pertanian
Teori
dualisme ekonomi Boeke dan teori involusi prtanian Geertz menggambarkan keadaan
pertanian Iindonesia dan perilakunya dan mencoba menerangkan mengapa kesejahteraan
mereka mengalami kemunduran sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan.
Melihat fenomena kemiskinan ini khususnya di Jawa, Boeke memberikan suatu
kesimpulan yang menjadi amat terkenal yaitu bahwa “petani Indonesia menjadi
miskin karena sifat-sifatnya yang statis”.sifat statis tersebut terjadi akibat
tekanan dari penjajah ratusan tahun yang telah memiskinkan mereka.
Teori
dualisme ekonomi maupun involusi pertanian keduanya menyangkut masalah kaitan
antara pertanian bahkan makanan tradisional. Dengan sistem atau sub sektor
perkebunan yang diperkenalkan oleh Belanda. Di mata Geertz dan Boeke dunia yang
pertama (pertanian rakyat) adalah simbol keterbelakangan dan kemandekan,
sedangkan dunia yang kedua, perkebunan adalah simbol kemajuan dan dinamisme.
Selanjutnya Gertz juga meramalkan prospek yang tidak secerah dari perkebunan
besar yang terancam akan ketinggalan dari perkebunan-perkebunan di Malaysia,
karena sangat kurangnya tenaga manajemen perkebunan yang berpengalaman.
Apabila
kita kembali pada masalah yang kita hadapi yaitu hari depan sistem perkebunan
kita , kiranya jelas bahwa pemerintah melalui kebijaksanaan Perkebunan Inti
Rakyat telah berusaha menghilangkan jurang yang ada antara perkebunan besar
dengan perkebunan rakyat dan antara perkebunan dengan pertanian rakyat.
Demikianlah
involusi atau statisme petani yang dapat menjurus ke apatisme masih saja kita
temukan dalam banyak kebijaksanaan. Apabila kecenderungan-kecenderungan
demikian hendak kita hilangkan, tentunya
prtani harus semakin dibiarkan bertindak lebih bebas untuk membuat
putusan-putusan sendiri yang dianggapnya paling baik dan paling menguntungkan.
Perkebunan, Efisiensi dan Kemerataan
Perkebunan
dikenal sebagai sektor yang modern dan dinamis dan Hindia Belanda karena
perkebunanya dilukiskan sebagai daerah jajajhan, yang sangat maju. Inilah
gambaran perkembangan sistem perkebunan yang juga terdapat di banyak negara
jajahan yang kini setelah negara-negara ini merdeka, menimbulkan
masalah-masalah manajemen yang kompleks, khususnya dalam hubungan antara
subsektor perkebunan dan pertanian rakyat.
Adapun
tujuan melakukan pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial tidak memungkinkan
perkebunan-perkebunan kita sekarang meningkatkan efisiensi “sampai tingkat
sebelum perang “. Hal itu tidak mungkin atau bahkan barangkali lebih baik tidak
kita inginkan, karena kita tahu pelaksanaannya akan tidak sejalan dengan
tujuan-tujuan politik sosial dan moral bangsa Indonesia yang merdeka.
MASA DEPAN PERKEBUNAN DI INDONESIA
DITINJAU DARI TATA GUNA TANAH, LANDREFORM DAN SUMBANGANNYA KEPADA PEMBANGUNAN
NEGARA.
Pertanyaan
klasik yang dapat di ajukan yang menyangkut peranan perkebunan dalam
pembangunan di tanah air kita Indonesia merupakan apakah sektor perkebunan
harus berperan memberikan sumbangan dalam pembangunan Indonesia terumata dari
segi pemasukan devisa luar negeri? Sejarah perkembangan perkebunan di tanah air
kita memiliki kesan yang maha buruk dalam perekonomian bangsa Indonesia.
Perkebunan selalu diindentikkan dengan perbudakan, terkenal lagi diterapkannya
Poenale Sanctie dalam management perkebunan-perkebunan dizaman Hindia Belanda.
Di zaman Liberalisme yang demikian kuat di dunia Barat, maka di Indonesia saat
itu berlaku suatu hubungan perburuhan kolonial, dimana terhadap rakyat yang
tidak bersedia bekerja dapat dipidana penjara sebab dinilai enggan atau disersi
untuk bekerja.
Seperti
diketahui thema dari seminar nasional ini ialah :
a.
Meningkatkan devisa dalam rangka eksport non minyak,
b.
Tercukupinya kebutuhan dalam negeri sehingga menghemat devisa,
c.
Terserapnya tenaga kerja.
Tema
dari seminar ini sinkron dengan GBHN/1983 kita, malahan akan memberikan suatu
tekanan khusus kepada peranan dari perkebunan dalam ekspor non minyak. Tentu
seminar ini merupakan refleksi dari resesi dunia serta mundurnya peranan minyak
sebagai penghasil devisa negara, setelah kita dimabukkan dengan petro dolar.
Kita tidak bisa lengah lagi oleh karena suatu masa minyak bumi akan terkuras
habis dan kita tetap memerlukan devisa yang semakin besar guna membiayai pembangunan
di tanah air kita.
Jika
ditinjau kembali GBHN/1983, maka nyatalah bahwa perkebunan itu dalam
pengembangannya satu nafas dengan lain-lain aspek yaitu : Kehutanan, Perikanan
dan Peternakan sungguhjpun kita dapat mengerti luasnya cakupan pernyataan dari GBHN/1983,
Ekonomi, Pertanian No. 1c tersebut.
Di
Indonesia sebagai akibat Perang Dunia ke-2, maka perkebunan telah mengalami
suatu tekanan atas arealnnya yang masih terjadi sampai dengan saat ini.
Minsalnya di Sumatera utara, timbul masalah lain, yaitu oleh Gubernur KDH
Sumatera Utara di ambil kebijakan untuk membagi-bagi tanah kepada rakyat yang
terkenal dengan proyek SIM (Surat Izin Menggarap), yaitu memberikan areal
perkebunan untuk rakyat yang mendudukinya dengan tujuan politis menghadapi
Pemili 1982 yang lalu. Proyek ini telah menimbulkan kesulitan dan manipulasi
akibat tidak matangnya persoalan seperti SIM yang double, ada SIM yang tanpa
tanah dan ada tanah tetapi tidak punya SIM. Sangat disayangkan bahwa dalam
suatu dunia yang sudah menguasai managemen yang maju, masih bisa kebobolan
karena memang tujuan politis sehingga lupa kepada pengaturan yang baik dan
tertib, sampai sekarangpun perkebunan tetap saja di rong-rong oleh
penyerobotan-penyerobotan areal yang tidak dikerjakan atau sedang dirotasikan.
III. Dimensi External dari Perkebunan
Salah satu hal yang membedakan
sistem pertanian perkebunan dan sistem pertanian lainnya adalah bahwa sistem
pertanian adalah bahwa sistem pertanian perkebunan, keseluruhan hasil
produksinya diekspor ke luar negara. Prinsip “production for export” ini
menyebabkan adanya integrasi ekonomi setempat dengan pasaran internasional. Hal
ini juga berarti bahwa pengamilan keputusan bergeser pula dari tingkat
daerah/nasional ke tingkat internasional dimana para produsen ataupun
pemerintah tidak lagi mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama yang
menyangkut harga dari perkebunan di pasaran internasional. Ketergantungan
produk perkebunan pada pasaran internasional menyebabkan perkembangan
perekonomian di wilayah tersebut tidak stabil, sehingga hal ini lebih menambah
kemungkinan timbulnya kerawanan politik di wilayah perkebunan tersebut.
