Membangun Karakter Pancasila
Sering kita mengklaim dalam peradaban
modern-kontemporer ini, orang Indonesia menganut budaya timur yang ramah,
santun, bersahabat, murah senyum dan label lain yang bermakna positif. Sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mejadikan bangsa yang besar,
bermartabat, dan masyarakat yang cerdas. Dipertegas juga dengan Pancasila sebagai pedoman bangsa.
Akan tetapi
das sollen (mengharuskan) dan das sein (peristiwa konkret) tidak
berjalan seirama. Ternyata keadaan di atas berbalik dengan fakta yang ada dalam
kehidupan bersama. Berbagai dimensi konflik diselesaikan dengan cara kekerasan,
pembunuhan, dan paling nyata adalah
krisis hati nurani dalam masyarakat. Krisis nurani saat ini menunjukkan suatu
keadaan mental yang hanya mengetahui cara menyingkirkan dan membunuh orang
lain. Seolah social action individu
tidak puas jika orang lain tidak terluka.
![]() |
Pancasila |
Tujuh
abad yang lalu Ibnu Khaldun menyebut keadaan mental ini sebagai bentuk dari animal power. Bentuk fisik memang
manusia namun cara menyelesaikan konflik seperti hewan. Padahal Yang Maha Kuasa
sudah menciptakan dalam diri setiap individu nurani dan common
sense (akal sehat) agar manusia itu berbeda dengan hewan.
Krisis
nurani ini menciptakan masyarakat Indonesia yang rentan dengan konfik kekerasan
dan sering menyelesaikan permasalahan dengan main hakim sendiri. Fenomena yang
terjadi dalam masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita persekusi, salah
satu contoh hilangnya jati diri bangsa ini. Umat manusia kini berhadapan dengan
bentuk dan strategi penindasan, penipuan, dan tanpa tindakan rasionalitas.
Jika
dominasi tindakan tanpa batasan ini terus berlanjut, maka diyakini bangsa ini
akan memiliki mentalitas instan.
Akibatnya generasi ke depana akan menghadapi neo-kolonialisme dan
neo-imperialisme sebagai bentuk perang dengan gaya dan model yang baru. Bahkan
tindakan yang membangun hanya menjadi sebuah intuisi bagi kebanyakan pihak.
Permenungan
sekarang adalah omne quod videtur est
verum (yang benar adalah segala yang tercerap belaka). Kemampuan hidup
antara baik dan tidak dalam dua dimensi kehidupan (res cogitans dan res extensa) harus bisa menjadi sebuah
pertimbangan dalam kecakapan terhadap sebuah tindakan. Hujan kekerasan di
Indonesia harus ditanggapi dengan serius. Serta masalah yang ada harus
diselesaikan dengan negosiasi damai ataupun dengan jalur judicial settlement (jalur hukum). Tindakan contetious adalah sikap yang agresif, serta tidak memperdulukan
kelompok lain dan menganut karakter zero-sum
game, menang untuk kelompok sendiri dan mati untuk lawan harus dibatasi
dengan internalisasi nilai dan norma yang sudah lama dipegang teguh bangsa ini.
Pancasila Sebagai Etika dalam
Bertindak
Pancasila
sudah ditetapkan oleh pendiri bangsa (founding
father) sebagai nilai-nilai luhur dan mendalam, yang menjadi pandangan
hidup dan dasar bertindak negara dan
warga negaranya. Semangat nilai praksis seyogyanya sama dengan semangat juang
pahlawan yang sudah bersusah payah mendirikan Indonesia di atas fondasi yang
kuat dan bernilai.
Setiap
orang pasti mempunyai moral, tetapi belum tentu setiap orang memiliki pikiran
yang kritis tentang moralnya. Jika ingin menjadi maju rakyat Indonesia tidak
cukup hanya bermoral, tetapi juga harus memiliki etika dalam bertindak.
Sehingga ketika sudah berpikir kritis terhadap moral yang diyakini, ia sendiri
tidak akan gamang apabila sewaktu-waktu seseorang dijadikan panutan moralnya
telah tiada atau kehilangan pamorny
Nilai,
norma, dan moral yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar falsafah
Indonesia dan merupakan sebuah alasan mutlak untuk tetap berbuat baik ke pada
sesama manusia dan kepada negara. Pancasila bukan hanya diwariskan dari orang
tua atau pendahulu bangsa, melainkan tidak akan mudah goyah oleh masuknya paham
radikalisme, ideologi lain yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia .
Jadi
Pancasila menjadi dasar untuk melakukan renuranisasi masyarakat Indonesia dan
sumber etika. Mengajak kita untuk berpikir lebih kritis, hingga Pancasila yang
sudah kita terima selama puluhan tahun benar-benar hasil pilihan bangsa dan
negara Indonesia. Bukan sesuatu yang dipaksakan untuk kita renungkan dan laksanakan.
Sehingga paradigma pemikiran ini bisa menjadi sumbangan besar bagi pembangunan
nasional.
Dengan
Pancasila bisa menjadi problem
solving (pemecah masalah) persoalan
yang krusial yang dihadapi bangsa sejauh ini. Perkara-perkara besar seperti
mengobarkan rasa kebencian terhadap suatu ras, umat dan bangsa, membunuh dan
membantai bisa ditekan habis tindakan destruktif tersebut (containment of violence) dengan menginternalisasikan nilai, moral,
dan etika Pancasila ke hati nurani masyarakat. Hingga pancasila bukan hanya simbol
kekuatan (symbolic power) melainkan social capital (modal sosial) bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Tags : Jurnal Sosiologi