IV. Perkebunan dan Kemiskinan
Secara teoritis, keberhasilan suatu
perkebunan tergantung dari dua hal :
1. Tersedianya
tanah yang cukup luas dan murah.
2. Tersedianya
tenaga buruh yang murah.
Dalam
semangat Etis Politik, pemerintah colonial Belanda berusaha mengurangi
kemiskinan di jawa dengan mendorong investasi modal dibidang industry dan
mendorong program koloialisasi di Sumatera. Melihat usaha-usaha tersebut para
pemilik modal perkebunan, melalui organisasi mereka menentang usaha-usaha itu.
Akibat dari hal-hal tersebut perkembangan ekonomi di Jawa masih dapat kita
rasakan sampai saat ini. Jawa menjadi pulau “pengekspor buruh murah”. Hal ini bukan
karena petani Jawa ingin bekerja diperkebunan, tetapi karena mereka tidak
mempunyai alternative lain disebabkan pemerintah belanda tidak mau merugikan
kepentingan ekonomi pemilik modal perkebunan.
Kesimpulan
Ketergantungan
perekonomian wilayah perkebunan kepada perekonomian internasional menyebabkan
wilayah tersebut ecara ekonomis tidak dapat mandiri. Berkembang atau matinya
kehidupan wilayah tersebut akan sangat bergantung pada situasi harga produk
perkebunan tersebut di pasaran internasional. Karena hal tersebut maka tindakan
pemerintah untuk tidak mengijinkan pihak swasta mendirikan perkebunan besar,
melaikan menggalakkan pola perkebunan inti rakyat merupakan suatu tindakan yang
terpuji. Karena pada hakikatnya perkebunan inti rakyat merupakan indakan agrarian
reform.
PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN DALAM
KEBIJAKSANAAN OPERASIONAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
1.
Kebijaksanaan
Umum
Usaha
perkebunan di Indonesia mempunyai potensi yang besar di dalam memberikan
kesempatan kerja, sebagai sumber pedapatan devisa yang utama, serta memenuhi
kebutuhan konsumsi didalam negeri. Berdasarkan potensi tersebut pengembangan
perkebunan di Indonesia didasarkan atas kebijakan sebagai berikut :
a. Pembangunan
Perkebunan Rakyat menjadi dasar usaha perkebunan dan penerapan usaha pemerataan
dari segala aspek.
b. Pembangunan
Perkebunan Besar Negara menjadi pendukung usaha dalam bidang teknologi budidaya
dan pengelolaan serta pemasaran dan hasil.
c. Pembangunan
Perkebunan Besar Swasta menjadi pelengkap yang mampu mewadahi perkembangan
kewiraswastaan petani pengebun kearah usaha yang lebih rasional.
2.
Kebijakan
Teknis
a. Pengadaan
tenaga kerja yang terampil
b. Memperbanyak
kebun induk
c. Menyediakan
sarana dan prasarana
Perkebunan Rakyat
- Penyediaan dana pembangunan
- Melengkapi sarana
kerja pada UPP
- Meningkatkan kualitas
personil UPP
- Memanfaatkan
kontraktor dan distributor sarana produksi
Perkebunan Besar Negara
- Penyediaan dana kredit
perbankan
- Membakukan biaya
pengadaan tenaga ahli dan tenaga terampil
- Penambahan penyertaan
modal pemerintah
Perkebunan Besar Swasta
Penyediaan
dana perbankan yang memadai dengan kemungkinan penyertaan saham perbankan
disertai dengan bantuan manajemen
3.
Kebijaksanaan Budidaya
3.1.
Dasar kebijaksanaan Budidaya
Mengingat bahwa sebagian terbesar
budidaya perkebunan adalah berupa tanaman tahunan, maka tingkat keberhasilan
pembangunan subsector perkebunan sangan bergantung pada keberhasilan
pembangunan tanaman tahunan tersebut. investasi dalam bentuk peremajaan atau
perluasan tanaman, hasilnya baru akan nyata setelah 10 tahun atau lebih.
Pada dasarnya proiritas pengembangan
ini disusun atas berbagai faktor, antara lain :
a. Tersedianya
sumber daya alam
b. Peranan
dan prospek budidaya dalam menyediakan dan meratakan kesempatan kerja
c. Sebagai
kebutuhan bahan pokok rakyat dan industry dalam negri
d. Penyebaran
wilayah dan lokasi yang lebih seimbang utuk pemerataan pembangunan
1.3 Organisasi UPP
Luas
areal proyek yang diselenggarakan dengan sistem UPP ini menurut budidaya dan
keadaan lapangan. Variasi I luas daerah pembinaan optimum bagi satu unit UPP
meliputi sekitar 2.000-3.000 Ha. Susunan personalianya (baku) sebagai berikut :
- Kepala UPP (Manager) 1 orang dengan
kwalifikasinya yaitu sarjana pertanian atau yang sederajat.
- Pembantu Kepala UPP (Asisten Manager)
4 orang dengan kwalifikasinya yaitu Sarjana muda atau yang sederajat (tiga
orang bidang pertanian, satu orang bidang sosial).
- Petugas lapangan proyek terpadu 14
orang dengan kwalifikasi SPMA atau yang sederajat.
- Pemegang Uang Muka Cabang (PUMC) 1
orang dengan kwalifikasinya SMA atau
yang sederajat ditambah kursus bendaharawan.
1.4 Areal Pembinaan
Areal perkebunan rakyat yang dapat
dibina melalui proyek dengan pola UPP dengan tabel jumlah unit UPP dan luas perkebunan
rakyat yang akan dibina sampai dengan akhir PELITA III dan akhir PELITA IV.
2. Pola NES/PIR
Pola NES ini membantu perkebunan
rakyat yang ada disekitarnya didalam pembangunannya perkebunannya dengan
teknologi yang lebih maju.
2.1 Tugas-tugas Kebun Inti
Tugas yang dibebankan kepada Kebun
inti (PNP/PTP) yaitu :
a. Membangun desa untuk pemukiman termasuk
pembuatan perumahan, sarana air minum,dan sebagainya.
b. Melaksanakan pertanaman selama tiga
tahun pertama membuka lahan, penanaman karet, kelapa sawit, pemupukan penanaman
hijau, dan lain sebagainya.
c. Membantu menyiapkan lahan pangan serta
penyediaan bibit yang diperlukan.
d. Membina petani sebagai karyawan
kebun-kebunnya belum menghasilkan diaraharkan pada pembentukan KUD.
e. Tahun ke-4 membina petani yang telah
dijadikan nasabah bank, dalam merawat dan memelihara kebun.
f. Sejak tanaman menhasilkan, kebun inti
menyediakan atau membangun pabrik pengolahan untuk menampung produksi peserta
proyek.
2.2 Jenis-jenis PIR
Perkembangan proyek-proyek
perkebunan dengan pola PIR dibedakan :
a. PIR-Bantuan Luar Negeri, yang lazim
disebut NES yang sebagian dananya diterima dari luar negeri, proyek yang telah
disepakati yaitu ; NES Bantuan Bank Dunia yaitu NES I s/d VI; Cotton dan NES Besi Batang; NES Bantuan
KFW, yaitu NES Ophir di Sumatera Barat.
b. PIR Swadana, seluruh dananya diperoleh
dari dana dalam negeri.
IV. PERKEMBANGAN
1.
Perkembangan
Luas Areal
Perkembangan
luas areal perkebunan akan semakin mengalami perkembangan dengan pesat.
Perkembangan luas areal terakhir yaitu dari tahun 1974 seluas 6.381.381 Ha –
8.742.007 Ha pada tahun 1982 ada kenaikan 30 % atau rata-rata 3, 75% tiap
tahun. Dari luasan seluruh perkebunan 8.742.007 Ha yang sudah terjangkau proyek
baru 2.820.269 Ha (32,26%)
2.
Perkembangan
Produksi
Produksi
budidaya perkebunan yang penting secara keseluruhan menunjukkan kenaikan
rata-rata 7% per tahun. Produksi perkebunan sebesar 4.204.594 ton pada tahun
1974 meningkatkan menjadi 5.773.452 ton pada tahun 1979 dan sebesar 6.189.241
ton pada 1982. Hal ini disebabkan karena PNP/PTP memiliki kelebihan dibidang
teknologi management dan permodalan dibandingkan dengan Perkebunan Besar Swasta
maupun Perkebunan Rakyat.
3.
Perkembangan
Volume Ekspor dan Nilai Ekspor
Ekspor
hasil perkebunan masih memegang peran penting dalam menghasilkan devisa. Ekspor
komoditi perkebunan pada tahun 1974 tercatat sebesar 1.861.870 ton meningkat
menjadi 2.182.947 ton pada tahun 1979 dan 2.671.669 ton pada tahun 1980. Nilai
ekspor komoditi perkebunan meningkat dari tahun 1974 hingga tahun 1980, dari US
$ 938.180juta menjadi US $ 2.523.809 juta . Hal ini berarti ada peningkatan
sebesar 269% atau rata-rata 20,09% per tahun.
V. PERMASALAHAN
1. Pencapaian Fisik
Pembangunan
Pembinaan
intensif pada perkebunan terutama pada perkebunan rakyat baru mencapai 32,26%
yaitu areal yang ditangani proyek, diluar itu yaitu sebesar 67,74% belum
tergarap pembinaannya.
2. Permasalahan dalam pelita
III
2.1.
Pelaksana Repeliti III yang berbentuk suatu percepatan rencana (akselerasi)
merupakan suatu pemanfaatan momentum perkebunan mengingat perkebunan merupakan
tanaman tahunan yang memerlukan suatu perkiraan prospek pekerjaan perencanaan
dan langkah persiapan jangka panjang.
2.2. Persiapan-persiapan pelaksanaan dalam bentuk
penyusunan sistem dan prosedur, penyusunan organisasi dan personil dan
penyediaan fasilitas serta sarana pelaksanaannya.
2.3.
Hambatan-hambatan yang penting dan
menentukan tingkat keberhasilan meliputi :
a. Belum adanya sistem dan prosedur kerja,
karena penyusunannya besama dengan pelaksanaan
b.
Pengadaan personil pelaksana belum dapat mencapai kwantitas dan kualitas
yang dikhendaki.
c.
Pengadaan dan distribusi sarana produksi berbentuk bibit.
d.
Masih dijumpainya resistensi dari petani yang diharapkan menjadi peserta proyek
karena belum timbulnya kepercayaan atas tersedianya fasilitas berbentuk
perkreditan, pembinaan, jaminan pemasaran, dan sebagainya.
3. Permasalahan pelaksanaan
Repelita IV
3.1. a. Rendahnya daya serap perkreditan oleh
petani sebagai akibat resistensi masih akan merupakan hambatan dalam mencapai
sasaran pembangunan.
b.Pengelolaan
(Management) dan organisasi termasuk personal pelaksana proyek masih memerlukan
penanganan khusus secara kuantitatif dalam pemantapan sistem dan prosedur dan
secara kuantitatif.
c.Pengadaan
dan distribusi sarana baik berupa bibit maupun agrokimia masih perlu
dikonsolidasikan untuk mencapai 5 tepat yaitu ; jumlah, waktu, mutu, tempat ,
dan harga sarana produksi tersebut.
3.2.
Masalah-masalah yang penanggulangannya melibatkan kelembagaan diluar Departemen
Pertanian meliputi :
a.
Dalam menumbuhkan lembaga usaha petani perkebunan dalam bentuk KUD diperlukan
penanganan yang tuntas baik dalam bentuk pengorganisasian, pemberian badan
hukum serta pembinaan dan kemudahan-kemudahannya.
b.
Sertifikasi tanah yang meupakan persyaratan daripada proyek-proyek dengan
kredit jangka panjang memerlukan usaha-usaha penyederhanaan prosedur, menekan
biaya satuabn dan percepatan waktu penyelesaian.
c.
Dukungan prasarana jalan dan komunikasi sangat diperlukan karena dalam Repelita
IV usaha-usaha yang dilakukan selama pelita II dan III sudah mulai berproduksi.
d.
Usaha dan kegiatan pasca panen yang meliputi pengolahan dan pemasaran hasil
merupakan kegiatan-kegiatan usaha tani yang sangat penting dan memerlukan
penanganan secara khusus, untuk itu penciptaan iklim usaha yang dapat menekan
biaya pemasaran perlu ditingkatkan agar harga ditingkat produsen dapat
menggairahkan petani
e.
Sebagian terbesar dari komponen pembangunan perkebunan adalah merupakan
komponen perkreditan baik bagi kepentingan perkebunan rakyat maupun perkebunan
besar.
f.
Usaha pengembangan perkebunan dan kegiatan transmigrasi merupakan kegiatan yang
saling mengisi dalam rangka pengembangan perkebunan, penyerapan tenaga kerja
dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup rakyat (transmigran) .
VI. KESIMPULAN
1. Usaha peningkatan devisa melalui usaha
pembangunan perkebunan mempunyai prospek
yang cerah karena kenaikan tingkat produksi yang dibarengi dengan
kecenderungan kenaikan harga-harga komoditi dapat memberikan harapan akan
dicapainya sasaran nilai ekspor walaupun ada gangguan resesi dunia yang
diharapkan tidak terlalu lama akan berakhir.
2. Dengan ditetapkannya pelaksanaan
pembangunan perkebunan rakyat dengan pola UPP dan pola PIR, diharapkan
perkembangan perkebunan rakyat dan berjalan lebih cepat dari masa-masa sebelumnya.
3. Pengembangan perkebunan besar negara
berjalan cukup pesat karena usaha peningkatan kemampuan menajemen dapat lebih
hasil baik, serta didukung oleh fasilitas permodalan yang lebih longgar.
4. Pengembangan perkebunan besar swasta
nampak lebih lamban dibanding jenis perkebunan lainnya, karena minat yang
kurang, berhubung dengan adanya resiko yang lebih besar pula, sedang waktu
mulainya menghasilkan agak lama, dibandingkan dengan usaha-usaha lain.
PENINGKATAN PRODUKSI GULA
1.Pendahulan
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya pendapatan perkapita serta
berubahnya pola konsumsi masyarakat, maka pada tahun-tahun mendatang dapat
dipastikan bahwa jumlah konsumsi gula akan terus meningkat. Jika pada tahun
1979 konsumsi gula Indonesia adalah lebih kurang 1,5 juta ton maka pada tahun
1988 konsumsi gula Indonesia diperkirakan akan naik menjadi 3 juta ton.
Keterbatasan kapasitas produksi akan mengakibatkan selisih antara produksi dan konsumsi
semakin membesar dan akan mencapai 1.589.797 ton pada akhir tahun 1988 apabila
tidak diambil langkah-langkah penanggulangannya. Dengan program peningkatan
produksi gula yang dipercepat melalui pembangunan 18 buah pabrik gula baru
terutama di luar jawa dengan kapasitas 3000-4000 ton tebu, yang direncanakan
telah beroperasi sekitar akhir tahun
1986 disamping merehabilitasi pabrik gula di jawa dan usaha mencukupi kebutuhan
bahan bakunya melalui intensifikasi dan perluasan areal, diharapkan kita telah
dapat berswasembada gula pada akhir tahun tersebut.
II. Perkembangan
Dalam
penyediaan lahan untuk keperluan areal pabrik gula baru di luar jawa maka
status lahan milik dan hak guna usaha mutlak perlu dikombinasikan secara
serasi. Untuk menjamin agar pabrik gula dapat beroperasi secara ekonomis maka
pada tahun pertama perlu dikembangkan areal inti sambil dipersiapkan segala
sesuatu untuk mengembangkan pelaksanaan pengembangan plasma yang dimulai
setelah tercapainya titik kembali pokok, sehingga dengan demikian tujuan yang
terkandung dalam penerapan konsep PIR dalam pembangunan pabrik gula baru dimana
PG bisa mengembangkan petani-petani anggota. Upaya meningkatkan total produksi
tebu memerlukan adanya pengembangan budidaya tebu baik pada lahan sawah maupun lahan
tegalan.
3.Tebu Rakyat
Intensifikasi
a.
Areal
Pada
tahun 1975/1976 dari proyeksi areal yang ditetapkan dengan surat keputusan
menteri pertanian seluas 9000 ha direalisir 15.192 ha. Sedang pada tahun
1982/1983 dari proyeksi areal 224.820 ha telah direalisir seluas 190.616 ha.
b. Produksi
Walaupun
realisir areal tebu rakyat intensifikasi dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan tapi produktifitas cenderung mengalami peningkatan tapi
produktifitas cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
produktivitas tebu pada kurun waktu 1971/1975.
III Permasalahan dan saran perbaikan
1.
Pembangunan
pabrik gula baru
Dana : semula pembiayaan rupiah dari penyertaan
modal pemerintah departemen keuangan, mulai permulaan tahun 1982 dialihkan
keperkreditan bank bumi daya, dan hingga sekarang belum ada keputusan dari bank
bumi daya.
Lahan : masalah ini acapkali sulit untuk
diselesaikan mengingat kurangnya koordinasi lintas sektoral.
Infrastruktur : pada umumnya struktur di luar jawa sangat
terbatas, sehingga tidak mudah untuk menyangkut mesin dan alat-alat ke lokasi
proyek.
Kontraktor : meskipun sudah ada penetapan pemenang
tender oleh SEKNEG, masih ada beberapa kontraktor yang terlambat pelaksanaannya
yaitu untuk PG subang.
Suku
Cadang : sub.kontraktor perlu diberi
kesempatan menjadi kontraktor dan barang-barang yang dapat dibuat industri
dalam negeri seyogyanya diserahkan di dalam negeri.
Sumber
Daya Manusia :tehnik budidaya
tebu di lahan kering masih sangat terbatas
KOMODITI KELAPA SAWIT
Pemasaran
komoditi kelapa sawit perlu digiatkan tidak saja bagi produksi
perkebunan-perkebunan besar, tetapi juga bagi produksi perkebunan rakyat.
II Keadaan sekarang
1.
Pengalokasian minyak kelapa sawit untuk pasaran dalam negeri yang diadakan
sejak tahun 1978.
2.
Hal ini dilihat dengan penebusan alokasi, yang pada umumnya dikaitkan dengan
perkembangan harga di luar negeri.
3.
Pada waktu harga ekspor lebih tinggi dari pada harga yang ditentukan untuk
pasaran dalam negeri.
4.
Perbandingan antara produksi dan alokasi dengan realisasi penebusan termasuk
persentase
5.
Kantor pemasaran bersama
6.
Pelabuhan, fasilitas yang ada dipelabuhan belawan masih kurang dan belum
sempurna khususnya tempat sandar.
III. Sasaran yang ingin
dicapai
1.Pemasaran
a.
Penentuan alokasi di dalam negeri hendaknya didasarkan kepada kebutuhan
konsumsi
b.
Dalam rangka peningkatan devisa minyak inti kelapa sawit dan PKP di ekspor dengan harga semaksimal mungkin
2. Kelembagaan
a.
Dalam rangka pemasaran yang ofensif perlu menambah, badan-badan pemasaran di luar
negeri antara lain Tokyo, amerika serikat.
b.
Perlu penempatan tenaga-tenaga teknologi diperwakilan pemasaran di luar negeri,
guna menampung keinginan pembeli.
c.
Sejalan dengan itu di dalam negeri perlu diadakan penyempurnaan tugas-tugas
KPB.
MASA DEPAN PERKEBUNAN DI INDONESIA
DITINJAU DARI TATA GUNA TANAH, LANDREFORM DAN SUMBANGANNYA KEPADA PEMBANGUNAN
NEGARA.
Pertanyaan klasik yang dapat di
ajukan yang menyangkut peranan perkebunan dalam pembangunan di tanah air kita
Indonesia merupakan apakah sektor perkebunan harus berperan memberikan
sumbangan dalam pembangunan Indonesia terumata dari segi pemasukan devisa luar
negeri? Sejarah perkembangan perkebunan di tanah air kita memiliki kesan yang
maha buruk dalam perekonomian bangsa Indonesia. Perkebunan selalu diindentikkan
dengan perbudakan, terkenal lagi diterapkannya Poenale Sanctie dalam management
perkebunan-perkebunan dizaman Hindia Belanda. Di zaman Liberalisme yang
demikian kuat di dunia Barat, maka di Indonesia saat itu berlaku suatu hubungan
perburuhan kolonial, dimana terhadap rakyat yang tidak bersedia bekerja dapat
dipidana penjara sebab dinilai enggan atau disersi untuk bekerja.
Seperti diketahui thema dari seminar
nasional ini ialah :
a. Meningkatkan
devisa dalam rangka eksport non minyak,
b. Tercukupinya
kebutuhan dalam negeri sehingga menghemat devisa,
c. Terserapnya
tenaga kerja.
Thema
dari seminar ini sinkron dengan GBHN/1983 kita, malahan akan memberikan suatu
tekanan khusus kepada peranan dari perkebunan dalam ekspor non minyak. Tentu
seminar ini merupakan refleksi dari resesi dunia serta mundurnya peranan minyak
sebagai penghasil devisa negara, setelah kita dimabukkan dengan petro dolar.
Kita tidak bisa lengah lagi oleh karena suatu masa minyak bumi akan terkuras
habis dan kita tetap memerlukan devisa yang semakin besar guna membiayai
pembangunan di tanah air kita.
Jika
ditinjau kembali GBHN/1983, maka nyatalah bahwa perkebunan itu dalam
pengembangannya satu nafas dengan lain-lain aspek yaitu : Kehutanan, Perikanan
dan Peternakan sungguhjpun kita dapat mengerti luasnya cakupan pernyataan dari
GBHN/1983, Ekonomi, Pertanian No. 1c tersebut.
Di
Indonesia sebagai akibat Perang Dunia ke-2, maka perkebunan telah mengalami
suatu tekanan atas arealnnya yang masih terjadi sampai dengan saat ini. Minsalnya
di Sumatera utara, timbul masalah lain, yaitu oleh Gubernur KDH Sumatera Utara
di ambil kebijakan untuk membagi-bagi tanah kepada rakyat yang terkenal dengan
proyek SIM (Surat Izin Menggarap), yaitu memberikan areal perkebunan untuk
rakyat yang mendudukinya dengan tujuan politis menghadapi Pemili 1982 yang
lalu. Proyek ini telah menimbulkan kesulitan dan manipulasi akibat tidak
matangnya persoalan seperti SIM yang double, ada SIM yang tanpa tanah dan ada
tanah tetapi tidak punya SIM. Sangat disayangkan bahwa dalam suatu dunia yang
sudah menguasai managemen yang maju, masih bisa kebobolan karena memang tujuan
politis sehingga lupa kepada pengaturan yang baik dan tertib, sampai
sekarangpun perkebunan tetap saja di rong-rong oleh penyerobotan-penyerobotan areal
yang tidak dikerjakan atau sedang dirotasikan.
ASPEK SOSIAL DAN POLITIK DARI SISTEM
PERTANIAN PERKEBUNAN
I. PENDAHULUAN
Di
Jawa dan Sumatera memiliki sejarah perkebunan yang gemilang di tahun 1830-1930.
Expor gula merupakan salah satusumber devisa negara Pemerintah Belanda di
samping karet, tembakau, dan minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh
perkebunan Belanda di Sumatera, khususnya Sumatera Utara hingga berhasil
menunjang perekonomian setempat.
Daerah
patebon di Jawa merupakan politis rawan dimana dari daerah ini gerakan rakyat
Jawa terhadap pemerintah kolonial dimulai serta daerah ini juga merupakan pusat
gerakan petani tradisional bersifat mesianistis. Pada zaman post colonial
daerah patebon merupakan pusat dari konsentrasi kekuatan komunis. Sama halnya
yang terjadi di Malaysia dan Amerika Latin. Equador, Honduras, dan beberapa
negara lain di Amerika Latin bagian Tengah (Banana Countries) dimana perkebunan
pisang menjadi pendukung utama perekonomian nasional mereka.
Ada
dua alasan pemerintah tetap menghidupkan perkebunan di negara kita. Pertama,
lebih mempercepat tercapainya usaha pemerintah memperoleh devisa dari export
non-minyak. Kedua, investasi di bidang perkebunan.
Setelah
selesainya di bagian ekonomis maka selanjutnya akan ada yang di pertimbangkan
lagi lewat sosial politik. Pertama dimana perkebunan itu berada dan hubungannya
dengan perekonomian di dunia.
II. DIMENSI
INTERNAL PERKEBUNAN
Jika
memasuki komunitas perkebunan tentunya ada beberapa hal yang dibahas. Pertama,
adanya “residential segregation” di masyarakat perkebunan atas dasar jabatan,
suku bangsa, warna kulit,dan nationalitas anggota komunitas perkebunan. Kedua,
masyarakat memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku seperti administratur
perkebunan, pegawai staf, pegawai perkebunan (non-staf), dan buruh perkebunan.
Ketiga, hubungan pemerintah daerah/nasional dengan pemilik modal perkebunan,
dimana pemerintah melihat kedudukan perkebunan pemilik modal dan memberikan
fasilitas untuk memperoleh tanah dan buruh yang murah serta perlindungan
politis. Dalam hal ini diingkatkan pada kekuatan politik yang dimiliki oleh
Suiker Sindikat yaitu organisasiyang dibentuk oleh pemilik modal pabrikgula di
zaman kolonial Belanda.
Pemerintah
masih membantu perusahaan perkebunan dengan istimewa terutama menghadapi
sengketa yang terjadi antara management perkebunan dengan buruhnya atau dengan
petani diluar lingkungan, namun seringnya terjadi perselisihan ini, pemerintah
memihak pihak management karena hampir semua perkebunan milik pemerintah.
Struktur
sosial masyarakat yang kaku, perbedaan kehidupann materiil yang mencolok, dan
perlindungan politis yang berlebihan kepada pemilik modal menyebabkan
masyarakat perkebunan potensial rawan terhadap pengaruh unsur kekuatan politik
yang negatif.
III. Dimensi External dari Perkebunan
Salah satu hal yang membedakan
sistem pertanian perkebunan dan sistem pertanian lainnya adalah bahwa sistem
pertanian adalah bahwa sistem pertanian perkebunan, keseluruhan hasil
produksinya diekspor ke luar negara. Prinsip “production for export” ini
menyebabkan adanya integrasi ekonomi setempat dengan pasaran internasional. Hal
ini juga berarti bahwa pengamilan keputusan bergeser pula dari tingkat
daerah/nasional ke tingkat internasional dimana para produsen ataupun
pemerintah tidak lagi mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama yang
menyangkut harga dari perkebunan di pasaran internasional. Ketergantungan
produk perkebunan pada pasaran internasional menyebabkan perkembangan
perekonomian di wilayah tersebut tidak stabil, sehingga hal ini lebih menambah
kemungkinan timbulnya kerawanan politik di wilayah perkebunan tersebut.
IV. Perkebunan dan Kemiskinan
Secara teoritis, keberhasilan suatu
perkebunan tergantung dari dua hal :
1. Tersedianya tanah yang cukup luas dan
murah.
2. Tersedianya tenaga buruh yang murah.
Dalam
semangat Etis Politik, pemerintah colonial Belanda berusaha mengurangi
kemiskinan di jawa dengan mendorong investasi modal dibidang industry dan
mendorong program koloialisasi di Sumatera. Melihat usaha-usaha tersebut para
pemilik modal perkebunan, melalui organisasi mereka menentang usaha-usaha itu.
Akibat dari hal-hal tersebut perkembangan ekonomi di Jawa masih dapat kita
rasakan sampai saat ini. Jawa menjadi pulau “pengekspor buruh murah”. Hal ini
bukan karena petani Jawa ingin bekerja diperkebunan, tetapi karena mereka tidak
mempunyai alternative lain disebabkan pemerintah belanda tidak mau merugikan
kepentingan ekonomi pemilik modal perkebunan.
Kesimpulan
Ketergantungan
perekonomian wilayah perkebunan kepada perekonomian internasional menyebabkan
wilayah tersebut ecara ekonomis tidak dapat mandiri. Berkembang atau matinya
kehidupan wilayah tersebut akan sangat bergantung pada situasi harga produk
perkebunan tersebut di pasaran internasional. Karena hal tersebut maka tindakan
pemerintah untuk tidak mengijinkan pihak swasta mendirikan perkebunan besar,
melaikan menggalakkan pola perkebunan inti rakyat merupakan suatu tindakan yang
terpuji. Karena pada hakikatnya perkebunan inti rakyat merupakan indakan
agrarian reform.
PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN DALAM
KEBIJAKSANAAN OPERASIONAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
1. Kebijaksanaan
Umum
Usaha
perkebunan di Indonesia mempunyai potensi yang besar di dalam memberikan
kesempatan kerja, sebagai sumber pedapatan devisa yang utama, serta memenuhi
kebutuhan konsumsi didalam negeri. Berdasarkan potensi tersebut pengembangan
perkebunan di Indonesia didasarkan atas kebijakan sebagai berikut :
a. Pembangunan Perkebunan Rakyat menjadi dasar
usaha perkebunan dan penerapan usaha pemerataan dari segala aspek.
b. Pembangunan Perkebunan Besar Negara
menjadi pendukung usaha dalam bidang teknologi budidaya dan pengelolaan serta
pemasaran dan hasil.
c. Pembangunan Perkebunan Besar Swasta
menjadi pelengkap yang mampu mewadahi perkembangan kewiraswastaan petani
pengebun kearah usaha yang lebih rasional.
2. Kebijakan Teknis
a. Pengadaan tenaga kerja yang terampil
b. Memperbanyak kebun induk
c. Menyediakan sarana dan prasarana
Perkebunan
Rakyat
-
Penyediaan dana pembangunan
- Melengkapi sarana
kerja pada UPP
- Meningkatkan kualitas
personil UPP
- Memanfaatkan
kontraktor dan distributor sarana produksi
* Perkebunan Besar Negara
- Penyediaan dana kredit
perbankan
- Membakukan biaya
pengadaan tenaga ahli dan tenaga terampil
- Penambahan penyertaan
modal pemerintah
* Perkebunan Besar Swasta
- penyediaan dana
perbankan yang memadai dengan kemungkinan penyertaan saham perbankan disertai
dengan bantuan manajemen
3. Kebijaksanaan Budidaya
3.1. Dasar kebijaksanaan Budidaya
Mengingat bahwa sebagian
terbesar budidaya perkebunan adalah berupa tanaman tahunan, maka tingkat
keberhasilan pembangunan subsector perkebunan sangan bergantung pada
keberhasilan pembangunan tanaman tahunan tersebut. investasi dalam bentuk
peremajaan atau perluasan tanaman, hasilnya baru akan nyata setelah 10 tahun
atau lebih.
Pada dasarnya proiritas pengembangan
ini disusun atas berbagai faktor, antara lain :
a. Tersedianya sumber daya alam
b. Peranan dan prospek budidaya dalam
menyediakan dan meratakan kesempatan kerja
c. Sebagai kebutuhan bahan pokok rakyat
dan industry dalam negri
d. Penyebaran wilayah dan lokasi yang
lebih seimbang utuk pemerataan pembangunan
1.3 Organisasi UPP
Luas
areal proyek yang diselenggarakan dengan sistem UPP ini menurut budidaya dan
keadaan lapangan. Variasi I luas daerah pembinaan optimum bagi satu unit UPP
meliputi sekitar 2.000-3.000 Ha. Susunan personalianya (baku) sebagai berikut :
-
Kepala
UPP (Manager) 1 orang dengan kwalifikasinya yaitu sarjana pertanian atau yang
sederajat.
-
Pembantu
Kepala UPP (Asisten Manager) 4 orang dengan kwalifikasinya yaitu Sarjana muda
atau yang sederajat (tiga orang bidang pertanian, satu orang bidang sosial).
-
Petugas
lapangan proyek terpadu 14 orang dengan kwalifikasi SPMA atau yang sederajat.
-
Pemegang
Uang Muka Cabang (PUMC) 1 orang dengan kwalifikasinya SMA atau yang sederajat ditambah kursus bendaharawan.
1.4 Areal Pembinaan
Areal
perkebunan rakyat yang dapat dibina melalui proyek dengan pola UPP dengan tabel
jumlah unit UPP dan luas perkebunan rakyat yang akan dibina sampai dengan akhir
PELITA III dan akhir PELITA IV.
2. Pola NES/PIR
Pola NES ini membantu perkebunan rakyat yang ada
disekitarnya didalam pembangunannya perkebunannya dengan teknologi yang lebih
maju.
2.1 Tugas-tugas Kebun Inti
Tugas
yang dibebankan kepada Kebun inti (PNP/PTP) yaitu :
a. Membangun desa untuk pemukiman termasuk
pembuatan perumahan, sarana air minum,dan sebagainya.
b. Melaksanakan pertanaman selama tiga
tahun pertama membuka lahan, penanaman karet, kelapa sawit, pemupukan penanaman
hijau, dan lain sebagainya.
c. Membantu menyiapkan lahan pangan
serta penyediaan bibit yang diperlukan.
d. Membina petani sebagai karyawan
kebun-kebunnya belum menghasilkan diaraharkan pada pembentukan KUD.
e. Tahun ke-4 membina petani yang telah
dijadikan nasabah bank, dalam merawat dan memelihara kebun.
f.
Sejak
tanaman menhasilkan, kebun inti menyediakan atau membangun pabrik pengolahan
untuk menampung produksi peserta proyek.
2.2 Jenis-jenis PIR
Perkembangan
proyek-proyek perkebunan dengan pola PIR dibedakan :
a. PIR-Bantuan Luar Negeri, yang lazim
disebut NES yang sebagian dananya diterima dari luar negeri, proyek yang telah
disepakati yaitu ; NES Bantuan Bank Dunia yaitu NES I s/d VI; Cotton dan NES Besi Batang; NES
Bantuan KFW, yaitu NES Ophir di Sumatera Barat.
b. PIR Swadana, seluruh dananya
diperoleh dari dana dalam negeri.
IV. PERKEMBANGAN
1.
Perkembangan Luas Areal
Perkembangan
luas areal perkebunan akan semakin mengalami perkembangan dengan pesat.
Perkembangan luas areal terakhir yaitu dari tahun 1974 seluas 6.381.381 Ha –
8.742.007 Ha pada tahun 1982 ada kenaikan 30 % atau rata-rata 3, 75% tiap
tahun. Dari luasan seluruh perkebunan 8.742.007 Ha yang sudah terjangkau proyek
baru 2.820.269 Ha (32,26%)
2.
Perkembangan Produksi
Produksi
budidaya perkebunan yang penting secara keseluruhan menunjukkan kenaikan
rata-rata 7% per tahun. Produksi perkebunan sebesar 4.204.594 ton pada tahun
1974 meningkatkan menjadi 5.773.452 ton pada tahun 1979 dan sebesar 6.189.241
ton pada 1982. Hal ini disebabkan karena PNP/PTP memiliki kelebihan dibidang
teknologi management dan permodalan dibandingkan dengan Perkebunan Besar Swasta
maupun Perkebunan Rakyat.
3. Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai
Ekspor
Ekspor
hasil perkebunan masih memegang peran penting dalam menghasilkan devisa. Ekspor
komoditi perkebunan pada tahun 1974 tercatat sebesar 1.861.870 ton meningkat
menjadi 2.182.947 ton pada tahun 1979 dan 2.671.669 ton pada tahun 1980. Nilai
ekspor komoditi perkebunan meningkat dari tahun 1974 hingga tahun 1980, dari US
$ 938.180juta menjadi US $ 2.523.809 juta . Hal ini berarti ada peningkatan
sebesar 269% atau rata-rata 20,09% per tahun.
V. PERMASALAHAN
1. Pencapaian Fisik Pembangunan
Pembinaan intensif pada
perkebunan terutama pada perkebunan rakyat baru mencapai 32,26% yaitu areal
yang ditangani proyek, diluar itu yaitu sebesar 67,74% belum tergarap
pembinaannya.
2. Permasalahan dalam pelita III
2.1. Pelaksana Repeliti
III yang berbentuk suatu percepatan rencana (akselerasi) merupakan suatu
pemanfaatan momentum perkebunan mengingat perkebunan merupakan tanaman tahunan
yang memerlukan suatu perkiraan prospek pekerjaan perencanaan dan langkah persiapan
jangka panjang.
2.2. Persiapan-persiapan pelaksanaan dalam bentuk
penyusunan sistem dan prosedur, penyusunan organisasi dan personil dan
penyediaan fasilitas serta sarana pelaksanaannya.
2.3.
Hambatan-hambatan yang penting dan
menentukan tingkat keberhasilan meliputi :
a.
Belum adanya sistem dan prosedur kerja, karena penyusunannya besama
dengan pelaksanaan
b. Pengadaan personil pelaksana belum
dapat mencapai kwantitas dan kualitas yang
dikhendaki.
c. Pengadaan dan distribusi sarana
produksi berbentuk bibit.
d. Masih dijumpainya resistensi dari
petani yang diharapkan menjadi peserta proyek karena belum timbulnya
kepercayaan atas tersedianya fasilitas berbentuk perkreditan, pembinaan,
jaminan pemasaran, dan sebagainya.
3. Permasalahan pelaksanaan Repelita IV
3.1 a.
Rendahnya daya serap perkreditan oleh petani sebagai akibat resistensi masih
akan merupakan hambatan dalam mencapai sasaran pembangunan.
b.Pengelolaan (Management) dan
organisasi termasuk personal pelaksana proyek masih memerlukan penanganan
khusus secara kuantitatif dalam pemantapan sistem dan prosedur dan secara
kuantitatif.
c.Pengadaan dan distribusi sarana baik
berupa bibit maupun agrokimia masih perlu dikonsolidasikan untuk mencapai 5
tepat yaitu ; jumlah, waktu, mutu, tempat , dan harga sarana produksi tersebut.
3.2. Masalah-masalah
yang penanggulangannya melibatkan kelembagaan diluar Departemen Pertanian
meliputi :
a. Dalam menumbuhkan lembaga usaha
petani perkebunan dalam bentuk KUD diperlukan penanganan yang tuntas baik dalam
bentuk pengorganisasian, pemberian badan hukum serta pembinaan dan
kemudahan-kemudahannya.
b. Sertifikasi tanah yang meupakan
persyaratan daripada proyek-proyek dengan kredit jangka panjang memerlukan
usaha-usaha penyederhanaan prosedur, menekan biaya satuabn dan percepatan waktu
penyelesaian.
c. Dukungan prasarana jalan dan
komunikasi sangat diperlukan karena dalam Repelita IV usaha-usaha yang
dilakukan selama pelita II dan III sudah mulai berproduksi.
d. Usaha dan kegiatan pasca panen
yang meliputi pengolahan dan pemasaran hasil merupakan kegiatan-kegiatan usaha
tani yang sangat penting dan memerlukan penanganan secara khusus, untuk itu
penciptaan iklim usaha yang dapat menekan biaya pemasaran perlu ditingkatkan
agar harga ditingkat produsen dapat menggairahkan petani
e. Sebagian terbesar dari komponen
pembangunan perkebunan adalah merupakan komponen perkreditan baik bagi
kepentingan perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.
f. Usaha pengembangan perkebunan dan
kegiatan transmigrasi merupakan kegiatan yang saling mengisi dalam rangka
pengembangan perkebunan, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan dan
taraf hidup rakyat (transmigran) .
VI. KESIMPULAN
1.
Usaha
peningkatan devisa melalui usaha pembangunan perkebunan mempunyai prospek yang cerah karena kenaikan tingkat produksi
yang dibarengi dengan kecenderungan kenaikan harga-harga komoditi dapat
memberikan harapan akan dicapainya sasaran nilai ekspor walaupun ada gangguan
resesi dunia yang diharapkan tidak terlalu lama akan berakhir.
2.
Dengan
ditetapkannya pelaksanaan pembangunan perkebunan rakyat dengan pola UPP dan
pola PIR, diharapkan perkembangan perkebunan rakyat dan berjalan lebih cepat
dari masa-masa sebelumnya.
3.
Pengembangan
perkebunan besar negara berjalan cukup pesat karena usaha peningkatan kemampuan
menajemen dapat lebih hasil baik, serta didukung oleh fasilitas permodalan yang
lebih longgar.
4.
Pengembangan
perkebunan besar swasta nampak lebih lamban dibanding jenis perkebunan lainnya,
karena minat yang kurang, berhubung dengan adanya resiko yang lebih besar pula,
sedang waktu mulainya menghasilkan agak lama, dibandingkan dengan usaha-usaha
lain.
PENINGKATAN PRODUKSI GULA
1.Pendahulan
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya pendapatan perkapita serta berubah
nya pola konsumsi masyarakat, maka pada tahun-tahun mendatang dapat dipastikan bahwa
jumlah konsumsi gula akan terus meningkat. Jika pada tahun 1979 konsumsi gula
Indonesia adalah lebih kurang 1,5 juta ton maka pada tahun 1988 konsumsi gula
Indonesia diperkirakan akan naik menjadi 3 juta ton. Keterbatasan kapasitas produksi
akan mengakibatkan selisih antara produksi dan konsumsi semakin membesar dan akan
mencapai 1.589.797 ton pada akhir tahun 1988 apabila tidak diambil langkah-langkah
penanggulangannya. Dengan program peningkatan produksi gula yang dipercepat melalui
pembangunan 18 buah pabrik gula baru terutama diluar jawa dengan kapasitas
3000-4000 ton tebu, yang direncanakan telah beroperasi sekitar akhir tahun 1986
disamping me rehabilitasi pabrik gula di Jawa dan usaha mencukupi kebutuhan bahan
bakunya melalui intensifikasi dan perluasan areal, diharapkan kita telah dapat
berswasembada gula pada akhir tahun tersebut.
II. Perkembangan
Dalam
penyediaan lahan untuk keperluan areal pabrik gula baru diluar Jawa maka status
lahan milik dan hak guna usaha mutlak perlu dikombinasikan secara serasi. Untuk
menjamin agar pabrik gula dapat beroperasi secara ekonomis maka pada tahun pertama
perlu dikembangkan areal inti sambil dipersiapkan segala sesuatu untuk mengembangkan
pelaksanaan pengembangan plasma yang dimulai setelah tercapainya titik kembali pokok,
sehingga dengan demikian tujuan yang terkandung dalam penerapan konsep PIR
dalam pembangunan pabrik gula baru dimana PG bisa mengembangkan petani-petani anggota.
Upaya meningkatkan total produksi tebu memerlukan adanya pengembangan budidaya tebu
baik padalahan sawah maupun lahan tegalan.
3.Tebu Rakyat Intensifikasi
a. Areal
pada
tahun 1975/1976 dari proyeksi areal yang ditetapkan dengan surat keputusan menteri
pertanian seluas 9000 ha direalisir 15.192 ha. Sedang pada tahun 1982/1983 dari
proyeksi areal 224.820 ha telah direalisir seluas 190.616 ha.
b.Produksi
walaupun
realisir areal tebu rakyat intensifikasi dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan
tapi produktifitas cenderung mengalami peningkatan tapi produktifitas cenderung
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan produktivitas tebu pada kurun
waktu 1971/1975.
III. Permasalahandan saran perbaikan
1.
Pembangunan
pabrik gula baru
Dana : semula pembiayaan rupiah daripenyertaan
modal pemerintah departemen keuangan, mulai permulaan tahun 1982 dialihkan keperkreditan
bank bumidaya, dan hingga sekarang belum ada keputusan dari bank bumidaya.
Lahan : masalah ini acap kali sulit untuk diselesaikan
mengingat kurangnya koordinasi lintas sektoral.
Infrastruktur : pada umumnya struktur diluar Jawa sangat terbatas,
sehingga tidak mudah untuk menyangkut mesin dan alat-alat ke lokasi proyek.
Kontraktor : meskipun sudah ada penetapan pemenang
tender oleh SEKNEG, masih ada beberapa kontraktor yang terlambat pelaksanaannya
yaitu untuk PG subang.
Suku
Cadang : sub.kontraktor perlu diberi kesempatan
menjadi kontraktor dan barang-barang yang dapat
dibuat industri dalam negeri seyogyanya diserahkan didalam negeri.
Sumber
Daya Manusia : tehnik budi dayate
budi lahan kering masih sangat terbatas
KOMODITI KELAPA SAWIT
Pemasara
nkomoditi kelapa sawit perlu digiatkan tidak saja bagi produksi perkebunan-perkebunan
besar, tetapi juga bagi produksi perkebunan rakyat.
II. Keadaans ekarang
1.
Pengalokasian minyak kelapa sawit untuk pasar dalam negeri yang diadakan sejak tahun
1978
2.
Hal ini dilihat dengan penebusan alokasi, yang pada umumnya dikaitkan dengan perkembangan
harga diluar negeri
3.
Pada waktu harga ekspor lebih tinggi dari pada harga yang ditentukan untuk pasaran
dalam negeri.
4.
Perbandingan antara produksi dana lokasi dengan realisasi penebusan termasuk persentase.
5.
Kantor pemasaran bersama
6.
Pelabuhan, fasilitas yang ada di pelabuhan belawan masih kurang dan belum sempurna
khususnya tempat sandar.
III. Sasaran yang ingin dicapai
1.Pemasaran
a.
Penentuan alokasi didalam negeri hendaknya didasarkan kepada kebutuhan konsumsi.
b.
Dalam rangka peningkatan devisa minyak inti kelapa sawit dan PKP diekspor dengan harga semaksimal mungkin
2. Kelembagaan
a.
Dalam rangka pemasaran yang efensif perlu menambah, badan-badan pemasaran
diluar negeri antara lain Tokyo, Amerika Serikat.
b.
Perlu penempatan tenaga-tenaga teknologi diperwakilan pemasaran diluar negeri,
guna menampung keinginan pembeli.
c.
Sejalan dengan itu di dalam negeri perlu diadakan penyempurnaan tugas-tugas
KPB.
3. Usaha – usaha Peningkatan Ekspor
a.
Pelabuhan
Fasilitas
pelabuhan untuk mengekspor minyak kelapa sawit seperti kade, tempat penimbunan
atau bulking installation dan pemoupen perlu disempurnakan dan ditambah,
khususnya pelabuhan belawan. Pelabuhan baru Kuala Tanjung yang dekat dengan
sentra produksi di Sumatera Utara agar dapat dimanfaatkan.
b.
Ruang
Kapal
Perlu
penyediaan space yang cukup kontinu dengan mengikat perjanjian sekurang
kurangnya dua perusahaan perkapalan, sehingga terhindr adanya monopoli.
Penggunaa ruang kapal diutamakan kepada armada nasional.
c.
Harga
Patokan
Pengalaman
menunjukkan, bahwa penetapan harga
patokan untuk ekspor selalu terlambat.
d.
Perundingan
– perundingan International
Didalam
perundingan – perundingan internasional
mengenai ekspor komoditi perkebunan, hendaknya PNP/PTT diikut sertakan sebagai anggota delegasi,
minimal sebagai peninjau, untuk dapat mengikuti/ memonitor perkembangan
pereembangan internasional.
e.
Pengembangan
Guna
melancarkan pengembangan tanaman perkebunan didaerah daerah non tradisional
dimintakan adanya keterpaduan tindakan antara aparat Pemerintah, baik
pusat maupun daerah, sehingga pelaksanaanya dapat berjalan dengan baik.
MASALAH TEMBAKAU DAN USAHA
PENANGGULANGANNYA
1.
Peranan
komoditi Tembakau
a. Luas
areal dan produksi beberapa jenis tembakau Indonesia selama tahun 1997 sampai
dengan 1981 mennujukkan bahwa rata rata
luas area pertahun mencapai 198.441ha, dengan rata rata produksi 113,463 ton
dan rata rata produksi per hektar 572.
Tembakau Indonesia terdiri dari tembakau untuk ekspor dan tembakau untuk
komsumsi dalam negri.
b. Perkembangan
volume dan nilai ekspor tembakau sejak tahun 1997 sampai 1981 menunujukkkan
bahwa volume ekspoe menurun dengan rata rata penurunan 5,44% setahun, demikian
pula nilai ekspor menurun yaitu rata rata 3,92% tahun. Penurunan ekspor lebih
besar dibandingkan nilai ekspor disebabkan adanya kenaikan harga rata rata
perkilogram (6,19%)
c. Sebagian
besar dari pada tembakau komsumsi dalam
negri di komsumsi dalam bentuk rokok dan sebagian kecil saja yang dikomsumir
dalam bentuk tembakau kunyah serta bahan obat obatan. Produsi rokok kretek meningkat rata rata
5,84% per tahun dan produksi sigaret meningkat 5,07% pertahun.
d. Usaha pertembakauan sejak dari pertanaman,
pengolahan hasil sampai dengan industri rokok melibatkan tenaga kerja yang
cukup besar baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Di bidang
pertanaman dan pengolahan hal diperkirakan
membutuhkan 6 orang tenaga kerja per ha. Di bidang industry yang
menyerap tenaga kerja terbesar adalah industry rokok.
e. Jika
pertembakauan berperan dalam pendapatan Negara yang selalu meningkat baik
melalui devisa maupun cukai serta dapat
menciptakan lapangan kerja yang cukup besar baik dalam bidang produksi maupun
pada industry rokok, akan tetapi
pendapatan petani sebagai produsen tidak banyak mengalami peningkatan.
Pendapatan petani tembakau pda umumnya setiap tahun berfluktuasi tergantung pada mutu dan produksi yang
dihasilkan pada tahun yang bersangkutan.
2.
Prospek
pertembakauan
Peranan
pertambakauan dalam bidang ekspor maupun komsumsi dalam negri mengambarkan
prospek dari jenis jenis tembakau Indonesia.
a.
Tembakkau
cerutu
Bagi
temabakau Deli, Besuki Na Oogost dan Vorstenlanden harga jual di pasar lelang Bremen relative
tidak menunujukkan kenaikan. Untuk mengembangkan tembakau cerutu terutama dalam
peningkatan harga jual diperlukan usaha diversifikasi pasar dan diversifikasi
jenis produksi kearah memperbesar daun pembalut, dengan tujuan untuk
meningkatkan volume dan nilai ekspor.
b.
Tembakau
Virginia
Tembakau
Virginia penggunaan tembakau Virginia di waktu waktu yang akan dating
diharapkan selalu meningkat baik sebagai bahan baku sigaret maupun sebagai
bahan campuran rokok kretek dalam negri serta untu tujuan eskpor.
c.
Tembakau
Rakyat
Dengan
meningkatnya produksi rokok kretek setiap tahun di perkirakan komsumsi tembakau
rakyat akan meningkat sebesar 6,22% setiap tahun. Prospek tersebut meningkatkan
usaha intensifikasi mencaup seluruh jenis tembakau rakyat yang produkksinya
cukup besar.
Tags : Jurnal Sosiologi
bonarsitumorang
- Bonar Situmorang
- Medan
- Jakarta Selatan
- bonarsos@gmail.com
- +62852-6969-9009